Dari rumah sakit, aku pulang sendiri dengan menggunakan taksi online. Mama Rosa tidak bisa mengantarku pulang karena tiba-tiba tidak enak badan dan kepalanya pusing.
"Kamu pulang naik taksi online saja," perintahnya yang dengan senang hati aku lakukan. Pulang sendiri lebih menenangkan untukku, karena sepanjang perjalanan tidak perlu mendengarkan omelan dn kata-kata pedas dari mulut ibu mertuaku itu. Dan lagi, aku punya waktu untuk memikirkan penjelasan apa yang akan kukatakan pada Mas Ammar. Sekarang pria itu pasti sudah menungguku di rumah. Beberapa menit yang lalu, sebuah nomor asing menelpon, yang ternyata nomor baru milik Mas Ammar. Pria itu menghubungiku untuk meminta agar aku segera pulang. Dari suaranya terdengar sedang menahan amarah. Mungkin karena takut, perjalan terasa begitu cepat. Tanpa terasa taksi yang membawaku sudah sampai di depan rumah. Meski enggan aku pun melangkah turun. Jantungku seketika berdegup kencang begitu aku melihat mobil milik Mas Ammar sudah terparkir di halaman rumah. Mendadak langkah kakiku terasa begitu berat seolah ada rantai besi yang mengikatnya. Ceklek.... Tiba-tiba pintu ruang tamu di buka dari dalam, sontak saja tubuhku mematung di tempat. Nampak sosok Mas Ammar dengan wajah merah padam dan rahang mengeras muncul dari balik pintu. "Masuk!!" sentaknya yang langsung membuat nyaliku seketika menciut. Aku bergeming di tempat. Dua bulan hidup bersama tak pernah aku lihat dia semarah ini. Tatapan matanya tajam dan dipenuhi kilatan amarah. "Aku bilang masuk," bentaknya sambil menarik tanganku kasar. "Aww.... sakit Mas. Tolong lepaskan tanganku," mohonku mengiba saat Mas Ammar menyeretku masuk ke dalam rumah. "Sakit kau bilang, hanya begini kau sudah bilang sakit. Lalu bagaimana dengan perasaanku dan Raline," bentaknya, lalu menghempaskan tanganku kasar sampai membuat tubuhku terhuyung. Beruntung aku masih bisa menjaga keseimbangan tubuhku sehingga aku tidak tersungkur. "Aku minta maaf, Mas." Lagi-lagi hanya kata maaf yang bisa kuucapkan. Aku tak bisa lagi menahan tangisku. Mendapat perlakuan kasar dari pria berstatus suamiku, air mataku pun mulai bercucuran tanpa bisa kucegah. "Kumohon berhentilah berakting memelas," cibirnya dengan wajah frustasi. "Tidak bisakah kita bicara baik-baik?" pintaku. "Apa kamu pantas?" sahutnya menohok. Seburuk itukah aku? Bahkan untuk bicara baik-baik tidak bisa. "Selama ini aku sudah sangat bersabar menghadapimu tapi kau terus saja mengujiku," katanya. "Kau sendiri yang berjanji dan sekarang kau sendiri yang mengingkari janjimu, memberitahu Mama tentang hubunganku dengan Raline?" "Aku tidak memberitahu Mama, Mas," bantahku. "Demi Tuhan, berhentilah berbohong!" geramnya terlihat frustasi. "Mama mengatakan kamu menunjukkan fotoku dan Raline di ponselmu. Apa mungkin Mama yang berbohong, hah?" "Aku tidak melakukannya dengan sengaja, Mas. Raline mengirimkan foto itu saat aku bersama Mama dan Oma Rumana. Dan Mama----" "Cukup!! Sudah cukup Renjana Zuhayra. Jangan terus mencari alasan untuk menutupi kesalahanmu. Kamu benar-benar membuatku muak." "Aku tidak mencari alasan. Demi Tuhan, aku tidak melakukan semua yang kamu tuduhkan. Mama Rosa mengambil ponselku sesaat setelah aku membuka pesan dari Raline. Raline yang mengirim foto itu," jelasku sedetail mungkin. "Aku tidak percaya. Raline tidak mungkin melakukannya. Itu hanya karanganmu untuk membuatku menyalahkan Raline. Aku tahu dari dulu kamu selalu iri pada Raline. Berulang kali kamu melemparkan kesalahanmu padanya." Aku tertegun, tak tahu harus berkata apa lagi untuk menjelaskan kebenarannya. Memang seharusnya aku tidak perlu mengatakan apapun. Karena mata pria ini sudah tertutup oleh cintanya pada Raline. "Seandainya saat ini Arfan bisa melihat sifat aslimu, aku yakin dia pasti sangat menyesal sudah mengorbankan dirinya demi kamu. Membiarkan wanita sejahat kamu hidup menebar fitnah." Aku terkesiap. Mas Ammar. Kembali dia membawa Arfan dalam perdebatan kami "Apa maksudmu, Mas?" "Arfan kehilangan nyawanya untuk melindungimu. Dia mengorbankan dirinya ditabrak mobil demi menyelamatkan kamu, kan?" Apa? Dari mana informasi itu dia dapatkan? Sejak kapan Arfan meninggal karena menyelamatkan aku? Yang ada, sahabatku itu meninggal karena insiden kecelakaan yang sudah diatur oleh orang suruhan Mama Salwa. Dan itu semua karena kamu, Mas. Tak ada gunanya membantah, Mas Ammar tidak akan percaya. Dan aku memilih diam. Percuma menjelaskan pada orang yang menolak kebenaran. "Kenapa diam? Kamu mengakuinya," "Arfan sudah tidak ada. Tolong jangan lagi membawa namanya dalam masalah kita. Apapun yang terjadi antara aku dan dia, biar menjadi urusanku dengannya." "Sok bijak," celetuknya. Tak ingin berdebat lebih lama lagi, kuputuskan untuk meninggalkan Mas Ammar. Namun baru akan melangkah Mas Ammar mencekal lenganku. "Aku belum selesai bicara," katanya dengan mata melotot dan rahang mengeras. "Apa lagi, Mas? Dari tadi sudah aku jelaskan, aku tidak melakukan semua yang kamu tuduhkan. Jika tidak percaya pergi temui Mama Rosa dan tanyakan langsung padanya." Kutepis kasar tangan Mas Ammar dan segera berlari menuju tangga. "Ana berhenti," teriaknya namun tak kuhiraukan. Kupercepat langkahku menapaki anak tangga. Aku benar-benar lelah dengan semua ini. Jika boleh aku ingin menyerah dan mengikuti Arfan ke alam baka. "Renjana Zuhayra, aku bilang berhenti!!" teriakan itu semakin keras. Tiba-tiba sebuah tangan menarik lenganku dari belakang. Karena kaget aku kehilangan keseimbangan dan tubuhku pun oleng. Kakiku terpeleset sehingga aku terjatuh menggelinding ke bawah. "Akh...." Dugh..... Sesuatu yang keras membentur kepalaku membuat salah satu anggota tubuhku itu berdenyut nyeri dan pandanganku kabur. Rasanya sakit sekali,... Untuk beberapa detik aku masih bisa melihat Mas Ammar yang berdiri mematung sambil menatapku dingin. Detik berikutnya semuanya menjadi gelap. Dan hanya terdengar suara teriakan wanita memanggil namaku yang semakin lama suara itu semakin mengecil dan berganti kesunyian.Pesta ulang tahu Ayu berjalan dengan sangat meriah. Bocah yang sudah genap empat tahun itu terlihat cantik dengan gaun ala princess favoritnya. Sepanjang acara senyum ceria tak lepas dari wajah cantik dan menggemaskan itu. Melihat itu Ammar merasa sangat bahagia, usahanya untuk menyenangkan hati putrinya tidak sia-sia. Terlihat dari tawa sang putri menunjukkan bahwa gadis kecil itu menyukai pesta ulang tahun yang dibuatkan oleh papanya. Ammar tidak hanya mengundang teman sekolah Ayu yang sekarang taoi juha mendatangkan teman-teman Ayu di sekolah lama. Tangis bocah itu pun pecah saat melihat, Aisyah sahabatnya di sekolah lama hadir di pesta ulang tahunnya. . "Aisyah.... aku rindu kamu," ucap Ayu memeluk sahabatnya itu sambil menangis. "Aku juga kangen sama kamu, Ayu." Aisyah balas memeluk erat Dahayu. Renjana yang melihat itu jadi ikut terharu, dipeluknya erat lengan Ammar untuk meluapkan rasa harunya. "Makasih ya Mas, sudah membuat Ayu bahagia," bisiknya. Ammar meng
Sesuai rencana, hari ini pesta ulang tahun Dahayu dilaksanakan di sebuah hotel mewah di ibukota. Sejak sehari sebelumnya Ammar memboyong keluarganya untuk menginap di hotel. Ammar mengundang semua kerabat dari dua keluarganya, juga semua kolega bisnis dan teman-teman kuliahnya dulu. Rencana pesta akan dilakukan dalam dua sesi. Pertama, ulang tahun Ayu yang dilaksanakan pukul 10 sampai pukul satu siang dengan tema outdoor. Acara itu mengundang semua teman sekolah Ayu, kerabat dan teman Ammar juga Renjana yang memiliki anak dibawah sepuluh tahun. Lalu, sesi kedua adalah resepsi pernikahan juga sebagai pengakuan bahwa dirinya sudah menikahi Renjana lima tahun lalu. Acara ini akan dilaksanakan pukul tujuh malam sampai pukul 11 malam. Pukul sembilan pagi nampak Gio bersama Arya sedang menemui para pemburu berita yangs udah menunggu sejak pagi di lobby hotel. "Saya Ergio Narendra Fahrezi, perwakilan dari kedua keluarga meminta maaf karena tidak bisa mengizinkan kalian masuk.
Setelah pengakuan Raline, hari itu juga Samudra dibebaskan. Maliq bergegas menjemput putra keduanya itu setelah mendapat kabar dari pengacaranya. "Kamu harus berterima kasih pada Ana, ini semua berkat kecerdikannya sehingga Raline mengakui perbuatannya," ucap Maliq saat mereka dalam perjalanan pulang dari kantor polisi. Samudra hanya diam, pandangannya lurus kedepan. "Sampai rumah makanlah, Mamamu sudah menyiapkan makanan kesukaanmu. Jangan buat Mamamu kecewa!" tambah Maliq. Kali ini Samudra mendengus kasar, meski begitu mulutnya masih terkunci rapat. Kurang sari satu jam mobil berhenti di halaman kediaman keluarga Zafier. Baru saja Samudra turun dari mobil saat pintu rumah mewah itu terbuka. Nampak Rosa berlari keluar untuk menyambut kepulangan putra keduanya itu. Dengan rasa haru istri Maliq itu memeluk putranya. Tangisnya pecah namun segera ditenangkan oleh suaminya. "Sudah, sudah jangan menangis! Semua sudah selesai dan ini akan jadi pelajaran untuk kita semua,"
"Katakan pada temanmu, suruh dia merubah pengakuannya. Kalau Samudra yang memerintahkan dia meracuni putriku. Aku ingin Samudra dipenjara seumur hidup. Kalau kamu bisa melakukannya, aku akan memberikan uang yang cukup banyak untuk kamu pergi ke luar negeri, Bagaimana?" Kedua mata Raline membelalak, ada raut keterkejutan di wajah cantik yang terlihat kusut itu. "Maksudmu?" "Apa kalimatku kurang jelas?" Renjana memajukan tubuhnya, lalu berbisik. "Aku ingin Samudra dipenjara," "Tidak mungkin!!" Raline menggelengkan kepalanya tak percaya. "Ini tidak mungkin. Kamu bukan orang seperti itu. Pasti kamu sedang menipuku," Renjana menegakkan tubuhnya, melipat kedua tangannya di depan dada lalu tersenyum tipis. "Waktu bisa merubah seseorang, termasuk aku." "Tidak. Ammar mungkin bisa berubah tapi kamu tidak mungkin," Raline kembali menggelengkan kepalanya. Wanita itu mengenal Renjana sudah sejak duduk di bangku sekolah, sehingga ia tahu betul seperti apa sifat wanita berhijab it
"Tentang permintaan orang tuaku, tolong kamu jangan salah faham," ucap Ammar pada Renjana. Wanita yang sedang memoleskan krim malam di wajahnya itu memandang Ammar yang duduk di atas tempat tidur lewat pantulan cermin dengan dahi berkerut. "Salah faham bagaimana, Mas?" ujarnya sambil melanjutkan mengusap wajahnya untuk meratakan krim malam ke seluruh wajah. "Ya... aku takut kamu berpikir kalau orang tuaku ingin melindungi Samudra, padahal sebenarnya mereka hanya ingin menyelidiki masalah ini sendiri tanpa melibatkan polisi. Bukan meragukan pihak berwajib, tapi menjaga agar kasus ini tidak terekspos media. Saat ini gosip sudah di luar kendali. Bahkan ada yang mengatakan aku dan Samudra sedang merebutkan warisan dan wanita. Ada juga yang memberitakan Samudra meracuni anakku yang lahir di luar nikah untuk mendapatkan warisan keluarga Zafier." Renjana mendesah berat, keluarga Zafier bukan keluarga sembarangan. Siapa yang tidak tahu salah satu pebisnis terkaya di negaranya itu.
"Kamu itu seorang dokter, tugasmu menyelamatkan orang. Bukan malah mencelakai orang, apalagi yang kamu celakai keponakanmu sendiri, dimana hati nuranimu?" omel Rosa saat datang menjenguk Samudra di kantor polisi. Sejak setengah jam yang lalu wanita itu menangis sambil memarahi putra keduanya itu. Air matanya tidak henti-hentinya membasahi wajah mulusnya yang masih terlihat kencang. Di sisinya Maliq menatap tajam Samudra, kecewa juga marah membuat pria itu enggan berbicara dan memilih diam. "Sampai hari ini Mama masih merasa bersalah dengan perbuatan Ammar di masalalu dan kamu malah mencelakai putrinya. Rasanya Mama sudah tidak punya muka ketemu mereka," sentaknya memukul lengan Samudra untuk melampiaskan kekesalannya. Dan reaksi Samudra hanya diam, sesekali menghela nafas panjang menunjukkan rasa jengah dan lelah yang menderanya. Bagaimana pria itu tidak. lelah, setiap kali datang ibunya itu selalu mengomel dan menuduhnya melaksanakan hal yang tidak dilakukannya. "Mama t