Di sana berdiri seorang pria tegap dengan aura wibawa. Tuan Mahesa, ayah mertuanya. Tubuhnya tegap, wajahnya profesional, namun senyum tipis yang muncul menyiratkan keramahan yang membuat Aurelia semakin gugup. Jantungnya berdetak kencang, tangan gemetar meski ia berusaha menahan diri.
Baskara menepuk bahu Aurelia dengan lembut. “Kau bisa menemuinya nanti. Jadi mari fokus dulu.”
Aurelia menelan ludah, lututnya sedikit lemas. Ia mengambil posisi duduk, membuka buku catatannya, dan menyiapkan pena. Setiap gerak-gerik Tuan Mahesa terasa seperti magnet yang menarik semua perhatian Aurelia, tapi ia harus menahan diri.
Rapat pun dimulai. Baskara dan Tuan Mahesa bergantian mempresentasikan gagasan mereka, menyampaikan strategi dan proyeksi bisnis dengan bahasa asing yang lugas dan penuh keyakinan. Aurelia mencatat setiap angka, setiap argumen, setiap catata
Getaran lirih di meja samping ranjang membuat Gian terjaga. Mata masih berat, digelayuti kantuk, namun cahaya layar ponsel Aurelia yang menyala terang di kegelapan kamar terlalu sulit diabaikan. Malam di Melbourne begitu sunyi, hanya dengung pendingin ruangan yang samar-samar terdengar. Dengan gerakan hati-hati agar tidak membangunkan istrinya yang tertidur pulas dalam pelukan, Gian memeluk tubuh, lalu melirik ke arah layar.Pesan singkat terpampang jelas.[Jangan lupa besok ketemu jam 9 ya. Pastikan kamu juga sudah sarapan.]Alis Gian berkerut. Kalimat itu sekilas terdengar biasa saja, tapi satu kata sederhana— sarapan —membuat dadanya panas. Ada nuansa yang terlalu familiar, terlalu pribadi, seperti seseorang yang sudah lama mengetahui kebiasaan kecil Aurelia. Nafasnya tiba-tiba berat, dada sesak seolah ditindih
Udara malam Melbourne menyusup lewat celah tirai yang tidak tertutup rapat. Hembusannya dingin, menyusup masuk hingga membuat lampu meja yang redup bergetar halus karena gorden tipis bergoyang. Di luar sana, lampu kota berkelip seperti permata jauh di bawah, tetapi suasana di dalam kamar hotel justru penuh dengan sisa ketegangan yang belum sepenuhnya hilang.“Aku mana tahu kalau kau mengenal Baskara. Salahku lagi?” sentak Aurelia dengan nada tinggi. Suaranya memecah keheningan, bagai belati yang melesat tepat ke dada Gian.Gian menegang. Rahangnya mengeras, otot-otot wajahnya kaku, namun perlahan ekspresinya melunak. Ada kelelahan sekaligus penyesalan yang tampak di matanya. “Maaf,” katanya akhirnya, suara rendah itu terdengar tulus. “Aku tidak bermaksud menyalahkanmu.”Aurelia menghela napas panjang, dadanya naik turun perlahan.
“Kita pergi dari sini atau aku akan membawamu secara paksa.”Kalimat tegas itu membuat Aurelia berdecak, meski jantungnya berdegup kencang. Ia tahu betul, Gian tidak pernah bermain-main dengan ancamannya. Mau tak mau, ia menghela napas panjang, pasrah.“Maaf ya, Bas. Kami pergi dulu,” katanya pada Baskara, suara lirihnya berusaha terdengar tenang.Pria itu hanya mengangguk sambil tersenyum tipis, seolah menikmati setiap ketegangan yang tercipta.Di sinilah Aurelia dan Gian sekarang. Mereka baru saja memasuki salah satu kamar hotel mewah di sekitaran CBD Melbourne. Ruangan modern dengan nuansa hangat, lampu redup, dan balkon menghadap kota yang berkilau. Namun, suasana hati Aurelia jauh dari kata hangat.“Sebentar lagi makanan kita akan datang. Apa kau ingin tambahan lagi?” tanya Gian setelah pintu kamar tertutup rapat.Aurelia menggeleng, duduk di ujung sofa dengan wajah kusut. “Kenapa harus ke sini
Pelukan itu seharusnya mampu menenangkan hati Aurelia. Seharusnya bisa meredakan semua keraguan yang berputar di kepalanya. Namun, kenyataannya berbeda. Tubuhnya memang merasakan hangat, tetapi hatinya justru terasa dingin. Ia terdiam, membeku di dalam dekapan Gian yang begitu erat. Aroma lavender yang ia semprotkan pagi tadi kini memenuhi indera penciuman Gian, seolah mengunci semua kerinduan yang telah lama ia pendam.Namun, justru pada detik itulah Aurelia merasakan sesuatu yang retak. Dengan perlahan, ia mendorong dada Gian hingga jarak di antara mereka tercipta kembali. Matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar menahan kata-kata.“Kenapa… kenapa kau kemari?” tanyanya lirih, tapi penuh getaran.Gian menelan ludah, rahangnya mengeras. Ia ingin menjawab, tetapi lidahnya terasa kelu. Dari tatapan Aurelia dirinya tahu betul bahwa istrinya itu senang, tetapi ada perasaan gelisah yang berusaha ditutupi sekuat mungkin.Aurelia tersenyum geti
Aurelia membeku di tempat. Jantungnya serasa berhenti berdetak ketika matanya menangkap sosok yang sama sekali tak ia sangka akan hadir di acara sebesar Melbourne Fashion ini.Gian. Ya, suaminya sendiri. Tepat di samping Gian, berdiri Devina—kakak kandungnya.Seketika tubuh Aurelia kaku. Tak sanggup ia menyembunyikan keterkejutannya. Kehadiran dua orang yang sangat dekat dengannya itu dalam satu waktu, satu ruang, membuat kepalanya berputar. Kenapa mereka bisa ada di sini? Pertanyaan itu menyesakkan dadanya.Sementara itu, Gian sama terkejutnya. Ia tak pernah membayangkan kalau Aurelia akan hadir di pertemuan bisnis semacam ini. Bukankah istrinya itu sedang sibuk mengikuti program persiapan belajar bahasa Inggris di kota ini? Begitu pikirnya. Namun kini, kenyataan di depan mata membuat kepalanya semakin berat. Terlebih k
“Bas, aku gugup,” cicit Aurelia, suaranya nyaris bergetar, seperti tangis yang tertahan di tenggorokan.Baskara, yang berdiri di sampingnya dengan tubuh tegap, hanya terkekeh kecil. Ada ketenangan dalam sorot matanya—tatapan teduh yang seolah mampu menyalurkan rasa percaya diri. Ia lalu meraih tangan Aurelia, menggenggamnya erat, lembut, sekaligus meneguhkan. “I trust you,” ujarnya pelan, penuh keyakinan. “Ingatlah, ini akan jadi momen berharga dalam hidupmu.”Aurelia memberengut, pipinya merona merah, campuran antara malu dan tegang. Ia menunduk sedikit, seakan berusaha menyembunyikan wajahnya. “Jangan bilang begitu,” rengeknya. “Kalau nanti aku hanya mempermalukanmu, bagaimana?”Baskara mengangkat bahu dengan enteng, senyumnya tipis tapi penuh wibawa. “Biarkan saja. Semua orang ada masanya. Semua masa ada orangnya. Tidak sela