LOGIN"Aku ingin bertanya," suara Gian pelan tapi tegas. "Kau sedang mencoba... menyenangkan siapa di sini?"
Aurelia tertegun. Bibirnya membuka, namun tak ada suara yang keluar.
Nyonya Lestari melipat tangan lebih erat di dadanya lalu berujar lantang, "Tentu bukan aku yang merasa senang, Gian."
Hening sesaat mengisi ruang.
Tapi sebelum siapa pun sempat menambahkan sesuatu, Gian melangkah mendekat—perlahan, tanpa suara berlebihan. Tatapannya tetap menusuk, kali ini hanya tertuju pada satu orang.
"Aku tidak menyuruhmu memasak. Aku tidak meminta apa-apa," katanya.
Aurelia menggigit bibirnya, nyaris menunduk.
Namun yang mengejutkan, Gian justru mengambil lap, lalu mengusap permukaan meja yang berantakan. Pelan. Diam-diam. Hanya sekali, lalu ia menoleh pada ibunya.
"Ia baru sampai hari ini. Kalau kesalahan kecil saja sudah kau besar-besarkan, mungkin rumah ini memang terlalu keras untuk siapa pun."
Nyonya Lestari menegang. "Kau membelanya?"
Gian tidak menjawab.
Ia hanya menatap ibunya selama beberapa detik yang terasa panjang. Lalu, tanpa berkata-kata, ia meletakkan lap di meja dan berbalik pergi.
Langkah-langkahnya berat, bergaung pelan di antara ubin marmer yang dingin. Tapi sebelum benar-benar menghilang dari ambang pintu, ia berhenti sejenak dan menoleh setengah ke arah Aurelia.
“Kalau kau masih ingin mencoba,” katanya pelan, “mulailah dari sesuatu yang tidak berisiko membakar rumah.”
Setelah itu, ia pergi, meninggalkan keheningan yang menggantung seperti kabut.
Nyonya Lestari mendengus. “Lihat? Dia bahkan mengasihanimu.”
Aurelia tidak menjawab. Tapi di balik rasa malu yang membakar pipinya, ada sedikit ruang dalam hatinya yang terasa... lega. Bukan karena Gian membelanya. Tapi karena Gian tidak serta-merta menghakiminya.
Ia menatap sisa kekacauan di dapur. Tangannya gemetar saat mulai mengelap meja. Tapi kali ini, ia tidak merasa sepenuhnya kalah.
Malam itu, Aurelia kembali ke kamar dengan tubuh lelah dan bau minyak goreng yang masih menempel samar di rambutnya. Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap jendela yang memantulkan bayangan samar dirinya sendiri. Rumah ini sunyi. Terlalu sunyi. Tapi entah mengapa, ucapan Gian tadi terngiang terus di telinganya.
Kalau kau masih ingin mencoba...
Hanya satu kalimat, tapi terasa seperti izin untuk bernapas.
Aurelia membuka koper kecil yang tersisa, menarik secarik buku catatan kecil. Di dalamnya, ia mencatat satu hal:
Belajar memasak—mulai dari telur dadar.
Keesokan paginya, Gian turun lebih awal dari biasanya. Ia hendak berangkat kerja dan sudah mengenakan jas hitam rapi, dasi abu-abu, dan wajah tanpa ekspresi seperti biasa. Tapi saat ia melintasi ruang makan, langkahnya melambat.
Ada segelas susu di meja. Sepiring roti panggang. Dan... telur dadar.
Bentuknya tidak terlalu bagus. Pinggirannya gosong. Tapi ada usaha di sana.
Aurelia berdiri di dekat meja, kedua tangannya di belakang punggung, menanti dengan gugup. Ia mengenakan blouse sederhana dan celana panjang, wajahnya polos tanpa riasan.
“Aku... mencoba memasak sarapan sederhana,” ujarnya pelan. “Tidak akan membakar apa pun hari ini.”
Gian menatapnya lama. Kemudian ia duduk. Mengambil garpu. Menyendok sepotong kecil telur itu, mengunyah pelan.
Ia tidak memuji. Tidak juga mengeluh. Tapi ia menghabiskan semuanya. Bahkan roti yang sudah agak dingin.
“Terima kasih,” katanya singkat.
Dada Aurelia berdesir pelan.
Setelah Gian pergi, pelayan yang sejak tadi mengintip dari balik dinding tersenyum kecil pada Aurelia. “Itu pertama kalinya Tuan Gian duduk untuk sarapan sejak lama.”
Aurelia menoleh, tertegun. “Benarkah?”
Pelayan itu mengangguk. “Biasanya Tuan hanya ambil kopi lalu pergi. Tapi tadi... Tuan makan dengan tenang.”
Aurelia memandang ke arah kursi kosong di meja makan. Wajah Gian yang dingin memang tidak pernah menunjukkan apa-apa. Tapi pagi ini... sedikit celah seperti terbuka. Sedikit.
Rumah ini masih seperti labirin yang penuh lorong dingin dan rahasia yang tak bisa disentuh. Tapi pagi ini, seolah salah satu pintunya mengintip balik.
Malam mulai turun saat Aurelia menutup pintu kamarnya. Hari ini terasa begitu panjang. Ia belum banyak tahu tentang Gian, tentang rumah ini, atau tentang dirinya sendiri dalam peran sebagai istri. Tapi hari ini—untuk pertama kalinya—ia merasa sedikit diakui keberadaannya.
Ia duduk di pinggir tempat tidur, menatap lengkung cahaya lampu di plafon tinggi. Kemudian membuka jendela perlahan. Angin malam menyusup masuk, membawa aroma hujan sisa sore tadi.
Saat itu juga, pandangannya tertumbuk pada halaman belakang yang temaram.
Gian berdiri di sana. Sendiri. Di dekat gazebo kecil berlampu remang. Kepalanya menengadah sedikit, menatap langit seolah mencari sesuatu yang tak terlihat. Jasnya ia lepaskan, hanya mengenakan kemeja putih dan celana panjang. Cahaya lampu menyorot sebagian wajahnya—dan untuk sesaat, Aurelia melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Bukan kemarahan. Bukan ketegasan.
Tapi... kehampaan.
Dan saat Gian perlahan menoleh ke arah jendela lantai dua—tempat Aurelia berdiri—mata mereka bertemu. Tak lama. Tak cukup untuk disebut tatapan. Tapi cukup untuk membuat jantung Aurelia tercekat. Karena dalam sepasang mata itu, ia tak hanya melihat dingin. Ia melihat luka.
Entah jam berapa sekarang, hari masih gelap. Namun, getar notifikasi dari ponselnya membuat gadis itu terbangun. Suara hujan sudah berhenti sejak lama, menyisakan embun tipis di kaca jendela.
Aurelia mengucek mata, lalu meraih ponsel di nakas. Layarnya menyala, menampilkan satu notifikasi email yang tertulis jelas:
[Jadwal Pendaftaran Ulang Mahasiswa Baru Program Magister – Fakultas Psikologi, Universitas—]
Jari-jarinya membeku. Nafasnya tersendat. Ia melupakan sesuatu yang sangat penting ternyata.]
"Tidak! Ini naga milik Kakak! Genta mengambil milik Kakak!""Tidak! Milikku! Aku yang mengambilnya lebih dulu!" Teriakan nyaring khas anak-anak berusia pra-sekolah mengisi ruang keluarga yang dipenuhi cahaya senja. Aurelia, yang tengah duduk di sofa dengan laptop di pangkuan, tersenyum geli. Rasa lelah seharian mengajar dan melakukan riset seolah terhapus oleh kegaduhan yang hangat ini. Di karpet berbulu tebal, Anya dengan kuncir dua yang sudah agak berantakan berusaha sekuat tenaga menarik boneka naga hijau dari adiknya, Genta Alvaro Mahesa yang masih berusia dua tahunan. Bocah dengan wajah gembul dan pipi basah itu melawan dengan gigih, suaranya tercekat menahan tangis."Anya, Genta! Berbagi ya," tegur Aurelia lembut."Tetapi Genta tidak mau, Ma! Genta curang!" protes Anya, nyaris terisak.Aurelia menghela n
Gian yang tak sabaran dengan jawaban Aurelia lekas menghampiri istrinya itu.Mempelai wanita: Malika Wibisono, Ph.D.Mempelai pria: Dr. Daniel Pradipta. (Direktur Utama Rumah Sakit Hasan Solihin Bandung). Aurelia ternganga. Gian, yang sudah membungkuk untuk mengambil, ikut membaca nama itu dan mengangkat alisnya tinggi-tinggi."Profesor Malika?" seru Gian, terkejut. "Dosen pembimbingmu yang galak itu? Menikah?"Nyonya Lestari segera mendekat. "Siapa? Dosenmu? Ya ampun! Ini namanya takdir. Dia menemukan jodoh di usia matang. Siapa nama suaminya? Direktur rumah sakit? Bagus sekali, Lia! Kau harus datang!"Bu Mirna hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Syukurlah kalau Profesor itu bahagia. Semua orang berhak bahagia." Aurelia tertaw
Kediaman keluarga Mahesa ramai bukan kepalang. Sebulan setelah kelahiran Anya, acara tasyakuran digelar dengan meriah. Nyonya Lestari, tentu saja, tidak bisa menahan diri. Meski awalnya dijanjikan sederhana, nyatanya taman belakang disulap dengan dekorasi bunga pastel, puluhan tamu kolega dan kerabat hadir, dan aroma kambing guling serta puluhan menu katering lainnya menguar di udara. Di kamar tamu utama, yang disulap menjadi markas ibu dan bayi, suasananya jauh lebih tenang. Aurelia duduk di tepi ranjang, lelah namun bahagia, mengamati putrinya yang tertidur pulas di dalam boks bayi kayu yang dihias kelambu. Anya terbungkus bedong merah muda lembut, tampak tak terganggu oleh keriuhan di luar."Dia benar-benar cucu Oma," bisik Nyonya Lestari yang baru saja masuk. Ia menatap Anya dengan bangga. "Lihat, tidur saja anteng. Tahu kalau lagi a
"Gian! Yang ini... yang ini beda!" Teriakan tertahan Aurelia di tengah malam buta itu menyentak Gian dari tidurnya. Ia langsung terduduk, jantungnya berdebar kencang. "Beda? Beda bagaimana? Apa sakitnya berlebihan?”Aurelia mencengkeram sprei, wajahnya pucat pasi di bawah cahaya lampu tidur. "Bukan... ini... Aduh!" Ia terdiam, mengatur napasnya persis seperti yang ia latih. "Bukan kram... ini... gelombang. Dan barusan... aku merasa ada yang 'pecah'."Gian melompat dari tempat tidur. "Pecah? Air ketuban? Oke! Oke! Tas!" Dalam lima menit, rumah yang hening itu berubah menjadi pusat komando yang panik namun teratur. Gian menyambar tas rumah sakit yang sudah dua minggu siaga di sudut kamar, membantu Aurelia mengenakan jubah paling nyaman, dan menuntunnya ke lift."Jaraknya berapa?" tanya Gian, berusaha terdengar te
Profesor Malika menatap lurus ke kamera. "Dewan penguji telah memutuskan bahwa tesis Anda yang berjudul 'Resiliensi Psikologis pada Perempuan yang Mengalami Kehilangan Janin Saat Hamil' dinyatakan... LULUS dengan revisi minor."Waktu seolah berhenti. Aurelia mengerjap, otaknya mencoba memproses kata "LULUS". Lalu, sebuah pekikan tertahan datang dari belakangnya. Gian melompat dari kursinya, menerjang Aurelia, dan memeluknya erat dari samping, mengangkat kursi kerjanya sedikit dari lantai."KAU BERHASIL, LIA! BERHASIL!" seru Gian, menciumi pelipis istrinya berkali-kali."Gian... aku tidak bisa napas..." tawa Aurelia pecah bercampur air mata. Ia akhirnya berhasil. Ia merosot dalam pelukan Gian, membiarkan semua ketegangan selama seminggu terakhir, bahkan setahun terakhir meleleh begitu saja.Di layar, para profesor tersenyum simpul, maklum melihat ledakan kebahagiaan itu."Sela
Aurelia tidak menjawab. Matanya terpaku pada layar ponsel, membaca sebaris subjek email yang membuat darah seolah surut dari wajahnya. Jantungnya yang tadi terasa ringan, kini berdebar kencang dengan ritme yang salah."Lia?" Gian menyentuh bahunya, mengintip layar ponsel di tangan istrinya."Ya Tuhan," bisik Aurelia. Gian merebut ponsel itu dengan lembut. Ia membaca isinya dengan cepat. Komite akademik telah meninjau draf final yang Aurelia kirimkan dua minggu dan mereka telah menetapkan keputusan yang akan menjadi saat yang menegangkan bagi sang istri tercinta."Selasa... pekan depan?" Suara Aurelia bergetar. Ia menatap kamar bayi yang baru setengah jadi itu. Ranjang bayi, dinding krem, mobile bintang-bintang. Semua terasa seperti mimpi yang jauh."Hei," Gian memegang kedua bahu Aurelia, memaksanya berbalik







