Share

4. Kau Membelanya?

Author: A mum to be
last update Last Updated: 2025-06-22 16:09:09

"Aku ingin bertanya," suara Gian pelan tapi tegas. "Kau sedang mencoba... menyenangkan siapa di sini?"

Aurelia tertegun. Bibirnya membuka, namun tak ada suara yang keluar.

Nyonya Lestari melipat tangan lebih erat di dadanya lalu berujar lantang, "Tentu bukan aku yang merasa senang, Gian."

Hening sesaat mengisi ruang.

Tapi sebelum siapa pun sempat menambahkan sesuatu, Gian melangkah mendekat—perlahan, tanpa suara berlebihan. Tatapannya tetap menusuk, kali ini hanya tertuju pada satu orang.

"Aku tidak menyuruhmu memasak. Aku tidak meminta apa-apa," katanya.

Aurelia menggigit bibirnya, nyaris menunduk.

Namun yang mengejutkan, Gian justru mengambil lap, lalu mengusap permukaan meja yang berantakan. Pelan. Diam-diam. Hanya sekali, lalu ia menoleh pada ibunya.

"Ia baru sampai hari ini. Kalau kesalahan kecil saja sudah kau besar-besarkan, mungkin rumah ini memang terlalu keras untuk siapa pun."

Nyonya Lestari menegang. "Kau membelanya?"

Gian tidak menjawab.

Ia hanya menatap ibunya selama beberapa detik yang terasa panjang. Lalu, tanpa berkata-kata, ia meletakkan lap di meja dan berbalik pergi.

Langkah-langkahnya berat, bergaung pelan di antara ubin marmer yang dingin. Tapi sebelum benar-benar menghilang dari ambang pintu, ia berhenti sejenak dan menoleh setengah ke arah Aurelia.

“Kalau kau masih ingin mencoba,” katanya pelan, “mulailah dari sesuatu yang tidak berisiko membakar rumah.”

Setelah itu, ia pergi, meninggalkan keheningan yang menggantung seperti kabut.

Nyonya Lestari mendengus. “Lihat? Dia bahkan mengasihanimu.”

Aurelia tidak menjawab. Tapi di balik rasa malu yang membakar pipinya, ada sedikit ruang dalam hatinya yang terasa... lega. Bukan karena Gian membelanya. Tapi karena Gian tidak serta-merta menghakiminya.

Ia menatap sisa kekacauan di dapur. Tangannya gemetar saat mulai mengelap meja. Tapi kali ini, ia tidak merasa sepenuhnya kalah.

Malam itu, Aurelia kembali ke kamar dengan tubuh lelah dan bau minyak goreng yang masih menempel samar di rambutnya. Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap jendela yang memantulkan bayangan samar dirinya sendiri. Rumah ini sunyi. Terlalu sunyi. Tapi entah mengapa, ucapan Gian tadi terngiang terus di telinganya.

Kalau kau masih ingin mencoba...

Hanya satu kalimat, tapi terasa seperti izin untuk bernapas.

Aurelia membuka koper kecil yang tersisa, menarik secarik buku catatan kecil. Di dalamnya, ia mencatat satu hal:

Belajar memasak—mulai dari telur dadar.

Keesokan paginya, Gian turun lebih awal dari biasanya. Ia hendak berangkat kerja dan sudah mengenakan jas hitam rapi, dasi abu-abu, dan wajah tanpa ekspresi seperti biasa. Tapi saat ia melintasi ruang makan, langkahnya melambat.

Ada segelas susu di meja. Sepiring roti panggang. Dan... telur dadar.

Bentuknya tidak terlalu bagus. Pinggirannya gosong. Tapi ada usaha di sana.

Aurelia berdiri di dekat meja, kedua tangannya di belakang punggung, menanti dengan gugup. Ia mengenakan blouse sederhana dan celana panjang, wajahnya polos tanpa riasan.

“Aku... mencoba memasak sarapan sederhana,” ujarnya pelan. “Tidak akan membakar apa pun hari ini.”

Gian menatapnya lama. Kemudian ia duduk. Mengambil garpu. Menyendok sepotong kecil telur itu, mengunyah pelan.

Ia tidak memuji. Tidak juga mengeluh. Tapi ia menghabiskan semuanya. Bahkan roti yang sudah agak dingin.

“Terima kasih,” katanya singkat.

Dada Aurelia berdesir pelan.

Setelah Gian pergi, pelayan yang sejak tadi mengintip dari balik dinding tersenyum kecil pada Aurelia. “Itu pertama kalinya Tuan Gian duduk untuk sarapan sejak lama.”

Aurelia menoleh, tertegun. “Benarkah?”

Pelayan itu mengangguk. “Biasanya Tuan hanya ambil kopi lalu pergi. Tapi tadi... Tuan makan dengan tenang.”

Aurelia memandang ke arah kursi kosong di meja makan. Wajah Gian yang dingin memang tidak pernah menunjukkan apa-apa. Tapi pagi ini... sedikit celah seperti terbuka. Sedikit.

Rumah ini masih seperti labirin yang penuh lorong dingin dan rahasia yang tak bisa disentuh. Tapi pagi ini, seolah salah satu pintunya mengintip balik.

Malam mulai turun saat Aurelia menutup pintu kamarnya. Hari ini terasa begitu panjang. Ia belum banyak tahu tentang Gian, tentang rumah ini, atau tentang dirinya sendiri dalam peran sebagai istri. Tapi hari ini—untuk pertama kalinya—ia merasa sedikit diakui keberadaannya.

Ia duduk di pinggir tempat tidur, menatap lengkung cahaya lampu di plafon tinggi. Kemudian membuka jendela perlahan. Angin malam menyusup masuk, membawa aroma hujan sisa sore tadi.

Saat itu juga, pandangannya tertumbuk pada halaman belakang yang temaram.

Gian berdiri di sana. Sendiri. Di dekat gazebo kecil berlampu remang. Kepalanya menengadah sedikit, menatap langit seolah mencari sesuatu yang tak terlihat. Jasnya ia lepaskan, hanya mengenakan kemeja putih dan celana panjang. Cahaya lampu menyorot sebagian wajahnya—dan untuk sesaat, Aurelia melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Bukan kemarahan. Bukan ketegasan.

Tapi... kehampaan.

Dan saat Gian perlahan menoleh ke arah jendela lantai dua—tempat Aurelia berdiri—mata mereka bertemu. Tak lama. Tak cukup untuk disebut tatapan. Tapi cukup untuk membuat jantung Aurelia tercekat. Karena dalam sepasang mata itu, ia tak hanya melihat dingin. Ia melihat luka.

Entah jam berapa sekarang, hari masih gelap. Namun, getar notifikasi dari ponselnya membuat gadis itu terbangun. Suara hujan sudah berhenti sejak lama, menyisakan embun tipis di kaca jendela.

Aurelia mengucek mata, lalu meraih ponsel di nakas. Layarnya menyala, menampilkan satu notifikasi email yang tertulis jelas:

[Jadwal Pendaftaran Ulang Mahasiswa Baru Program Magister – Fakultas Psikologi, Universitas—]

Jari-jarinya membeku. Nafasnya tersendat. Ia melupakan sesuatu yang sangat penting ternyata.]

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   30. Lebih Dekat

    Suara tamparan itu memecah keheningan ruangan. Bahkan jarum jam pun seolah berhenti berdetak. Gian bergeming. Kepalanya menoleh pelan akibat dorongan tangan sang ibu, namun sorot matanya tetap teguh—dingin dan nyala.Aurelia menutup mulutnya, tubuhnya gemetar menyaksikan langsung sebuah batas yang akhirnya dilanggar: Nyonya Lestari menampar anak kandungnya sendiri.Wajah Gian perlahan kembali menatap ibunya. Rahangnya mengeras, tapi ekspresinya tak berubah. Tidak marah. Tidak murka. Hanya... kecewa. Dalam dan memuakkan."Jangan bandingkan istriku dengan masa lalu yang bahkan Ibu sendiri tak sanggup hadapi," katanya tenang, namun dengan tekanan yang membuat napas di dada Aurelia tercekat.Nyonya Lestari membeku. Untuk sesaat, kekuasaan yang biasa mengelilingi tubuhnya, seolah runtuh.

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   29. Memalukan!!

    “Ibu sudah di depan.”Kalimat itu diucapkan Gian dengan nada datar, namun efeknya menghantam jantung Aurelia seperti palu godam. Ia memandang suaminya dengan wajah panik, sementara tangan gemetarnya refleks mencengkeram sisi meja dapur.“Sekarang?” bisiknya dengan suara tercekat.Gian memutar malas bola matanya, seperti sudah tahu akan seperti apa percakapan berikutnya, lalu menyudahi panggilan tadi tanpa menanggapi lebih lanjut.“Ya,” katanya tenang, sebelum melangkah menuju pintu utama.Aurelia nyaris terpeleset saat mengikuti dari belakang. Ia belum siap. Tidak untuk ini. Tidak untuk menghadapi sang mertua dalam kondisi dirinya yang baru saja pulih dari gosip liar dan pengakuan publik tentang status pernikahannya.

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   28. Viral

    “Bohong!”“Aku serius. Aku memang masih ada kegiatan di sini,” kata Gian santai, sambil meremas lembut kemasan susu kotak kosong dan memasukkannya ke kantong plastik di dashboard.Aurelia memutar wajah. “Kegiatan apalagi? Jangan bilang—”“Workshop,” potong Gian.Aurelia mengerutkan dahi. “Di jurusan mana? Semester berapa?”“Ekonomi. Semester akhir. Sarjana,” jawabnya pelan. “Aku jadi pemateri.”“…HAH?!”Gian menoleh. “Kenapa teriak?”“Ya ampun, kau tuh...” Aurelia memejamkan mata sejenak, lalu menatap Gian seolah ingin memukul udara di sekitarnya. “Kenapa kau nggak bilang dari tadi?”“Karena kau keburu sok galak duluan.”Aurelia menghela napas panjang. “Jadi, semua orang bakalan lihat dirimu di atas panggung. Mereka makin yakin aku—”&

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   27. Istri Gian

    “Jangan diam saja! Cepat jawab, Aurelia Seraphine Alinda!!” Suara Pak Luhut membuat Aurelia meringis ngeri. Terlebih kumis tebal pria usia 50 tahunan itu tampak bergerak naik turun. Mirip sekali dengan suami pedangdut Inul Daratista rupanya. Hingga kemudian dia menarik napas lalu berbicara dengan suara yang amat pelan.“Pak… maksudnya apa?” suaranya nyaris hilang, nyaris pecah. Ada luka dalam nada bicaranya—luka yang ditusuk sebelum diberi kesempatan untuk menjelaskan.Pak Luhut membuka map tugas dan melemparkannya ke atas meja. “Saya tanya baik-baik, Aurelia. Benarkah gosip yang beredar?”“Gosip apa, Pak?”“Kau tahu persis. Tidak perlu berpura-pura. Dalam sehari ini saja, saya dapat lebih dari lima laporan tak resmi tentangmu.”Aurelia menahan napas. “Kalau yang Bapak maksud soal... rumor sugar ba

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   26. Sugar Baby??

    “Kau masih bertanya setelah apa yang aku lakukan padaku?”Nada suara Gian melesat seperti cambuk. Tatapannya menusuk, dan senyum miring di wajahnya terlihat hambar, bahkan menyakitkan. Ia menatap Aurelia dengan sorot mata yang tak bisa dibaca, antara kecewa, lelah, dan... kesal.“Benar-benar, kau ini.” Suara tawanya lirih, hambar, penuh letih. Lalu tanpa menunggu respons dari istrinya, Gian berbalik dan berjalan cepat menuju kamar mandi.Aurelia tetap berdiri di ambang pintu, memeluk dirinya sendiri. Bibirnya mengerucut, matanya berkaca-kaca. Untuk sesaat, ia menatap tempat Gian berdiri tadi, lalu menarik napas panjang. Ia tahu, malam ini tidak akan ada kehangatan. Tidak juga pengertian.Keesokan paginya, matahari baru menyentuh tepian langit saat Aurelia membuka mata. Badannya masih terasa letih, tapi pikirannya sudah dipenuhi dengan satu tujuan: meminta maaf.Dia merasa bersalah. Cara bicaranya tadi malam—terlalu emo

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   25. Om-Om Itu..

    “Don, kok dibiarin sih! Si Lia bakalan diculik sama Om-Om!!”Suara itu berasal dari salah satu teman Aurelia yang masih tertawa-tawa sambil memeluk botol soda dan menatap ke arah sudut ruang dansa, tempat Aurelia tengah diseret menjauh oleh seorang pria berwajah dingin.Doni yang sedari tadi mengawasi dengan gelisah langsung bangkit dari sofa panjang. Dia tahu persis siapa pria itu—dan bukan, dia bukan Om-Om aneh seperti yang dikira teman-temannya.Itu adalah seorang Gian Alvaro Mahesa, suami sah Aurelia. Mana mungkin dia menghalangi?“Don, kok diam aja sih??”Doni akhirnya bimbang ingin menjelaskan bagaimana. Terlebih saat Gian tampak mulai memanggul aurelia seperti karung beras. Hal itu membuat para temannya syok.Salah satu dari mereka menyeletuk, "Jangan bilang kalau Si Lia itu emang sugar baby.""Bisa jadi!" sahut yang lain. "Si Lia kan sering diantar jemput pake mobil. Terus dia bayar uang kuliah full. Cincinnya aja mehong.""Jangan sok tahu! jangan julid deh!" kata Doni menenga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status