"Dasar wanita matre!!"
Itu adalah umpatan pertama yang terlontar dari bibir Nyonya Lestari pagi sekarang. Nada suaranya menusuk, tajam seperti cambuk yang menghantam kulit telanjang. Aura rumah yang biasanya senyap kini dipenuhi ketegangan.
Aurelia hanya diam. Kepalanya tertunduk, wajahnya tak sanggup menatap siapa pun. Ia tahu kalimat itu bukan sekadar omelan kosong, namun sebuah penghakiman yang sudah ia bayangkan sebelumnya.
"Kuliah? S2? Baru saja kau masuk rumah ini sudah ingin kuliah? Apa berikutnya, hah? Minta mobil? Minta apartemen? Liburan ke luar negeri?"
Suara Nyonya Lestari meninggi, dan pelayan yang semula tengah membawa teh buru-buru mundur dari ruang makan. Gian duduk di ujung meja, menatap cangkirnya. Tak berkata sepatah kata pun.
"Saya tidak meminta apa-apa selain izin, Bu," jawab Aurelia pelan, nyaris tak terdengar. "Saya hanya ingin melanjutkan impian saya. Saya sudah diterima bahkan sebelum pernikahan ini terjadi."
"Ya tentu saja! Persis seperti yang kuduga. Kau terima lamaran ini demi memuluskan jalanmu. Menikahi Gian, lalu menunggangi nama Alvaro!"
Aurelia menggigit bibirnya. Matanya memanas, tapi ia menolak menangis.
"Saya tidak pernah berniat memanfaatkan siapa pun," katanya.
"Omong kosong! Kau pikir aku bodoh? Semua ini sudah kau rencanakan, kan? Anak perempuan dari keluarga kacau yang tiba-tiba dapat keberuntungan masuk keluarga ini. Lalu sekarang minta kuliah pakai uang siapa? Uang suamimu? Uang keluarga Alvaro?!"
Nyonya Lestari melirik anaknya sejenak. "Gian, lihatlah! Ini hasil keputusan gegabahmu! Aku menyesal karena kau memilih menikahi dia! Aku menyesal karena dia menjadi menantuku!"
Tak ada respons dari Gian. Tapi bahunya menegang.
Gian masih diam. Tangannya menggenggam sendok kecil yang tak ia gunakan. Matanya tak berpaling dari cangkir yang sudah dingin.
Nyonya Lestari lantas berdiri dari kursinya dengan gerakan cepat. "Sudahlah. Kepalaku jadi semakin pusing. Mendingan aku keluar. Arisan lebih baik daripada mendengar wanita licik sepertimu merengek minta dikuliahkan."
Langkahnya bergema di lantai marmer. Tak lama kemudian, suara pintu depan menutup keras. Keheningan menggantung di ruang makan, hanya disisakan dua orang—suami dan istri yang bahkan belum sempat saling mengenal.
Aurelia tetap berdiri di dekat meja. Matanya merah, tapi tak ada air mata. Ia menarik napas panjang, lalu memberanikan diri menggeser tempat duduknya ke arah Gian.
"Aku tidak ingin bertengkar. Tapi aku juga tidak mau menyerah pada mimpiku hanya karena orang lain berpikir aku mata duitan," katanya.
Gian mendongak perlahan. Sorot matanya datar, tapi bukan berarti kosong. Ada sesuatu yang berputar di balik diamnya.
"Aku bersedia bekerja keras di rumah ini. Aku bisa bersih-bersih, membereskan kamar, mengepel lantai, mencuci baju. Bahkan aku sedang belajar memasak," lanjut Aurelia. "Aku tak ingin hidup dari belas kasihan. Aku hanya ingin... diberikan kesempatan. Tolonglah!"
Masih tak ada respons. Gian hanya menatapnya tanpa ekspresi.
Aurelia menghela napas. "Aku akan mengurus rumah ini tanpa bantuan pelayan. Aku akan bangun pagi, menyapu halaman, mencuci pakaian—apa pun, asal aku bisa lanjut kuliah."
Gian menegakkan tubuhnya dan berdiri. Tapi ia tidak berkata sepatah kata pun. Hanya berjalan pelan ke ruang kerja.
Aurelia mengejarnya lalu berhenti saat melihat suami dingin dan kakunya itu menutup pintu rapat-rapat.
Sore hari pun tiba. Di ambang pintu ruang kerja yang didominasi rak buku dan pencahayaan hangat, Aurelia sudah berdiri diam. Menatap punggung suaminya yang lebar, kokoh, dan seperti dinding dingin yang tak tertembus. Senyumnya terulas tipis saat melihat ruangan tadi tak lagi tertutup.
"Gian... aku serius. Aku akan lakukan apa pun."
Gian berhenti di depan meja kerjanya. Tak menoleh. Bahunya tampak mengeras. Selaras dengan tangannya yang menggenggam selembar surat yang isinya entah apa.
"Apa pun," ulang Aurelia. "Kau bisa memberiku syarat. Apa saja."
Dan saat ia berbalik, wajah Gian tampak berbeda. Tak lagi datar.
Ada sesuatu yang bergolak di sana. Matanya yang biasanya hampa kini menyala, tapi bukan karena emosi yang mudah ditebak. Bukan marah, bukan kecewa. Tapi sesuatu yang mencampur keduanya, ditambah dengan keterkejutan yang tak terucap. Rahangnya mengatup begitu kuat, hingga garisnya terlihat menegang. Urat di sisi lehernya pun tampak menonjol, seolah menahan sesuatu yang ingin meledak.
Warna wajahnya memerah, bukan seperti orang yang malu, tapi seperti seseorang yang sedang berjuang melawan gejolak dalam dirinya sendiri.
Aurelia sempat terdiam. Suasana di ruang kerja itu mendadak padat oleh ketegangan yang tak terlihat. Suara jam dinding terdengar begitu nyaring, menandai detik-detik yang berlalu dalam keheningan menyesakkan.
Lalu, dengan langkah lambat namun mantap, Gian mendekat. Sorot matanya menusuk, seolah mencoba menembus batin Aurelia dan menelanjangi semua niat tersembunyi yang mungkin ada.
Jarak mereka kini hanya sejengkal. Dan dari balik rahang yang masih mengatup keras, akhirnya Gian bersuara—datar, pelan, namun menghantam tepat ke dasar dada.
"Kau yakin akan melakukan apa pun?"
Aurelia mengangguk dengan kelopak mata yang berkedip cepat. Jawabannya yang terwakili dari bahasa tubuh barusan membuat Gian tersenyum penuh arti.
Langkah Aurelia terhenti di depan sebuah kafe kecil yang terletak di sudut jalan. Tubuhnya seakan kehilangan tenaga, seolah setiap langkah yang ia tempuh sejak meninggalkan rumah Caca tadi hanya digerakkan oleh rasa putus asa. Hatinya masih terasa sesak, dihantui percakapan terakhir dengan Gian—ucapan-ucapan yang menusuk jantungnya lebih dalam daripada belati mana pun.Ia butuh ruang. Ruang untuk bernapas, untuk sekadar menenangkan pikiran yang kacau dan emosinya yang porak-poranda. Pandangan matanya terangkat ke papan nama kafe sederhana itu. Aroma kopi yang menyeruak dari dalam menembus kaca pintu, begitu menenangkan. Ia tidak berpikir panjang, tangannya refleks mendorong pintu masuk.Suasana kafe tidak terlalu ramai. Beberapa pasangan muda duduk bersebelahan, larut dalam percakapan hangat. Di sudut lain, sekelompok mahasiswa sibuk dengan laptop masing-masing, sesekali tertawa kecil. Namun, suara
Langit sore berwarna jingga pucat, seolah sedang meniru hati Nyonya Lestari yang tengah goyah. Ia duduk di tepi ranjang dengan kepala tertunduk, menatap karpet kamar yang sudah menjadi alasnya berpijak. Tidak ada suara selain detak jarum jam di dinding. Sesekali, hembusan napas berat lolos dari bibirnya."Bagaimana mungkin Kirana...?" gumamnya lirih, hampir tak terdengar. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, mencoba menahan gelombang penyesalan yang mendera.Selama ini, ia menganggap Kirana gadis baik, sopan, dan bisa menjadi sandaran bila segala hal akan memburuk. Ia juga mengira Kirana bisa menjadi 'jembatan' yang menjaga keluarganya tetap utuh.Namun, kenyataan yang kini terbuka begitu menampar. Fakta bahwa Kirana tega menyuruh Mbok Sumi meneror Aurelia adalah sesuatu yang sama sekali tak bisa ia sangka. Bahkan, Nyonya Lestari sendiri merasa telah ikut bersalah karena terlalu memberi ruang bagi Kirana untuk dekat dengan keluarganya.Tangannya gemetar.
“Iya, Om. Lia katanya memang pengen sendirian.”“Apa-apaan kalian, hah?!” suara Gian meledak begitu tahu bahwa istrinya sengaja menghindar. Tangannya mengepal, matanya menyalang tajam ke arah Wulan dan Doni. “Kalian pikir dengan cara begitu kalian bisa membantu Lia? Malah yang ada kalian akan bikin dia makin stres!”Namun, Wulan sama sekali tak gentar. Ia menegakkan bahunya, wajahnya merah padam. “Stres? Yang bikin dia stres itu justru Anda, Pak Gian!” Suaranya meninggi, menusuk jantung Gian tanpa ampun. “Orang tuanya enggak pernah care sama dia, dan suaminya? Astaga, suaminya lebih sibuk kerja, sibuk proyek di luar kota, sementara Lia di sini harus ngadepin semuanya sendirian. Dia itu lagi hamil, Pak! Hamil! Apa Anda enggak paham betapa rapuhnya kondisi dia?”Gian mengerjap, tercekat. Kata-kata itu menampar harga dirinya habis-habisan.“Wul, cukuplah ya.” Doni menegur lirih, tanganny
“Aku sudah tidak kuat lagi…” suara Aurelia pecah di antara tangis yang tertahan. Bahunya berguncang, kedua tangannya bergetar memegang tisu yang sudah basah oleh air mata.Mereka bertiga duduk di salah satu sudut kampus yang agak sepi, di dekat taman kecil yang biasanya dipenuhi mahasiswa yang mengobrol atau makan siang. Namun, siang itu berbeda. Hanya ada semilir angin yang berhembus lembut dan suara burung-burung yang singgah di dahan. Suasana sunyi itu justru memperjelas betapa pilunya hati Aurelia.Wulan menatap Aurelia dengan hati tersayat. Mata sahabatnya itu sembab, wajahnya pucat, seolah semua cahaya di dalam dirinya telah padam. Dengan suara pelan namun sarat rasa ingin tahu, Wulan akhirnya bertanya, “Jadi… siapa yang nyuruh si Mbok itu ya? Siapa yang sampai tega melakukan semua ini padamu?”Aurelia menggeleng dengan isakan yang semakin keras. Pipinya memerah, matanya sembab seperti tak lagi mampu menahan beban. Sua
“Sayang, kita ke kamar dulu ya.”Itulah kalimat yang keluar dari bibir Gian setelah sekian lama ia hanya diam, membiarkan Aurelia berteriak dan menangis tanpa arah. Suaranya pelan, nyaris serak, seakan ia sedang menahan sesuatu yang berat di dadanya.Aurelia menggeleng tak percaya. “Gian?” bisiknya tercekat, tubuhnya bergetar hebat. Tangannya mencoba menolak, tapi tenaganya kalah saat lengan sang suami dengan lembut tapi pasti membawanya masuk ke dalam kamar.Di sana, di balik pintu kayu yang menutup rapat, Aurelia masih terus meronta. Napasnya tersengal, wajahnya pucat pasi. Gian berusaha menenangkan, menggenggam kedua bahu istrinya. “Lia, tenanglah, aku ada di sini. Tidak ada yang akan menyakitimu.” Namun, kata-kata itu tak cukup untuk membuat Aurelia percaya.Tangisnya semakin keras, hingga suara ketukan terdengar dari luar. “Tuan, ini saya. Bolehkah saya masuk?”Gian segera membuka pintu. “S
Rumah itu mendadak terasa membeku. Udara yang semula biasa saja kini seolah menekan dari segala arah. Aurelia berdiri kaku, jemarinya masih menempel di pergelangan Mbok Sumi yang berlutut, seakan-akan sedang ditarik ke dalam kegelapan. Tubuh perempuan tua itu terguncang hebat, air matanya bercucuran deras, suaranya pecah di udara, membuat seisi rumah seakan mendengar jeritan batin yang pilu.“Nyonya… Mbok tidak kuat lagi…” lirih Mbok Sumi, dengan tangis yang tersendat-sendat. Kata-katanya terdengar penuh kepasrahan, getir, dan sengaja dipahat sedemikian rupa agar tampak meyakinkan. Bahunya bergetar, tubuhnya meringkuk, memamerkan sosok yang tampak teraniaya.Aurelia tercekat. Lidahnya kelu, jantungnya berdegup begitu keras hingga terasa menusuk dadanya. Semua berjalan begitu cepat. Dalam sekejap, ia yang sebenarnya korban justru tampak seperti pelaku yang menekan seorang perempua