Share

5. Membujuk Suami

Author: A mum to be
last update Last Updated: 2025-06-22 16:37:12

"Dasar wanita matre!!"

Itu adalah umpatan pertama yang terlontar dari bibir Nyonya Lestari pagi sekarang. Nada suaranya menusuk, tajam seperti cambuk yang menghantam kulit telanjang. Aura rumah yang biasanya senyap kini dipenuhi ketegangan.

Aurelia hanya diam. Kepalanya tertunduk, wajahnya tak sanggup menatap siapa pun. Ia tahu kalimat itu bukan sekadar omelan kosong, namun sebuah penghakiman yang sudah ia bayangkan sebelumnya.

"Kuliah? S2? Baru saja kau masuk rumah ini sudah ingin kuliah? Apa berikutnya, hah? Minta mobil? Minta apartemen? Liburan ke luar negeri?"

Suara Nyonya Lestari meninggi, dan pelayan yang semula tengah membawa teh buru-buru mundur dari ruang makan. Gian duduk di ujung meja, menatap cangkirnya. Tak berkata sepatah kata pun.

"Saya tidak meminta apa-apa selain izin, Bu," jawab Aurelia pelan, nyaris tak terdengar. "Saya hanya ingin melanjutkan impian saya. Saya sudah diterima bahkan sebelum pernikahan ini terjadi."

"Ya tentu saja! Persis seperti yang kuduga. Kau terima lamaran ini demi memuluskan jalanmu. Menikahi Gian, lalu menunggangi nama Alvaro!"

Aurelia menggigit bibirnya. Matanya memanas, tapi ia menolak menangis.

"Saya tidak pernah berniat memanfaatkan siapa pun," katanya.

"Omong kosong! Kau pikir aku bodoh? Semua ini sudah kau rencanakan, kan? Anak perempuan dari keluarga kacau yang tiba-tiba dapat keberuntungan masuk keluarga ini. Lalu sekarang minta kuliah pakai uang siapa? Uang suamimu? Uang keluarga Alvaro?!"

Nyonya Lestari melirik anaknya sejenak. "Gian, lihatlah! Ini hasil keputusan gegabahmu! Aku menyesal karena kau memilih menikahi dia! Aku menyesal karena dia menjadi menantuku!"

Tak ada respons dari Gian. Tapi bahunya menegang.

Gian masih diam. Tangannya menggenggam sendok kecil yang tak ia gunakan. Matanya tak berpaling dari cangkir yang sudah dingin.

Nyonya Lestari lantas berdiri dari kursinya dengan gerakan cepat. "Sudahlah. Kepalaku jadi semakin pusing. Mendingan aku keluar. Arisan lebih baik daripada mendengar wanita licik sepertimu merengek minta dikuliahkan."

Langkahnya bergema di lantai marmer. Tak lama kemudian, suara pintu depan menutup keras. Keheningan menggantung di ruang makan, hanya disisakan dua orang—suami dan istri yang bahkan belum sempat saling mengenal.

Aurelia tetap berdiri di dekat meja. Matanya merah, tapi tak ada air mata. Ia menarik napas panjang, lalu memberanikan diri menggeser tempat duduknya ke arah Gian.

"Aku tidak ingin bertengkar. Tapi aku juga tidak mau menyerah pada mimpiku hanya karena orang lain berpikir aku mata duitan," katanya.

Gian mendongak perlahan. Sorot matanya datar, tapi bukan berarti kosong. Ada sesuatu yang berputar di balik diamnya.

"Aku bersedia bekerja keras di rumah ini. Aku bisa bersih-bersih, membereskan kamar, mengepel lantai, mencuci baju. Bahkan aku sedang belajar memasak," lanjut Aurelia. "Aku tak ingin hidup dari belas kasihan. Aku hanya ingin... diberikan kesempatan. Tolonglah!"

Masih tak ada respons. Gian hanya menatapnya tanpa ekspresi.

Aurelia menghela napas. "Aku akan mengurus rumah ini tanpa bantuan pelayan. Aku akan bangun pagi, menyapu halaman, mencuci pakaian—apa pun, asal aku bisa lanjut kuliah."

Gian menegakkan tubuhnya dan berdiri. Tapi ia tidak berkata sepatah kata pun. Hanya berjalan pelan ke ruang kerja.

Aurelia mengejarnya lalu berhenti saat melihat suami dingin dan kakunya itu menutup pintu rapat-rapat.

Sore hari pun tiba. Di ambang pintu ruang kerja yang didominasi rak buku dan pencahayaan hangat, Aurelia sudah berdiri diam. Menatap punggung suaminya yang lebar, kokoh, dan seperti dinding dingin yang tak tertembus. Senyumnya terulas tipis saat melihat ruangan tadi tak lagi tertutup.

"Gian... aku serius. Aku akan lakukan apa pun."

Gian berhenti di depan meja kerjanya. Tak menoleh. Bahunya tampak mengeras. Selaras dengan tangannya yang menggenggam selembar surat yang isinya entah apa.

"Apa pun," ulang Aurelia. "Kau bisa memberiku syarat. Apa saja."

Dan saat ia berbalik, wajah Gian tampak berbeda. Tak lagi datar.

Ada sesuatu yang bergolak di sana. Matanya yang biasanya hampa kini menyala, tapi bukan karena emosi yang mudah ditebak. Bukan marah, bukan kecewa. Tapi sesuatu yang mencampur keduanya, ditambah dengan keterkejutan yang tak terucap. Rahangnya mengatup begitu kuat, hingga garisnya terlihat menegang. Urat di sisi lehernya pun tampak menonjol, seolah menahan sesuatu yang ingin meledak.

Warna wajahnya memerah, bukan seperti orang yang malu, tapi seperti seseorang yang sedang berjuang melawan gejolak dalam dirinya sendiri.

Aurelia sempat terdiam. Suasana di ruang kerja itu mendadak padat oleh ketegangan yang tak terlihat. Suara jam dinding terdengar begitu nyaring, menandai detik-detik yang berlalu dalam keheningan menyesakkan.

Lalu, dengan langkah lambat namun mantap, Gian mendekat. Sorot matanya menusuk, seolah mencoba menembus batin Aurelia dan menelanjangi semua niat tersembunyi yang mungkin ada.

Jarak mereka kini hanya sejengkal. Dan dari balik rahang yang masih mengatup keras, akhirnya Gian bersuara—datar, pelan, namun menghantam tepat ke dasar dada.

"Kau yakin akan melakukan apa pun?"

            Aurelia mengangguk dengan kelopak mata yang berkedip cepat. Jawabannya yang terwakili dari bahasa tubuh barusan membuat Gian tersenyum penuh arti.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   314. Lima Tahun Kemudian (Tamat)

    "Tidak! Ini naga milik Kakak! Genta mengambil milik Kakak!""Tidak! Milikku! Aku yang mengambilnya lebih dulu!" Teriakan nyaring khas anak-anak berusia pra-sekolah mengisi ruang keluarga yang dipenuhi cahaya senja. Aurelia, yang tengah duduk di sofa dengan laptop di pangkuan, tersenyum geli. Rasa lelah seharian mengajar dan melakukan riset seolah terhapus oleh kegaduhan yang hangat ini. Di karpet berbulu tebal, Anya dengan kuncir dua yang sudah agak berantakan berusaha sekuat tenaga menarik boneka naga hijau dari adiknya, Genta Alvaro Mahesa yang masih berusia dua tahunan. Bocah dengan wajah gembul dan pipi basah itu melawan dengan gigih, suaranya tercekat menahan tangis."Anya, Genta! Berbagi ya," tegur Aurelia lembut."Tetapi Genta tidak mau, Ma! Genta curang!" protes Anya, nyaris terisak.Aurelia menghela n

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   313. Semua Orang Berhak Bahagia

    Gian yang tak sabaran dengan jawaban Aurelia lekas menghampiri istrinya itu.Mempelai wanita: Malika Wibisono, Ph.D.Mempelai pria: Dr. Daniel Pradipta. (Direktur Utama Rumah Sakit Hasan Solihin Bandung). Aurelia ternganga. Gian, yang sudah membungkuk untuk mengambil, ikut membaca nama itu dan mengangkat alisnya tinggi-tinggi."Profesor Malika?" seru Gian, terkejut. "Dosen pembimbingmu yang galak itu? Menikah?"Nyonya Lestari segera mendekat. "Siapa? Dosenmu? Ya ampun! Ini namanya takdir. Dia menemukan jodoh di usia matang. Siapa nama suaminya? Direktur rumah sakit? Bagus sekali, Lia! Kau harus datang!"Bu Mirna hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Syukurlah kalau Profesor itu bahagia. Semua orang berhak bahagia." Aurelia tertaw

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   312. Surat Undangan??

    Kediaman keluarga Mahesa ramai bukan kepalang. Sebulan setelah kelahiran Anya, acara tasyakuran digelar dengan meriah. Nyonya Lestari, tentu saja, tidak bisa menahan diri. Meski awalnya dijanjikan sederhana, nyatanya taman belakang disulap dengan dekorasi bunga pastel, puluhan tamu kolega dan kerabat hadir, dan aroma kambing guling serta puluhan menu katering lainnya menguar di udara. Di kamar tamu utama, yang disulap menjadi markas ibu dan bayi, suasananya jauh lebih tenang. Aurelia duduk di tepi ranjang, lelah namun bahagia, mengamati putrinya yang tertidur pulas di dalam boks bayi kayu yang dihias kelambu. Anya terbungkus bedong merah muda lembut, tampak tak terganggu oleh keriuhan di luar."Dia benar-benar cucu Oma," bisik Nyonya Lestari yang baru saja masuk. Ia menatap Anya dengan bangga. "Lihat, tidur saja anteng. Tahu kalau lagi a

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   311. Yang Ini Beda

    "Gian! Yang ini... yang ini beda!" Teriakan tertahan Aurelia di tengah malam buta itu menyentak Gian dari tidurnya. Ia langsung terduduk, jantungnya berdebar kencang. "Beda? Beda bagaimana? Apa sakitnya berlebihan?”Aurelia mencengkeram sprei, wajahnya pucat pasi di bawah cahaya lampu tidur. "Bukan... ini... Aduh!" Ia terdiam, mengatur napasnya persis seperti yang ia latih. "Bukan kram... ini... gelombang. Dan barusan... aku merasa ada yang 'pecah'."Gian melompat dari tempat tidur. "Pecah? Air ketuban? Oke! Oke! Tas!" Dalam lima menit, rumah yang hening itu berubah menjadi pusat komando yang panik namun teratur. Gian menyambar tas rumah sakit yang sudah dua minggu siaga di sudut kamar, membantu Aurelia mengenakan jubah paling nyaman, dan menuntunnya ke lift."Jaraknya berapa?" tanya Gian, berusaha terdengar te

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   310. Selamat ya!!

    Profesor Malika menatap lurus ke kamera. "Dewan penguji telah memutuskan bahwa tesis Anda yang berjudul 'Resiliensi Psikologis pada Perempuan yang Mengalami Kehilangan Janin Saat Hamil' dinyatakan... LULUS dengan revisi minor."Waktu seolah berhenti. Aurelia mengerjap, otaknya mencoba memproses kata "LULUS". Lalu, sebuah pekikan tertahan datang dari belakangnya. Gian melompat dari kursinya, menerjang Aurelia, dan memeluknya erat dari samping, mengangkat kursi kerjanya sedikit dari lantai."KAU BERHASIL, LIA! BERHASIL!" seru Gian, menciumi pelipis istrinya berkali-kali."Gian... aku tidak bisa napas..." tawa Aurelia pecah bercampur air mata. Ia akhirnya berhasil. Ia merosot dalam pelukan Gian, membiarkan semua ketegangan selama seminggu terakhir, bahkan setahun terakhir meleleh begitu saja.Di layar, para profesor tersenyum simpul, maklum melihat ledakan kebahagiaan itu."Sela

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   309. Saat Yang Menegangkan

    Aurelia tidak menjawab. Matanya terpaku pada layar ponsel, membaca sebaris subjek email yang membuat darah seolah surut dari wajahnya. Jantungnya yang tadi terasa ringan, kini berdebar kencang dengan ritme yang salah."Lia?" Gian menyentuh bahunya, mengintip layar ponsel di tangan istrinya."Ya Tuhan," bisik Aurelia. Gian merebut ponsel itu dengan lembut. Ia membaca isinya dengan cepat. Komite akademik telah meninjau draf final yang Aurelia kirimkan dua minggu dan mereka telah menetapkan keputusan yang akan menjadi saat yang menegangkan bagi sang istri tercinta."Selasa... pekan depan?" Suara Aurelia bergetar. Ia menatap kamar bayi yang baru setengah jadi itu. Ranjang bayi, dinding krem, mobile bintang-bintang. Semua terasa seperti mimpi yang jauh."Hei," Gian memegang kedua bahu Aurelia, memaksanya berbalik

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status