LOGINGian melangkah pelan, nyaris tanpa suara, mendekati Aurelia. Jarak di antara mereka kian menipis. Nafas hangat pria itu menyapu wajahnya, dan dinding ruangan seolah mengecil.
Aurelia menelan ludah. Tubuhnya menegang, nalurinya memberi alarm peringatan.
"Aku harus apa?" tanyanya pelan, bergetar. Suaranya nyaris tenggelam dalam ketegangan yang menggantung di antara mereka.
Gian mengangkat alis, bibirnya melengkung ringan. "Jadilah istriku... seutuhnya."
Dahi Aurelia berkerut. "Aku... aku ‘kan sudah jadi istrimu."
Pria itu menggeleng pelan, cepat, seolah mengejek logika yang baru saja diucapkan istrinya. "Aku ingin bukti. Dan bantuan."
"A-a... apa maksudmu?"
Tatapan Gian turun, menusuk. "Buat aku merasa percaya diri. Bangkitkan gairahku."
Tubuh Aurelia langsung kaku. Napasnya tercekat. Ia nyaris kehilangan kata-kata. "Aku... aku bukan dokter, Gian. Jadi—"
"Kau adalah istriku. Tugasmu membuatku kembali perkasa."
Dalam sekejap, tubuh Gian semakin merapat. Jantung Aurelia berdetak liar. Tapi sebelum napas mereka benar-benar menyatu, suara dering telepon memecah keheningan. Gian menarik napas, lalu menyambar ponsel di sakunya.
Sebelum menjawab panggilan itu, ia menatap Aurelia dalam-dalam dan berkata, "Aku akan menanggung biaya kuliahmu. Tanpa melibatkan keuangan keluarga Alvaro sepeser pun. Jadi pikirkan baik-baik... sebelum aku berubah pikiran."
Gian berbalik dan pergi meninggalkan Aurelia dengan dada sesak dan pikiran kacau.
Malam itu, makan malam disajikan lebih awal. Hanya ada dua kursi terisi di meja panjang yang biasanya sepi. Nyonya Lestari belum pulang dari arisan. Hanya mereka berdua.
Mereka makan dalam diam. Hanya denting sendok dan garpu yang terdengar. Sesekali Aurelia mencuri pandang ke arah Gian, mencoba membaca pikirannya yang seolah terkunci rapat.
Ketika makan hampir usai, Aurelia memberanikan diri. Ia kembali ke kamar, mengambil ponselnya, dan membuka aplikasi pinjaman online. Ia mencoba mengisi data, berharap ada cara lain untuk membiayai kuliahnya tanpa merasa tergantung pada Gian.
Namun, layar ponselnya hanya menampilkan satu pesan:
"NIK Anda tidak dapat diproses. Status terhubung dengan entitas keluarga Alvaro. Akses pinjaman ditolak."
Aurelia terpaku. Tangannya gemetar. Ia mencoba aplikasi lain, hasilnya sama. Semuanya menolak. Bahkan untuk nominal terkecil sekalipun.
Ia turun kembali ke ruang makan. Gian masih duduk, menyeruput teh. Aurelia menatapnya dengan pandangan penuh kesal.
"Kau tahu? Aku bahkan tidak bisa pinjam uang sepeser pun. Karena semua aksesku... dibatasi. Karena nama belakangmu!"
Gian mengangkat bahu. "Kau tidak akan bisa pinjam ke mana pun karena memang aksesmu terbatas. Hanya aku satu-satunya harapan yang kau punya."
Aurelia mencibir. "Kau menyebalkan. Memanfaatkan kesempatan. Pria manipulatif dan dingin! Dasar mesyum!!"
Gian menatapnya dengan tenang. "Kita pasangan yang sah. Apa yang salah?"
Aurelia terdiam. Tapi di dalam dirinya, semuanya bergolak.
Aurelia menelan ludah. Jantungnya berdetak begitu cepat, seolah tubuhnya hendak meledak dari dalam. Ada bagian dari dirinya yang ingin membantah, melawan, berteriak bahwa pernikahan mereka bukan cinta, bukan kesepakatan yang ia inginkan. Tapi di sisi lain, ucapannya benar. Mereka sah. Terdokumentasi, tercatat, dan di mata hukum, Gian adalah suaminya. Ia tidak bisa menyangkal itu.
"Yang salah adalah caramu mengatakannya," balas Aurelia akhirnya, suaranya gemetar. "Kau bicara seolah... aku milikmu. Seolah aku barang yang bisa digunakan kapan saja."
Gian mengangkat alis, menatapnya dari balik tepi gelas yang baru saja ia minum.
"Kau pikir aku tidak merasa dijadikan alat juga?" balasnya tenang. "Aku pun tidak meminta pernikahan ini. Tapi kita sudah sampai di titik ini. Jadi kita mainkan peran kita. Kau ingin kuliah. Aku ingin sesuatu sebagai imbalannya. Bukankah itu adil?"
Aurelia merasa perutnya mual mendengar kata 'imbalannya'. Ia bukan barang barter. Tapi ia juga bukan orang yang punya banyak pilihan saat ini.
"Kalau memang kau ingin main peran," katanya pelan, "seharusnya kita bisa saling menghormati, bukan saling menekan."
Gian tidak menjawab. Hanya senyuman tipis yang menggantung di bibirnya. Bukan sinis. Tapi nyaris seperti... tertarik. Seolah Aurelia baru saja menunjukkan sisi lain yang belum pernah ia lihat.
Malam makin larut ketika Aurelia kembali ke kamar. Ia menatap pantulan dirinya di cermin besar dekat lemari. Pandangannya redup. Ada begitu banyak pikiran berputar di kepalanya, tapi tak satu pun yang bisa ia ungkapkan.
Ia membuka laci meja, mengeluarkan brosur kampus yang diam-diam ia simpan sejak sebelum menikah. Ia menyentuh permukaan kertas itu, seperti ingin menyerap semangat dari huruf-huruf kecil di sana. Ia belum menyerah. Tidak akan.
Keesokan harinya, ia bangun lebih awal. Menyiapkan sarapan. Telur rebus, roti gandum panggang, dan segelas jus jeruk. Ia tidak ingin mengulangi kekacauan di dapur kemarin. Kali ini ia mengikuti semua langkah dari video tutorial yang semalam ia putar diam-diam di kamar.
Saat Gian turun, ia sudah menyiapkan meja dengan rapi. Pria itu berhenti sejenak, menatap meja sarapan, lalu menatap Aurelia.
"Kau tidak takut akan membakar dapur lagi?" tanya Gian dengan datar, namun ada nada menggoda yang tersembunyi di dalamnya.
"Aku belajar," jawab Aurelia. "Bukankah itu salah satu syarat menjadi istrimu?"
Gian duduk. Mengambil sendok. Mencoba jus-nya terlebih dahulu.
"Lumayan," komentarnya singkat. “Walaupun rasa jusnya terlalu manis. Tapi, boleh juga.”
Hati Aurelia sedikit menghangat. Tapi ia tahu, ini belum cukup untuk mengubah sikap Gian sepenuhnya. Ini hanya langkah kecil. Sangat kecil.
Hari-hari berikutnya berjalan dengan ritme yang aneh. Gian tidak lagi sinis, tapi juga belum ramah. Ia kadang pulang terlambat, kadang hanya mengangguk saat Aurelia menyapa. Tapi ia makan setiap sarapan yang disiapkan. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Aurelia bertahan.
Namun, setiap kali topik kuliah muncul, Gian hanya menjawab dengan kalimat yang menggantung.
"Kita lihat nanti."
“Aku mohon, Gian. Waktunya hanya sampai lusa. Aku akan lakukan apapun asalkan tidak dengan syarat itu,” bujuk Aurelia masih berusaha.
Namun, Gian selalu menjawab, “Syaratku hanya itu.”
Hingga malam itu datang. Gian pulang lebih awal. Wajahnya lelah, dasinya longgar, dan rambutnya sedikit acak-acakan. Aurelia yang sedang di ruang tengah, menonton TV sendirian. Saat melihat Gian masuk, ia bangkit, berniat menyiapkan teh.
"Tunggu," kata Gian, menghentikannya.
Aurelia menoleh. "Ya?"
Gian menghela napas dan mendekat. "Aku sudah mentransfer pembayaran pendaftaran kuliahmu. Besok kau bisa segera konfirmasi ulang."
Aurelia terpaku di tempat.
"Tapi... bukankah aku belum setuju kalau—"
"Aku bilang aku akan menanggungnya. Tanpa uang keluarga. Aku menepatinya."
Aurelia masih terdiam. Tangannya mengepal pelan, matanya mulai berkaca.
"Terima kasih..." bisiknya.
"Jangan berterima kasih dulu," balas Gian. "Karena aku ingin kau benar-benar membuktikan sesuatu."
"Apa itu?"
"Bahwa kau bukan hanya gadis nekat yang ingin mewujudkan mimpinya. Tapi ...”
"Tidak! Ini naga milik Kakak! Genta mengambil milik Kakak!""Tidak! Milikku! Aku yang mengambilnya lebih dulu!" Teriakan nyaring khas anak-anak berusia pra-sekolah mengisi ruang keluarga yang dipenuhi cahaya senja. Aurelia, yang tengah duduk di sofa dengan laptop di pangkuan, tersenyum geli. Rasa lelah seharian mengajar dan melakukan riset seolah terhapus oleh kegaduhan yang hangat ini. Di karpet berbulu tebal, Anya dengan kuncir dua yang sudah agak berantakan berusaha sekuat tenaga menarik boneka naga hijau dari adiknya, Genta Alvaro Mahesa yang masih berusia dua tahunan. Bocah dengan wajah gembul dan pipi basah itu melawan dengan gigih, suaranya tercekat menahan tangis."Anya, Genta! Berbagi ya," tegur Aurelia lembut."Tetapi Genta tidak mau, Ma! Genta curang!" protes Anya, nyaris terisak.Aurelia menghela n
Gian yang tak sabaran dengan jawaban Aurelia lekas menghampiri istrinya itu.Mempelai wanita: Malika Wibisono, Ph.D.Mempelai pria: Dr. Daniel Pradipta. (Direktur Utama Rumah Sakit Hasan Solihin Bandung). Aurelia ternganga. Gian, yang sudah membungkuk untuk mengambil, ikut membaca nama itu dan mengangkat alisnya tinggi-tinggi."Profesor Malika?" seru Gian, terkejut. "Dosen pembimbingmu yang galak itu? Menikah?"Nyonya Lestari segera mendekat. "Siapa? Dosenmu? Ya ampun! Ini namanya takdir. Dia menemukan jodoh di usia matang. Siapa nama suaminya? Direktur rumah sakit? Bagus sekali, Lia! Kau harus datang!"Bu Mirna hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Syukurlah kalau Profesor itu bahagia. Semua orang berhak bahagia." Aurelia tertaw
Kediaman keluarga Mahesa ramai bukan kepalang. Sebulan setelah kelahiran Anya, acara tasyakuran digelar dengan meriah. Nyonya Lestari, tentu saja, tidak bisa menahan diri. Meski awalnya dijanjikan sederhana, nyatanya taman belakang disulap dengan dekorasi bunga pastel, puluhan tamu kolega dan kerabat hadir, dan aroma kambing guling serta puluhan menu katering lainnya menguar di udara. Di kamar tamu utama, yang disulap menjadi markas ibu dan bayi, suasananya jauh lebih tenang. Aurelia duduk di tepi ranjang, lelah namun bahagia, mengamati putrinya yang tertidur pulas di dalam boks bayi kayu yang dihias kelambu. Anya terbungkus bedong merah muda lembut, tampak tak terganggu oleh keriuhan di luar."Dia benar-benar cucu Oma," bisik Nyonya Lestari yang baru saja masuk. Ia menatap Anya dengan bangga. "Lihat, tidur saja anteng. Tahu kalau lagi a
"Gian! Yang ini... yang ini beda!" Teriakan tertahan Aurelia di tengah malam buta itu menyentak Gian dari tidurnya. Ia langsung terduduk, jantungnya berdebar kencang. "Beda? Beda bagaimana? Apa sakitnya berlebihan?”Aurelia mencengkeram sprei, wajahnya pucat pasi di bawah cahaya lampu tidur. "Bukan... ini... Aduh!" Ia terdiam, mengatur napasnya persis seperti yang ia latih. "Bukan kram... ini... gelombang. Dan barusan... aku merasa ada yang 'pecah'."Gian melompat dari tempat tidur. "Pecah? Air ketuban? Oke! Oke! Tas!" Dalam lima menit, rumah yang hening itu berubah menjadi pusat komando yang panik namun teratur. Gian menyambar tas rumah sakit yang sudah dua minggu siaga di sudut kamar, membantu Aurelia mengenakan jubah paling nyaman, dan menuntunnya ke lift."Jaraknya berapa?" tanya Gian, berusaha terdengar te
Profesor Malika menatap lurus ke kamera. "Dewan penguji telah memutuskan bahwa tesis Anda yang berjudul 'Resiliensi Psikologis pada Perempuan yang Mengalami Kehilangan Janin Saat Hamil' dinyatakan... LULUS dengan revisi minor."Waktu seolah berhenti. Aurelia mengerjap, otaknya mencoba memproses kata "LULUS". Lalu, sebuah pekikan tertahan datang dari belakangnya. Gian melompat dari kursinya, menerjang Aurelia, dan memeluknya erat dari samping, mengangkat kursi kerjanya sedikit dari lantai."KAU BERHASIL, LIA! BERHASIL!" seru Gian, menciumi pelipis istrinya berkali-kali."Gian... aku tidak bisa napas..." tawa Aurelia pecah bercampur air mata. Ia akhirnya berhasil. Ia merosot dalam pelukan Gian, membiarkan semua ketegangan selama seminggu terakhir, bahkan setahun terakhir meleleh begitu saja.Di layar, para profesor tersenyum simpul, maklum melihat ledakan kebahagiaan itu."Sela
Aurelia tidak menjawab. Matanya terpaku pada layar ponsel, membaca sebaris subjek email yang membuat darah seolah surut dari wajahnya. Jantungnya yang tadi terasa ringan, kini berdebar kencang dengan ritme yang salah."Lia?" Gian menyentuh bahunya, mengintip layar ponsel di tangan istrinya."Ya Tuhan," bisik Aurelia. Gian merebut ponsel itu dengan lembut. Ia membaca isinya dengan cepat. Komite akademik telah meninjau draf final yang Aurelia kirimkan dua minggu dan mereka telah menetapkan keputusan yang akan menjadi saat yang menegangkan bagi sang istri tercinta."Selasa... pekan depan?" Suara Aurelia bergetar. Ia menatap kamar bayi yang baru setengah jadi itu. Ranjang bayi, dinding krem, mobile bintang-bintang. Semua terasa seperti mimpi yang jauh."Hei," Gian memegang kedua bahu Aurelia, memaksanya berbalik







