Share

6. Syarat Dari Gian

Author: A mum to be
last update Last Updated: 2025-06-22 17:12:10

Gian melangkah pelan, nyaris tanpa suara, mendekati Aurelia. Jarak di antara mereka kian menipis. Nafas hangat pria itu menyapu wajahnya, dan dinding ruangan seolah mengecil.

Aurelia menelan ludah. Tubuhnya menegang, nalurinya memberi alarm peringatan.

"Aku harus apa?" tanyanya pelan, bergetar. Suaranya nyaris tenggelam dalam ketegangan yang menggantung di antara mereka.

Gian mengangkat alis, bibirnya melengkung ringan. "Jadilah istriku... seutuhnya."

Dahi Aurelia berkerut. "Aku... aku ‘kan sudah jadi istrimu."

Pria itu menggeleng pelan, cepat, seolah mengejek logika yang baru saja diucapkan istrinya. "Aku ingin bukti. Dan bantuan."

"A-a... apa maksudmu?"

Tatapan Gian turun, menusuk. "Buat aku merasa percaya diri. Bangkitkan gairahku."

Tubuh Aurelia langsung kaku. Napasnya tercekat. Ia nyaris kehilangan kata-kata. "Aku... aku bukan dokter, Gian. Jadi—"

"Kau adalah istriku. Tugasmu membuatku kembali perkasa."

Dalam sekejap, tubuh Gian semakin merapat. Jantung Aurelia berdetak liar. Tapi sebelum napas mereka benar-benar menyatu, suara dering telepon memecah keheningan. Gian menarik napas, lalu menyambar ponsel di sakunya.

Sebelum menjawab panggilan itu, ia menatap Aurelia dalam-dalam dan berkata, "Aku akan menanggung biaya kuliahmu. Tanpa melibatkan keuangan keluarga Alvaro sepeser pun. Jadi pikirkan baik-baik... sebelum aku berubah pikiran."

Gian berbalik dan pergi meninggalkan Aurelia dengan dada sesak dan pikiran kacau.

Malam itu, makan malam disajikan lebih awal. Hanya ada dua kursi terisi di meja panjang yang biasanya sepi. Nyonya Lestari belum pulang dari arisan. Hanya mereka berdua.

Mereka makan dalam diam. Hanya denting sendok dan garpu yang terdengar. Sesekali Aurelia mencuri pandang ke arah Gian, mencoba membaca pikirannya yang seolah terkunci rapat.

Ketika makan hampir usai, Aurelia memberanikan diri. Ia kembali ke kamar, mengambil ponselnya, dan membuka aplikasi pinjaman online. Ia mencoba mengisi data, berharap ada cara lain untuk membiayai kuliahnya tanpa merasa tergantung pada Gian.

Namun, layar ponselnya hanya menampilkan satu pesan:

"NIK Anda tidak dapat diproses. Status terhubung dengan entitas keluarga Alvaro. Akses pinjaman ditolak."

Aurelia terpaku. Tangannya gemetar. Ia mencoba aplikasi lain, hasilnya sama. Semuanya menolak. Bahkan untuk nominal terkecil sekalipun.

Ia turun kembali ke ruang makan. Gian masih duduk, menyeruput teh. Aurelia menatapnya dengan pandangan penuh kesal.

"Kau tahu? Aku bahkan tidak bisa pinjam uang sepeser pun. Karena semua aksesku... dibatasi. Karena nama belakangmu!"

Gian mengangkat bahu. "Kau tidak akan bisa pinjam ke mana pun karena memang aksesmu terbatas. Hanya aku satu-satunya harapan yang kau punya."

Aurelia mencibir. "Kau menyebalkan. Memanfaatkan kesempatan. Pria manipulatif dan dingin! Dasar mesyum!!"

Gian menatapnya dengan tenang. "Kita pasangan yang sah. Apa yang salah?"

Aurelia terdiam. Tapi di dalam dirinya, semuanya bergolak.

Aurelia menelan ludah. Jantungnya berdetak begitu cepat, seolah tubuhnya hendak meledak dari dalam. Ada bagian dari dirinya yang ingin membantah, melawan, berteriak bahwa pernikahan mereka bukan cinta, bukan kesepakatan yang ia inginkan. Tapi di sisi lain, ucapannya benar. Mereka sah. Terdokumentasi, tercatat, dan di mata hukum, Gian adalah suaminya. Ia tidak bisa menyangkal itu.

"Yang salah adalah caramu mengatakannya," balas Aurelia akhirnya, suaranya gemetar. "Kau bicara seolah... aku milikmu. Seolah aku barang yang bisa digunakan kapan saja."

Gian mengangkat alis, menatapnya dari balik tepi gelas yang baru saja ia minum.

"Kau pikir aku tidak merasa dijadikan alat juga?" balasnya tenang. "Aku pun tidak meminta pernikahan ini. Tapi kita sudah sampai di titik ini. Jadi kita mainkan peran kita. Kau ingin kuliah. Aku ingin sesuatu sebagai imbalannya. Bukankah itu adil?"

Aurelia merasa perutnya mual mendengar kata 'imbalannya'. Ia bukan barang barter. Tapi ia juga bukan orang yang punya banyak pilihan saat ini.

"Kalau memang kau ingin main peran," katanya pelan, "seharusnya kita bisa saling menghormati, bukan saling menekan."

Gian tidak menjawab. Hanya senyuman tipis yang menggantung di bibirnya. Bukan sinis. Tapi nyaris seperti... tertarik. Seolah Aurelia baru saja menunjukkan sisi lain yang belum pernah ia lihat.

Malam makin larut ketika Aurelia kembali ke kamar. Ia menatap pantulan dirinya di cermin besar dekat lemari. Pandangannya redup. Ada begitu banyak pikiran berputar di kepalanya, tapi tak satu pun yang bisa ia ungkapkan.

Ia membuka laci meja, mengeluarkan brosur kampus yang diam-diam ia simpan sejak sebelum menikah. Ia menyentuh permukaan kertas itu, seperti ingin menyerap semangat dari huruf-huruf kecil di sana. Ia belum menyerah. Tidak akan.

Keesokan harinya, ia bangun lebih awal. Menyiapkan sarapan. Telur rebus, roti gandum panggang, dan segelas jus jeruk. Ia tidak ingin mengulangi kekacauan di dapur kemarin. Kali ini ia mengikuti semua langkah dari video tutorial yang semalam ia putar diam-diam di kamar.

Saat Gian turun, ia sudah menyiapkan meja dengan rapi. Pria itu berhenti sejenak, menatap meja sarapan, lalu menatap Aurelia.

"Kau tidak takut akan membakar dapur lagi?" tanya Gian dengan datar, namun ada nada menggoda yang tersembunyi di dalamnya.

"Aku belajar," jawab Aurelia. "Bukankah itu salah satu syarat menjadi istrimu?"

Gian duduk. Mengambil sendok. Mencoba jus-nya terlebih dahulu.

"Lumayan," komentarnya singkat. “Walaupun rasa jusnya terlalu manis. Tapi, boleh juga.”

Hati Aurelia sedikit menghangat. Tapi ia tahu, ini belum cukup untuk mengubah sikap Gian sepenuhnya. Ini hanya langkah kecil. Sangat kecil.

Hari-hari berikutnya berjalan dengan ritme yang aneh. Gian tidak lagi sinis, tapi juga belum ramah. Ia kadang pulang terlambat, kadang hanya mengangguk saat Aurelia menyapa. Tapi ia makan setiap sarapan yang disiapkan. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Aurelia bertahan.

Namun, setiap kali topik kuliah muncul, Gian hanya menjawab dengan kalimat yang menggantung.

"Kita lihat nanti."

“Aku mohon, Gian. Waktunya hanya sampai lusa. Aku akan lakukan apapun asalkan tidak dengan syarat itu,” bujuk Aurelia masih berusaha.

Namun, Gian selalu menjawab, “Syaratku hanya itu.”

Hingga malam itu datang. Gian pulang lebih awal. Wajahnya lelah, dasinya longgar, dan rambutnya sedikit acak-acakan. Aurelia yang sedang di ruang tengah, menonton TV sendirian. Saat melihat Gian masuk, ia bangkit, berniat menyiapkan teh.

"Tunggu," kata Gian, menghentikannya.

Aurelia menoleh. "Ya?"

Gian menghela napas dan mendekat. "Aku sudah mentransfer pembayaran pendaftaran kuliahmu. Besok kau bisa segera konfirmasi ulang."

Aurelia terpaku di tempat.

"Tapi... bukankah aku belum setuju kalau—"

"Aku bilang aku akan menanggungnya. Tanpa uang keluarga. Aku menepatinya."

Aurelia masih terdiam. Tangannya mengepal pelan, matanya mulai berkaca.

"Terima kasih..." bisiknya.

"Jangan berterima kasih dulu," balas Gian. "Karena aku ingin kau benar-benar membuktikan sesuatu."

"Apa itu?"

"Bahwa kau bukan hanya gadis nekat yang ingin mewujudkan mimpinya. Tapi ...”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   30. Lebih Dekat

    Suara tamparan itu memecah keheningan ruangan. Bahkan jarum jam pun seolah berhenti berdetak. Gian bergeming. Kepalanya menoleh pelan akibat dorongan tangan sang ibu, namun sorot matanya tetap teguh—dingin dan nyala.Aurelia menutup mulutnya, tubuhnya gemetar menyaksikan langsung sebuah batas yang akhirnya dilanggar: Nyonya Lestari menampar anak kandungnya sendiri.Wajah Gian perlahan kembali menatap ibunya. Rahangnya mengeras, tapi ekspresinya tak berubah. Tidak marah. Tidak murka. Hanya... kecewa. Dalam dan memuakkan."Jangan bandingkan istriku dengan masa lalu yang bahkan Ibu sendiri tak sanggup hadapi," katanya tenang, namun dengan tekanan yang membuat napas di dada Aurelia tercekat.Nyonya Lestari membeku. Untuk sesaat, kekuasaan yang biasa mengelilingi tubuhnya, seolah runtuh.

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   29. Memalukan!!

    “Ibu sudah di depan.”Kalimat itu diucapkan Gian dengan nada datar, namun efeknya menghantam jantung Aurelia seperti palu godam. Ia memandang suaminya dengan wajah panik, sementara tangan gemetarnya refleks mencengkeram sisi meja dapur.“Sekarang?” bisiknya dengan suara tercekat.Gian memutar malas bola matanya, seperti sudah tahu akan seperti apa percakapan berikutnya, lalu menyudahi panggilan tadi tanpa menanggapi lebih lanjut.“Ya,” katanya tenang, sebelum melangkah menuju pintu utama.Aurelia nyaris terpeleset saat mengikuti dari belakang. Ia belum siap. Tidak untuk ini. Tidak untuk menghadapi sang mertua dalam kondisi dirinya yang baru saja pulih dari gosip liar dan pengakuan publik tentang status pernikahannya.

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   28. Viral

    “Bohong!”“Aku serius. Aku memang masih ada kegiatan di sini,” kata Gian santai, sambil meremas lembut kemasan susu kotak kosong dan memasukkannya ke kantong plastik di dashboard.Aurelia memutar wajah. “Kegiatan apalagi? Jangan bilang—”“Workshop,” potong Gian.Aurelia mengerutkan dahi. “Di jurusan mana? Semester berapa?”“Ekonomi. Semester akhir. Sarjana,” jawabnya pelan. “Aku jadi pemateri.”“…HAH?!”Gian menoleh. “Kenapa teriak?”“Ya ampun, kau tuh...” Aurelia memejamkan mata sejenak, lalu menatap Gian seolah ingin memukul udara di sekitarnya. “Kenapa kau nggak bilang dari tadi?”“Karena kau keburu sok galak duluan.”Aurelia menghela napas panjang. “Jadi, semua orang bakalan lihat dirimu di atas panggung. Mereka makin yakin aku—”&

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   27. Istri Gian

    “Jangan diam saja! Cepat jawab, Aurelia Seraphine Alinda!!” Suara Pak Luhut membuat Aurelia meringis ngeri. Terlebih kumis tebal pria usia 50 tahunan itu tampak bergerak naik turun. Mirip sekali dengan suami pedangdut Inul Daratista rupanya. Hingga kemudian dia menarik napas lalu berbicara dengan suara yang amat pelan.“Pak… maksudnya apa?” suaranya nyaris hilang, nyaris pecah. Ada luka dalam nada bicaranya—luka yang ditusuk sebelum diberi kesempatan untuk menjelaskan.Pak Luhut membuka map tugas dan melemparkannya ke atas meja. “Saya tanya baik-baik, Aurelia. Benarkah gosip yang beredar?”“Gosip apa, Pak?”“Kau tahu persis. Tidak perlu berpura-pura. Dalam sehari ini saja, saya dapat lebih dari lima laporan tak resmi tentangmu.”Aurelia menahan napas. “Kalau yang Bapak maksud soal... rumor sugar ba

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   26. Sugar Baby??

    “Kau masih bertanya setelah apa yang aku lakukan padaku?”Nada suara Gian melesat seperti cambuk. Tatapannya menusuk, dan senyum miring di wajahnya terlihat hambar, bahkan menyakitkan. Ia menatap Aurelia dengan sorot mata yang tak bisa dibaca, antara kecewa, lelah, dan... kesal.“Benar-benar, kau ini.” Suara tawanya lirih, hambar, penuh letih. Lalu tanpa menunggu respons dari istrinya, Gian berbalik dan berjalan cepat menuju kamar mandi.Aurelia tetap berdiri di ambang pintu, memeluk dirinya sendiri. Bibirnya mengerucut, matanya berkaca-kaca. Untuk sesaat, ia menatap tempat Gian berdiri tadi, lalu menarik napas panjang. Ia tahu, malam ini tidak akan ada kehangatan. Tidak juga pengertian.Keesokan paginya, matahari baru menyentuh tepian langit saat Aurelia membuka mata. Badannya masih terasa letih, tapi pikirannya sudah dipenuhi dengan satu tujuan: meminta maaf.Dia merasa bersalah. Cara bicaranya tadi malam—terlalu emo

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   25. Om-Om Itu..

    “Don, kok dibiarin sih! Si Lia bakalan diculik sama Om-Om!!”Suara itu berasal dari salah satu teman Aurelia yang masih tertawa-tawa sambil memeluk botol soda dan menatap ke arah sudut ruang dansa, tempat Aurelia tengah diseret menjauh oleh seorang pria berwajah dingin.Doni yang sedari tadi mengawasi dengan gelisah langsung bangkit dari sofa panjang. Dia tahu persis siapa pria itu—dan bukan, dia bukan Om-Om aneh seperti yang dikira teman-temannya.Itu adalah seorang Gian Alvaro Mahesa, suami sah Aurelia. Mana mungkin dia menghalangi?“Don, kok diam aja sih??”Doni akhirnya bimbang ingin menjelaskan bagaimana. Terlebih saat Gian tampak mulai memanggul aurelia seperti karung beras. Hal itu membuat para temannya syok.Salah satu dari mereka menyeletuk, "Jangan bilang kalau Si Lia itu emang sugar baby.""Bisa jadi!" sahut yang lain. "Si Lia kan sering diantar jemput pake mobil. Terus dia bayar uang kuliah full. Cincinnya aja mehong.""Jangan sok tahu! jangan julid deh!" kata Doni menenga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status