Mobil Lamorghini hitam itu meluncur perlahan di jalanan mewah di salah satu sudut kota Jakarta. Rania duduk diam di kursi penumpang, menatap keluar jendela sambil menahan napas. Ini gila. Ini semua terlalu cepat. Batinnya.
Baru dua hari sejak mereka bertemu, dan sekarang Bara membawanya ke rumah keluarganya. Bara Maheswara! Salah satu orang terkaya di negara ini, bahkan keluarganya termasuk salah satu yang terkaya di Asia. Lucunya, dia baru mengetahuinya kemarin. Bodoh, bagaimana dia bisa tak mengenali pria tersebut? Dia memang merasa wajahnya tak begitu asing, tapi siapa yang sangka bukan? Siapa yang mengira mereka akan bertemu dengan cara seperti ini. "Tenang aja," suara Bara memecah keheningan. "Mereka nggak sekejam yang kamu bayangkan." “Hah!?” Rania melongo, tapi sedetik kemudian dia mengerti apa yang dibicarakan Bara. Bara tentu menyangka Rania sedang gelisah karena hendak bertemu dengan keluarga Maheswara. Dan itu memang benar. Rania gelisah dan tak percaya, bahwa setelah ini hidupnya akan berubah. Rania mengangguk kecil. Tangannya menggenggam erat ujung tas selempangnya, berusaha menenangkan degup jantungnya yang terasa seperti genderang perang. Dia melirik tasnya yang tampak baru, bukan tas lusuh yang biasa dipakainya bekerja. Tas ini memang bukan tas mahal, tapi dia belum pernah memakainya sama sekali sejak ia mendapatkannya. Hadiah dari mantan kekasihnya. “Aku suka penampilanmu. Cantik, tapi tak berlebihan,” puji Bara yang membuat wajah Rania langsung bersemu merah. Tak lama, mobil mereka berhenti di depan sebuah rumah besar bergaya kolonial, dikelilingi taman asri. Seorang pelayan membukakan pintu gerbang sebelum mereka melangkah masuk. Rania meneguk ludah. Dia merasa seperti memasuki dunia lain. Dunia yang terlalu mewah untuk disentuh dan selama ini hanya bisa dilihatnya di layar kaca. Di beranda, seorang wanita tua dengan rambut perak tersanggul rapi menyambut mereka dengan senyum hangat. Di sampingnya, berdiri seorang pria berusia sekitar enam puluhan, wajahnya tegas namun tidak terlihat keras. "Nenek," sapa Bara sambil mengecup pipi wanita tua itu. "Ayah." "Ini Rania," lanjutnya, sambil sedikit menoleh ke arah Rania. Dengan ragu, Rania membungkukkan badan sopan. "Selamat siang. Saya Rania." Tak disangka. senyum Nenek Bara mengembang lebar. "Aduh, cantik sekali. Sopan pula." Ayah Bara memperhatikan Rania sesaat, seolah menilai dari ujung kepala hingga kaki. Tapi alih-alih marah atau sinis seperti yang Rania takutkan, beliau justru tersenyum kecil. "Kamu kerja di mana, Nak?" tanya Ayah. "Saya guru TK, Pak," jawab Rania gugup. Ayah Bara mengangguk-angguk, tampak puas. "Baik. Pendidikan tetap penting. Dan menurutku profesi sebagai guru TK tidak semudah kelihatannya. Kamu harus memiliki kesabaran ekstra. Itu bagus." “Dan suka anak kecil,” tambah nenek Bara. Rania mengerjap, tak percaya. Mereka menerimanya? “Dia juga seorang penulis,” Bara menambahkan membuat nenek dan ayahnya mengangguk-angguk senang. Tentu mereka sangat menyukai seseorang yang produktif dan kreatif. Dan sejauh ini, Rania tampak positif di mata mereka. Nenek Bara menggenggam tangan Rania dengan lembut. "Kamu tenang saja, Nak. Kami tidak mencari kesempurnaan. Kami hanya ingin seseorang yang tulus dan punya hati." Rania menunduk, matanya terasa panas. Dia sungguh tak menyangka bahwa mereka memandangnya bukan sebagai beban. Tidak seperti orang lain terhadapnya. Obrolan mereka berlangsung cukup lama. Nenek menanyakan hal-hal ringan, Ayah Bara kadang menyelipkan guyonan kaku. Suasananya jauh lebih santai dari yang dibayangkan Rania. Saat akhirnya mereka pamit, Bara menoleh sambil berbisik, "Nggak seburuk yang kamu kira, kan?" Rania hanya bisa tersenyum kecil. Di dalam mobil, setelah beberapa menit hening, Bara berbicara. "Setelah ini kita tandatangani kontraknya. Tama sudah siapkan semuanya." Rania mengangguk. Dadanya berdebar lagi. Ini nyata. Ini benar-benar terjadi. Bara membawa Rania ke apartemen Tama. Di ruang kerja Tama yang minimalis, mereka duduk berhadapan di meja kaca. Tama, sahabat sekaligus asisten pribadi Bara, tersenyum lebar seraya mengeluarkan dua lembar dokumen tebal. Dia puas karena akhirnya ide brilliannya dipakai dan mereka mendapatkan solusi untuk masalah-masalahnya. "Ini draft-nya," kata Tama. "Aku buat seadil mungkin. Kalian bisa baca pelan-pelan sebelum tanda tangan." Rania dan Bara membaca seksama. Setiap pasal, setiap detail. Syarat pernikahan kontrak selama tiga tahun yang akan mereka jalani ke depannya. Klausul tidak ada tuntutan warisan. Dan batasan privasi masing-masing. "Maaf, tapi jika selama tiga tahun ini ada sesuatu yang terjadi bagaimana? Perubahan perasaan, mungkin?" Rania tiba-tiba bertanya dengan hati-hati, suaranya kecil, “Bukan berarti aku akan mencintanya, hanya saja siapa tahu,” tambahnya kemudian meralat. Tama mengangguk pelan. "Kalau mau tetap bersama setelah kontrak habis, kalian bisa menikah ulang secara normal. Tapi kalau berpisah, surat cerai sudah disiapkan sebagai bagian dari kontrak." Rania menelan ludah. Bara hanya menatapnya tenang, seolah semua ini hanyalah transaksi bisnis biasa. Akhirnya, dengan tangan sedikit gemetar, Rania mengambil pulpen. Satu tanda tangan di atas garis. Sementara disampingnya, Bara melakukan hal yang sama. Klik. Kontrak itu resmi dan sah. Tama mengambil berkas itu dengan senyum lega. "Selamat, kalian resmi menjadi calon suami istri kontrak." Rania dan Bara saling pandang sekilas, lalu sama-sama menghela napas panjang. *** Pernikahan itu dilangsungkan dua hari kemudian. Tanpa pesta mewah. Tanpa gaun putih menjuntai. Hanya sebuah upacara kecil di aula rumah keluarga Bara. Rania mengenakan kebaya sederhana berwarna krem muda. Rambutnya disanggul manis, wajahnya hanya diberi riasan tipis. Bara tampil dalam setelan jas abu-abu, tampak rapi tanpa berlebihan. Yang hadir hanya keluarga inti dan beberapa kerabat dekat. Dari pihak Rania hanya diwakili oleh paman dan bibi Rania, dan Reyhan tentunya. Keluarga Rania banyak yang berada di luar kota sehingga mereka tak bisa datang mendadak seperti ini. Semuanya berjalan singkat dan khidmat. Dan saat penghulu meminta Bara mengucapkan ijab kabul, suara pria itu terdengar dalam dan tegas. Rania menahan napas dan matanya berembun. Semuanya terasa tidak nyata. Pasti banyak yang mengira ia terharu karena menikah dengan seorang milyarder, padahal ironisnya ia hanya sedih karena menjalani pernikahan pertamanya dengan pura-pura. Setelah sah, mereka saling tersenyum kaku. Bukan senyum penuh cinta seperti yang diimpikan gadis kecil dalam dongeng. Tapi sebuah senyum dari dua orang yang mengikat janji dengan kepala, bukan hati. Setelah itu, resepsi kecil di taman belakang digelar. Nenek Bara berkali-kali menggenggam tangan Rania, memujinya di depan tamu-tamu. Ayah Bara, meski kaku, menepuk pundak Bara dengan bangga. Semua berjalan terlalu lancar sehingga Rania dan Bara mulai menikmatinya. Malam itu, setelah semua tamu pulang dan rumah mulai sepi, Bara dan Rania juga pamit untuk tinggal di apartemen Bara. Nenek dan ayah Bara mengantar mereka sampai luar rumah dengan senyum lebar. "Makasih," kata Bara tiba-tiba, saat mobil Bara sudah melaju. "Untuk apa?" tanya Rania seraya menoleh ke arah pria yang sudah menjadi suaminya tersebut. "Untuk semua ini." Rania tersenyum tipis. "Aku juga harusnya bilang terima kasih. Kamu mungkin satu-satunya alasan kenapa aku masih punya atap buat adikku." Mereka terdiam. Saling memahami tanpa banyak kata. “Kita pulang,” ajak Bara sebelum mereka akhirnya diselimuti keheningan sepanjang perjalanan. Pulang. Rania menghela nafas mendengar kata tersebut. Setelah ini dia akan pulang ke kehidupan barunya yang penuh kepalsuan. Dia sadar, di antara semua keabsurdan ini ada satu hal yang pasti, hidup mereka tidak akan pernah sama lagi. ***Pagi itu, mentari tampak cerah, seolah turut menyambut langkah baru yang sedang ditempuh Rania dan Bara. Semalam mereka tidur dengan hati hangat, dan kini bangun dengan semangat yang sama. Kebahagiaan kecil yang mulai tumbuh di antara mereka.Rania mengenakan blouse putih bersih dengan celana jeans panjang dan jaket denim yang membuatnya tampak kasual tapi anggun. Rambutnya dikuncir rendah, dan ia tak memakai banyak riasan hari itu. Ia baru saja selesai berdandan dan hendak keluar kamar ketika Bara masuk sambil membawa dua cangkir kopi dan senyuman.“Kita harus ke imigrasi dulu untuk urus paspor kamu,” ucapnya sambil menyerahkan secangkir kopi hangat.Rania menyambutnya dengan senyum. “Kamu yakin mau menemaniku? Aku bisa melakukannya sendiri.”Bara duduk di sampingnya, satu tangan meraih tangannya. “Kita mau pergi bersama. Jadi semuanya juga harus dilakukan bersama.”Kata-katanya sederhana, tapi cara Bara mengatakannya dengan tenang dan penuh perhatian, membuat dada Rania hangat. Lela
Hari itu, Rania segera mengurus izin cutinya di sekolah seperti permintaan Bara. Ia langsung menghadap ke ruangan kepala sekolah untuk menyerahkan surat izin yang sudah ia siapkan sejak pagi, beberapa menit saat bu Dyas, sang kepala sekolah, baru tiba. Rasanya Rania sudah tak sabar menantikan momen liburan bersama Bara. Setelah sekian lama berada dalam pusaran konflik, keduanya akhirnya menemukan waktu untuk bernapas sejenak, dan menikmati hubungan mereka sebagai suami istri yang sebenarnya."Cuti?" ulang Bu Dyas sedikit terkejut, karena Rania memang guru yang jarang sekali mengambil cuti kecuali saat ada keperluan penting. Seperti saat dulu ayahnya meninggal dan saat Rania menikah.Rania mengangguk tegas. Matanya menyiratkan kebahagiaan, dan senyum ceria tak pernah sirna dari wajahnya."Bulan madu? Bukannya kalian sudah cukup lama menikah?" tanya Bu Dyas lagi."Memang Bu, tapi suami saya baru sekarang ada sedikit jadwal kosong. Kemarin-kemarin kami tidak sempat cuti karena pekerjaann
Pembicaraan Rania dan Bara berlanjut di dalam kamar. Mereka terus saling menceritakan kisah masing-masing karena banyak yang memang belum diceritakan.Dari obrolan itu, Rania akhirnya mengetahui sisi lain Bara yang belum pernah ia lihat. Bara yang lembut dan merasa takut kehilangan. Sementara Bara juga tahu sisi Rania yang kuat dan mandiri, yang cukup berbeda dari pribadi lemah yang selama ini ia lihat."Aku tak bisa membayangkan setiap malam kamu menangis sendirian di kamarmu, memikirkan tagihan-tagihan itu sendirian," kata Bara sambil memainkan ujung rambut Rania dengan jarinya.Rania terkekeh, "Jangan dibayangkan. Aku melakukannya setiap hari. Dan puncaknya, adalah saat aku dengan bodohnya berjalan ke tengah jalan saat mobilmu lewat."Bara tersenyum mengingat kejadian itu, saat pertama kali mereka bertemu, "Aku juga sedang melamun saat itu. Aku tak melihat ada lampu merah."Rania dan Bara saling menatap. Kejadian yang waktu itu terlihat menyebalkan bagi mereka, sekarang justru tamp
Lampu-lampu kota mulai meredup satu per satu dari balik jendela apartemen, meninggalkan suasana malam yang hangat dan tenang. Rania duduk bersandar di dada Bara di atas sofa ruang tengah. Sebuah film lama diputar di televisi, tapi tak satu pun dari mereka benar-benar menontonnya. Tawa pelan dan obrolan santai lebih mendominasi malam itu.Bara membelai rambut Rania lembut, sementara jari-jari Rania menggenggam tangan Bara dengan erat. Senyum tersungging di wajah Rania, tapi jauh di dalam hatinya, ada sesuatu yang berusaha ia kubur dalam-dalam.Tentang Reza. Tentang Becca. Tentang peringatan yang membuat pikirannya tak tenang seharian ini.Namun malam ini, ia memutuskan untuk tidak merusaknya dengan keraguan. Untuk pertama kalinya, Bara tampak benar-benar bersikap seperti seorang suami. Hangat, perhatian, dan bahkan... terlihat begitu terbuka."Mas," gumam Rania pelan, "boleh aku cerita sesuatu?"Bara meliriknya, menundukkan wajah agar lebih dekat. "Apa saja, Sayang."Rania tersipu malu
Hari mulai siang, sekolah tempat Rania mengajar pun semakin ramai dipadati oleh para orang tua yang hendak menjemput anaknya. Reza sedang memejamkan mata, berusaha mendinginkan kepalanya ketika suara bising motor dan mobil itu bersliweran di depan mobilnya. Rasanya kepalanya hampir pecah, karena terus memikirkan kesalahan yang sudah ia lakukan pada Rania. Dia sadar dia takkan bisa terus menerus hidup seperti ini. Dia takkan bisa tenang sebelum ia meminta maaf. Walaupun mungkin Rania takkan mau memaafkannya.Ketika sekolah mulai sepi, Reza akhirnya memberanikan diri untuk turun. Ia melangkah dengan penuh tekad, mengumpulkan seluruh kekuatannya untuk menghadapi Rania. Reaksi Rania mungkin buruk, tapi ia sudah siap dengan segala resikonya. Lebih baik Rania mencaci maki dia daripada dia terus terbebani dengan kesalahannya sendiri.Namun, ketakutannya langsung sirna ketika melihat Rania keluar dari sekolah itu. Reza menghentikan langkah, dan membeku tanpa bisa mengatakan sepatah katapun. S
Bara mengangkat kepala, dan seketika senyumnya memudar. Di ambang pintu kubikelnya, berdiri Becca dengan gaun merah menyala yang mencolok dan senyum penuh goda. Aura parfumnya yang kuat langsung memenuhi area kerja Bara, mengundang beberapa pasang mata rekan kerja melirik penasaran. Terutama Tama."Baby," sapa Becca, melangkah mendekat dengan langkah anggun. "Sibuk sekali, ya?"Bara menghela napas, berusaha menjaga ketenangannya. Ia tahu betul maksud kedatangan Becca. Sejak pertemuan terakhir mereka, Bara memang sudah membatasi interaksi, hanya sesekali membalas pesan. Ia sudah bertekad untuk tidak lagi membiarkan Becca menjadi duri dalam hubungannya dengan Rania."Ada perlu apa, Becca?" tanya Bara datar, tanpa senyum.Becca terkekeh pelan, mendekatkan tubuhnya ke meja Bara. "Pulang kantor nanti, makan malam denganku, yuk? Ada tempat baru yang lucu, pasti kamu suka." Jemarinya dengan santai menyentuh tumpukan dokumen di meja Bara, seolah ingin menarik perhatiannya.Bara menarik tanga