Pagi itu, Rania bangun dengan tekad baru. Ia memantapkan hati untuk mengajar seperti biasa. Dunia mungkin tengah runtuh di sekelilingnya, tapi di hadapan anak-anak, ia harus tetap tersenyum. Itu adalah satu-satunya hal yang masih bisa ia kendalikan dalam hidup yang kini seperti perahu bocor di tengah badai.
Setelah membuat sarapan sederhana untuk Reyhan, sepotong roti dan segelas susu, Rania merapikan pakaian kerjanya. Kemeja biru pudar dan rok hitam satu-satunya yang masih layak pakai.
"Reyhan, jangan lupa kunci pintu kalau kamu berangkat sekolah, ya," katanya sambil tersenyum ke arah adiknya yang sedang makan. Reyhan mengangguk patuh. Wajah remaja itu masih penuh kecemasan, membuat hati Rania terasa teriris.
Ia menarik napas dalam-dalam, menyiapkan dirinya untuk satu hari panjang lagi. Tapi saat ia membuka pintu depan, niatnya langsung runtuh seketika.
Dua pria berdiri di ambang rumah. Bukan pria biasa. Tubuh mereka besar, wajah keras seperti batu, dan mata penuh niat jahat. Keduanya mengenakan jaket kulit hitam, seolah berusaha menyamarkan bahwa mereka adalah debt collector.
Rania menelan ludah. Ia mundur setengah langkah.
"Rania Wiranta?" tanya salah satu dari mereka dengan suara serak.
"Iya, saya. Ada apa?" suaranya bergetar, meski ia berusaha terlihat tegar.
Pria itu mengeluarkan setumpuk kertas dari saku jaketnya, lalu menamparkannya ke dada Rania.
"Hutang Ayahmu. Sudah jatuh tempo. Kami beri kamu waktu cukup. Hari ini kami akan menyita rumah ini kalau kau tidak membayar."
Rania mematung. "H-hari ini?" napasnya tercekat.
"Tidak ada kompromi." Mata pria itu menyipit. "Kami bawa truk. Mau kau kosongkan sendiri, atau kami paksa?"
Darah Rania terasa membeku. "Aku... aku butuh waktu!" ia memohon, suara hampir berbisik.
"Sudah habis waktu," pria satunya menyeringai, memperlihatkan deretan gigi kuningnya. "Kalau tidak sekarang, kami akan seret kalian keluar satu-satu."
Tangannya bergerak kasar, mendorong pintu agar terbuka lebih lebar.
Reyhan yang mendengar kegaduhan itu, berlari dari ruang tengah.
"Kak Rania!" teriaknya.
Refleks, Reyhan berdiri di depan Rania, melindunginya.
"Jangan sentuh kakakku!" bentaknya, meski lututnya gemetar.
Salah satu debt collector mendengus.
"Kalau tidak mau kamu dan kakakmu terluka, lebih baik kau keluarkan semua yang berharga sekarang juga."
Tanpa pikir panjang, Reyhan menyerang, mencoba mendorong salah satu debt collector. Tapi tubuh Reyhan terlalu kecil dibandingkan pria-pria itu. Dengan satu dorongan keras, Reyhan terhempas ke tanah, mengaduh kesakitan.
"Reyhan!" Rania menjerit, ingin berlari menolong.
Salah satu debt collector mengangkat tangan, hendak kembali mendorong Rania. Semua terjadi terlalu cepat. Dunia Rania berputar. Antara ketakutan, kemarahan, dan rasa tidak berdaya yang membuat tubuhnya hampir lumpuh.
Sampai suara berat menghentikan semuanya.
"Sudah cukup."
Semua kepala menoleh. Seorang pria berdiri di ujung jalan, siluetnya tegap di bawah sinar matahari pagi. Kemeja hitam rapi, wajah serius, dan tatapan mata yang dingin membelah udara seperti pisau. Langkahnya mantap saat ia mendekat, aura kekuasaan menguar dari seluruh tubuhnya.
Rania memandangnya, jantung berdebar tak menentu. Itu... Bara. Orang yang kemarin sudah menabraknya. Pria itu kini berdiri hanya beberapa langkah darinya, tubuh tinggi menjulang, tangan dimasukkan ke dalam saku celana.
"Mereka bersamaku," katanya datar, tapi penuh otoritas.
Kedua debt collector saling pandang, ragu.
"Ini urusan kami. Bukan urusan Anda," sahut salah satu dari mereka.
Bara tersenyum tipis. Bukan senyum ramah, lebih seperti peringatan dingin.
"Saya Bara Maheswara," katanya perlahan, menyebut nama itu seolah dunia harus bergetar. Dan memang, begitu nama itu terucap kedua debt collector itupun langsung menegang dan saling pandang.
Bara Maheswara tentu bukan nama asing di kota ini. Ia pewaris salah satu perusahaan terbesar, dikenal bukan hanya karena kekayaannya, tapi juga reputasinya sebagai pria yang tidak pernah kalah dalam negosiasi.
Bara menarik kartu nama dari dompetnya dan menyodorkannya kepada dua debtcollector.
"Beri saya salinan seluruh hutang yang kalian tagih pada keluarga ini," perintahnya.
Pria-pria itu tampak ragu. "Apa maksud Anda?" tanya satu dari mereka, kini suaranya lebih rendah.
"Aku akan membayarnya. Hari ini juga," kata Bara, santai seolah membicarakan belanja mingguan.
Rania ternganga, tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya.
"Kenapa...?" ia berbisik bingung, suara tercekat.
Bara hanya melirik sekilas ke arah Rania, matanya tajam namun sulit dibaca.
"Selesaikan ini dengan saya," katanya beralih kepada debt collector lagi. "Kalau tidak, kalian berurusan dengan pengacara saya. Dan kalian tahu, saya tidak suka diganggu."
Ketegangan di udara terasa tebal. Akhirnya, salah satu debt collector menyerah. Ia mengambil salinan dokumen dari map kusutnya dan menyerahkannya pada Bara.
"Kalau tidak dibayar hari ini..." pria itu mencoba mengancam.
Bara menaikkan satu alis, membuat pria itu menghentikan kalimatnya.
"Kalau tidak dibayar hari ini, saya akan membeli perusahaan tempat kalian bekerja dan memecat kalian di tempat."
Ancaman itu tidak terdengar seperti lelucon. Dan dua debt collector itu tahu. Tanpa banyak kata, mereka mundur, meninggalkan Rania dan Reyhan yang masih terkejut.
Begitu mereka pergi, Bara memasukkan menoleh ke arah Rania dan Reyhan.
"Waktumu kalian tidak banyak, kita harus menyelesaikan ini segera," katanya datar. "Kau butuh lebih dari sekadar keberanian untuk bertahan."
“Tunggu dulu. Apa maksudnya ini?” potong Rania. Rasa bingung masih memenuhi kepalanya, “Apa yang kamu lakukan disini dan tiba-tiba berjanji akan melunasi hutang-hutangku? Kamu menguntit aku?” tuduh Rania kemudian.
Bara menghela nafas. Sepertinya gadis di depannya ini masih saja tidak mengerti. Sebenarnya dia sendiri juga tak tahu mengapa hari itu dia berada di sana. Dia hanya berniat menenangkan diri, menyusuri jalanan kota dengan mobilnya, tapi entah mengapa tiba-tiba hatinya membawanya ke rumah ini. Rumah gadis yang baru saja ia tabrak kemarin, dengan harapan melihat keadaan gadis itu baik-baik saja.
“Aku hanya lewat,” jawab Bara ringan, “Jadi bagaimana? Apa kamu tidak mengizinkan orang yang sudah menolongmu masuk?”
Rania dan Reyhan saling pandang.
“Jadi, ini serius? Anda membayar hutang kami? Siapa Anda sebenarnya?” tanya Reyhan memastikan untuk terakhir kalinya.
“Sudah kubilang, aku Bara Maheswara. Sepertinya kalian tidak menggunakan media sosial kalian dengan baik.”
Bara Maheswara. Nama itu berdengung di kepala Rania, berat dan mengancam sekaligus... penuh harapan samar. Ia benar-benar tak percaya jika pria yang berada di depannya ini benar-benar Bara Maheswara yang sesungguhnya. Pantas saja, wajahnya begitu tak asing. Bodohnya, Rania tak mengenalinya sejak pertama mereka bertemu kemarin.
Dan beberapa menit kemudian, akhirnya dunia serasa berputar lebih pelan di sekitar mereka. Mereka duduk di ruang tamu rumah Rania. Reyhan sudah berangkat ke sekolahnya jadi tinggallah Rania dan Bara saja disana. Rania menikmati secangkir kopi susu sementara di hadapannya, Bara duduk sambil menyeruput kopi hitam. Kemeja hitamnya digulung sampai siku. Walaupun aura milyunernya tetap terpancar, Ia tampak lelah, sama seperti Rania.
Untuk pertama kalinya sejak insiden itu, keduanya duduk diam tanpa saling membentak. Sunyi memang karena keduanya lebih banyak diam, tapi entah kenapa mereka juga merasa nyaman.
"Jadi," Bara membuka percakapan lebih dulu, meletakkan cangkir kopinya. "Namamu Rania?"
Rania mengangguk pelan. "Dan kamu Bara."
Mereka bertukar pandang singkat. Canggung. Tapi tidak seburuk sebelumnya. Rania bisa melihat Bara ternyata sangat tampan dan berusia sekitar 30 tahunan. Sementara Bara setuju dengan pujian Tama ketika mengatakan bahwa Rania memang cantik, bahkan tanpa olesan make up seperti sekarang.
"Aku nggak pernah nyangka hidupku bakal serumit ini," gumam Rania sambil menatap jendela rumahnya. "Biasanya, masalah terbesarku cuma soal anak-anak TK yang rebutan mainan."
Bara terkekeh kecil. "Percaya deh, aku juga nggak pernah nyangka bakal nabrak seorang guru TK dan duduk di rumah sederhana seperti ini."
Rania menunduk, tersenyum tipis. Ada rasa absurd di dada mereka masing-masing, seperti dua orang asing yang dilemparkan ke tengah badai yang sama.
Tapi setelah beberapa saat hening, Rania menarik napas panjang.
"Kita sepertinya memulai perkenalan dengan cara yang salah, jadi mungkin aku harus cerita dari awal."
Kedua telapak tangannya memeluk cangkir cokelat panasnya, mencari kehangatan. "Ayahku meninggal sebulan lalu. Waktu itu, aku berpikir ini sudah takdirnya, aku harus kuat. Tapi ternyata dia ninggalin hutang yang sangat banyak. Ada beberapa pinjaman yang jatuh tempo. Debt collector datang hampir setiap hari. Dan mereka mengancam akan menyita rumah kami."
Suara Rania bergetar. Sementara Bara hanya diam mendengarkan.
"Aku kerja siang malam. Jadi guru TK di pagi sampai sore. Malamnya, aku menulis novel online. Tapi,” Ia menghela napas. "Honor dari nulis itu kecil. Gaji guru juga nggak seberapa. Setiap aku pikir aku sudah selangkah maju, ada saja biaya tambahan yang menarikku mundur lagi."
Helaan nafas lagi, lebih berat dari sebelumnya. “Kemarin aku sudah sangat kalut dan bingung. Karena itu aku menyeberang sambil melamun. Maaf, kejadian kemarin itu bukan sepenuhnya salahmu. Itu juga salahku.”
Bara mengetuk jarinya di meja. "Kalian tinggal berdua saja?"
Rania mengangguk. "Reyhan adikku, duduk di bangku SMA. Aku harus jagain dia."
Bara mengangguk pelan, matanya menyiratkan rasa simpati yang tulus. Melihat Rania terdiam cukup lama Bara pun sadar, sekarang gilirannya berbicara.
"Aku pewaris perusahaan keluarga. Hidupku dari luar mungkin kelihatan sempurna. Mobil mewah, rumah besar, uang melimpah."
Ia tertawa hambar. Suaranya terdengar berat dan maskulin.
"Tapi minggu lalu, aku terlibat skandal. Aku kedapatan media tinggal bersama kekasihku tanpa ikatan pernikahan. Media memburuku, nama keluargaku tercoreng. Nenekku murka. Ayahku lebih parah lagi."
Rania menahan napas, mendengarkan. Ia memang sempat melihat headline berita beberapa hari ini, tapi ia tak begitu mengikuti karena sudah terlalu pusing dengan masalahnya sendiri.
"Buat nutup semua kekacauan ini, keluargaku maksa aku menikah. Cepat. Harus dalam waktu sebulan. Mereka mau memperbaiki citra keluarga. Mau menunjukkan bahwa aku ini pria 'bertanggung jawab', siap berumah tangga, bukan buaya darat. Apalagi memiliki kekasih dan tinggal bersama seperti berita yang beredar." Bara mengangkat bahu dengan getir.
Rania membelalakkan mata. "Jadi kalian kumpul kebo?"
Bara mengangguk, “Dia tak mau terikat pernikahan. Tapi aku mencintainya.”
Rania diam, tak mengerti harus berkomentar apa. Jujur dia sendiri juga tak pernah berhasil dalam hal percintaan. Bahkan hubungannya dengan sang kekasih baru saja kandas sebelum ayahnya meninggal.
“Lalu? Apa rencanamu?” tanya Rania kemudian.
Bara menatap Rania dalam-dalam tanpa menjawab. Dia mulai mempertimbangkan tawaran Tama untuk menjawab pertanyaan Rania itu.
Menyadari tatapan penuh arti dari Bara, Rania pun menebak dengan hati-hati, “Kamu butuh pasangan pengantin pura-pura?”
Bara mengangguk. "Tepat sekali."
Hening beberapa saat. Mereka saling bertatapan. Kenyataan pahit masing-masing terpampang tanpa topeng.
"Dan kenapa kamu pikir aku cocok buat peran itu?" Rania bertanya dengan suara nyaris berbisik.
Bara menatapnya serius. "Aku sudah mempertimbangkannya. Tama benar. Kita saling membutuhkan dan menguntungkan. Takkan ada yang dirugikan dari perjanjian ini. Kamu butuh keamanan. Aku butuh reputasi. Ini hanya transaksi. Pernikahan kontrak, tiga tahun saja. Setelah itu, masing-masing jalan lagi."
Rania menelan ludah. Otaknya memproses semua itu cepat sekali. Pernikahan? Dengan pria asing? Untuk bertahan hidup? Hatinya menolak. Tapi pikirannya tahu bahwa dia sudah kehabisan pilihan.
"Apa syaratnya?" Rania akhirnya bertanya.
Bara menghela napas. "Kita akan buat perjanjian hitam di atas putih. Semua harta tetap milik masing-masing. Tidak ada hubungan emosional. Tidak ada hubungan fisik. Pernikahan ini hanya di atas kertas."
Rania menatap cangkirnya yang sudah dingin.
"Kalau salah satu dari kita ingin mengakhirinya sebelum tiga tahun?" tanyanya.
"Kita akan atur penalti," jawab Bara. "Tapi aku janji, aku akan membantu kamu lunasin semua hutangmu. Rumahmu aman. Adikmu bisa kuliah. Dan setelah kontrak selesai, kita cerai baik-baik."
Suara Bara tenang, seolah sedang menawarkan kontrak bisnis biasa. Tapi bagi Rania, ini seperti mengikat hidupnya pada seseorang yang nyaris tak ia kenal. Ia pun memejamkan mata sejenak.
Ia mengingat wajah adiknya, Reyhan, yang selalu tersenyum walau perut kosong. Mengingat rumah kecil mereka, penuh kenangan tentang Ibu dan Ayah. Mengingat teror debt collector yang tak pernah berhenti.
Ketika ia membuka mata lagi, keputusannya sudah bulat.
"Aku setuju," katanya lirih.
Bara mengangkat alis, seolah tak percaya Rania mengiyakan secepat itu.
"Tapi," lanjut Rania, "aku mau satu tambahan syarat."
"Apa?"
"Kita tetap punya batasan pribadi. Aku tetap bisa kerja. Tetap punya kehidupanku sendiri."
Bara mengangguk. "Tentu. Aku juga nggak mau mengganggu hidupmu."
Rania menatap pria itu dalam-dalam dan menambahkan. "Aku nggak mau jatuh cinta padamu. Dan aku juga nggak mau kamu mencintaiku."
Bara tersenyum tipis. "Sama."
“Dan Reyhan,” Rania melempar pandangan ke seluruh sudut rumah, “Aku rasa dia takkan mau pergi dari rumah ini. Dan aku juga tak mau meninggalkannya.”
“Tenang saja. Kamu bebas mau tinggal dimana saja. Kamu juga bisa membagi waktumu antara Reyhan dan... aku.”
Rania mengangguk setuju. Mereka pun berjabat tangan di atas meja reot itu.
Sebuah kesepakatan gila lahir di antara dua orang yang tadinya bahkan tidak saling kenal.Rania menggigit bibirnya. "Ini gila."
Bara mengangguk setuju. "Memang. Tapi apa ada pilihan lain?"
Mereka tertawa kecil. Rasanya ada yang aneh di udara sekitar mereka.
“Lalu sekarang bagaimana?” bisik Rania.
“Aku akan menyuruh Tama mengurus semuanya. Lusa kita akan menikah,” jelas Bara.
Rania membelalak, “Secepat itu?”
“Ya. Aku hanya punya waktu tiga hari untuk melangsungkan pernikahan. Aku ingin semuanya cepat selesai,” jelas Bara. Rania cemberut, tak menyangka dia akan menikah secepat ini.
“Tapi sebelum itu aku ingin satu hal lagi,” tambah Bara lagi. Rania mengernyitkan alisnya.
“Apa itu?”
Bara menatap Rania dalam-dalam. Dengan wajah serius dia berkata, “Aku sudah mengenal keluargamu, sekarang aku ingin memperkenalkanmu pada keluargaku.”
***
“Aku hamil anak Bara.” Suara Becca terdengar tegas, seakan menancap di dada setiap orang yang hadir. Ruangan yang tadinya penuh tawa mendadak beku setelah ucapan Becca itu terlepas.Nenek Bara terbelalak dan wajahnya memerah. “Apa maksudmu, Becca?! Jangan sembarangan bicara di rumah ini!” suaranya bergetar oleh amarah.Ayah Bara menepuk meja dengan keras. “Bara! Jelaskan ini! Apa benar yang dia katakan?” Sorot matanya penuh kekecewaan sekaligus murka.Tama yang berdiri paling dekat dengan Becca segera melangkah maju dengan wajah kaku. “Cukup, Becca! Kau sudah membuat kekacauan. Ayo keluar.” Ia mencoba meraih lengan Becca, berusaha menyeretnya pergi sebelum suasana semakin parah.Namun Becca menepis kasar, matanya berkaca-kaca. “Aku tidak berbohong! Aku tidak akan pergi sebelum semua orang tahu!”Bara melangkah cepat menghampiri Rania dengan wajah pucat, keringat dingin mengalir di pelipisnya. “Rania, dengarkan aku dulu. Itu tidak seperti yang kau pikirkan...”Namun Rania yang berdiri
Apartemen itu tampak lebih hangat dari biasanya. Balon-balon berwarna pastel menggantung di sudut ruangan, dengan pita-pita manis yang berayun pelan terkena hembusan kipas angin. Meja makan sudah dipenuhi kue, teh hangat, dan beberapa hidangan ringan. Di tengah meja, sebuah kotak hadiah besar dibungkus kertas warna biru dan pink, dan dihiasi pita putih lebar. Rania sengaja meletakkannya disana sebagai pusat perhatian nanti.Nenek Bara duduk di sofa sambil menatap sekeliling dengan senyum hangat.“Rania ini rajin sekali ya, mengundang kita dan mempersiapkan semuanya seperti ini. Rasanya ada yang mau dirayakan,” komentarnya sambil menyeruput teh.Ayah Bara hanya mengangguk pelan, matanya penuh rasa ingin tahu.“Apa ada yang ulang tahun?" tanyanya, mencoba menebak.Tama yang sejak tadi sibuk mengutak-atik ponselnya hanya terkekeh.“Saya juga penasaran. Rania tak mengatakan apa-apa. Hanya menyuruhku datang untuk makan malam.”Nisa duduk di samping Reyhan, keduanya sama-sama menatap dekora
Bara masuk ke ruangannya bersama Becca, diikuti dengan pandangan penasaran para karyawannya. Terutama Tama. Tama sedang mengambil kopi ketika melihat Bara dan Becca lewat. Dia ingin mengikuti mereka, namun ia langsung mengurungkan niat ketika melihat wajah Bara yang tegang saat menutup pintu."Ada apa lagi ini?" desisnya curiga. Tama sangat mengenal bagaimana Becca. Selama berhubungan dengan Bara, Becca selalu mengikatnya dalam hubungan toxic dan tak sehat. Apalagi sekarang, ketika Bara memutuskan untuk meninggalkannya. Tama yakin ada sesuatu yang tak beres sedang terjadi.Tama mengintip dari jendela ruangan Bara, yang sialnya tertutup tirai. Ia hanya bisa melihat sedikit gerak-gerik mereka di dalam ruangan. Tampak olehnya Becca sedang berusaha menggoda Bara dan menggenggam tangan Bara.Bara perlahan menarik lengannya pelan dari genggaman Becca. “Kalau ini cuma permainanmu lagi, aku tidak tertarik.”Becca menatapnya dengan tatapan penuh luka yang terlalu sempurna untuk dianggap tulus
Bara langsung memutus telepon dari Becca ketika mendengar suara pintu depan terbuka."Aku pulang..."Ia bangkit dari sofa hendak menyambut istrinya itu, tapi wajahnya langsung berubah saat mendapati Rania masuk dengan langkah pelan. Wajahnya pucat, matanya sedikit sayu, dan tangan kirinya memegangi perut."Sayang, kamu kenapa?" Bara langsung mendekat, nada suaranya penuh cemas.Rania tersenyum tipis, mencoba meredakan kekhawatiran suaminya. "Tak apa-apa. Kayaknya hanya masuk angin. Tadi di sekolah udaranya panas, tapi angin bertiup sangat kencang.""Kamu pulang naik apa?""Motor..."Bara menghela nafas, "Mulai besok, kamu harus pakai sopir. Aku akan mencarikan kamu sopir. Pakai mobil. Aku tak mau kamu kemana-mana naik motor sendiri lagi," omel Bara.Rania menatap Bara, hendak protes namun nyeri di perut membuat ia membatalkan keinginannya itu."Iya. Aku tak apa-apa kok. Besok juga sembuh."Bara menatap lekat wajah istrinya, jelas tak puas dengan jawaban itu. "Yakin? Kalau perlu kita k
Becca duduk di meja riasnya, jendela kamarnya dibiarkan terbuka, membiarkan cahaya masuk menyinari rambutnya yang keemasan. Jemarinya menelusuri bibir cangkir kopi yang sudah dingin, tatapannya kosong, namun pikirannya berputar cepat seperti pusaran air yang tak ada ujungnya.Di sudut meja, amplop bersegel rapi tergeletak tenang. Isinya adalah hasil pemeriksaan yang tadi pagi ia terima dari Rafael. Tulisan "Positive" di dalamnya seperti sebuah tiket emas yang sedang ia genggam erat.Ia memejamkan mata, membayangkan wajah Bara. Tatapan tajam itu. Garis rahang yang selalu tegas, dan senyum tipis yang dulu pernah jadi miliknya. Hatinya terasa panas, bukan oleh cinta, tapi oleh obsesi yang kian mencekik jiwanya.“Bara…” bisiknya lirih, seakan merapalkan mantra nama pria itu dari kejauhan.Ia tahu, waktunya harus tepat. Jika terlalu cepat, Bara bisa curiga. Tapi jika terlalu lama, kesempatan juga bisa lenyap. Maka ia mulai menyusun rencana di kepalanya.Minggu depan sepertinya tepat, saat
Malam belum begitu larut ketika Rafael sampai di rumahnya dan membawa Becca masuk. Di dalamnya, suasana redup menyelimuti ruangan, dengan musik jazz mengalun lembut dari speaker tersembunyi di sudut-sudut.Rafael mendudukkan Becca di sofa, dan Becca langsung terkulai lemas. Gaun hitamnya melingkari tubuhnya seperti kabut malam, sementara aroma parfum mawar dan vanilla samar menguar dari kulitnya. Di depannya, Rafael kembali menuangkan anggur ke dalam dua gelas kristal. Gerakannya sangat tenang sambil sesekali melirik ke dada Becca yang naik turun karena menarik nafas yang mulai cepat.“Untuk pertemuan lama yang membawa kenangan dan... peluang baru,” katanya, mengangkat gelas.Becca tersenyum simpul. Ada kegugupan kecil di balik sorot matanya, tapi ia tetap berusaha mengangkat gelas itu dan menyeruputnya. Rasa manis dan hangat menjalar di tenggorokannya, lalu turun ke dada, membakar perlahan.Becca meletakkan gelas itu di meja dan kembali menyandarkan tubuh, merasa tubuhnya semakin pan