Rania tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan jungkir balik dalam semalam. Ayah yang selama ini menjadi satu-satunya sandaran hidupnya meninggal mendadak karena serangan jantung, meninggalkan tumpukan hutang, adik yang harus ia lindungi, dan rentenir yang terus menguntit mereka. Dunia Rania yang sederhana kini runtuh, dan ia terpaksa bertarung sendirian untuk bertahan hidup. Bara Maheswara, salah satu pewaris kerajaan bisnis raksasa, terjebak dalam skandal yang hampir menghancurkan segalanya. Karier, warisan, dan reputasi keluarganya. Di bawah tekanan waktu dan ancaman kehilangan segalanya, dia hanya punya satu pilihan, menikah. Di tengah keputusasaan, sebuah kecelakaan kecil mempertemukan mereka. Pertemuan itu aneh, canggung, dan berakhir dengan debat panas. Namun tanpa diduga, itulah awal dari perubahan terbesar dalam hidup Rania. Sebuah pernikahan kontrak selama tiga tahun menjadi jalan keluar bagi keduanya. Dengan beberapa aturan. Tidak ada cinta, tidak ada sentuhan, dan tidak ada harapan. Namun, di balik batasan-batasan itu, perlahan tumbuh rasa yang tak bisa mereka tolak. Saat kontrak mendekati akhir, mereka dihadapkan pada pilihan: melanjutkan jalan masing-masing seperti perjanjian awal, atau melanggar semua aturan demi perasaan yang tak bisa mereka sangkal. Sebuah kisah tentang pernikahan pura-pura, rahasia kelam, luka masa lalu, dan cinta yang tumbuh bukan karena janji... tapi karena keberanian untuk memilih.
View MoreLangit sore menggelayut manja. Rania melangkah kecil di jalan setapak menuju rumahnya dengan hati gembira. Seharian ini dia melakukan pekerjaannya seperti biasa. Mengajar anak-anak TK, menyanyikan lagu “pelangi-pelangi”, dan mengikat rambut salah satu siswinya yang cengeng. Dan yang paling menyenangkan, ia juga mendapatkan honor seadanya dari sang kepala sekolah untuk bulan ini. Dalam benaknya ia sudah membayangkan akan membeli satu ekor ayam goreng untuk dimakan bersama ayah dan adiknya nanti malam.
Sebagai seorang guru TK, Rania memang membantu ayahnya mencari nafkah untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Ayahnya yang bekerja sebagai seorang buruh bangunan, tentu akan merasa bebannya sedikit teringankan berkat adanya gaji dari Rania. Mereka memang tinggal bertiga. Rania, sang ayah, dan adiknya yang masih duduk di bangku SMA, Reyhan. Mereka hidup serba sederhana dan bercukupan. Tapi semua terasa bahagia bagi mereka.
Namun, hari itu ada yang berbeda. Saat Rania membuka pintu rumahnya ada sesuatu yang janggal. Biasanya saat Rania tiba di rumah sang ayah sudah pulang dan menonton televisi dengan suara keras di kursi reotnya. Kali ini tidak ada suara apapun. Terlalu sunyi dan sepi, seakan tidak ada tanda kehidupan di dalam sana.
“Ayah?” panggil Rania. Ia meletakkan tas selempang lusuhnya di sebelah pintu dan berjalan masuk, mencari sosok ayahnya. Dan ketika ia sampai di ruang tengah, matanya membelalak.
Ia melihat ayahnya terbaring kaku dilantai dengan tangan memegangi dada dan wajah membiru.
“Ayah!” teriak Rania histeris. Ia berlutut dan mengguncang tubuh ayahnya yang sudah kaku. Dan saat itu juga dia terdiam dengan pandangan kosong, sadar jika ayahnya sudah pergi meninggalkannya.
***
Pemakaman ayah Rania berlangsung sederhana. Tetangga sekitar datang membantu, membawa doa dan air mata. Tapi setelah tanah basah menutup liang lahat, yang tersisa hanyalah keheningan dan tumpukan masalah yang mulai menggunung di hadapan Rania. Tinggal Rania dan Reyhan sendirian. Tak ada kerabat atau sanak saudara. Sejak ibu mereka meninggal sepuluh tahun yang lalu, mereka memang jauh dari keluarga sang ibu. Sementara keluarga sang ayah berada di luar kota, dan tak mungkin menemani mereka untuk waktu yang lama.
Hari-hari berikutnya berjalan dalam kabut. Sendirian Rania mengurus surat-surat kematian, menghibur Reyhan yang sebenarnya juga berusaha untuk tak menangis di depan sang kakak, dan dirinya sendiri juga berusaha menguatkan diri untuk tidak menangis setiap malam.
Hingga sore itu, saat ia membuka laci meja Ayahnya untuk mencari dokumen penting, ia menemukan kenyataan pahit lainnya.
Surat-surat tagihan hutang. Banyak. Terlalu banyak. Nafas Rania tercekat ketika mengetahui daftar listrik yang tertunggak, cicilan hutang dan pinjaman bank. Dan yang paling mengerikan adanya surat dari rentenir lokal, berisi ancaman tipis yang membuat darahnya membeku.
"Bayar hutangmu atau siap kehilangan rumahmu."
Tangan Rania gemetar saat membaca kalimat itu. Ia meremasnya dan merasakan lidahnya terasa kering. Di sudut matanya, dunia mulai berputar. Bagaimana bisa Ayah tidak pernah memberitahu soal semua ini? Bagaimana bisa ia, seorang guru TK dengan gaji pas-pasan, membayar semua hutang ini sendirian? Sementara ayahnya yang hanya seorang buruh juga tak meninggalkan apapun. Tak ada dana pensiun ataupun warisan. Hanya rumah ini yang tersisa sekarang.
“Kak?” Rania menoleh dan melihat Reyhan, sang adik yang duduk di kelas 2 SMA, berdiri di ambang pintu dengan wajah pucat.
“Ada apa Rey?”
“Apa ada makanan?” tanya Reyhan hati-hati, seakan takut pertanyaannya menyinggung perasaan sang kakak.
“Sebentar ya?” kata Raina. Ia beranjak menuju dapur dan membuka kulkas. Kosong. Hanya ada beberapa bahan makanan yang hampir habis. Sisa uang di dompetnya juga mungkin hanya cukup untuk seminggu ke depan jika mereka bisa berhemat.
Ia menyiapkan nasi sisa tadi pagi dan telur terakhir dari kulkas. Saat mereka makan dalam diam, Rania mencuri pandang ke wajah adiknya. Terlalu kurus untuk anak seusianya. Terlalu banyak beban di mata itu. Walaupun anak yang beranjak remaja biasanya mulai memberontak, tapi tidak dengan adiknya. Seakan Reyhan sadar diri bahwa keluarganya sudah terlalu penat dihimpit masalah, sehingga dia tak mau menambah beban mereka lagi.
Sekarang, apa yang harus ia lakukan?
Tiba-tiba suara ketukan keras di pintu mengejutkan Rania dan membuat jantungnya hampir copot. Ia bergegas berdiri dan membuka pintu. Tidak terlalu lebar, tapi cukup untuk melihat siapa yang berdiri di luar sana tanpa memberi mereka celah kesempatan untuk masuk.
Dua pria berdiri dengan memakai jaket kulit hitam di luar, wajah mereka asing dan suram.
"Siapa?" Rania bertanya, suaranya bergetar.
"Saya dari kantor pinjaman," salah satu dari mereka menjawab. "Kami ingin berbicara soal pembayaran hutang Almarhum Pak Wiranta."
Pak Wiranta. Nama ayahnya disebut begitu enteng tanpa ekspresi. Rania menarik nafas panjang, berpikir cepat tentang jawaban apa yang akan ia lontarkan.
"Ayah saya baru saja meninggal," katanya pelan. "Tolong beri kami waktu."
Pria itu tersenyum miring. "Kami tahu itu. Dan itu sebabnya kami datang. Hutang tetap harus dibayar Nona. Atau..." Pria itu tak meneruskan kalimatnya. Tatapan matanya menusuk, mengancam.
"Kami akan kembali," kata pria yang satunya sebelum berbalik dan pergi, meninggalkan Rania berdiri membeku di ambang pintu.
Tanpa memastikan kedua pria itu sudah pergi meninggalkannya, Rania segera menutup pintu. Ia berdiri menyandarkan punggungnya sambil mengatur jantungnya yang berdegup kencang. Tubuhnya gemetar, matanya berembun. Sejak kapan hidupnya menjadi seperti ini? Ia dulu hanya bermimpi sederhana. Mengajar anak-anak, hidup tenang bersama Ayah dan Reyhan, mungkin suatu hari menikah dengan pria baik dan punya keluarga kecil. Tapi kini, semua itu terasa seperti bayangan jauh yang perlahan menghilang.
“Siapa yang datang?” tanya Reyhan muncul dari pintu ruang makan. Raina buru-buru mengerjapkan matanya, berusaha menutupi air mata yang hampir jatuh.
“Bukan siapa-siapa. Hanya orang tanya alamat. Ayo makan lagi.”
Rania bersikap biasa saja seolah tak ada apa-apa. Tapi Reyhan curiga. Dia tahu ada masalah dan itu cukup besar untuk dihadapi sang kakak sendirian. Ia pun hanya mengangguk dan mengikuti sang kakak, dengan perasaan bersalah.
***
Rania menarik napas panjang saat pagi itu ia keluar dari rumah. Suasana pagi mendung kelabu, seperti ikut merasakan berat di pundaknya. Ia menunduk, menggenggam tali tas lusuh di bahunya, berusaha menghalau rasa sesak yang beberapa hari ini mencekik dada.
Hari ini seharusnya menjadi hari biasa. Mengajar anak-anak yang riang dan mendengar tawa polos mereka seharusnya bisa sedikit mengobati luka hatinya. Tapi tidak. Tidak hari ini. Tidak ketika pikirannya dipenuhi teror para debt collector yang terus memburunya seperti bayangan gelap yang tak pernah mau pergi.
Rania menghela napas lagi, kali ini lebih berat dari sebelumnya .Ayah... kenapa kau tinggalkan aku dengan semua ini? Batinnya putus asa. Jika ia tidak segera melunasi hutang-hutang itu, rumah kecil peninggalan orang tuanya akan disita.
Rumah itu bukan sekadar bangunan. Itu adalah satu-satunya tempat di mana ia dan Reyhan bisa berteduh. Tanpa itu mereka tak punya apa-apa lagi. Tidak ada keluarga besar, tidak ada simpanan uang, bahkan tidak ada tempat untuk meminta tolong.
Sambil melangkah pelan menuju trotoar, Rania merapatkan jaket tipisnya. Angin pagi menusuk kulitnya, membuat tubuhnya menggigil, tapi bukan itu yang membuat hatinya bergetar. Ketakutan yang mendalam, rasa tak berdaya, dan keputusasaan. Itulah yang benar-benar membekukan jiwanya.
Sudah beberapa hari ia menjalani hidup seperti ini. Pagi hingga siang mengajar anak-anak TK. Malam, setelah Reyhan masuk ke kamarnya, ia duduk di depan laptop tuanya, berusaha menulis novel demi mengejar tambahan penghasilan. Tapi semua kerja kerasnya seolah sia-sia. Gajinya mengajar dan royalti dari penjualan novel digitalnya nyaris tak cukup untuk membeli bahan makanan pokok, apalagi membayar hutang yang menumpuk dengan bunga mencekik.
Setiap hari, setiap malam, tekanan itu semakin berat menimpanya. Debt collector terus menghubunginya. Mengancam, meneror, juga datang ke sekolah diam-diam untuk mempermalukannya. Bahkan kemarin kepala sekolah sudah memanggilnya, menyiratkan bahwa Rania mulai membuat citra sekolah terganggu. Tinggal soal waktu sampai dia kehilangan pekerjaannya. Kalau itu terjadi, semua benar-benar habis tak tersisa.
Rania meremas jemari kurusnya, berusaha menahan air mata yang mulai membasahi sudut matanya. Dia tidak boleh menangis di jalanan. Tidak di depan orang-orang. Tapi jujur, dia benar-benar lelah. Setiap langkahnya terasa berat, seolah ada beban berpuluh-puluh kilogram di pundaknya. Trotoar yang biasa ia lewati terasa panjang tak berujung. Pandangannya mulai buram oleh air mata yang berusaha ia tahan.
Rania melirik ke seberang jalan. Halte tempat biasa ia menunggu bus sudah terlihat. Satu langkah lagi. Satu perjuangan lagi. Satu napas lagi.
Ia menguatkan hatinya, berusaha menyeberang di antara kendaraan yang berseliweran. Lampu merah menyala, memberi isyarat bahwa ia bisa berjalan. Tapi saat itu juga, saat ia baru saja melangkah setengah jalan, suara klakson memekik keras di telinganya.
Rania memutar kepalanya. Lampu mobil menyilaukan matanya, membuat dunia di sekelilingnya menjadi putih terang. Ia membeku. Langkahnya terhenti. Dalam sepersekian detik, dia ingin berteriak, ingin melompat, ingin menyelamatkan diri tapi tubuhnya terlalu lambat untuk mengikuti pikirannya.
BRAK!Benturan keras itu menggema di telinganya. Tubuhnya terpental, terlempar beberapa meter sebelum menghantam aspal keras. Rasa sakit yang luar biasa menyambar seluruh tubuhnya. Dada, punggung, kepala, semuanya terasa nyeri seperti dihantam palu godam.
Dunia berputar. Segalanya menjadi kabur. Samar-samar ia mendengar suara langkah kaki tergesa dan teriakan, “Kita menabrak orang!”
Dan yang terakhir Rania lihat adalah dua orang pria berdiri menatapnya. Sebelum semuanya menjadi gelap.
***
“Aku hamil anak Bara.” Suara Becca terdengar tegas, seakan menancap di dada setiap orang yang hadir. Ruangan yang tadinya penuh tawa mendadak beku setelah ucapan Becca itu terlepas.Nenek Bara terbelalak dan wajahnya memerah. “Apa maksudmu, Becca?! Jangan sembarangan bicara di rumah ini!” suaranya bergetar oleh amarah.Ayah Bara menepuk meja dengan keras. “Bara! Jelaskan ini! Apa benar yang dia katakan?” Sorot matanya penuh kekecewaan sekaligus murka.Tama yang berdiri paling dekat dengan Becca segera melangkah maju dengan wajah kaku. “Cukup, Becca! Kau sudah membuat kekacauan. Ayo keluar.” Ia mencoba meraih lengan Becca, berusaha menyeretnya pergi sebelum suasana semakin parah.Namun Becca menepis kasar, matanya berkaca-kaca. “Aku tidak berbohong! Aku tidak akan pergi sebelum semua orang tahu!”Bara melangkah cepat menghampiri Rania dengan wajah pucat, keringat dingin mengalir di pelipisnya. “Rania, dengarkan aku dulu. Itu tidak seperti yang kau pikirkan...”Namun Rania yang berdiri
Apartemen itu tampak lebih hangat dari biasanya. Balon-balon berwarna pastel menggantung di sudut ruangan, dengan pita-pita manis yang berayun pelan terkena hembusan kipas angin. Meja makan sudah dipenuhi kue, teh hangat, dan beberapa hidangan ringan. Di tengah meja, sebuah kotak hadiah besar dibungkus kertas warna biru dan pink, dan dihiasi pita putih lebar. Rania sengaja meletakkannya disana sebagai pusat perhatian nanti.Nenek Bara duduk di sofa sambil menatap sekeliling dengan senyum hangat.“Rania ini rajin sekali ya, mengundang kita dan mempersiapkan semuanya seperti ini. Rasanya ada yang mau dirayakan,” komentarnya sambil menyeruput teh.Ayah Bara hanya mengangguk pelan, matanya penuh rasa ingin tahu.“Apa ada yang ulang tahun?" tanyanya, mencoba menebak.Tama yang sejak tadi sibuk mengutak-atik ponselnya hanya terkekeh.“Saya juga penasaran. Rania tak mengatakan apa-apa. Hanya menyuruhku datang untuk makan malam.”Nisa duduk di samping Reyhan, keduanya sama-sama menatap dekora
Bara masuk ke ruangannya bersama Becca, diikuti dengan pandangan penasaran para karyawannya. Terutama Tama. Tama sedang mengambil kopi ketika melihat Bara dan Becca lewat. Dia ingin mengikuti mereka, namun ia langsung mengurungkan niat ketika melihat wajah Bara yang tegang saat menutup pintu."Ada apa lagi ini?" desisnya curiga. Tama sangat mengenal bagaimana Becca. Selama berhubungan dengan Bara, Becca selalu mengikatnya dalam hubungan toxic dan tak sehat. Apalagi sekarang, ketika Bara memutuskan untuk meninggalkannya. Tama yakin ada sesuatu yang tak beres sedang terjadi.Tama mengintip dari jendela ruangan Bara, yang sialnya tertutup tirai. Ia hanya bisa melihat sedikit gerak-gerik mereka di dalam ruangan. Tampak olehnya Becca sedang berusaha menggoda Bara dan menggenggam tangan Bara.Bara perlahan menarik lengannya pelan dari genggaman Becca. “Kalau ini cuma permainanmu lagi, aku tidak tertarik.”Becca menatapnya dengan tatapan penuh luka yang terlalu sempurna untuk dianggap tulus
Bara langsung memutus telepon dari Becca ketika mendengar suara pintu depan terbuka."Aku pulang..."Ia bangkit dari sofa hendak menyambut istrinya itu, tapi wajahnya langsung berubah saat mendapati Rania masuk dengan langkah pelan. Wajahnya pucat, matanya sedikit sayu, dan tangan kirinya memegangi perut."Sayang, kamu kenapa?" Bara langsung mendekat, nada suaranya penuh cemas.Rania tersenyum tipis, mencoba meredakan kekhawatiran suaminya. "Tak apa-apa. Kayaknya hanya masuk angin. Tadi di sekolah udaranya panas, tapi angin bertiup sangat kencang.""Kamu pulang naik apa?""Motor..."Bara menghela nafas, "Mulai besok, kamu harus pakai sopir. Aku akan mencarikan kamu sopir. Pakai mobil. Aku tak mau kamu kemana-mana naik motor sendiri lagi," omel Bara.Rania menatap Bara, hendak protes namun nyeri di perut membuat ia membatalkan keinginannya itu."Iya. Aku tak apa-apa kok. Besok juga sembuh."Bara menatap lekat wajah istrinya, jelas tak puas dengan jawaban itu. "Yakin? Kalau perlu kita k
Becca duduk di meja riasnya, jendela kamarnya dibiarkan terbuka, membiarkan cahaya masuk menyinari rambutnya yang keemasan. Jemarinya menelusuri bibir cangkir kopi yang sudah dingin, tatapannya kosong, namun pikirannya berputar cepat seperti pusaran air yang tak ada ujungnya.Di sudut meja, amplop bersegel rapi tergeletak tenang. Isinya adalah hasil pemeriksaan yang tadi pagi ia terima dari Rafael. Tulisan "Positive" di dalamnya seperti sebuah tiket emas yang sedang ia genggam erat.Ia memejamkan mata, membayangkan wajah Bara. Tatapan tajam itu. Garis rahang yang selalu tegas, dan senyum tipis yang dulu pernah jadi miliknya. Hatinya terasa panas, bukan oleh cinta, tapi oleh obsesi yang kian mencekik jiwanya.“Bara…” bisiknya lirih, seakan merapalkan mantra nama pria itu dari kejauhan.Ia tahu, waktunya harus tepat. Jika terlalu cepat, Bara bisa curiga. Tapi jika terlalu lama, kesempatan juga bisa lenyap. Maka ia mulai menyusun rencana di kepalanya.Minggu depan sepertinya tepat, saat
Malam belum begitu larut ketika Rafael sampai di rumahnya dan membawa Becca masuk. Di dalamnya, suasana redup menyelimuti ruangan, dengan musik jazz mengalun lembut dari speaker tersembunyi di sudut-sudut.Rafael mendudukkan Becca di sofa, dan Becca langsung terkulai lemas. Gaun hitamnya melingkari tubuhnya seperti kabut malam, sementara aroma parfum mawar dan vanilla samar menguar dari kulitnya. Di depannya, Rafael kembali menuangkan anggur ke dalam dua gelas kristal. Gerakannya sangat tenang sambil sesekali melirik ke dada Becca yang naik turun karena menarik nafas yang mulai cepat.“Untuk pertemuan lama yang membawa kenangan dan... peluang baru,” katanya, mengangkat gelas.Becca tersenyum simpul. Ada kegugupan kecil di balik sorot matanya, tapi ia tetap berusaha mengangkat gelas itu dan menyeruputnya. Rasa manis dan hangat menjalar di tenggorokannya, lalu turun ke dada, membakar perlahan.Becca meletakkan gelas itu di meja dan kembali menyandarkan tubuh, merasa tubuhnya semakin pan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments