Beranda / Romansa / Terpaksa Jadi Playboy / Bab 5. Permintaan Bu Krisye

Share

Bab 5. Permintaan Bu Krisye

Penulis: WN. Nirwan
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-14 12:10:13

KENZO

 

Husna ternyata baru berusia sembilan belas tahun, hanya terpaut setahun denganku. Dia dan adiknya adalah gadis-gadis berasal dari keluarga sederhana dan dibesarkan di kota ini.

 

Menurut Mami, mereka berdua adalah anak yatim piatu. Setahun sebelumnya, keduanya kehilangan orang tua dalam kecelakaan tunggal di pinggiran kota.

 

Setelah mengetahui latar belakang kakak-beradik itu, aku mulai memahami maksud Mami dan Papi untuk menolong mereka. Bagaimana pun, aku nyaris mengalami hal yang sama dengan mereka. Bedanya, Papi selamat dalam kecelakaan itu hingga aku tidak perlu kehilangan sosok ayah seperti yang dialami oleh Husna dan adiknya.

 

Apa yang aku ketahui tentang Husna, semuanya berasal dari Mami. Sebab, meskipun kini dia duduk di sebelahku, gadis itu membisu dengan kepala agak menunduk. Mungkin malu atau risih. Atau justru gugup karena baru kali ini naik sedan semewah ini?

 

Di belakang kami, adik Husna, Asma, tak henti-hentinya mengagumi interior mobil yang aku kendarai. Ia sesekali bertanya padaku, tapi biasanya langsung ditegur oleh kakaknya.

 

Aku sendiri hanya tersenyum canggung menanggapi pertanyaan-pertanyaan Asma. Bagaimana mau menjawab, kakaknya saja tidak mengizinkan adiknya bertanya. Atau, haruskah aku menjawab saja agar suasana lebih cair?

 

Kulirik Husna sekali lagi. Dialah gadis cantik yang kulihat saat kecelakaan  di pagi buta itu. Gadis pahlawan yang sudah menyelamatkan nyawa Papi. Aku mulai menyesal karena berpikir bahwa apa yang selama ini Mami lakukan untuk Husna sudah lebih dari cukup.

 

Padahal, utang nyawa seperti ini, bagaimana membalasnya? Aku tidak tahu. Apakah selamanya kami sekeluarga harus merasa berutang pada gadis sederhana ini?

 

Husna memang dibantu oleh pihak lain untuk menolong Papi. Tapi, tetap saja, dia adalah orang pertama yang tiba di lokasi. Papi yang terlempar ke samping mobil, ia bawa dengan susah payah untuk ditempatkan di tempat yang lebih nyaman.

 

Sementara aku, anak Papi sendiri, hanya bisa menyaksikan tanpa daya, bagaimana orang asing menyelamatkan keluargaku. Malah, akulah yang menjadi penyebab kecelakaan yang menimpa Papi.

 

Jadi, kelihatannya, seumur hidup, kami—terutama aku, tidak akan bisa membalas kebaikan Husna.

 

Sebelum tiba di kediaman keluargaku, mobil yang aku kendarai melewati sebuah portal yang hanya bisa dibuka oleh orang-orang yang tinggal dan bekerja di kediaman kami. Setelah itu, mobil pun menyusuri sebuah jalan pribadi yang di kedua sisinya terdapat pepohonan yang rindang.

 

Asma menengok kiri kanan, takjub melihat apa yang terbentang sepanjang perjalanan menuju ke kediaman kami. Kulihat pula Husna melirik ke tempat yang sama. Barangkali mulai menduga-duga, sehebat apa kediaman yang hendak ia kunjungi. Jalan menuju tempat itu saja sebagus ini, apa lagi kediaman keluarga kami.

 

Aku terkekeh pelan. Mungkin aku norak, tapi aku ingin sekali berkata, tunggu sampai kalian melihat tempat kami tinggal selama tiga generasi.

 

Setelah berjalan selama sepuluh menit, kami akhirnya tiba di kediaman keluargaku yang berdiri di atas lahan seluas lebih dari sebelas ribu meter persegi.

 

Seperti dugaanku, Asma memekik melihat kediaman kami yang bak istana dan memiliki empat lantai. Ia membelalak, lalu kegirangan karena akhirnya bisa menginap di tempat seluas dan semewah ini.

 

Aku kembali menengok pada Husna. Gadis itu tampak terkesiap. Meski lebih tenang daripada adiknya, aku tahu, dia juga sama tersentaknya melihat kediaman keluargaku.

 

“Kak, ini betul rumah Kak Kenzo?!” pekik Asma. Dia benar-benar tak percaya, rupanya.

 

“Iya. Kamar kalian berdua sudah disiapkan,” jawabku kalem.

 

Asma memekik lagi. Girang sekali. Tapi, kali ini, kakaknya tak menegur sama sekali.

 

***

 

HUSNA

 

Aku menyaksikan Asma bergembira gembira di kamar kami. Adikku itu sangat bersuka cita karena bisa menginap di rumah—ehm, mungkin lebih tepat jika disebut istana—ini.

 

Aku duduk di tepi ranjang besar yang empuknya terasa menenggelamkan, memandang adikku yang masih sibuk memeriksa seisi kamar yang luas itu.

 

Setelah melihat-lihat isi kamar, Asma lalu masuk ke kamar mandi. Aku bisa mendengar pekikannya. Tak lama kemudian, ia sudah berlari padaku. Melaporkan apa yang ia lihat.

 

“Kak, Kak! Kamar mandinya besaaar! Lebih luas daripada kos-kosan kita dulu!”

 

Aku hanya tersenyum lalu menyuruhnya mandi. Bu Krisye dan Pak Kenta akan pulang tak lama lagi. Jadi, kupikir ada baiknya jika kami sudah rapi saat menyambutnya.

 

Jika biasanya adikku paling malas disuruh mandi, kini tanpa perlu disuruh dua kali, ia sudah berlari ke kamar mandi.

 

Sejenak aku merasa khawatir bahwa dia akan kesulitan menggunakan kamar mandi yang pasti mewah dan dilengkapi dengan peralatan yang ‘canggih’ itu.

 

Tapi ternyata tidak ada panggilan minta tolong dari adik semata wayangku itu. Kelihatannya dia sudah mempelajari cara menggunakan kamar mandi yang isinya lebih dari sekadar ember dan gayung. Boleh juga. Adikku mungkin punya bakat jadi orang kaya.

 

Sambil menunggu adikku selesai mandi—aku yakin dia pasti akan berlama-lama di kamar mandi itu, aku membongkar isi tasku untuk mengeluarkan pakaian ganti. Namun bunyi ketukan pintu membuatku harus menghentikan sejenak kegiatanku.

 

Ternyata Bu Krisye. Beliau sudah pulang rupanya.

 

Barangkali karena aku hanya mematung di ambang pintu, wanita paruh baya itu akhirnya mengisyaratkan agar aku menyilakan beliau masuk. Aku terkesiap. Merasa malu dan telah lancang. Meskipun ini rumahnya, Bu Krisye ternyata sangat menghargai tamu dan privasinya.

 

“Senang di rumah ini?” tanya Bu Krisye sambil duduk di sebuah kursi meja tulis di kamar yang aku dan Asma tempati.

 

“Alhamdulillah, Bu. Kami sangat senang dengan undangan menginap di sini.”

 

“Kalau begitu, menginap saja di sini lebih lama.”

 

Aku tentu saja tidak bisa menerima tawaran itu. Aku punya toko kue yang harus dibuka sebagai mata pencaharian. Menutupnya lebih lama berarti menghilangkan kesempatan mendapatkan penghasilan.

 

Tapi kelihatannya Bu Krisye tidak tertarik dengan jawabanku. Tanpa menunggu tanggapanku, dia mengajukan satu pertanyaan lagi.

 

“Sudah ketemu anak saya, ‘kan? Menurut kamu, Kenzo itu pemuda yang seperti apa?”

 

Deg!

 

Kenapa tiba-tiba pertanyaannya mengarah ke situ, sih? Kami baru pertama kali saling berbincang. ‘Pertemuan’ pertama malah terjadi pada saat kecelakaan yang melibatkan Kenzo tiga bulan lalu.

 

“Saya… saya pikir Kak Kenzo cowok eh, pemuda yang baik,” jawabku agak gelagapan. Sejujurnya, aku tidak tahu harus mengatakan apa-apa selain mengatakan hal yang jamak dijadikan jawaban seperti itu. Mau bilang dia keren, kok kesannya aku ini kegatelan, ya?

 

“Kalau menurut kamu baik, itu artinya dia bisa jadi calon suami yang baik, ya?” tanya Bu Krisye lagi.

 

Eh? Ini kenapa ya, kok bicara tentang calon suami? Memangnya Kenzo akan menikah dan Bu Krisye meminta pendapatku?

 

“Maaf sebelumnya tidak memberi tahu tentang keinginan saya dan Papi-nya Kenzo. Kami pikir, Husna adalah gadis yang cocok untuk menjadi calon istri Kenzo. Makanya, kami mengundang kamu untuk membicarakan keinginan kami ini.”

 

Eh? Gimana, gimana? Aku yakin, aku pasti sedang ternganga di hadapan wanita paling berkelas yang pernah aku lihat itu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terpaksa Jadi Playboy   Bab 50

    KENZOAku memeriksa akun-akunku di berbagai sosial media. Lalu tersenyum saat mengetahui bahwa Cindy, gadis yang tengah bersamaku saat aku menabrak mobil yang ditumpangi oleh Papi, kini telah bekerja di sebuah perusahaan atas rekomendasi Papi.Aku tidak mengucapkan selamat atau kata-kata lainnya karena khawatir Cindy masih belum bisa menerimaku. Akan tetapi, diam-diam aku berdoa yang terbaik untuknya.Kemudian, aku menggeser layar ponselku dan melihat foto Putri tengah bersama makan malam bersama Bang Rano. Sekarang aku tahu, kenapa Bang Rano minta izin pada Papi untuk tidak hadir dalam acara ini, walaupun diundang oleh kedua orang tuaku.Namun, biarlah. Baik Bang Rano mau pun Putri tentunya menghindari situasi yang canggung jika mereka tetap hadir malam ini. Padahal, saat melihat foto mereka, aku tidak merasakan apa-apa. Benar-benar tidak merasakan cemburu, bahagia mau pun kesal. Datar saja.Daripada berlama-lama melihat foto Putri, aku berganti sosial media. Pandanganku langsung ter

  • Terpaksa Jadi Playboy   Bab 49

    HUSNASambil tersenyum kikuk, aku menyerahkan uang kembalian pada seorang anak perempuan yang membeli browniesku.“Kak, uangnya kelebihan, nih. Harusnya dua puluh ribu saja,” tegur gadis kecil itu, jujur.Aku tersentak, menyadari kesalahanku. Sambil mengucapkan maaf dan terima kasih, aku menerima kembali kelebihan uang sejumlah dua puluh ribu rupiah. Sebagai ucapan terima kasih, aku memberikan teh kemasan satu botol padanya.Setelah gadis kecil tersebut meninggalkan tokoku, aku mengintip jam di ponselku. Sudah lebih dari lima belas menit Kenzo dan Himawari berbicara di ruang tengah rumah kontrakanku. Mudah-mudahan mereka sudah bisa menyelesaikan masalah di antara mereka. Masalah yang juga telah menyeretku hingga harus berpura-pura pingsan segala.Sebenarnya, aku masih merasa malu pada Kenzo karena sudah kasar padanya. Padahal, dia hanya ingin menolongku yang tiba-tiba terkapar di lantai tokoku. Meskipun perbuatan konyolku itu timbul karena ulah Himawari juga, tak ayal aku merasa bersa

  • Terpaksa Jadi Playboy   Bab 48

    KENZOAku semakin malu saja pada Husna. Aku tahu, aku yang pertama kali melakukan kesalahan dengan membentak Hima. Kalau Hima tidak langsung mau memaafkan aku, itu antara aku dan dia saja. Tapi tidak ada hubungannya dengan Husna.Aku terheran-heran. Kenapa saat sedang marah padaku, Hima justru kabur ke tempat Husna? Mereka belum lama saling mengenal, tapi Hima sudah berani mengganggunya saat sedang merajuk begini.Belum lama saling mengenal. Kalimat ini akhirnya membuat aku bisa menerka alasan di balik kaburnya Hima ke toko Husna.Hima tidak punya teman di kota ini. Teman-teman yang ia kenal semasa kecil, semuanya telah berada di seberang lautan. Sama seperti Hima yang sebenarnya juga menetap di luar negeri.Di kota ini, hanya aku dan keluargaku yang Hima kenal dengan baik. Takdir membuat ia akhirnya mengenal Husna dengan perantara adik-adik mereka dan brownies buatan Husna. Jadi

  • Terpaksa Jadi Playboy   Bab 47

    KENZOAku merasa malu. Sangat malu pada Husna karena tingkah laku Hima yang telah merepotkannya.Maka, aku segera bertolak ke toko sekaligus rumah Husna untuk menemui Hima. Sekaligus meminta maaf pada Husna yang sudah direpotkan oleh sepupu jauhku itu.Saat aku hendak memasuki mobil, aku melihat Vita tengah berada di antara dua orang gadis lain yang tampaknya adalah sesama mahasiswi. Mereka tengah menghibur Vita yang tampak sedang menangis.Aku tertegun sebelum menyalakan mobil. Merasa bersalah telah mengatakan bahwa kami hanya teman. Setelah apa yang telah aku lakukan untuknya, membantunya agar tetap dapat kuliah, memberinya harapan, lantas mengatakan bahwa bahwa kami tidak ada hubungan apa-apa.Padahal, aku sendiri yang ‘memilih’ Vita sebagai calon pertama untuk menggantikan Husna. Sekarang, aku mengelak saat Vita menyatakan perasaannya yang jujur saja, membuatku terkejut.Pengecut. Kurang ajar. Entah kata-kata kasar apa lagi yang dapat disematkan padaku.Apa aku menemui Vita dulu y

  • Terpaksa Jadi Playboy   Bab 46

    HUSNA“Teman … dia curhat sudah diputusin pacarnya,” jawabku sekenanya. Kemudian buru-buru memutuskan panggilan secara sepihak, sebelum Novi membicarakan hal yang memusingkan aku lagi. Maaf, Novi.Aku pikir, untuk apa pula menjelaskan pada Himawari dengan detil tentang Novi. Himawari mungkin tidak mengingat Novi sama sekali. Kalaupun ia ingat tentang sepupuku itu, aku yakin, dia tidak akan tertarik.Himawari mengangguk-ngangguk. Untuk mengalihkan pembicaraan, aku segera mengajaknya masuk ke dalam.“Tadi ke sini dengan siapa?” tanyaku sambil menghidangkan minuman dingin.“Diantar supir. Tapi sudah kusuruh pulang,” jawab Himawari cuek.“Loh, nanti pulangnya bagaimana?” tanyaku tanpa menyembunyikan rasa heranku.“Aku panggil lagi supirnya ke sini.”Astaga

  • Terpaksa Jadi Playboy   Bab 45

    KENZOPada akhirnya, secara diam-diam, aku memang menitikkan air mata. Bukan hanya karena tergugah oleh rentetan kata-kata Putri padaku, melainkan juga perbuatan gadis yang baru saja menolakku itu.Aku tidak memperhatikan lagi apa yang Putri katakan padaku karena mendadak tubuhku limbung. Kepalaku terasa ringan hingga pandanganku seperti berputar-putar.Astaga! Seperti inikah rasanya ditolak? Atau, aku yang terlalu berlebihan menanggapinya? Seorang ‘playboy’ yang biasa menjadi rebutan kaum hawa, kini harus terpuruk karena bukan menjadi pilihan seorang gadis berkelas seperti Putri. Hah.Aku yakin, aku tidak terkena vertigo. Tekanan darahku pun mungkin tetap normal. Aku hanya … terhenyak melihat apa yang terjadi setelah Putri mengatakan rangkaian kalimatnya yang membuatku seperti ditampar berulang-ulang dengan sangat keras. Putri mengucapkan terima kasih untuk hadiah cokelat

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status