Share

7. Follower Sejati

Author: Tetiimulyati
last update Last Updated: 2023-07-11 17:22:16

Agak tergesa-gesa aku mengendarai motor matic kesayanganku pagi ini. Bukan pagi, ini sudah beralih siang. Aku terlambat setengah jam dari biasanya. Ini hari pertama aku kembali ke toko setelah aku menikah.

Pagi tadi Maya mengirim pesan padaku bahwa hari ini dia akan datang terlambat ke toko. Ya, ini jadwal rutinnya menemani ibunya ke dokter.

Genangan air di beberapa bagian jalan yang pagi ini sengaja tak kuhindari, menimbulkan percikan air ketika laju motorku sama sekali tak kuperlambat. Biasanya aku akan menghindar demi si merah kesayanganku ini tetap kelihatan bersih.

Memasuki area pertokoan yang berjajar rapi, sedikit kupelankan laju motorku. Dengan tergesa-gesa kuparkirkan si merah di depan satu-satunya toko yang masih tutup. Bergegas turun dan tanpa membuka helm aku berjalan sambil mengambil kunci di dalam tas dan berjalan mendekati pintu.

Kulihat Iren, satu-satunya karyawanku yang sedari tadi duduk d depan konter sebelah bangkit dan berjalan ke arahku.

"Pagi, Mbak," sapanya.

"Pagi, Ren. Dah lama nunggu, ya?" tanyaku sambil membuka kunci tanpa melihat ke arahnya.

"Lumayan, Mbak."

"Pagi, Neng Ara. Kesiangan, ya?"

Tanpa menoleh pun aku sudah tahu si empunya suara pasti sedang senyum-senyum nggak jelas.

Aku menghela napas kasar dan tanpa berniat menjawabnya, kuteruskan aktivitasku membuka rolling door.

"Abang bantu, ya." Tanpa menunggu jawabanku, dia menyerobot mengambil alih pekerjaanku.

Lagi-lagi aku menarik nafas kasar dan membuang muka. Kulirik sekilas Iren yang berdiri tak jauh dariku sambil menahan tawa. Kulebarkan mata, mengintimidasi. Alih-alih berhenti, Iren membuka mulut tanpa bersuara. Sedetik kemudian dia merapatkan jari-jarinya pada bibirnya.

Menyebalkan.

"Selesai .... "

Pandanganku beralih pada pria disamping kiriku. Bang Ijam, namanya Jamil, tapi lebih suka dipanggil Ijam. Pria jangkung karyawan counter sebelah yang lebaynya melebihi anak-anak abege. Tapi baik dan tidak pernah kurang ajar.

"Eh, iya Bang. Makasih, ya," jawabku sambil mengangguk.

"Kembali kasih, Neng Ara," balasnya selalu dengan senyum khas. Kepedean.

"Maaf, selalu merepotkan."

"Nggak, kok, sama sekali nggak ngerepotin. Abang malah senang bisa bantu. Saat ini mungkin baru bisa bukain rolling door, siapa tahu nanti Abang bisa buka hati Neng Ara."

Ya ampun!

Dalam hati aku bergidik.

"Lama nggak kelihatan, kemana aja? Abang 'kan jadi kangen," lanjutnya cengengesan.

"Saya ada sedikit urusan, Bang. Maaf saya beres-beres dulu." Tanpa menunggu jawabannya aku bergegas masuk ke toko menyusul Iren yang sudah masuk duluan sambil tetap menahan tawa.

"Jangan lupa sarapan, Neng Ara, " teriaknya kemudian.

Aku memutar bola mata, jengah. Membuka helm dan menaruhnya di tempat biasa. Setengah kulempar aku meletakkan tas di atas meja. Menghempaskan diri di atas kursi dan menatap Iren yang mulai bersih-bersih. Iren melepaskan tawanya yang sedari tadi ditahan.

"Selalu begitu setiap pagi," kataku frustasi.

"Begitulah kalau punya follower sejati, memangnya dia belum tahu kalau Mbak Ara sudah nikah?" jawab Iren terkekeh.

"Kayaknya belum."

"Tapi Bang Ijam itu baik ya, Mbak. Cuma lebay akut. Dia nggak pernah pegang-pegang tangan atau tindakan tak senonoh lainnya," tambahnya.

"Ya juga sih. Eh, jangan- jangan kamu naksir dia ya, Ren."

"Idihh, nggak lah. Gini-gini juga selera Iren tuh yang cool."

"Kayak kulkas maksudnya?"

"Ya bukan dong, amit- amit deh, punya cowo kayak kulkas berjalan."

Aku tersenyum tipis sambil memijit pelipis pelan.

"Mbak Maya nggak masuk?" tanya Iren

"Masuk. Nanti agak siangan. Nemenin ibunya dulu ke dokter."

Iren hanya mengangguk, lalu kembali fokus melanjutkan pekerjaannya.

***

"Sorry, aku telat, Ra," ucap Maya begitu sampai satu jam kemudian.

"Nggak apa-apa, May. Bagaimana keadaan ibumu?"

"Alhamdulillah baikan."

"Syukurlah."

"Oh ya, Ra, kamu inget customer kita yang dari Surabaya itu nggak? Kemarin dia order sepatu banyak lho."

"Mbak Nindy?"

"Iya. Biasanya dia beli sepatu buat dia doang kan. Kemarin sekalian beli buat suaminya juga beberapa sepatu anak-anak. Katanya buat putrinya."

"Bagus, dong, Alhamdulillah."

"Tapi dikirim bukan ke Surabaya," lanjut Maya.

"Terus?"

"Dikirim ke alamat barunya, di kota ini. Katanya baru pindahan."

Kami memang berjualan secara online juga. Dan banyak pembeli dari luar yang menjadi pelanggan kami.

Drrrttt

Drtttt

Ponselku bergetar. Ada pesan masuk dari nomor Bang Fyan.

[Abang sedang dalam perjalanan menuju toko Ara.]

"Ngapain Bang Fyan ke sini?" gumamku.

"Kangen lah, namanya juga pengantin baru," ledek Maya.

"Wah, bakalan ada yang terbakar, tuh, di sebelah," tambah Iren.

Aku memutar bola mata sementara Maya dan Iren kembali cekikikan.

Sepuluh menit kemudian mobilnya sudah terparkir di depan tokoku. Aku segera keluar menyambutnya.

"Tempatnya strategis ya, Ra. Juga nyaman." Bang Fyan memperhatikan seisi tokoku.

"Alhamdulillah, Bang. Lumayan lah."

Setelah berbasa-basi sebentar, kami pun berpamitan.

"Saya pinjam Ara sebentar, " pamit Bang Fyan tersenyum dan melirikku.

"Oh, iya. Lama juga nggak apa-apa, kok. Kalian kan udah halal," jawab Maya.

Sontak aku melotot ke arahnya dan hanya dibalas oleh cekikikan Maya. Kulirik Bang Fyan juga tersenyum ke arahku. Entah bagaimana wajahku saat ini, kurasakan sedikit memanas.

"Kami pamit dulu. Ayo, Ra."

"Ah, iya, Bang. Sebentar Ara ambil tas dulu."

Aku berjalan beberapa langkah menuju meja, di dekat Maya berdiri, tempat tasku berada.

Begitu sampai di depan mobilnya, dia berjalan ke samping kiri mobil. Membukakan pintu untukku. Tepat satu detik sebelum aku masuk, tiba-tiba terdengar suara si jangkung karyawan konter sebelah.

"Eh, Neng Ara! Mau kemana?" Serempak kami menoleh ke arah suara itu.

Nampak Bang Ijam berjalan terburu-buru menghampiri kami.

"Mau jalan sebentar, Bang. Per .... "

"Kenalkan saya Ijam, lengkapnya Jamil. Ijam itu panggilan sayang dari Neng Ara, " ucapnya sambil mengulurkan tangan pada lelaki yang berdiri tak jauh dariku.

Astaghfirullah!

Belum selesai aku bicara, dia sudah memotong dengan kalimat yang sontak membuatku menepuk dahi. Bukankah semua orang juga memanggil dia dengan nama Ijam? Ingin rasanya aku menonjok bibirnya. Sumpah, aku merasa tak enak pada Bang Fyan.

Bang Fyan menyambut uluran tangan Bang Ijam.

"Sofyan Daud, panggil saja Fyan. Saya suaminya Ara," jawab Bang Fyan dengan tenang dan tersenyum penuh arti.

Aku melirik wajah Bang Ijam. Sumpah! Aku hampir tak bisa menahan tawa. Ekspresinya sangat mengkhawatirkan dan sulit dijelaskan. Yang pasti ada raut kecewa bercampur dengan kaget. Sedikit melankolis.

"Kami permisi dulu," pamit Bang Fyan sambil melepaskan tangannya dari genggaman pria itu. Lalu dengan gerakan tangan dia mempersilakan aku masuk. Segera aku turuti.

Ketika mobil yang kami tumpangi perlahan meninggalkan pelataran pertokoan, aku masih melihat lewat spion, pria jangkung karyawan konter sebelah itu masih mematung.

"Kamu ternyata punya penggemar juga, ya," kata Bang Fyan tanpa melihat ke arahku. Bibirnya tersenyum, pandangannya fokus ke depan.

Aku hanya tersenyum miring, meski kutahu Bang Fyan tak akan melihatnya.

"Sepertinya dia sangat mengagumimu." Kali ini Bang Fyan melirikku.

"Maaf, Bang. Dia memang seperti itu dan Ara tak pernah menanggapinya," tuturku pada lelaki di sampingku. Tak enak juga atas sikap Bang Ijam barusan, takut suamiku salah faham.

"Abang nggak apa-apa, kok, karena Abang tahu selera Ara itu seperti apa. Ya, nggak jauh-jauh dari Abang lah kriterianya," ucapnya pede.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu    92. Restu Orang Tua

    "Ha--hallo ... assalamualaikum .... " Ara tidak bisa membunyikan kegugupannya. Suaranya terdengar bergetar begitu mengucap salam. "Waalaikumsalam, Ra. Abang kira Ara tidak mau menerima telepon dari Abang. Barusan Mama menyampaikan kabar bahagia itu. Makasih, ya." Suara renyah Fyan terdengar sangat familiar di telinga Ara. Seharusnya gadis itu rindu, tetapi entah kenapa saat ini Ara malah terkesan tidak suka. Bukan tidak suka orangnya, namun status mereka yang akan berubah. Itu yang membuat Ara gelisah. "Iya, Bang, tetapi ada syaratnya." "Katakan saja, apa yang harus Abang lakukan. Oh ya, apa kabar kamu, Ra?" Seperti biasa, Fyan selalu mengalah dan berusaha menurut apa yang Ara mau. "Ara baik, Bang. Eum .... ada baiknya kita ketemu, Bang. Kayaknya hal ini nggak bisa dibicarakan lewat telepon." Suara Ara tetap datar. "Eh, iya. Tentu saja kita harus ketemu, besok Abang jemput Ara di toko, ya." "Memangnya Abang tahu di mana toko Ara?" Gadis itu memicing. "Tahu, dong. Aban

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu    91. Pilihan Terbaik

    Fyan sudah bisa menduga kalau tidak semudah itu Ara menerima perjodohan ini. Bahkan sebenarnya Fyan juga sudah siap jika gadis itu menolak. Meski demikian, kabar dari Mama cukup membuat Fyan mematung beberapa saat.Kecewa. Tentu saja.Hal inilah yang ia takutkan sejak dulu. Empat tahun yang lalu, saat ia merasa ada perasaan lain pada gadis itu. Perasaan lebih dari sekedar sahabat dan seorang kakak. Yang pada akhirnya Fyan harus kehilangan Ara saat gadis itu jatuh ke tangan Rey. "Kamu Jangan berkecil hati, Nak. Mama dan Papa akan terus meyakinkan Ara.""Jangan dipaksakan, Ma. Sesuatu yang terpaksa itu tidak akan baik nantinya. Fyan ingin Ara menerima ini dengan kesadaran penuh dan tanpa paksaan.""Tenang saja, ya. Mama dan Papa tahu kok, harus bagaimana.""Terima kasih, Ma. Kalau begitu izinkan Fyan bertemu dengan Ara, biar Fyan yang menjelaskan padanya.""Sabar dulu, ya, Nak. Tidak secepat itu, nanti setelah Ara bisa ditemui malah akan kabarin, kok."Panggilan terakhir, Fyan meletakk

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu    90. Menolak

    Pulang dari bertemu dengan mama dan papanya Ara, Fyan merasa lega mendengar kabar gadis itu masih sendiri. Berarti ia mempunyai kesempatan untuk mewujudkan harapannya. Senyum tak lepas dari bibirnya, sepanjang perjalanan Fyan bersenandung kecil. Dunia yang sempat terasa sempit kini kembali melebar. Fyan berharap, semoga saja Ara menyetujui rencana mama dan papanya. Gadis itu pasti kecewa kepada Rey. Semoga kehadiran Fyan kembali akan membuka hatinya dan menjadi pelipur dukanya. Hari itu Fyan tidak kembali ke kantor. Ia mengirim pesan pada sekretarisnya untuk menghandle beberapa pekerjaan. Pemuda itu langsung pulang ke rumah lantaran ingin segera berbaring dan merayakan kebahagiaannya sendiri.Hal yang pertama Fyan lakukan setelah sampai di rumah adalah mencari media sosial Rey. Ia ingin bertanya pada sahabatnya itu kenapa sampai hati melakukan ini pada Ara.Terakhir kali Fyan berkomunikasi dengan Rey entah berapa tahun yang lalu. Kalau tidak salah tak lama setelah dia berada di Sura

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu    89. Besar Harapan

    Sudah hampir dua bulan Fyan tinggal di kota Bandung. Hari demi hari ia lalui sangat membosankan. Kegiatannya hanya ke kantor dan di rumah. Fyan termasuk orang yang tidak suka keluyuran atau nongkrong tidak jelas. Sesekali menginap di rumah Shafia jika Fyan sedang ingin makan makanan rumahan. Setiap hari makan di restoran memang tidak enak. Mau masak di rumah rasanya tidak seru kalau dimakan sendirian.Shafia pernah menyarankan supaya Fyan mencari seorang ART, tetapi sang adik tidak mau. Untuk bersih-bersih rumah, Fyan bisa mengerjakannya sendiri. Bukankah sekarang sudah banyak alat yang membantu. Pakaian dicuci di laundry. Selain rumah Shafia, hari minggu biasanya Fyan berkunjung rumah yang baru saja ia beli untuk melihat pembangunan yang sudah hampir selesai. Membayangkan suatu saat ia tinggal di sini bersama keluarga kecilnya. Bahagia dengan seorang istri dan mereka saling menyayangi. Lagi-lagi wajah Ara yang muncul ketika Fyan membayangkan masa depan.Selam dua bulan tinggal di B

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu    88. Apakah Jodoh?

    Satu bulan setelah pernikahan Ajeng dan Pras dilaksanakan. Tepatnya satu bulan setengah setelah Ayah meminta Fyan pindah ke Bandung. Namun belum ada tanda-tanda pemuda itu bersiap-siap untuk pergi ke kota tersebut. Ayah dan Bunda pun belum membahasnya lagi sejak pembicaraan saat itu. Fyan sendiri bukan lupa kalau saat itu dirinya mengiyakan permintaan Ayah. Namun dirinya masih menimbang dan ragu untuk kembali ke kota itu. Meski jujur saja, dalam hatinya penasaran dengan kabar Ara, namun dia masih tetap tidak punya keberanian untuk mencari tahu tentang gadis itu. Malam ini, Ayah dan Bunda kembali membahas hal itu selepas mereka makan malam. "Sudah hampir dua bulan lho, Nak? Jadi mau kapan?" Bunda membuka pembicaraan dengan sebuah pertanyaan."Sebentar lagi, Bun. Ada pembangunan yang belum selesai di panti asuhan. Lagi pula Ajeng dan Pras masih pengantin baru.""Sudah satu bulan menikah, harusnya Ajeng dan Pras sudah kembali aktif. Bulan madu kan bisa kapan-kapan. Kakakmu kemarin sud

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu    87. sepakat

    "Bagaimana kabar tokonya Ara?" tanya bunda setelah beberapa menit berbasa-basi sekedar bertanya kabar. Pertanyaan itu pun masih bagian dari basa-basi. Terakhir Bunda mendengar kabar kalau Ara membuka usaha toko di ruko yang tidak jauh dari taman flamboyan."Alhamdulillah, Jeng. Karena ditekuni, usahanya semakin lancar bahkan sekarang menerima pesanan lewat online. Ara juga kelihatannya semakin dewasa tidak manja lagi seperti dulu." Terdengar tawa kecil dari seberang telepon. Bunda membayangkan gadis kecil itu sekarang sudah berubah menjadi wanita dewasa. Gadis kecil yang dulu selalu tampil dengan rambut dikuncir satu di belakang yang kerap merengek manja memintanya membuatkan sesuatu tatkala dirinya sedang di dapur."Saya sebenarnya sangat kangen sama Ara. Tapi, kok, nomornya tidak aktif, ya." "Sepertinya Ara ganti nomor, Jeng. Kalau begitu, nanti saya kirim nomor baru Ara.""Ndak usah, Jeng. Ara sekarang sibuk di tokonya, takut mengganggu waktunya. Mendengar dia sehat dan baik-baik

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status