Share

5. Dipertemukan Kembali

Penulis: Wahyuni SST
last update Terakhir Diperbarui: 2023-02-23 00:57:15

Pov Aini

***

"Makasih, ya."

Mataku yang masih memerhatikan Fikri masuk ke pekarangan sekolahnya seketika beralih. Tak percaya, benarkah Bang Sattar mengucapkan terima kasih padaku?

"Makasih buat apa, Bang?"

"Kue ulang tahun dan menu spesial di atas meja makan."

"Allahu Rabbi, sebenarnya apa yang Engkau mimpikan pada lelaki ini tadi malam ya, Rabb. Udah diijinkan semobil dengannya, sekarang malah diberi ucapan terima kasih. Hahaha ... benarkah ia mulai luluh?" jerit batinku kuat-kuat.

"Abang suka?" tanyaku sambil kini memerhatikan gerak tangannya.

Dia terdiam, tak menoleh, tak juga menjawab. Tangannya justru sibuk menghidupkan music pada head unit. Pasti yang barusan itu, dia salah berucap.

Huh!

Aku persembahkan hidupku untukmu

Telah ku relakan hatiku padamu.

Namun kau-

Seketika Bang Sattar gelagapan mengganti channel. Kurasa dia risih mendengar lagu yang mencerminkan dirinya. Lagu berikutnya.

Ciumlah, bibirku ini,

Karena esok aku tak disini,

Kulihat dari-

Tut!

Belum habis lagu istimewa itu diputar, Bang Sattar sudah keduluan mematikan mesin pemutarnya.

'Huh, dasar lelaki, takut banget terpancing!'

Kesal, aku hanya bisa menjerit dalam hati melihat tingkah Bang Sattar.

Kulemparkan pandangan keluar jendela, tiba-tiba mobil berhenti mendadak. Aku yang tak pakai sabuk pengaman terhunyung ke depan. Parahnya lagi, kepalaku kejedot kaca depan mobil.

"Awww ...," teriakanku memecah ketegangan.

Bang Sattar tersentak, ia segera membantuku duduk ke posisi semula.

"Kamu nggak papa?" tanyanya sambil memegang dahiku yang baru saja kehantam kaca mobil.

"Nggak, Bang," ucapku berpura-pura.

Kuelus kepala hingga tangan kami tak sengaja bersentuhan. Mataku langsung terlempar pada matanya. Sejenak kedua bola mata kami saling bertemu. Bang Sattar buru-buru mengalihkan pandangannya.

"Lain kali pakai sabuk pengaman," ucapnya sambil kembali menyetir.

Aku yang baru pertama kali mendapat tatapan intens darinya, berusaha mengatur degup di dada. Sejenak kembali memandangnya, lalu ikut mengalihkan pandangan ke jendela. Kuelus kepala sambil merasa-rasa apa yang baru saja terjadi. Tapi sesuatu membuat jantungku seakan ingin berhenti berdetak, dari kaca ini, aku melihatnya. Dia kembali menatapku.

Ah, bahagianya ...

***

Aku menggerakkan langkah menuju aula. Sesuai instruksi, hari ini diadakan rapat sehubungan dengan kunjungan tim akreditasi, sekaligus penerimaan dokter spesialis kandungan baru lulusan terbaik Universitas Indonesia. Sebenarnya aku sangat merasa bersyukur, dengan bertambahnya satu orang spesialis OBGIN, otomatis kerjaan Bang Sattar akan sangat terbantu. Hal itu pasti akan berdampak pada jam kerjanya. Mudah-mudahan dengan begini, dia bisa punya waktu lebih untukku. 

'Ah, untuk Fikri pastinya.'

Setelah memilih tempat duduk, kualihkan pandangan menatap deretan dokter yang duduk di bangku depan. Di sana ada suamiku, Bang Sattar. Dia duduk tepat di sanping direktur utama rumah sakit. Kupandangi wajahnya dari kejauhan, ia selalu menyihir mataku jika tengah serius begitu. Andai aku bisa mengelus sekali saja, rambut tebalnya yang memesona itu. Ah!

Rapat dibuka langsung oleh Bapak direktur. Beberapa hal penting disampaikan sehubungan dengan ketersediaan dokter spesialis hingga bagaimana tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan yang sudah dilaksanakan oleh tim monitoring beberapa waktu lalu. 

Setelah panjang lebar bercerita, tibalah sesi perkenalan dokter baru.

Ternyata ada empat dokter yang diterima hari ini. Beliau memperkenalkan satu persatu diantara empat orang dokter baru tersebut, mulai dari dokter anastesi, spesialis penyakit dalam, ahli gizi dan bedah anak, serta dokter kandungan.

Semua yang disebutkan namanya bangkit kecuali satu, dokter Spesialis Kandungan. Direktur rumah sakit tampak sibuk menanyakan posisi dokter yang tidak hadir itu. Lalu dia mengeluarkan ponselnya dan mulai berbicara secara berbisik.

Tak lama pintu masuk aula terbuka, sebuah salam mengalihkan semua pandangan ke tempat itu.

Netraku membelalak melihat siapa yang kini sedang melangkah ke dalam ruangan.

'Benarkah ini ya, Allah? Jibran? Ini, aku, harus bagaimana?'

Terkejut, terkesima, tak percaya, setelah tiga belas tahun? Dia ada di depan mata.

'Jibran ....'

Hatiku terus menjerit-jerit. Jibran, dia. Ya Allah ...

Tak terasa pelupuk mataku sudah dipenuhi cairan yang mengambang. Haruskah aku bahagia, bisa melihatnya kembali. Tapi, mataku telempar pada sosok yang ada di sebelah Jibran kini, yang tengah menyalaminya sambil tersenyum menawan.

Suamiku! Bang Sattar.

“Beliau asli orang Aceh, dan hanya beliau pula yang masih jomlo. Saya perkenalkan dokter Ayatullah Jibran Sidddiq," ucap kepala rumah sakit bersemangat. Riuh tepuk tangan seluruh jajaran rumah sakit yang hadir dalam ruangan itu. Semua tampak antusias, terutama yang bisa kupastikan adalah para gadis-gadis jomlo.

'Jibran, masihkan kamu mengenaliku, Hurun Aini? Apakah jika bertemu kembali, kau akan menagih janji kita di masa lalu?'

***

Ouekkk ... Ouekkk

Sudah berkali-kali aku memuntahkan isi lambungku di kamar mandi. Kurasa, kuah pliek tadi pagi membuat lambungku kembali bermasalah. Badanku kini terasa lemah, andai tadi kuturuti perkataan Bang Sattar. Pasti sekarang bisa istirahat di kamar.

"Kamu sehat, Aini?" tanya kepala ruangan ketika melihatku bolak balik keluar kamar mandi.

"Aini hamil itu, Buk," sahut Mutia teman seletting yang kebetulan satu ruangan denganku.

Aku hanya terdiam, jika menjawab kutakutkan akan semakin memperburuk status asam lambung ini.

"Wah, mesti kabari dokter Sattar ini. Berita baik!"

"Jangan, Kak. Cuma asam lambung biasa. Bentar minum antasida juga kurang," jawabku sambil kemudian kembali ke kamar mandi.

"Selamat datang dokter Jibran di rumah sakit ini. Beginilah, Dok keadaannya. Mohon bantuannya, Dokter."

'Sepertinya diluar ada tamu. Tapi, ouekkk!'

Keluar lagi!

"Eh, ada dokter Sattar juga. Selamat ya, Dok."

Kuhentikan muntahan ini dan memasang telinga dengan baik. Sepertinya Kak Mira sedang berbicara dengan seseorang. Mungkinkah itu, Bang Sattar?

"Selamat apa, Kakak?"

"Aini dari tadi mual muntah, udah diperiksa belum, Dok?" sindirnya.

'Ya Salam ... Kak Mira, mulutnya, Astaghfirullah!"

Kupercikkan air kemuka. Bagaimana mungkin aku hamil, disentuh aja nggak pernah. 

Badan lemas, perut sakit tak lagi jadi masalah. Segera aku meluncur keluar kamar mandi. Mulut Kak Mira harus dihentikan. Kupakai kembali cadar menutupi wajah lalu bergegas keluar. Kubuka pintu dengan kasar.

'Allah! Jibran!'

Mata kami bertemu. 

'Kenapa dia ada di depan mata?'

"Aini?"

"Bang Sattar?"

Kumiringkan kepala yang tertutup oleh tubuh Jibran. Bang Sattar muncul dengan wajah cemas. Sementara Jibran menggeser tubuhnya ke samping.

"Ini istrinya dokter Sattar, Dok. Namanya Hurun Aini."

Kupandangi kembali Jibran, dia seperti keheranan. Tapi Bang Sattar tampil tak biasa, dia mendekatiku dan ...

"Abang bilang, harusnya kamu istirahat sehari lagi."

"Diperiksa aja, Dok. Kali hamil."

'Kak Mira, duh ....'

Bang Sattar mengacuhkan guyonan Kak Mira.

"Tunggu di mobil, Abang antar kamu pulang," perintah Bang Sattar sambil menyerahkan kunci mobilnya padaku. Ragu, kuraih benda di tangan Bang Sattar. Sementara itu, suamiku kembali mengajak Jibran duduk di kursi perawat. 

Kuhela napas panjang. Setelah mengambil tas, kugerakkan kaki keluar ruangan, mengikuti perintah Bang Sattar untuk menunggunya di dalam mobil. Sebelum keluar ruangan, entah kenapa mata ini ingin kembali menatap sosoknya. 

Kubalikkan badan dan tap! 

Mata kami kembali bertemu, hanya untuk sesaat. Sebelum akhirnya aku memutuskan untuk pergi.

"Allah, kenapa Kau pertemukan kami kembali, setelah ... aku seutuhnya jadi istri orang?'

***

Bersambung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terpaksa Menikah Dengan Abang Ipar   27. Malam Pertama

    Pov Sattar"Malam ini, kami terus bersama, menghabiskan dua belas jam dengan terus nengungkapkan perasaan. Aku hanya ingin tersenyum, menumpahkan segala rasaku, setelah tiga tahun membeku. Yang kutahu kini, bersamanya hanya akan ada warna, bukan kegelapan juga kesamaran. I Love You, Aini."***Kami sampai di rumah pukul dua belas siang, saat matahari tengah tepat berada di atas kepala. Sesampai di garasi, aku kembali menggendong Fikri yang sudah membukakan matanya. Namun, masih nampak begitu lelah. Aku dan Aini berjalan bersisian memasuki rumah. Terus menaiki tangga, hingga berhenti tepat di depan kamar gadis itu. "Mandilah, dulu. Terus istirahat. Biar nggak kecapean," pesanku padanya yang ia jawab dengan anggukan kepala. Sudah dua kali kami begini, berakhir dengan perpisahan di depan kamar. Apa yang dia rasa, aku memang tidak mampu membaca. Tapi yang kurasa saat ini, jelas ada sesuatu yang membuat dada ini berdenyut. Jika diluar kami memang harus berpisah, tapi tidak jika di rumah

  • Terpaksa Menikah Dengan Abang Ipar   26. Mulai Menyayangi

    Selepas kepergian Bang Sattar ke Mesjid, kurebahkan tubuh di atas ranjang. Membayangkan kembali apa yang telah kami lewati bersama mulai dari semalam hingga pagi ini. 'Ya Allah, benarkah hamba sedang tidak bermimpi? Hamba ingin selamanya begini ya Allah, tidak hanya untuk satu atau dua malam?'Kembali, mata ini terpejam. Lelaki itu, ah, dia ... dia. Dia yang membuat darahku seakan berhenti mengalir. Dia yang membuat jantungku bertabuh tidak karuan. Dia ya Allah, dia yang telah memiliki seutuhnya hati ini. Tolong, sempurnakanlah pula kehadiranku dihatinya. Hanya aku ...Tak terasa pelupuk mata ini mulai dipenuhi cairan, kukucek-kucek beberapa kali agar tak ada setitikpun cairan itu berderai. Kini aku justru tersenyum sambil memandangi wajah Fikri. "Kamu ingin punya Adik nggak, Sayang? Doakan Mama ya, biar bisa segera kasih kamu, Adik."Aku menenggelamkan wajah pada bantal. Malu!'Semalam aja yang nggak sampai berbuat apa-apa, tapi sampai subuh mata ini nggak bisa terpejam. Gimana lag

  • Terpaksa Menikah Dengan Abang Ipar   25. Terlanjur Cinta

    Pov JibranLama aku menatap kertas yang diberikan Mama, sedikit terhenyak saat mendapati alamat yang sama antara yang tertera di KTP gadis bercadar tadi, dengan alamat yang ada pada kertas ini. Sepertinya tidak salah lagi, Nurul Aina yang mama maksud adalah gadis bercadar yang tadi bertabrakan denganku di Cafe Kenapa bisa kebetulan begini? Sepuluh menit perjalanan, kami sampai disebuah rumah kos semi permanen. Suasananya sepi, karena memang ini adalah waktu tengah hari. Sudah tentu mahasiswa yang menempati rumah kosan di wilayah ini, masih sibuk dengan berbagai tugas di kampus masing-masing. Mama meneruskan langkah hingga sampai pada rumah bercat hijau. Sambil memperbaiki jilbab, ia mengetuk pintu kayu bercat cream. "Assalamualaikum," ucap Mama memberi salam. Tak lama, pintu kayu rumah itupun terbuka. Seorang gadis bercadar dengan setelan rok plus baju selutut, tampak dibalik daun pintu.Aku melihatnya dengan sesama. Matanya? Benar, ini gadis yang tadi kutemui di Cafe. Dompetnya?

  • Terpaksa Menikah Dengan Abang Ipar   24. Satu Selimut

    Pov sattar"Badannya panas, air mata mengalir di kedua sudut. Kurasa dia demam karena terlalu lama memakai gamis dan hijab yang basah oleh hujan. Tapi aku bersyukur, karena dia sakit, aku bisa menemaninya. Dan malam itu menjadi malam pertama kami."***Kami berpisah di depan kamarnya. Masih canggung, harusnya aku langsung masuk ke kamar itu, tapi rasa sungkan menuntunku untuk melepas tangan Aini, dan membiarkan dia masuk ke kamarnya sendiri. Sedang aku, seperti biasa, memilih mandi dan mengganti pakaian di kamar Fikri."Sepertinya Fikri masih tidur, biar nanti Abang yang urusin. Kamu ganti pakaian terus, biar nggak masuk angin."Ucapanku ditanggapinya dengan anggukan, dan helaan napas. Lalu dengan tak semangat dia berbalik dan mamasuki kamarnya.Huh!Ada yang begitu menyesaki dada, andai aku bisa bersikap normal padanya, pasti malam ini kami menghabiskan malam berdua. Apalagi hujan begini, pasti begitu syahdu.Ah! Kugeleng-gelengkan kepala, membuang pikiran aneh yang hendak mampir di

  • Terpaksa Menikah Dengan Abang Ipar   23. Pov Jibran

    Pov Jibran *** Sekarang aku bagaikan gumpalan debu. Seolah hanya dirinya yang mampu merangkai kembali ragaku. Aku menjadi begitu rapuh Tanpanya, hatiku tak lagi utuh. *** "Sadaqallahul 'Adzim ...." Kututup mushaf di tangan, lalu mencium tangan mama dengan takzim. Wanita itu baru saja sampai di Aceh siang tadi. Bersyukur malam jumat kedua keberadaanku di kota ini, aku bisa kembali bertadarus bersama wanita yang hingga detik ini, masih menjadi yang nomar satu di hati. "Bran." Mama memanggilku lirih, aku yang hendak keluar dari mushalla berhenti sejenak. "Tiap malam jumat walau nggak ada Mama, masih rutin baca Al-Kahfi 'kan?" tanyanya sambil memerbaiki duduk. "Masih Ma." "Alhamdulillah. Masih ingatkan Bran, khasiat membaca surat Al Kahfi? Barang siapa membiasakan membaca surat Al Kahfi, kelak pada hari kiamat akan memancar cahaya dari bawah kaki. Dan yang paling utama adalah, diampuninya dosa-dosa yang terdapat diantara dua Jumat." Aku mengangguk. "Jibran ingat, Ma. Makany

  • Terpaksa Menikah Dengan Abang Ipar   22. Kejebak Hujan

    Pov AiniSudah hampir jam sebelas malam, tapi mata ini masih juga tidak mau terpejam. Pikiranku masih saja melanglang buana pada seorang lelaki yang berada di kamar sebelah. 'Sedang apa dirinya kini?'Tadi di meja makan, dia diam seribu bahasa. Tak lagi menatapku seperti yang beberapa hari ini kerap dilakukannya. Sampai nasi di dalam piringnya habis, tak ada satu katapun yang meluncur dari mulut lelaki itu. Sepertinya semua ini akibat dari ulahku. Pertama, karena aku tidak menyetujui keinginannya. Lebih parah lagi, aku membiarkannya menunggu seorang diri di rumah makan itu. Huh, padahal saat itu dia sedang kesal, tapi tetap aja turun saat ketemu rumah makan di pinggiran jalan. Harusnya aku tidak mempertahankan gengsiku, dia aja udah merendahkan dirinya.'Ya Allah, rasanya benar-benar kesal sama diri sendiri! Harusnya aku bisa berdamai dengan keinginannya, bukankah berjauhan dengan Jibran adalah suatu kebaikan? Lalu kenapa aku masih aja mempertahankan ego. Sungguh egois sikapku ini y

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status