Share

5. Dipertemukan Kembali

Pov Aini

***

"Makasih, ya."

Mataku yang masih memerhatikan Fikri masuk ke pekarangan sekolahnya seketika beralih. Tak percaya, benarkah Bang Sattar mengucapkan terima kasih padaku?

"Makasih buat apa, Bang?"

"Kue ulang tahun dan menu spesial di atas meja makan."

"Allahu Rabbi, sebenarnya apa yang Engkau mimpikan pada lelaki ini tadi malam ya, Rabb. Udah diijinkan semobil dengannya, sekarang malah diberi ucapan terima kasih. Hahaha ... benarkah ia mulai luluh?" jerit batinku kuat-kuat.

"Abang suka?" tanyaku sambil kini memerhatikan gerak tangannya.

Dia terdiam, tak menoleh, tak juga menjawab. Tangannya justru sibuk menghidupkan music pada head unit. Pasti yang barusan itu, dia salah berucap.

Huh!

Aku persembahkan hidupku untukmu

Telah ku relakan hatiku padamu.

Namun kau-

Seketika Bang Sattar gelagapan mengganti channel. Kurasa dia risih mendengar lagu yang mencerminkan dirinya. Lagu berikutnya.

Ciumlah, bibirku ini,

Karena esok aku tak disini,

Kulihat dari-

Tut!

Belum habis lagu istimewa itu diputar, Bang Sattar sudah keduluan mematikan mesin pemutarnya.

'Huh, dasar lelaki, takut banget terpancing!'

Kesal, aku hanya bisa menjerit dalam hati melihat tingkah Bang Sattar.

Kulemparkan pandangan keluar jendela, tiba-tiba mobil berhenti mendadak. Aku yang tak pakai sabuk pengaman terhunyung ke depan. Parahnya lagi, kepalaku kejedot kaca depan mobil.

"Awww ...," teriakanku memecah ketegangan.

Bang Sattar tersentak, ia segera membantuku duduk ke posisi semula.

"Kamu nggak papa?" tanyanya sambil memegang dahiku yang baru saja kehantam kaca mobil.

"Nggak, Bang," ucapku berpura-pura.

Kuelus kepala hingga tangan kami tak sengaja bersentuhan. Mataku langsung terlempar pada matanya. Sejenak kedua bola mata kami saling bertemu. Bang Sattar buru-buru mengalihkan pandangannya.

"Lain kali pakai sabuk pengaman," ucapnya sambil kembali menyetir.

Aku yang baru pertama kali mendapat tatapan intens darinya, berusaha mengatur degup di dada. Sejenak kembali memandangnya, lalu ikut mengalihkan pandangan ke jendela. Kuelus kepala sambil merasa-rasa apa yang baru saja terjadi. Tapi sesuatu membuat jantungku seakan ingin berhenti berdetak, dari kaca ini, aku melihatnya. Dia kembali menatapku.

Ah, bahagianya ...

***

Aku menggerakkan langkah menuju aula. Sesuai instruksi, hari ini diadakan rapat sehubungan dengan kunjungan tim akreditasi, sekaligus penerimaan dokter spesialis kandungan baru lulusan terbaik Universitas Indonesia. Sebenarnya aku sangat merasa bersyukur, dengan bertambahnya satu orang spesialis OBGIN, otomatis kerjaan Bang Sattar akan sangat terbantu. Hal itu pasti akan berdampak pada jam kerjanya. Mudah-mudahan dengan begini, dia bisa punya waktu lebih untukku. 

'Ah, untuk Fikri pastinya.'

Setelah memilih tempat duduk, kualihkan pandangan menatap deretan dokter yang duduk di bangku depan. Di sana ada suamiku, Bang Sattar. Dia duduk tepat di sanping direktur utama rumah sakit. Kupandangi wajahnya dari kejauhan, ia selalu menyihir mataku jika tengah serius begitu. Andai aku bisa mengelus sekali saja, rambut tebalnya yang memesona itu. Ah!

Rapat dibuka langsung oleh Bapak direktur. Beberapa hal penting disampaikan sehubungan dengan ketersediaan dokter spesialis hingga bagaimana tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan yang sudah dilaksanakan oleh tim monitoring beberapa waktu lalu. 

Setelah panjang lebar bercerita, tibalah sesi perkenalan dokter baru.

Ternyata ada empat dokter yang diterima hari ini. Beliau memperkenalkan satu persatu diantara empat orang dokter baru tersebut, mulai dari dokter anastesi, spesialis penyakit dalam, ahli gizi dan bedah anak, serta dokter kandungan.

Semua yang disebutkan namanya bangkit kecuali satu, dokter Spesialis Kandungan. Direktur rumah sakit tampak sibuk menanyakan posisi dokter yang tidak hadir itu. Lalu dia mengeluarkan ponselnya dan mulai berbicara secara berbisik.

Tak lama pintu masuk aula terbuka, sebuah salam mengalihkan semua pandangan ke tempat itu.

Netraku membelalak melihat siapa yang kini sedang melangkah ke dalam ruangan.

'Benarkah ini ya, Allah? Jibran? Ini, aku, harus bagaimana?'

Terkejut, terkesima, tak percaya, setelah tiga belas tahun? Dia ada di depan mata.

'Jibran ....'

Hatiku terus menjerit-jerit. Jibran, dia. Ya Allah ...

Tak terasa pelupuk mataku sudah dipenuhi cairan yang mengambang. Haruskah aku bahagia, bisa melihatnya kembali. Tapi, mataku telempar pada sosok yang ada di sebelah Jibran kini, yang tengah menyalaminya sambil tersenyum menawan.

Suamiku! Bang Sattar.

“Beliau asli orang Aceh, dan hanya beliau pula yang masih jomlo. Saya perkenalkan dokter Ayatullah Jibran Sidddiq," ucap kepala rumah sakit bersemangat. Riuh tepuk tangan seluruh jajaran rumah sakit yang hadir dalam ruangan itu. Semua tampak antusias, terutama yang bisa kupastikan adalah para gadis-gadis jomlo.

'Jibran, masihkan kamu mengenaliku, Hurun Aini? Apakah jika bertemu kembali, kau akan menagih janji kita di masa lalu?'

***

Ouekkk ... Ouekkk

Sudah berkali-kali aku memuntahkan isi lambungku di kamar mandi. Kurasa, kuah pliek tadi pagi membuat lambungku kembali bermasalah. Badanku kini terasa lemah, andai tadi kuturuti perkataan Bang Sattar. Pasti sekarang bisa istirahat di kamar.

"Kamu sehat, Aini?" tanya kepala ruangan ketika melihatku bolak balik keluar kamar mandi.

"Aini hamil itu, Buk," sahut Mutia teman seletting yang kebetulan satu ruangan denganku.

Aku hanya terdiam, jika menjawab kutakutkan akan semakin memperburuk status asam lambung ini.

"Wah, mesti kabari dokter Sattar ini. Berita baik!"

"Jangan, Kak. Cuma asam lambung biasa. Bentar minum antasida juga kurang," jawabku sambil kemudian kembali ke kamar mandi.

"Selamat datang dokter Jibran di rumah sakit ini. Beginilah, Dok keadaannya. Mohon bantuannya, Dokter."

'Sepertinya diluar ada tamu. Tapi, ouekkk!'

Keluar lagi!

"Eh, ada dokter Sattar juga. Selamat ya, Dok."

Kuhentikan muntahan ini dan memasang telinga dengan baik. Sepertinya Kak Mira sedang berbicara dengan seseorang. Mungkinkah itu, Bang Sattar?

"Selamat apa, Kakak?"

"Aini dari tadi mual muntah, udah diperiksa belum, Dok?" sindirnya.

'Ya Salam ... Kak Mira, mulutnya, Astaghfirullah!"

Kupercikkan air kemuka. Bagaimana mungkin aku hamil, disentuh aja nggak pernah. 

Badan lemas, perut sakit tak lagi jadi masalah. Segera aku meluncur keluar kamar mandi. Mulut Kak Mira harus dihentikan. Kupakai kembali cadar menutupi wajah lalu bergegas keluar. Kubuka pintu dengan kasar.

'Allah! Jibran!'

Mata kami bertemu. 

'Kenapa dia ada di depan mata?'

"Aini?"

"Bang Sattar?"

Kumiringkan kepala yang tertutup oleh tubuh Jibran. Bang Sattar muncul dengan wajah cemas. Sementara Jibran menggeser tubuhnya ke samping.

"Ini istrinya dokter Sattar, Dok. Namanya Hurun Aini."

Kupandangi kembali Jibran, dia seperti keheranan. Tapi Bang Sattar tampil tak biasa, dia mendekatiku dan ...

"Abang bilang, harusnya kamu istirahat sehari lagi."

"Diperiksa aja, Dok. Kali hamil."

'Kak Mira, duh ....'

Bang Sattar mengacuhkan guyonan Kak Mira.

"Tunggu di mobil, Abang antar kamu pulang," perintah Bang Sattar sambil menyerahkan kunci mobilnya padaku. Ragu, kuraih benda di tangan Bang Sattar. Sementara itu, suamiku kembali mengajak Jibran duduk di kursi perawat. 

Kuhela napas panjang. Setelah mengambil tas, kugerakkan kaki keluar ruangan, mengikuti perintah Bang Sattar untuk menunggunya di dalam mobil. Sebelum keluar ruangan, entah kenapa mata ini ingin kembali menatap sosoknya. 

Kubalikkan badan dan tap! 

Mata kami kembali bertemu, hanya untuk sesaat. Sebelum akhirnya aku memutuskan untuk pergi.

"Allah, kenapa Kau pertemukan kami kembali, setelah ... aku seutuhnya jadi istri orang?'

***

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status