Share

4. Kuncup Cinta Untuk Aini

Mataku kini justru menerawang jauh ke depan. Tepat di dinding yang berhadapan dengan ranjang, foto pernikahanku dengan Aini yang ukurannya begitu besar, terpajang dengan indah. Hanya di kamar ini, foto itu duduk dengan manis. Aku melarangnya memajang foto-foto kami di luar sana. Memang kalau dilihat-lihat, Aini seperti melampiaskan hawa nafsunya, semua foto mulai dari ukuran dompet hingga ukuran sebesar pintu pun ada di kamar ini."

Sattar. 

***

Aku sampai di rumah tepat pukul sebelas malam. Rasa gerah yang menghujam tubuh menuntunku untuk segera mensucikan diri di bawah air pancuran. Harusnya tidak selarut ini aku pulang. Namun, kejutan dari teman-teman dalam rangka menyambut ulang tahunku, mengubah segala rencana. Ditambah lagi keharusan menangani pasien SC yang masuk secara dadakan. 

'Huh benar-benar melelahkan.'

Perlahan, kulangkahkan kaki menapaki teras rumah. Dengan pelan kubuka pintu masuk. Suasana tampak hening, pasti semua sudah tertidur. Tapi saat pintu rumah terbuka lebar, mataku justru terbelalak. Kue ulang tahun berbentuk boneka lelaki berjas dokter, tampak duduk indah di atas meja kursi tamu. 

Sesuatu terasa mengguncang tubuhku, dengan gemetar kulangkahkan kaki ini hingga tepat berada di depan kue itu. 

'Aini ....'

Degup jantungku berpacu kencang, ketika namanya berhasil kusebut dengan lirih. Ah, kenapa akhir-akhir ini aku merasa aneh tiap kali mengingatnya? 

Dengan cepat kubuka dompet, hanya Hanna yang bisa membuatku kembali tenang.

'Hanna! Mana fotonya, kenapa justru foto Aini yang ada disini? Siapa yang sudah menukarnya?'

Kupercepat langkah menuju kamar. Kamarku bersama Fikri. Pasti ini kerjaan jagoanku itu.

Sambil berjalan, kuusahakan mengatur napas dan menyingkirkan segenap rasa aneh yang mulai mengaduk hati. Pelan, Kubuka pintu kamar. Seberapapun galau pikiran ini, tapi Fikri tak boleh terganggu tidurnya. 

Pintu terbuka. 

"Aini? Gadis itu, Kenapa dia tidur di kamar ini?"

Ada amarah yang menghinggapi dada, bukankah aku sudah pernah mengatakan padanya, bahwa dia boleh tidur di kamar manapun di rumah ini, kecuali kamar Fikri. Bahkan kamar pengantinku bersama Hanna saja, sudah sah menjadi kamarnya. Sekarang, kenapa dia berani melanggar?  

Kubalikkan tubuh dan menutup pintu kamar. Jika dia tidur di kamar Fikri, maka aku akan tidur di kamarnya. Hanya itu yang terlintas di benak. Tapi, sebelum melangkah menuju kamar, kusempatkan diri ke dapur untuk mengambil segelas air mineral. 

Sampai di dapur, aku seperti mencium aroma kuah kesukaanku di bawah tudung saji. Ah, biarkan aku mengecek, barangkali Bik Ina sedang berbaik hati memasakkannya untukku. 

"Barakallahu fii Umrik, suamiku."

'Aini ... semua ini? Kenapa?'

Aku merasa semua gelap. 

'Hanna ... Ah, Maaf.'

***

Kurebahkan tubuh di atas ranjang. Genap tiga tahun aku tak pernah lagi merasakan nikmatnya tidur di atas ranjang ini. Sejujurnya, kalau kupikir-pikir, kasihan sekali nasib Aini. Entah apa dosanya, hingga harus bersuamikan aku. Lelaki jahat dan tak punya hati. Tapi, pernikahan ini, semua ini, bukan aku yang menghendakinya. Andai Hanna tak pernah memintaku untuk menikahi Aini, mungkin sekarang kami sudah berbahagia dengan kehidupan kami masing-masing. Aku tetap menjaga cinta untuk Hanna, dan Aini hidup bahagia bersama kekasih impiannya. 

'Hah, kekasih?'

Tiba-tiba, rasa penasaran akan diary biru itu kembali mendera. Kubangkitkan tubuh mengambil benda itu di dalam tas kerja. Detik berikutnya, aku kembali membuka halaman kedua dari diary tersebut. 

***

Flash back. 

Entah kenapa Allah mempertemukan kami dengan cara yang begitu istimewa... 

"Anti sudah melanggar tata tertib pondok pesantren ini!" Suara Kiai Rahman membuatku merinding. Ah, bukan merinding, tapi takut. Ya aku tak pernah setakut ini selama hidupku. 

"Kenapa anti diam, apa anti sudah siap dikeluarkan dari pondok?"

"Afwan ya Kiai, Ana tidak bermaksud melanggar tata tertib pesantren. Ana hanya ingin menolong Ustadz Jamil. Beliau yang meminta Ana untuk mengambilkan obat sesaknya di laci kerja beliau."

Semua terdiam mendengar jawabanku. Kiai Rahman menatapku penuh selidik. Semoga beliau bisa mempercayai kebenaran ini. 

"Assalamualaikum ...." Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari luar ruangan. Pandangan yang semula tertuju padaku serempak beralih. 

'Astagfirullah, Ustadz Yusuf!'

"Waalaikum salam. Min fadzlik udkhil ya Ustadz."

Ustadz Yusuf masuk ke ruangan dan berjalan mendekati tempat berdirinya Kiai Rahman. Kuangkat sedikit kepala yang tadinya tertunduk. Kiai Rahman membisikkan sesuatu ke telinga Ustadz Yusuf. Saat pandanganku tertangkap oleh beliau, segera aku menunduk kembali. 

"Semoga apa yang anti katakan tadi benar adanya. Boleh kemarikan obat yang ada di tangan anti itu?"

Dengan segenap keberanian, kuberikan obat sesak itu pada lelaki berkopiah hitam yang ada di hadapanku. 

Kuhela napas sedalam-dalamnya. Sementara hati terus berdoa agar Allah menyelamatkan diri ini atas kesalahan yang sama sekali tidak ingin hamba lakukan. 

Sepuluh menit ruangan terasa seperti berada di penjara. Tapi kedatangan Ustad Jamil menjadi alasan terbebasnya segala tuduhan yang mengarah padaku saat itu. 

"Terima kasih Aini, Ustadz juga minta maaf atas segala kejadian ini."

Aku hanya mengangguk dalam menunduk, tak dapat berkata apapun. Hari itu, aku bebas dari hukuman yang memang tak seharusnya aku tanggung. Namun ada satu yang justru memenjara hatiku, dia, Jibran. 

Flash back off. 

***

Aku menutup buku Aini yang ada di tangan. Entah kenapa tiap kali membaca buku itu, perasaanku menjadi tidak enak. Kurebahkan tubuh dengan sempurna di atas bantal.

'Harum.' 

Ini pasti aroma rambutnya. Kutarik selimut menutupi tubuhku. Ah, justru aku merasa dia  sedang mendekapku. Kusibak selimut itu dengan cepat. 

Mataku kini justru menerawang jauh ke depan. Tepat di dinding yang berhadapan dengan ranjang, foto pernikahanku dengan Aini yang ukurannya begitu besar, terpajang dengan indah. Hanya di kamar ini, foto itu duduk dengan manis. Aku melarangnya memajang foto-foto kami di luar sana. Memang kalau dilihat-lihat, Aini seperti melampiaskan hawa nafsunya, semua foto mulai dari ukuran dompet hingga ukuran sebesar pintu pun ada di kamar ini. 

'Maaf ....'

Hanya itu yang bisa kukatakan padamu, Aini.

Maaf.

***

Mataku terbuka perlahan. Sesosok perempuan nampak di hadapanku. Jauh, beberapa langkah di depan sana. Dia sedang mengenakan pakaiannya. Kubuka mata dengan sempurna. 

"Aini?"

Kututup kembali mata, namun menyisakan sedikit celah agar bisa tetap memperhatikan gerakannya. 

Tanpa sadar, bola pekat ini tertunduk dengan sendirinya. Gadis itu ... Ah,  dadaku, kenapa begini? 

"Bang Sattar?"

Aini terhenyak dan segera mengambil handuk menutupi rambutnya yang basah. 

"Abang ngintip Aini?"

"Eng ... Iy-iya, maaf."

Aini tampak begitu geram dan seketika keluar dari kamar. 

"Ahgrgg, kenapa bisa begini?"

Aku mengejarnya. Dia berlari menuju kamar Fikri. 

"Tunggu! Maaf. Abang, nggak sengaja."

Dia terus berlari, tepat di depan pintu kamar Fikri, aku berhasil menangkap lengannya.

"Maaf. Kamu yang salah, kamu tidur di kamar Fikri."

"Lalu, kalau Aini tidur di kamar Fikri, Abang harus mengungsi ke kamar lain?"

Aku terdiam. Harus kujawab apa, bukankah sudah tiga tahun begini terus, dan tidak ada masalah apapun. 

"Dasar lelaki nggak punya perasaan!" 

Aini mendorong tubuhku dan kembali berlari menuju kamarnya. Sementara disini, aku berdiri kaku. Ingin mengejarnya, tapi? 

***

Tidak seperti biasa, suasana sarapan kali ini terasa begitu hening. Aini yang biasanya begitu bersemangat tampak tak bergairah. Gadis itu terus terdiam selama kami duduk di meja makan. Hanya menjawab singkat pertanyaan Fikri. Parahnya lagi, tak satu kalipun ia menatap ke arahku. 

Ah, mungkin aku harus mengajukan satu pertanyaan untuk mencairkan suasana. 

"Pagi ini, kamu istirahat saja di rumah. Kemarin Abang minta ijin buat kamu istirahat selama dua hari."

'Astaghfirullah, kebohongan ini, apa alasannya coba?'

"Tapi Aini udah sehat, Bang."

"Itu perasaan kamu aja."

"Aini bosan, Bang. Aini mau tetap kerja!"

'Gadis ini?Ah,keras kepala!'

"Tapi, tidak boleh nyetir. Harus pergi sama Abang!'

'Astaghfirullah! Kenapa menyulitkan diri sendiri begini.'

Aini menatapku tajam, sesaat suasana terasa tegang.

"Soe yang antar long, Ayah?"

Ketegangan seketika buyar, tata bahasa Fikri yang campur aduk antara Indonesia-Aceh, membuat gadis itu tersenyum. 

"Fikri pergi sekolahnya sama Mama sama Ayah, ya?"

Aini kembali melempar pandang ke arahku. Sedikit tenang, kuhela napas sambil mengatur sesuatu yang mulai kembali terasa aneh di dada. Kutatap Aini sekilas, gadis itu kini berhasil membuat pandanganku kembali tertunduk. 

'Hanna, bolehkah hari ini aku memberi sedikit waktuku untuknya?'

***

*Soe yang antar lon= siapa yang antar saya. 

Udah mulai seru ya, bakalan lebih seru saat nanti saat mereka bertemu di rumah sakit.

Ada yang penasaran. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status