Sudah seminggu Bulan menghabiskan liburan sekolahnya hanya di mansion. Tak banyak yang bisa dia lakukan selain berkebun—dan dia sangat menikmati kegiatan itu. Bibit-bibit yang ia semai mulai tumbuh subur, membuatnya semakin semangat. Bahkan, dia melarang siapapun untuk menyentuh, apalagi menyiram kebun kecil kesayangannya.Seperti pagi ini. Gadis itu sudah berada di taman sejak matahari belum tinggi, memeriksa tanamannya satu per satu, memastikan tidak ada satu pun rumput liar tumbuh di sekitarnya.Setelah puas dengan rutinitas paginya, Bulan duduk manis di kursi kayu jati di sudut taman, tempat sarapan sudah tertata rapi untuk dirinya dan suami tercinta.Senyum merekah di bibirnya saat melihat sosok itu mendekat dengan langkah ringan. Air berlari kecil dari arah belakang mansion, berkeringat setelah olahraga pagi. Pandangan Bulan tak bisa lepas darinya. Celana training hitam, kaus pas badan berwarna senada yang kini basah oleh keringat—cukup membuat otot-otot Air terlihat jelas.“Apa
Di balik topi lebar yang menaungi wajahnya, Bulan bersenandung riang. Sekop kecil di tangannya tak berhenti mengeruk tanah, jari-jarinya lincah sibuk menyemai bibit. Wajahnya cerah—taman kecil itu seperti dunianya sendiri yang damai dan bebas.“Eora, bibit cabai kalajengking yang aku beli waktu itu di mana, ya?” tanyanya sambil celingukan, matanya sibuk mencari kotak kecil yang ia hafal betul bentuknya.“Cabai kalajengking, Nona?” ulang Eora, perempuan yang usianya hanya terpaut beberapa tahun darinya dengan kening berkerut.“Iya, yang waktu itu Zack ambil dari penjaga depan. Harusnya ada disini. Kamu tahu disimpan di mana?”“Oh! Maksud Nona cabai Moruga?” tanya Eora memastikan.“Iya, itu! Lihat buntutnya—sangat runcing seperti ekor kalajengking,” ujar Bulan sambil nyengir lebar, jelas bangga dengan pilihan bibit paling ekstrim tersebut. Eora terkekeh pelan, lalu bergegas ke gudang. Tak lama kemudian, ia kembali sambil membawa keranjang sedang yang berisi aneka bibit.Eora terkekeh p
Sepulang sekolah, Brian menyempatkan diri mengunjungi Mirza. Seminggu terakhir ia disibukkan ujian kenaikan kelas, sehingga belum sempat melihat kondisi sahabatnya itu.Di depan ruang rawat, ia bertemu dengan kedua orang tua Mirza yang tampak bersiap pergi.“Siang, Tante, Om,” sapa Brian ramah, sambil mencium tangan mereka.“Siang, Nak. Kebetulan kamu datang,” ujar Hartono. “Om dan Tante titip Mirza, ya. Dia sudah sadar dari koma. Kami mau ke kantin sebentar.”“Beneran, Om?” Brian berseru senang. “Wah, syukurlah! Siap, Om. Dengan senang hati saya akan menemani Mirza.” Ucapnya dengan gestur memberi hormat. Dengan semangat, Brian masuk ke dalam kamar. Senyumnya langsung merekah saat melihat Mirza duduk bersandar di atas ranjang.“Brooo, akhirnya kita bisa kumpul lagi!” serunya sambil langsung memeluk temannya.“Eh, apaan sih! Peluk-peluk segala!” protes Mirza, mendorong tubuh Brian menjauh.“Ya ampun, juteknya,” sungut Brian kesal sambil duduk di kursi sebelah ranjang.Ia menjatuhkan t
Setelah koma lebih dari sebulan, tubuh Mirza mendadak mengalami kejang hebat, membuat kedua orang tuanya panik bukan main. Tim medis segera datang, dan tak lama setelah diperiksa, ia pun perlahan membuka mata.Kedua orang tuanya merasa lega. Mereka sempat pasrah dan mengikhlaskan putranya jika takdir berkata lain.“Akhirnya kamu bangun juga, Nak. Kami pikir kami akan kehilangan kamu selamanya,” ucap sang ibu dengan suara bergetar. “Dokter bilang, kemungkinan kamu sadar sangat kecil.”Air mata haru membasahi pipinya, dan ucapan syukur tak henti ia bisikkan dalam hati.“Maaf, Ma...” suara Mirza terdengar lemah dan parau, nyaris tak terdengar.“Tidak, Sayang. Kamu sudah berjuang sejauh ini untuk kembali. Terima kasih karena kamu memilih bertahan.” Sang ibu membelai lembut pipi putranya yang kini tampak lebih tirus. “Apa yang kamu rasakan, Nak?” tanya Hartono—sang ayah—penuh perhatian, melihat raut tak nyaman di wajah putranya.“Punggungku terasa panas, Pa,” keluhnya pelan.“Itu wajar. K
Hubungan Bulan dan Air semakin hari semakin mesra. Terutama Air, yang kini seolah tak bisa lepas dari istrinya. Pria dewasa itu harusnya sibuk di kantor, tapi nyatanya, berpisah dari istri kecilnya terasa sangat berat.Air berubah seperti balita yang enggan jauh dari ibunya. Bulan sampai kewalahan menghadapi rengekan dan sikap manjanya. Ia nyaris tak mengenali sosok suaminya yang dulu dingin dan serius.Seperti pagi ini, Bulan terpaksa menuruti permintaan suaminya yang ingin disuapi sarapan. Keharmonisan pasangan muda itu membuat para pelayan di mansion tersenyum geli. Tak jarang mereka merasa iri, berharap bisa menemukan pria seperti Tuan muda mereka.Sejak kehadiran Bulan, suasana rumah menjadi lebih hidup. Jika dulu para pelayan hanya bekerja lalu kembali ke paviliun, kini mereka kerap menemani sang Nona muda saat berkebun.Air memang lebih suka jika Bulan berada di rumah ketimbang pergi ke luar. Maka, ia membangun apotek hidup di belakang mansion, sesuai permintaan sang istri.Dan
“Aduh, Mom. Sakit,” rintih Air sambil memegang tangan ibunya yang menjewer telinganya, kepalanya bahkan sampai miring-miring. “Biarin, salah siapa buat menantu Mommy kelelahan, hah?” semprot Malika galak, matanya melotot tajam.“Memang aku apakan menantu Mommy, dia juga sedang sekolah.” Nada suaranya merasa tak bersalah. “Air Raka Putra Zelandraaaa!” bentak Malika, hampir meledak. “Keterlaluan sekali kamu! Dasar tidak punya hati!”Setelah melepaskan jewerannya dengan kasar, Malika menjatuhkan diri ke sofa. Napasnya berat, mencoba menenangkan diri dari emosi yang menggelegak. “Entah anak siapa kamu itu,” gumamnya kesal.“Anak Mommy lah, masa lupa.” Ucapan itu makin menyulut kekesalan Malika.“Huh. Rasanya Mommy pengen telan lagi kamu masuk kedalam perut.” Semprot Malika tajam.“Memang muat kalau Mommy telan aku. Nih, coba telan lagi,” ujar Air sambil mendekat, seolah menyerahkan diri.“Kamu itu ya…” Malika geleng-geleng kepala, tak habis pikir pada tingkah putranya.“Istri kamu itu