Share

Bolu terakhir di Rumah

Sekarang hari Minggu, tepat lima hari setelah kejadian malam itu. Juwita sekarang semakin hari semakin mempersiapkan diri sebagai istri yang baik. Ibunya mengajarkannya banyak ketrampilan seperti memasak, membersihkan rumah hingga berdandan. Tak lupa sang nenek ikut berkontribusi dengan memberi 'wejangan' tentang menjadi istri yang baik dan benar, serta menjadi perempuan pengabdi pada suami. 

Sekarang ia harus berpamitan pada keluarganya, karena hari ini ia akan pergi ke kota dan tinggal bersama suaminya disana. Semua barang-barang telah dikemas ke dalam koper dan anggota keluarga membantunya membawa koper ke dalam mobil.

Saat berpamitan Juwita memeluk ibunya dengan erat sambil menangis tersedu. Ia tak tau kapan ia bisa berkunjung ke tempat ini lagi. Selain ibunya, hampir semua anggota keluarga terlihat sangat ikhlas saat melepaskannya. Seolah-olah mereka tak pernah memiliki sisi keberatan saat melihatnya pergi. Itu membuat Juwita merasa terasingkan. Tetapi sebagai anak yang berbakti, ia tetap menunduk hormat dan bersalaman sebagai bentuk perpisahan.

Mobil yang ditumpangi hari ini adalah sebuah mobil hitam yang terlihat mengkilap. Mobil itu hanya berisi sopir dan dirinya, itu merupakan utusan langsung dari keluarga suaminya. Jadi dapat dipastikan bahwa keluarga sang suami berasal dari kalangan orang kaya.

Hampir tak ada satupun percakapan yang terdengar. Itu membuat Juwita sedikit pusing dan mengantuk. Maklum saja, ia adalah anak rumahan yang tak pernah pergi jauh dari rumah. Bahkan mungkin bisa dikatakan ini pertama kalinya ia pergi ke kota. 

Setelah satu jam lamanya didalam mobil, rasa mual semakin naik ke permukaan. Ia segera menunduk dan berusaha untuk menutup matanya, mencoba mengalihkan pikirannya dan berusaha untuk tidur agar rasa mual itu menghilang dengan cepat.

Suasana kota begitu ramai dan gedung-gedung bertingkat terus berjejer dengan rapi. Hanya saja Juwita terlalu lemas untuk menikmati pemandangan yang baru pertama kali ia lihat itu. Setelah lama di dalam mobil, perlahan kecepatan mobil menurun saat sampai di sebuah perumahan mewah di kota. Perumahan itu begitu asri hingga membuat Juwita merasa ini bukanlah bagian dari kota.

Mobil yang ditumpangi Juwita masuk kedalam gerbang besar berwarna perak dengan ornamen rumit. Pohon-pohon merambat terlihat tertata dengan rapi. Saat sampai di depan rumah, mobil itu berhenti dan seseorang datang membukakan pintu untuknya.

"Selamat datang Nona. Nona pasti lelah karena perjalanan jauh. Apakah Nona ingin makan sesuatu atau langsung pergi beristirahat terlebih dahulu."

Suara itu sangat lembut dan ramah. Dia pasti pelayan rumah ini, terlihat dari bajunya yang terlihat seragam dengan beberapa orang lainnya. Itu membuat Juwita tersipu karena diperlakukan begitu baik. Ia pun menjawab dengan nada yang tak kalah lembut.

"Aku akan beristirahat terlebih dahulu."

"Baiklah kalau begitu, saya akan mengantarkan Nona ke kamar utama."

Juwita mengangguk dan mengikuti pelayan. Barang-barang pun diangkut oleh pelayan lainnya. Perasaan dilayani seperti ini baru pertama kali dirasakan oleh Juwita, jadi ia merasa sedikit sungkan. Tapi ia ingat ucapan ibunya di rumah. Tugas pelayan adalah melayani tuannya, jadi ia tak boleh ikut campur dalam pekerjaan mereka. Karena mereka telah dibayar untuk melakukan itu.

Rumah itu begitu besar, ini adalah pertama kalinya Juwita melihat rumah sebesar ini. Ia sedikit gugup dan mencoba bertingkah senormal mungkin. Akan tetapi matanya terkadang melihat ke kiri dan ke kanan karena penasaran.

Saat pelayan membuka pintu, senyum pelayan semakin melebar. 

"Ini adalah kamar tuan muda, mulai sekarang nona muda akan satu kamar dengannya."

Mendengar hal itu, Juwita langsung kaget. Ia belum menikah bagaimana bisa satu ruangan dengan calon suaminya. 

"Tuan muda memiliki kondisi yang berbeda dari orang-orang pada umumnya. Jadi pernikahan normal tidak mungkin. Lagipula Tuan besar dan Ayah nona telah melakukan upacara keagamaan satu bulan yang lalu. Jadi dapat dikatakan bahwa sebenarnya kalian sudah menikah selama satu bulan. Untuk surat-surat pernikahan, itu akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk diperoleh jadi nona harus bersabar."

Saat mendengar hal itu perasaan Juwita mendingin. Ia tak pernah tau ayahnya menikahkannya sebulan yang lalu. Pantas saja laki-laki itu menolak mentah-mentah pendapatnya untuk pergi bersekolah. Ternyata ia telah menjadi milik orang lain tanpa ia ketahui.

Mencoba untuk menenangkan diri. Juwita tersenyum kaku sebagai bentuk formalitas. 

"Terimakasih sudah memberitahu."

"Nona tidak perlu berterima kasih. Sekarang nona bisa beristirahat, saat nona bangun turun saja ke ruang makan. Kami telah menyiapkan banyak hidangan. Oya, Tuan muda bersama Nyonya dan Tuan pergi ke luar kota kemarin. Kemungkinan besar akan pulang nanti malam. Jadi kami telah menyiapkan beberapa pakaian baru di lemari dipojok kiri."

Sekali lagi Juwita berterimakasih. Akhirnya ia bisa beristirahat dengan tenang. Rasa pusing dan mual masih terasa. Ia ingin tidur sebentar sebelum ia berfikir lebih banyak tentang seperti apa suaminya saat ini. Semoga saja ia dapat menghadapinya dengan baik.

Saat Juwita sedang tertidur pulas, ditempat lain keluarga dari suaminya sedang dalam perjalanan untuk pulang. Mereka tidak sabar untuk melihat seperti apa istri dari anak sulungnya mereka.  

"Seperti apa istri Sky itu Pa?" ucapnya tak sabar.

Melihat istrinya yang begitu antusias, Kusuma hanya dapat tersenyum ringan. Ia telah mengawasi gadis itu untuk waktu yang lama. Sebagai seorang ayah ia pasti ingin anaknya menikah dengan gadis terbaik. Walaupun anaknya memiliki kekurangan, ia tetap berharap anaknya dapat menikah dengan cara yang normal.

Juwita adalah gadis desa yang telah ia awasi untuk waktu yang cukup lama. Gadis itu masih polos dan berfikiran sederhana. Dia datang dari keluarga baik-baik dan memiliki banyak prestasi di sekolah. Selama bersekolah banyak laki-laki yang menyukainya tapi gadis itu memilih menurut pada keluarganya untuk tidak jatuh cinta sebelum lulus. Beruntung keluarga Juwita sedikit serakah, jika tidak bagaimana bisa ia menggaet gadis sebaik itu untuk putra sulungnya.

"Dia cantik, baik dan pintar. Pokoknya papa nggak mungkin salah pilih. Anak kita pasti menikah dengan gadis terbaik."

Mendengar jaminan dari sang suami, Linda langsung tersenyum lega. Sudah beberapa tahun ia selalu gelisah mengenai masa depan putra sulungnya. Sekarang putranya telah memiliki seorang istri dan suaminya telah mengkonfirmasi betapa baiknya gadis itu.

Sebagai seorang ibu, ia selalu berharap anaknya memiliki masa depan yang cerah. Ia berdoa dalam hatinya semoga semua yang dikatakan suaminya itu benar. Dengan senyum cerah ia melihat ke jalan, ia tak sabar ingin melihat menantu perempuannya itu. Ia tidak sabar ingin mengajaknya berbelanja dan bercerita. Ia memiliki dua orang anak laki-laki, sekarang ia memiliki menantu perempuan. Ini terasa seperti memiliki putrinya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status