Damien meninggalkan kamarku tak lama kemudian, dan saat pintu tertutup, aku merasa seluruh tubuhku diselimuti tekanan yang tak bisa dijelaskan. Ini bukan hanya tentang pelatihan atau pernikahan yang dipaksakan.
Ini tentang bertahan di tengah dunia yang bisa membunuh dalam senyap.
Dan aku harus belajar membaca siapa yang menggenggam pisau di balik senyuman.
Di ruang bawah tanah vila, Grayson duduk sendirian dengan rokok menyala di jarinya. Di hadapannya, laptop menampilkan rekaman kamera keamanan yang baru saja dia unduh.
Wajah Eleanor muncul di layar. Lelah. Tapi tatapan matanya mulai berbeda. Bukan lagi ketakutan—melainkan waspada.
Damien juga muncul. Terlalu dekat. Terlalu sering menatapnya.
Grayson menghembuskan asap rokok, lalu menyandarkan tubuh ke kursi. Dia tidak suka perasaan ini. Tidak suka ketika seseorang berada terlalu dekat dengan miliknya—meski ia tak pernah menyentuh, bahkan nyaris tak berbicara dengan wanita itu.
Dia menatap layar lama. Matanya menyipit saat melihat Eleanor mengangkat kertas kecil dari bawah piringnya.
“Ada yang bermain api,” gumamnya pelan.
Dia menutup laptop dan berdiri.
Sudah saatnya dia turun tangan sendiri.
Hari ketiga.
Tubuhku serasa dihantam truk.
Bahuku terasa beku, betisku nyeri, dan lenganku penuh goresan merah samar. Tapi aku bangun lebih cepat dari alarm. Mandi air dingin. Mengenakan pakaian latihan. Dan berdiri di lapangan sebelum matahari benar-benar muncul.
Damien sudah ada di sana, seperti biasanya. Ia hanya menoleh singkat ke arahku, lalu melemparkan sarung tangan latihan.
“Siap?”
Aku menangkapnya. “Selalu.”
Hari ini kami belajar melumpuhkan lawan yang menyerang dari belakang. Damien membuatku berlatih gerakan berulang-ulang—berpura-pura menyerang, membuatku berguling, menghentak, dan bangkit kembali.
Di antara hentakan dan teriakan, aku sadar, tubuhku bukan lagi tubuh lemah seperti dua hari lalu. Tidak sepenuhnya kuat, tapi mulai mengerti bagaimana cara bertahan.
Damien mendorongku lebih keras hari ini. Tapi entah kenapa, dorongannya bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk membangkitkan.
Sore menjelang, dan latihan akhirnya dihentikan saat peluh sudah mengucur dari seluruh tubuhku. Damien berdiri dengan napas berat, lalu mengulurkan botol air.
“Kerja bagus,” katanya singkat.
Aku mengangguk, menyesap air dalam-dalam. “Kau selalu serius ya.”
Damien mengangkat bahu. “Serius adalah cara terbaik untuk tetap hidup.”
Aku tertawa kecil. “Aku pikir setidaknya kau akan bercanda satu kali saja.”
“Kalau kau masih hidup seminggu ke depan, mungkin aku akan pertimbangkan.”
Sementara itu, dari ruang monitor tersembunyi di lantai dua, Grayson menyaksikan semua itu dengan tatapan tajam.
Matanya menyoroti setiap sentuhan Damien ke bahu Eleanor, setiap koreksi postur yang terlalu dekat, setiap senyum kecil Eleanor yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
Grayson tidak mengerti mengapa dadanya terasa panas. Kesal? Marah?
Atau hanya... terganggu?
Ia mematikan layar, lalu berjalan menuju ruang kerja. Langkahnya berat. Napasnya pendek.
“Apa yang sebenarnya terjadi padaku?” bisiknya.
Setelah mandi dan mengganti pakaian, aku kembali ke kamar. Tapi hari ini berbeda. Di atas meja, ada sebuah kotak kecil berwarna hitam. Aku menatapnya ragu. Tidak ada nama. Tidak ada catatan.
Perlahan, aku membuka tutupnya.
Sebuah pisau lipat.
Bersih. Rapi. Ukiran inisial kecil di gagangnya—E.H.
Aku terdiam.
Siapa yang mengirim ini?
Damien?
Tidak mungkin.
Grayson?
Kenapa?
Pisau itu bukan sekadar alat. Itu pesan. Mungkin peringatan. Mungkin hadiah.
Atau keduanya.
Aku menyimpannya di dalam laci dengan hati-hati. Tidak tahu harus bersyukur... atau takut.
Malam hari, Damien tidak muncul. Latihan besok ditiadakan.
Aku makan malam sendirian lagi, sampai langkah berat seseorang menggema dari lorong. Aku menoleh cepat.
Grayson.
Ia berdiri di ambang pintu ruang makan, masih mengenakan kemeja hitam dengan jas yang tergantung di bahu. Wajahnya gelap, rahangnya mengeras.
Aku berdiri, refleks. “Selamat malam.”
Dia hanya menatapku. Lalu berjalan masuk tanpa berkata apa-apa. Duduk di kursi seberang. Matanya menelusuri wajahku seolah baru pertama kali melihatku.
“Kau mulai berubah,” katanya pelan.
Aku menegang. “Apa maksudmu?”
“Dari boneka lemah jadi perempuan keras kepala.”
Nadanya datar. Tapi aku tahu, itu bukan penghinaan.
“Kalau aku ingin bertahan di rumah ini, itu satu-satunya cara.”
Kami diam cukup lama. Hanya dentingan sendok dan suara detak jam.
Lalu, dia berkata, “Jangan terlalu dekat dengan Damien Wolfe.”
Aku menatapnya, bingung.
“Kenapa?”
Dia menatapku lama. “Karena kau tak tahu siapa dia sebenarnya.”
Aku menelan ludah. “Lalu... siapa dia sebenarnya?”
Dia tidak menjawab. Hanya berdiri, lalu pergi begitu saja, meninggalkanku dengan satu pikiran yang menyesakkan:
Kalau Damien tak bisa dipercaya...
Siapa yang bisa?
Setelah Grayson pergi, suasana ruang makan seketika terasa hampa. Suara langkah sepatunya perlahan memudar di lorong panjang, meninggalkan aku sendiri dengan pertanyaan yang menggantung di udara.
Kenapa dia memperingatkanku tentang Damien?
Dia tak pernah peduli sebelumnya. Tak pernah menanyakan kabarku, tak pernah muncul di ruang makan atau menyentuh hal-hal yang berhubungan dengan kehidupanku sehari-hari di vila ini. Tapi malam ini, dia datang. Duduk di depanku. Menatapku lama. Dan memperingatkanku seperti seorang suami yang takut istrinya terlibat dalam sesuatu yang salah.
Atau… seperti seorang pria yang mulai tidak rela sesuatu diambil darinya.
Aku tidak tahu apa maksud tatapan mata itu. Tapi ada sesuatu yang tak bisa kusebutkan. Sorot matanya tadi... bukan dingin seperti biasanya. Ada bara. Api yang belum sempat dinyalakan. Dan sebelum aku sempat menangkapnya, dia sudah pergi.
Aku berdiri pelan, kembali ke kamar, dan membuka kembali laci tempat pisau itu kusimpan.
Kupandangi ukiran inisial E.H. dengan napas yang berat. Pisau ini tidak dibeli secara kebetulan. Ini dibuat. Disiapkan. Dan dikirim padaku secara khusus.
Grayson?
Kalau iya, kenapa dia tak bilang?
Damien?
Tapi dia tak pernah menunjukkan isyarat emosional sedikit pun sejak hari pertama kami bertemu.
Atau… orang lain?
Aku menggenggam pisau itu dengan tangan gemetar. Di dunia ini, hadiah tidak selalu berarti kebaikan. Kadang, hadiah adalah pesan samar dari musuh.
Tiba-tiba, lampu kamar meredup sebentar. Seperti mati nyala cepat. Jantungku melonjak.
Aku meletakkan pisau kembali, lalu berjalan ke jendela dan menarik tirai. Di luar gelap. Tapi aku merasa… seolah seseorang sedang memperhatikanku.
Aku menutup tirai kembali.
Lalu duduk di pinggir ranjang, menatap kosong ke depan.
Malam ini terasa lebih panjang dari biasanya.
Dan untuk pertama kalinya, bukan hanya Grayson yang membuatku waspada.
Tapi semua orang.
Dua jam kemudian, ketika aku akhirnya berhasil memejamkan mata, sebuah suara pelan terdengar dari arah pintu kamar.
Ketukan. Sekali. Lalu hening.
Aku membuka mata, tubuhku menegang.
Tidak ada yang bicara. Tidak ada yang mengetuk lagi.
Aku bangkit perlahan, melangkah mendekati pintu, menempelkan telingaku ke permukaannya.
Sepi.
Tapi napasku memburu.
Dan bisikan kecil dalam hati berkata: Kau tidak aman.
Bahkan di kamar tidurmu sendiri.
Pagi datang tanpa permisi. Cahaya matahari menembus tirai kamar dan menyentuh wajahku, tapi rasa letih di tubuhku belum ikut pergi. Aku belum benar-benar tidur tadi malam. Setelah ketukan misterius itu, aku hanya terbaring, terjaga dalam gelap, menunggu suara lain… yang tak pernah datang.Kepalaku berat. Tapi bukan karena kelelahan fisik, melainkan karena satu hal: aku tidak tahu siapa yang sedang mempermainkanku.Pesan misterius. Pisau berukir namaku. Dan sekarang, ketukan di pintu kamar. Semua itu seperti potongan teka-teki yang belum bisa kususun.Apakah aku hanya paranoid?Atau benar-benar ada mata yang terus mengikuti ke mana aku melangkah?Di lapangan belakang, Damien sudah menungguku. Hari ini, aku datang lebih lambat dari biasanya. Kaki kiriku sedikit keseleo, tapi aku tetap datang.“Kenapa terlambat?” tanyanya tanpa basa-basi.Aku menarik napas. “Kaki kiri bermasalah.”Dia hanya menganggu
Damien meninggalkan kamarku tak lama kemudian, dan saat pintu tertutup, aku merasa seluruh tubuhku diselimuti tekanan yang tak bisa dijelaskan. Ini bukan hanya tentang pelatihan atau pernikahan yang dipaksakan.Ini tentang bertahan di tengah dunia yang bisa membunuh dalam senyap.Dan aku harus belajar membaca siapa yang menggenggam pisau di balik senyuman.Di ruang bawah tanah vila, Grayson duduk sendirian dengan rokok menyala di jarinya. Di hadapannya, laptop menampilkan rekaman kamera keamanan yang baru saja dia unduh.Wajah Eleanor muncul di layar. Lelah. Tapi tatapan matanya mulai berbeda. Bukan lagi ketakutan—melainkan waspada.Damien juga muncul. Terlalu dekat. Terlalu sering menatapnya.Grayson menghembuskan asap rokok, lalu menyandarkan tubuh ke kursi. Dia tidak suka perasaan ini. Tidak suka ketika seseorang berada terlalu dekat dengan miliknya—meski ia tak pernah menyentuh, bahkan nyaris tak berbicara dengan wanita itu.Dia menatap layar lama. Matanya menyipit saat melihat El
Matahari belum sepenuhnya terbit saat aku tiba di lapangan belakang. Rumput masih basah oleh embun, udara dingin menggigit kulitku, tapi langkahku tak ragu.Tubuhku masih pegal sejak latihan kemarin—pundak kaku, lengan penuh memar, dan perut seperti tertinju berkali-kali. Tapi aku datang lebih awal. Bukan karena aku rajin, melainkan karena satu hal sederhana: aku ingin hidup.Damien Wolfe sudah berdiri di bawah pohon, melatih napas dengan gerakan ringan. Wajahnya seperti kemarin—dingin, tajam, dan sulit ditebak. Tapi tidak mengintimidasi. Tidak seperti Grayson."Kau datang lebih cepat dari jadwal," katanya, tak menoleh."Aku butuh lebih banyak waktu untuk bisa menyamamu," jawabku, mencoba terdengar percaya diri.Damien berbalik, mengangguk kecil. “Bagus. Hari ini kita mulai belajar mengatasi rasa takutmu. Karena rasa takut itulah yang akan membunuhmu lebih cepat daripada peluru.”Aku mengepalkan tangan. “Aku tidak takut.”“Semua orang takut. Tapi orang pintar tahu cara menyembunyikann
"Jadi begitu… Melissa mulai menunjukkan taringnya." Dia berjalan ke meja, menuang bourbon ke dalam gelas kristal, lalu meneguknya sekali teguk."Rafael Vega adalah seorang eksekutor berdarah dingin. Dulu dia anak didikku. Sekarang… dia musuhku."Aku menegakkan tubuh. "Dan Melissa? Kenapa dia terlibat?"Grayson menatapku dari balik gelasnya. "Karena dia serakah. Karena dia ingin menggantikanmu."Perutku terasa mual. Aku tahu Melissa membenciku, tapi aku tak menyangka dia akan sejauh ini."Aku hanya beban dalam pernikahan ini, bukan? Jadi kenapa... kenapa aku dipertahankan?" tanyaku lirih.Grayson meletakkan gelasnya dengan suara denting kecil. Lalu dia mendekat di hadapanku. Untuk pertama kalinya, dia menatapku bukan dengan kebencian atau dingin, tapi... seolah sedang menilai sesuatu yang belum dia pahami."Kau belum mengerti posisimu, Eleanor. Kau bukan hanya istri kontrak. Kau adalah perisai. Sasaran. Dan entah bagaimana... kau juga jadi titik lemah yang tak kuinginkan."Dadaku sesak
Tiba-tiba ponselku berbunyi.Bukan dari siapa pun yang kukenal. Nomor tak dikenal. Tapi sesuatu dalam hatiku menyuruhku mengangkatnya.“Halo?”Suara di seberang terdengar berat. Pria. Pelan tapi penuh tekanan.“Kau Eleanor Hayes?”Aku diam. Jantungku berdegup.“Ya. Siapa ini?”“Aku orang yang seharusnya kau temui sejak lama. Dan aku tahu apa yang terjadi padamu. Aku tahu kau bukan milik Grayson Blake. Aku tahu siapa ayah tirimu sebenarnya.”Aku berdiri dari kursi, panik. “Siapa kau?!”“Tunggu aku. Aku akan datang padamu. Dan saat itu tiba, kau harus memilih. Bertahan... atau kabur.”Klik.Telepon terputus.Tanganku gemetar. Aku menatap layar kosong ponsel, merasa seolah-olah seluruh duniaku baru saja bergeser.Siapa pria itu?Dan apa maksudnya... aku harus memilih?Aku duduk di ranjang, menggenggam ponsel erat-erat hingga jemariku memutih. Sudah lebih dari satu jam sejak panggilan misterius itu, tapi suaranya masih terngiang di telingaku. Dalam satu kalimat pendek, dia membuat semua l
Sudah tiga hari sejak perdebatan kami di lorong. Dan selama tiga hari itu pula, Grayson benar-benar menghilang. Tidak ada suara mobil datang, tidak ada jejak kaki di lantai marmer, bahkan bayangannya pun tak muncul di vila.Aneh. Tapi lebih menenangkan bagiku.Melissa juga tidak muncul lagi. Mungkin dia sudah kembali ke apartemen mewahnya di pusat kota, tempat di mana dia bisa menghamburkan uang dan menjatuhkan orang lain dari kejauhan. Aku tidak mencarinya. Aku bahkan lega saat menyadari bahwa kehadiran satu racun sudah menghilang dari vila ini.Namun, ketenangan yang kurasakan hanya semu. Karena ketika malam tiba dan lampu-lampu dimatikan, pikiranku terus berputar. Pertanyaan-pertanyaan yang tak berjawab menggantung di udara, memenuhi ruang kosong yang semakin menyesakkan.Siapa sebenarnya Grayson Oliver Blake?Pria itu tidak sekadar kaya atau berkuasa. Ia membawa aura yang gelap—seakan ada sesuatu yang disembunyikannya begitu dalam, jauh di balik jas mahal dan sorot matanya yang me