Beberapa jam kemudian, vila kembali dalam keheningan waspada. Tapi tak ada seorang pun yang merasa lega. Aku duduk di ruang kerja pribadi Grayson, membaca ulang pesan yang ditulis tangan dalam amplop hitam itu.
Tulisan melengkung dengan tinta emas. Hanya dua baris:
“Darahmu bukan rahasia lagi, Eleanor. Tapi siapa yang kau pilih untuk berdiri bersamamu... akan menentukan siapa yang mati.”
Aku memejamkan mata. Tak ada yang bisa menyangkal darah yang mengalir dalam diriku. Aku anak dari Gerson Castel. Seorang pria yang dibunuh karena melawan sistem, karena mencintai ibuku dan memilih keluar dari labirin berdarah keluarganya.
Dan sekarang, masa lalu itu menagih bayaran.
Grayson masuk. Suaranya berat. “Aku akan ikut ke Nice. Jika ini jebakan, kita hancurkan mereka dari dalam.”
Aku menatapnya. “Kau tahu apa arti pesan itu, kan?”
“Iya,” ucapnya pelan. “Mereka tahu kau adalah kunci. Entah sebagai pewaris, perantara... atau sebagai pe
Aku akhirnya tiba di titik yang ditentukan. Langkahku berhenti tepat di depan gudang tua yang ditunjuk dalam pesan. Bangunan itu berdiri di pinggir pelabuhan yang setengah mati, hanya diterangi lampu jalan yang berkedip-kedip seperti nyawa yang hampir padam. Bau garam bercampur karat dan oli terbakar menusuk hidung. Sunyi, terlalu sunyi.Aku mulai curiga, ini bukan tempat Eleanor ditahan. Tidak ada suara, tidak ada getaran napas yang bisa kutangkap. Mungkin ini adalah jebakan yang menunggu mangsanya.Kupasang pistol di tangan kanan, pisau lipat di pinggang. Radio kupadamkan. Malam ini aku benar-benar datang sendiri, sebagaimana yang mereka inginkan.Pintu gudang berderit saat kudorong. Suara itu seperti teriakan panjang, menyambutku ke dalam perut kegelapan. Begitu masuk, lampu-lampu neon tua menyala serentak, menyorot ruang kosong selebar lapangan bola.Di tengah ruangan, hanya ada kursi kosong yang diikat rantai—seolah menunggu seseorang duduk di
Aku tidak pernah menyukai keheningan. Bagi orang lain, hening bisa menenangkan, tapi bagiku... itu adalah ruang di mana semua kemungkinan buruk berbisik. Dan malam ini, keheningan menjerit lebih keras dari dentuman peluru.Jejak Eleanor lenyap begitu saja.Mobil yang membawanya keluar dari area bentrokan di Nice sudah hangus, ditemukan di sebuah jalur pegunungan. Tubuh pengemudi gosong tak bisa dikenali, dan aku tahu itu bukan Eleanor. Mereka tidak akan membunuhnya dengan cepat. Tidak ketika dia adalah kunci.“Ada kamera lalu lintas di jalur tol timur,” suara Vincent pecah lewat radio di tanganku. “Kami cek rekaman, mobil kedua keluar jalur dan berganti kendaraan. Platnya palsu. Tidak ada wajah yang terekam jelas. Mereka menutup setiap sudut.”Aku menggenggam radio itu terlalu kencang hingga sendi jariku memutih. Mereka pikir bisa menyembunyikan Eleanor dariku? Mereka lupa—aku sudah kehilangan segalanya sekali. Aku tidak akan m
Aku menekan pedal gas sedalam mungkin. Deru mesin mobil terdengar seperti raungan binatang terluka, seolah ikut merasakan kegelisahanku. Jalanan berliku di pegunungan hanya jadi bayangan kabur di mataku. Hanya ada satu hal yang jelas—Eleanor.Sejak laporan masuk melalui radio, jantungku seperti diperas. Ada kontak senjata di gedung tua itu, Vincent sempat kehilangan sinyal radio dengan salah satu tim, dan Eleanor… Eleanor yang seharusnya aman dalam pengawasan, tidak lagi memberi tanda.Aku mengepalkan setir, kulit tanganku memutih. “Bertahanlah,” bisikku pada udara. “Kali ini aku tidak akan terlambat.”Elio duduk di sampingku, wajahnya menegang. “Kami kehilangan visual terakhirnya dua menit setelah baku tembak. Ada gangguan sinyal.”Kata-katanya menusuk dadaku. Jebakan. Seharusnya aku tahu. Seharusnya aku tidak membiarkan Eleanor maju terlalu jauh ke dalam arena itu.Aku menghantam setir dengan kepal
Kabut asap semakin menebal, seakan terowongan itu berubah menjadi labirin hantu. Suara peluru bersahutan, memantul di dinding batu, memekakkan telinga. Aku menunduk di balik pintu mobil, tubuhku menempel erat pada dinginnya logam, sementara jari-jariku menggenggam pistol dengan kaku.“Jangan lepaskan pandanganmu, Eleanor!” teriak Vincent dari sisi lain, tubuhnya setengah keluar jendela sambil membalas tembakan.Aku mengangguk meski ia mungkin tak melihatnya. Dadaku naik-turun cepat, napas pendek-pendek. Setiap detik terasa seperti garis tipis antara hidup dan mati.Dari balik kabut, sosok-sosok hitam bermunculan. Langkah mereka cepat, terlatih, formasi mereka bukan milisi biasa. Aku bisa melihat pantulan lampu senjata di antara kepulan asap, lalu—DOR!Salah satu dari mereka terjatuh, darahnya membasahi lantai terowongan. Tapi jumlah mereka lebih banyak. Terlalu banyak.“Aku hitung ada dua belas,” desis
Udara malam di vila begitu tebal, seakan tiap embusan angin menyimpan rahasia. Aku berdiri di ruang kendali, menatap layar monitor yang menampilkan tiga jalur berbeda—tiga umpan yang sengaja dirancang untuk menjerat pengkhianat yang bersembunyi di antara kami.Vincent berdiri di sampingku, menunjuk ke salah satu jalur. “Informasi pertama: Eleanor akan dibawa keluar menuju safe house di Menton. Jalur kedua: pengiriman senjata dari Marseille. Jalur ketiga: pertemuan rahasia dengan salah satu kontak lama Castel di Monaco.”Clara, meski bahunya masih terluka, mengambil alih koordinasi radio. “Masing-masing jalur hanya diketahui tiga orang berbeda. Begitu salah satunya bocor, kita tahu siapa tikusnya.”Aku menarik napas panjang. “Dan aku… bagian dari umpan pertama.”Grayson menoleh tajam ke arahku, suaranya penuh ketegasan. “Tidak ada perdebatan. Kau ikut karena itu pilihanmu. Tapi ingat, aku tidak akan me
Aku berlari menembus lorong batu dengan jantung yang masih berdetak kacau, menggenggam pisau di tangan kanan seakan itu satu-satunya pegangan dunia nyata. Clara tertinggal beberapa langkah di belakang, tertatih karena hantaman yang ia terima. Asap sisa granat masih menempel di rambut dan pakaianku, meninggalkan bau logam menyengat yang menusuk hidung.Aku tak berhenti sampai pintu baja menuju ruang kendali terbuka. Begitu aku masuk, semua kepala menoleh—Vincent, beberapa orang anak buah, dan di tengah ruangan, Grayson.Ia berdiri tegak di depan layar besar, tapi begitu melihat wajahku, matanya berubah. Keras, tajam, dan penuh sesuatu yang tak bisa kuterjemahkan selain amarah murni.“Apa yang terjadi?” suaranya berat, mengguncang udara.Aku terengah, mencoba menyusun kata-kata. “Ada penyusup… lorong barat. Dia membawa pisau beracun. Hampir…” Suaraku serak, terhenti. Aku menggigit bibir, menahan gemetar.Gr