Selama dua hari berturut-turut, jadwal latihanku berubah drastis. Bukan lagi pukul enam pagi di lapangan belakang, bukan lagi bersama Damien sendirian.
Kini aku selalu berlatih di ruang tertutup, dengan dua orang pelatih bayaran lain yang tak pernah bicara, hanya memberi isyarat dan perintah. Semua itu atas perintah Grayson.
Aku tak butuh penjelasan untuk tahu alasannya. Sejak foto itu muncul di kamarku, ia tidak pernah lagi membiarkanku berada dalam situasi tanpa pengawasan.
Kamar dipasangi sensor. Pintu belakang dijaga dua orang bersenjata. Bahkan Damien… tak lagi menampakkan diri.
Bukan karena dia pergi.
Tapi karena ia dijauhkan dariku.
Malam itu, aku mendobrak batasan yang dibuat Grayson.
Aku meninggalkan ruang latihan lebih awal, lalu memutar ke arah barak belakang—tempat Damien biasanya tinggal saat tak bertugas.
Aku mendapati dia sedang melipat senjata di meja kayu panjang. Gerakannya tenang, tapi saat melih
Malamnya, aku berdiri di balkon, menatap langit tanpa bintang. Angin membawa suara dari kejauhan—deru kendaraan, suara komunikasi lewat earpiece, dan langkah cepat para penjaga.Grayson memperketat keamanan.Bukan karena aku lemah.Tapi karena ia tahu serangan bisa datang dari dalam. Dan aku adalah pusat dari titik rapuh itu.Aku meremas gagang balkon.Aku harus belajar bukan hanya bertahan.Aku harus mulai menyerang.Beberapa menit kemudian, Damien muncul di bawah, berjalan cepat ke arah gerbang utama. Dua pria mengikuti di belakangnya. Ia sempat menoleh ke atas, matanya menatapku sejenak, lalu beralih.Aku tahu dia tidak akan mendekat. Tidak setelah Grayson semakin menekan posisinya.Dan jujur, aku pun mulai takut.Bukan takut pada Damien.Tapi pada fakta bahwa aku sudah mulai mempercayai orang yang tidak sepenuhnya kukenal.Dan di rumah ini… itu bisa berarti kehancuran.
Selama dua hari berturut-turut, jadwal latihanku berubah drastis. Bukan lagi pukul enam pagi di lapangan belakang, bukan lagi bersama Damien sendirian.Kini aku selalu berlatih di ruang tertutup, dengan dua orang pelatih bayaran lain yang tak pernah bicara, hanya memberi isyarat dan perintah. Semua itu atas perintah Grayson.Aku tak butuh penjelasan untuk tahu alasannya. Sejak foto itu muncul di kamarku, ia tidak pernah lagi membiarkanku berada dalam situasi tanpa pengawasan.Kamar dipasangi sensor. Pintu belakang dijaga dua orang bersenjata. Bahkan Damien… tak lagi menampakkan diri.Bukan karena dia pergi.Tapi karena ia dijauhkan dariku.Malam itu, aku mendobrak batasan yang dibuat Grayson.Aku meninggalkan ruang latihan lebih awal, lalu memutar ke arah barak belakang—tempat Damien biasanya tinggal saat tak bertugas.Aku mendapati dia sedang melipat senjata di meja kayu panjang. Gerakannya tenang, tapi saat melih
Dia tak menjawab. Tapi sorot matanya menjauh. Seperti ada bagian dari dirinya yang mulai takut pada versi baru diriku ini—versi yang tidak bisa ia kendalikan lagi.“Kau bukan boneka, Eleanor. Tapi jangan jadi peluru yang bisa melukai siapa pun.”Aku menatapnya tanpa berkedip. “Aku tidak ingin melukai siapa pun. Tapi aku juga tidak ingin menjadi korban lagi.”Dan kali ini, dia tidak menjawab.Dia hanya menatapku dalam diam, sebelum akhirnya berbalik dan keluar dari kamar… tanpa berkata apa-apa lagi.Tapi aku tahu. Di balik langkah kaki dingin itu, Grayson mulai menyadari satu hal yang belum ia akui:Aku bukan lagi perempuan yang bisa ia abaikan.Esok paginya, aku bangun lebih cepat dari biasanya. Tubuhku belum sepenuhnya pulih, tapi pikiranku terlalu gelisah untuk bisa diam di ranjang. Setelah semalam… aku merasa telah melewati batas baru. Dan batas itu—sekali dilangkahi—tak bisa
Malam harinya, aku kembali ke balkon. Angin malam berembus pelan. Vila ini terlalu tenang untuk tempat yang penuh rahasia dan bahaya.Aku memejamkan mata sebentar. Tapi sebelum aku sempat menenangkan diri, suara langkah kaki kembali terdengar.Aku menoleh.Grayson.Tanpa jas, hanya mengenakan kemeja hitam dan celana panjang. Rambutnya sedikit acak, wajahnya tidak setegas biasanya.“Kau selalu ada di sini sekarang,” ucapnya datar.“Aku tak suka kamar itu. Terlalu sunyi.”Ia berjalan mendekat, lalu berdiri di sampingku. Kami memandangi langit malam dalam diam. Lama.“Aku tahu Damien menyimpan sesuatu,” katanya tiba-tiba.Aku menoleh. “Apa maksudmu?”“Dia tidak bilang padamu siapa dia sebenarnya, kan?”Aku diam. “Apa kau akan memberitahuku?”“Belum saatnya.”Aku mengepalkan tangan di balik selimut tipis yang menut
Pagi datang tanpa permisi. Cahaya matahari menembus tirai kamar dan menyentuh wajahku, tapi rasa letih di tubuhku belum ikut pergi. Aku belum benar-benar tidur tadi malam. Setelah ketukan misterius itu, aku hanya terbaring, terjaga dalam gelap, menunggu suara lain… yang tak pernah datang.Kepalaku berat. Tapi bukan karena kelelahan fisik, melainkan karena satu hal: aku tidak tahu siapa yang sedang mempermainkanku.Pesan misterius. Pisau berukir namaku. Dan sekarang, ketukan di pintu kamar. Semua itu seperti potongan teka-teki yang belum bisa kususun.Apakah aku hanya paranoid?Atau benar-benar ada mata yang terus mengikuti ke mana aku melangkah?Di lapangan belakang, Damien sudah menungguku. Hari ini, aku datang lebih lambat dari biasanya. Kaki kiriku sedikit keseleo, tapi aku tetap datang.“Kenapa terlambat?” tanyanya tanpa basa-basi.Aku menarik napas. “Kaki kiri bermasalah.”Dia hanya menganggu
Damien meninggalkan kamarku tak lama kemudian, dan saat pintu tertutup, aku merasa seluruh tubuhku diselimuti tekanan yang tak bisa dijelaskan. Ini bukan hanya tentang pelatihan atau pernikahan yang dipaksakan.Ini tentang bertahan di tengah dunia yang bisa membunuh dalam senyap.Dan aku harus belajar membaca siapa yang menggenggam pisau di balik senyuman.Di ruang bawah tanah vila, Grayson duduk sendirian dengan rokok menyala di jarinya. Di hadapannya, laptop menampilkan rekaman kamera keamanan yang baru saja dia unduh.Wajah Eleanor muncul di layar. Lelah. Tapi tatapan matanya mulai berbeda. Bukan lagi ketakutan—melainkan waspada.Damien juga muncul. Terlalu dekat. Terlalu sering menatapnya.Grayson menghembuskan asap rokok, lalu menyandarkan tubuh ke kursi. Dia tidak suka perasaan ini. Tidak suka ketika seseorang berada terlalu dekat dengan miliknya—meski ia tak pernah menyentuh, bahkan nyaris tak berbicara dengan wanita itu.Dia menatap layar lama. Matanya menyipit saat melihat El