Aku duduk di perpustakaan malam itu, pura-pura membaca buku tentang sejarah mafia Sicilia. Padahal mataku terus mencuri pandang ke arah jam dan sesekali ke kamera tersembunyi di sudut ruangan. Damien sudah menyelipkan alat perekam suara di bawah kursi tempat biasa Eva duduk setiap malam.
Dan seperti yang kami duga—Eva datang.
Dia masuk dengan langkah ringan, membawa secangkir teh hangat dan senyum ramah di wajahnya. Seolah semuanya baik-baik saja. Seolah dia masih memegang peran sebagai pelayan setia dan tidak ada yang mencurigakan dari dirinya.
Aku menahan nafas, membiarkan diriku terlihat sedikit gugup. Itu bagian dari rencana.
“Teh untuk Nyonya,” katanya sambil meletakkan cangkir di meja kecil di sampingku.
“Kau baik sekali,” ucapku, berusaha terdengar tulus. “Aku butuh teman bicara malam ini.”
Wajah Eva menyipit, tapi ia tetap tersenyum. “Aku bisa tinggal sebentar.”
Tengah malam, angin membawa bau laut dari kejauhan. Aku menatap bintang-bintang yang tersembunyi di balik awan, bertanya-tanya: siapa sebenarnya Grayson Oliver Blake?Seorang penyelamat?Seorang pengkhianat?Atau keduanya?Hatiku masih ingin mempercayainya. Tapi pikiranku mulai membangun dinding perlindungan. Karena aku tahu, jika aku jatuh terlalu dalam… aku mungkin tak akan pernah bisa bangkit lagi.Dan malam itu, aku membuat keputusan penting:Aku akan menyelidiki masa lalu Grayson sendiri.Aku tidak akan hanya mendengarkan kata-katanya, atau kata musuhnya.Aku akan menemukan kebenaran... meskipun itu berarti aku harus menghadapi luka yang jauh lebih dalam dari yang pernah kubayangkan.Dan jika benar dia membunuh demi kebenaran... aku akan menatapnya dan berkata:“Setidaknya kali ini, aku tahu siapa yang kucintai.”Aku langsung bangkit dari tempat dudukku, dan mencoba ke sebuah ruang k
Aku berdiri di luar ruang interogasi, menatap kaca satu arah yang memisahkanku dari Clara Yvonne. Di dalam, wanita itu duduk tenang, tangan diborgol, tubuh tegak seperti sedang menunggu wawancara kerja—bukan seperti seseorang yang baru tertangkap setelah mengkhianati pria paling berbahaya di dunia mafia.Grayson masuk ke ruangan pengawas bersamaku. Wajahnya keras. Matanya lebih dingin dari biasanya. Tapi aku tahu... ada kemarahan yang dia tahan mati-matian.“Biarkan aku yang bicara dengannya,” ucapku.Grayson menoleh cepat. “Dia bisa menyerangmu kapan saja.”“Aku bisa jaga diri.”Dia diam beberapa detik. Lalu akhirnya mengangguk. “Aku akan mengawasi dari sini. Tapi jika dia menyentuhmu sedikit saja...”“...kau akan membunuhnya,” potongku, tersenyum tipis. “Itu sudah kutebak.”Suasana di ruang interogasi dingin. Lampu gantung berayun pelan. Clara menoleh saat
Aku masih menatap Dion saat dia perlahan berjalan mengelilingiku, seolah sedang menilai harga sebuah barang antik yang baru saja ia temukan kembali."Ayahmu," katanya tenang, "memohon di hadapanku untuk tidak menjatuhkan perintah eksekusi. Dia bilang, dia hanya ingin hidup damai bersama wanita yang dicintainya."Aku mengepalkan jemari. "Dan kau membunuhnya?"Dion tersenyum miring. "Aku tidak pernah membunuh siapa pun secara langsung, Eleanor. Tapi aku membuat dunia di sekitar mereka runtuh. Itu lebih efektif.""Karena kau takut kebenaran akan menunjukkan betapa lemahnya kau?"Senyumnya hilang.Dion berhenti di depan pilar retak, menatap dinding yang penuh bekas luka tembak dari masa lalu."Kau ingin tahu mengapa aku memulai semua ini?" tanyanya pelan. "Mengapa aku mengejarmu? Mengapa aku ingin Grayson kehilanganmu?"Aku diam. Aku tahu dia tidak bertanya karena ingin menjelaskan. Tapi karena dia ingin menghancurkan harapanku."Aku ingin Grayson tahu," lanjutnya, "bagaimana rasanya kehi
Larut malam, aku berdiri di balkon, mengenakan jaket kulit Grayson yang kebesaran.Di bawah sana, vila tampak sepi. Tapi aku tahu… mata-mata Dion bisa saja berada di mana saja.Langit mendung menggantung berat.Hening.Tapi keheningan ini bukan damai.Ini diam sebelum badai.Aku menggenggam bros perak di kerahku—alat pelacak sekaligus pengaman pribadi yang disiapkan Damien. Jika aku hilang kontak, satu tekanan di bros ini akan memanggil tim penyelamat.Tapi dalam hati aku tahu, saat perang ini benar-benar dimulai… mungkin tak akan ada yang sempat menyelamatkan siapa pun.Dan aku harus siap.Untuk kehilangan.Untuk melawan.Untuk menjadi seseorang yang tak bisa disentuh oleh siapa pun—bahkan oleh cinta.***Pagi itu terasa berbeda. Langit tidak secerah biasanya, dan udara vila lebih sunyi dari hari-hari sebelumnya. Tapi bukan sunyi yang tenang, melainkan
Aku masih menatap Dion saat dia perlahan berjalan mengelilingiku, seolah sedang menilai harga sebuah barang antik yang baru saja ia temukan kembali."Ayahmu," katanya tenang, "memohon di hadapanku untuk tidak menjatuhkan perintah eksekusi. Dia bilang, dia hanya ingin hidup damai bersama wanita yang dicintainya."Aku mengepalkan jemari. "Dan kau membunuhnya?"Dion tersenyum miring. "Aku tidak pernah membunuh siapa pun secara langsung, Eleanor. Tapi aku membuat dunia di sekitar mereka runtuh. Itu lebih efektif.""Karena kau takut kebenaran akan menunjukkan betapa lemahnya kau?"Senyumnya hilang.Dion berhenti di depan pilar retak, menatap dinding yang penuh bekas luka tembak dari masa lalu."Kau ingin tahu mengapa aku memulai semua ini?" tanyanya pelan. "Mengapa aku mengejarmu? Mengapa aku ingin Grayson kehilanganmu?"Aku diam. Aku tahu dia tidak bertanya karena ingin menjelaskan. Tapi karena dia ingin menghancurkan harapanku.
Keesokan pagi, aku duduk di ruang makan lebih awal dari biasanya. Ruangan masih sepi, hanya satu pelayan tua yang berjalan pelan membawa teh.Tak lama, langkah kaki Grayson terdengar dari ujung koridor. Dia masuk tanpa ekspresi. Dingin seperti biasa.Tapi aku tahu, dia menyadari semuanya.Termasuk rencana yang diam-diam mulai ku susun dengan Damien.“Aku dengar kau menerima ancaman langsung dari Dion,” katanya sambil menuang kopi.“Bukan ancaman. Peringatan.”“Dan kau pikir peringatan itu membuatmu lebih siap dariku?”Aku menatapnya tajam. “Ini bukan soal siapa yang lebih siap. Ini soal siapa yang lebih punya keberanian untuk tidak sembunyi.”Grayson menatapku dengan pandangan menusuk. Tapi kali ini, tak ada perintah. Tak ada gertakan. Hanya keheningan yang terasa berat.“Kalau kau pergi mencarinya,” katanya perlahan, “kau akan membuka semua pintu yang seharusnya tetap terkunci. Dan jika dia menyakitimu…”“Aku akan menanggungnya.”Dia berdiri dari kursi, melangkah mendekat hingga baya