Dia… memindahkannya?
“Makasih,” kataku pelan.
Dia menatapku. Lama. Tapi bukan tatapan dingin atau tajam seperti biasanya. Tatapannya... lembut. Mungkin karena masih setengah ngantuk. Mungkin karena aku belum berdandan. Atau mungkin karena... dia mulai melihatku dengan cara yang berbeda.
“Aku tidak akan lihat,” katanya, lalu membalikkan badan, berjalan menuju pintu. Tapi sebelum keluar, ia menoleh.
“Kau cantik bahkan saat panik.”
Pintu tertutup.
Dan aku berdiri mematung.
Beberapa detik kemudian, aku tersenyum kecil sambil menyentuh bibirku sendiri. Mungkin Grayson Blake tidak semanis pria romantis dalam dongeng. Tapi... untuk pertama kalinya, aku merasa seperti istri sungguhan di matanya.
Aku membuka koper dan menarik salah satu dress santai berwarna krem. Saat mengenakannya, jemariku masih sedikit gemetar. Bukan karena dingin, tapi karena hatiku belum juga tenang sejak kalimat itu kelu
Kami meninggalkan markas pelatihan sebelum matahari terbit.Tak ada jejak. Tak ada kata perpisahan. Clara membakar semua catatan, Vincent menonaktifkan alat komunikasi, dan aku menyimpan senjata di balik jaket tebal yang ia berikan. Sekarang kami hanya membawa satu mobil dan satu tujuan—tempat perlindungan terakhir yang disebut Vincent sebagai “rumah warisan.”“Kita akan ke mana?” tanyaku di tengah perjalanan, menatap hutan pinus yang memudar di kaca jendela belakang.Vincent yang menyetir hanya menjawab, “Tempat yang bahkan Grayson tidak tahu keberadaannya. Tapi ayahnya tahu.”Aku menoleh cepat. “Ayah Grayson?”“Ya. Dulu tempat itu digunakan untuk menyimpan dokumen, senjata, dan hal-hal yang tak boleh diketahui siapa pun... bahkan oleh Blake muda sekalipun.”Aku terdiam. Tapi pikiranku bergejolak.Kenapa ayah Grayson menyembunyikan sesuatu dari anaknya sendiri?
Tiga hari sudah aku berada di tempat pelatihan rahasia ini.Tubuhku nyaris tak terasa lagi. Seluruh otot terasa seperti tertarik dan dipukul bersamaan. Tapi aku tidak mengeluh. Ini bukan pertama kalinya aku merasakan nyeri semacam ini. Aku pernah melewatinya—di vila, bersama Damien. Lelaki itu telah mengajariku cara bertahan, cara memukul, bahkan cara membidik dan menarik pelatuk tanpa ragu.Tapi sekarang, di tempat ini, latihannya berbeda.Damien melatihku dalam kerangka kedisiplinan militer.Clara melatihku seperti sedang membentuk pembunuh."Bangun." Suara Clara tajam membelah ruang latihan. “Kau pernah pegang pistol, ya?”Aku mengangguk, terengah. “Damien mengajarkan dasar-dasarnya. Menembak target. Mengatur napas. Menahan tekanan.”Clara mendekat. “Bagus. Maka kita akan langsung naik kelas. Kau tidak belajar untuk mengalahkan target diam. Kau akan hadapi musuh yang bergerak, dan ingin kau mati.
Perjalanan malam menuju tempat pelatihan seperti perjalanan menuju dunia lain. Kota pelabuhan tertinggal jauh di belakang, digantikan dengan hutan pinus yang membungkus jalanan sempit berliku. Tidak ada lampu jalan. Hanya sorot mobil Vincent yang menerobos gelap seperti peluru.Setelah satu jam, kami tiba di depan bangunan beton tersembunyi di balik ladang kosong. Sekilas terlihat seperti gudang tua. Tapi saat pintunya dibuka, semuanya berubah.Ruangan luas dengan dinding kedap suara. Lantai empuk. Cermin lebar di satu sisi. Rak senjata di sisi lain. Dan seorang wanita tinggi berambut pendek yang menunggu di tengah ruangan.“Ini dia?” tanya wanita itu pada Vincent.Vincent mengangguk. “Eleanor Hayes.”Wanita itu tersenyum tipis. “Kau terlihat lebih kurus dari yang kubayangkan.”Aku diam.“Namaku Clara. Pelatih tangan kosong. Mantan CIA. Aku tidak peduli siapa kau, siapa suamimu, atau berapa ba
Aku memutuskan berjalan kembali ke gang sempit di belakang pasar tua, tempat Ana pernah memberitahuku ada penginapan bayangan yang murah. Bukan hostel resmi, lebih seperti kamar yang disewakan diam-diam untuk mereka yang tak ingin dicari.Aku menemukan rumahnya. Pintu tua dengan bel rusak dan lampu merah kusam di atasnya. Seorang wanita berambut kelabu membukakan pintu. Ia menatapku dari atas ke bawah, lalu berkata pelan, “Malam. Bayar tunai. Tidak ada nama. Tidak ada tanya-tanya.”Aku mengangguk.Kamar yang ia berikan hanya berisi ranjang sempit dan jendela kecil. Tapi aku bersyukur. Setidaknya, malam ini aku punya atap.Aku rebahkan tubuhku perlahan, dan untuk pertama kalinya sejak meninggalkan vila… aku menangis. Tanpa suara. Tanpa alasan yang jelas. Mungkin karena lelah. Mungkin karena takut. Atau mungkin karena aku tak tahu siapa sebenarnya diriku sekarang.Tapi satu hal yang pasti—aku tidak akan kembali.Aku ak
Aku tak tahu berapa lama aku berjalan.Langit mulai memudar ke abu-abu saat fajar menjelang. Jalanan berbatu yang kulalui sepi, hanya sesekali terdengar suara burung hantu yang tersisa di antara pepohonan. Rambutku berantakan, ransel kecilku semakin berat di pundak, dan setiap langkah terasa seperti perjudian. Tapi setidaknya, aku masih hidup.Dan itu… lebih dari cukup untuk saat ini.Aku menyusuri jalan tanah hingga menemukan sebuah kota kecil yang tertidur. Tak banyak kendaraan lalu lalang, hanya toko roti dengan pintu setengah terbuka dan pom bensin tua dengan bangku berkarat. Aku menyembunyikan wajah di balik hoodie dan masuk ke kedai kopi yang baru buka.Barista tak banyak tanya. Hanya memberikan secangkir kopi hangat dan roti kering setelah aku menyodorkan uang tunai. Mungkin aku terlihat seperti mahasiswa kabur, atau turis tersesat. Apa pun itu, aku bersyukur.Setelah makan, aku membuka amplop dari Damien. Di dalamnya, selain uang, ad
Mentari menembus celah-celah tirai menerpa wajahku. Aku bangun dengan perasaan yang tidak seperti biasanya. Perasaan yang sulit diartikan. Sikap Grayson yang semakin membuatku tak yakin harus terus berada disisinya. Semenjak ciumannya yang penuh amarah itu, ia malah menjauhiku dengan alasan aku akan menghancurkan dirinya.Meski aku juga begitu marah dengan sikapnya yang takku inginkan. Suara dalam kepalaku—yang terus menerus berbisik bahwa aku harus pergi, sebelum semuanya terlambat.Jika aku menjadi kelemahan Grayson dan menjadi target Moretti, lebih baik aku segera pergi dari sini. Sehingga Grayson bisa menjaga keutuhan posisinya yang kuat dan tak terkalahkan.Kini kau tak akan mendapatkan kelemahan lagi Gray… Aku akan pergi.Aku menarik napas dalam-dalam. Lalu mendekati meja kayu kecil di samping tempat tidur, membuka laci kedua—di sana aku menyembunyikan peta lama area vila. Cetakan yang berhasil kudapatkan diam-diam dari perpustakaan bawah, saat Dami