Dia… memindahkannya?
“Makasih,” kataku pelan.
Dia menatapku. Lama. Tapi bukan tatapan dingin atau tajam seperti biasanya. Tatapannya... lembut. Mungkin karena masih setengah ngantuk. Mungkin karena aku belum berdandan. Atau mungkin karena... dia mulai melihatku dengan cara yang berbeda.
“Aku tidak akan lihat,” katanya, lalu membalikkan badan, berjalan menuju pintu. Tapi sebelum keluar, ia menoleh.
“Kau cantik bahkan saat panik.”
Pintu tertutup.
Dan aku berdiri mematung.
Beberapa detik kemudian, aku tersenyum kecil sambil menyentuh bibirku sendiri. Mungkin Grayson Blake tidak semanis pria romantis dalam dongeng. Tapi... untuk pertama kalinya, aku merasa seperti istri sungguhan di matanya.
Aku membuka koper dan menarik salah satu dress santai berwarna krem. Saat mengenakannya, jemariku masih sedikit gemetar. Bukan karena dingin, tapi karena hatiku belum juga tenang sejak kalimat itu kelu
Siang itu, langit vila mendung. Udara terasa berat, seperti menyimpan sesuatu yang akan meledak kapan saja.Aku sedang duduk di ruang kerja kecilku, mencoba membuka kembali berkas-berkas pelatihan yang ditinggalkan Damien. Tapi pikiranku tak bisa fokus. Sudah tiga hari Grayson lebih sering menghilang dari vila, katanya sedang "mengurus ekspansi". Tapi aku tahu, dia sedang menarik diri lagi. Membangun dindingnya lebih tinggi.Dan aku... masih bertanya, apakah aku ingin memanjat dinding itu, atau membiarkannya runtuh sendiri.Sampai akhirnya, ketukan pelan di pintu memecah lamunan.Seorang penjaga masuk, wajahnya canggung.“Nona Eleanor. Ada kiriman untuk Anda.”“Dari siapa?”“Tidak ada nama.”Aku mengernyit. “Letakkan di meja.”Begitu penjaga itu keluar, aku menatap benda itu. Sebuah kotak hitam kecil. Elegan, tapi mencurigakan. Tak ada logo. Tak ada nama. Hanya satu pita me
Aku tidak pernah menyangka... bahwa berjalan keluar dari ruangan rapat bisa terasa seperti pulang dari medan perang.Tapi bukan karena siapa pun menyerangku secara fisik.Melainkan karena tatapan para pria itu.Tatapan yang mencoba menelanjangiku. Menebak niatku. Meremehkanku.Dan lebih dari itu—menungguku gagal.Tapi aku tidak gagal.Dan aku tahu… dia melihat itu.Grayson belum bicara sepatah kata pun padaku setelah rapat selesai. Tapi malam itu, pintu kamarku diketuk dengan ketukan singkat dan tegas. Bukan Damien. Bukan pelayan.Grayson.Aku membuka pintu. Dia berdiri di sana, masih mengenakan kemeja hitam, lengan dilipat, dan ekspresinya datar seperti biasa. Tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda.Tatapannya.Bukan tajam. Bukan kosong.Tapi… berat.“Boleh masuk?” tanyanya.Aku menyingkir, tak bicara. Ia masuk, menatap sekeliling, lalu berdiri di depan
Malam belum sepenuhnya larut saat aku turun ke dapur kecil untuk mengambil air hangat. Damien sudah ada di sana. Duduk di kursi bar sambil membaca sesuatu di tablet, dengan jaket pelatihan masih dikenakan separuh bahunya.Begitu melihatku, dia langsung berdiri.“Kau tidak tidur?”Aku menggeleng, lalu duduk di kursi sebelahnya. “Tak bisa. Terlalu banyak pikiran.”Damien tak berkata apa-apa, tapi dia menuangkan air ke cangkirku tanpa diminta. Lalu menyodorkannya dengan satu senyum kecil yang hangat—bukan senyum yang menginginkan sesuatu, hanya... senyum seseorang yang ingin kau percayai.“Besok kau tidak dijadwalkan latihan. Aku suruh Livia beri hari bebas.”Aku menatapnya. “Kau benar-benar... seperti tahu kapan aku butuh ruang napas.”“Karena aku memperhatikan,” jawabnya tanpa keraguan. “Seseorang harus.”Pernyataannya membuat dadaku sesak.Kare
Peluru pertama meleset.Bahkan tidak menyentuh tepi boneka sasaran.“Aku pikir sudah cukup lihai setelah menembak penyerang waktu itu,” gumamku sambil menurunkan senjata.Damien tertawa kecil dari belakang. “Insting itu beda dengan akurasi. Hari ini kita latih bagian yang kedua.”Aku berdiri tegak kembali. Di hadapanku berdiri tiga boneka dengan rompi pelindung, dipasang di rel mekanik yang bisa bergerak cepat ke kiri dan kanan. Jarak tembak sekitar lima belas meter. Tidak terlalu jauh. Tapi cukup menantang untuk akurasi.Tanganku kembali mengangkat pistol. Tapi goyangan kecil di pergelangan terasa. Dan sebelum aku menarik pelatuk lagi, Damien sudah berdiri di belakangku.“Boleh?” tanyanya, suaranya rendah dan nyaris menyentuh telingaku.Aku mengangguk pelan, tak menoleh.Tangannya perlahan menyentuh sikuku, memperbaiki sudut. Satu tangannya lagi menyentuh jemariku di gagang pistol.&l
Sudah tiga hari sejak aku menarik pelatuk itu.Tiga hari sejak darah pertama menyentuh tanganku.Tiga hari sejak Grayson mulai benar-benar menjauh.Bukan menjauh secara fisik—dia masih muncul di meja makan, masih memberi perintah dengan nada dinginnya yang biasa. Tapi tidak ada lagi percakapan sepatah dua patah kata di lorong, tidak ada lagi tatapan yang bertahan lebih dari tiga detik.Dan yang paling kurasakan…tidak ada lagi dirinya yang menungguku pulang dari ruang latihan.Aku merindukan jarak yang dulu terasa dekat meski tak ada pelukan. Sekarang, jarak itu bukan sekadar diam.Sekarang, itu... retakan.Damien menatapku dari seberang ruangan latihan pagi ini. Kami sedang istirahat setelah sesi tinju ringan.“Bagaimana rasanya sekarang?” tanyanya.“Kau tahu aku tidak akan menjawab itu.”Ia tertawa pelan. “Kupikir kau sudah mulai terbiasa.”“Ak
Pagi datang dengan udara dingin yang tak biasa.Vila dipenuhi langkah kaki. Drone melayang di langit. Sistem keamanan ditingkatkan dua kali lipat.Tapi aku tahu, tidak ada tembok yang benar-benar bisa mencegah kematian jika dia sudah memanggil namamu.Dan hari ini... namaku dipanggil.Damien menemaniku ke ruang latihan bawah tanah pagi itu. Tapi dia tidak membawakan sarung tangan latihan atau bantalan pelindung seperti biasanya.Yang dia bawa... sebilah pisau lipat dan pistol kecil dengan peluru berlapis titanium.“Apa ini pelatihan?” tanyaku, menatap senjata di atas meja.“Bukan,” sahutnya pendek. “Ini simulasi nyata.”Jantungku berdetak lebih cepat.Grayson muncul beberapa menit kemudian, diam-diam.Ia tidak berkata apa pun, hanya berdiri di sudut ruangan dan menyilangkan tangan di depan dada. Tapi tatapannya tak pernah lepas dariku.Damien mulai menjelaskan.&ld