Sudah tiga hari sejak perdebatan kami di lorong. Dan selama tiga hari itu pula, Grayson benar-benar menghilang. Tidak ada suara mobil datang, tidak ada jejak kaki di lantai marmer, bahkan bayangannya pun tak muncul di vila.
Aneh. Tapi lebih menenangkan bagiku.
Melissa juga tidak muncul lagi. Mungkin dia sudah kembali ke apartemen mewahnya di pusat kota, tempat di mana dia bisa menghamburkan uang dan menjatuhkan orang lain dari kejauhan. Aku tidak mencarinya. Aku bahkan lega saat menyadari bahwa kehadiran satu racun sudah menghilang dari vila ini.
Namun, ketenangan yang kurasakan hanya semu. Karena ketika malam tiba dan lampu-lampu dimatikan, pikiranku terus berputar. Pertanyaan-pertanyaan yang tak berjawab menggantung di udara, memenuhi ruang kosong yang semakin menyesakkan.
Siapa sebenarnya Grayson Oliver Blake?
Pria itu tidak sekadar kaya atau berkuasa. Ia membawa aura yang gelap—seakan ada sesuatu yang disembunyikannya begitu dalam, jauh di balik jas mahal dan sorot matanya yang membekukan.
Dan semakin aku menatap matanya, semakin aku ingin tahu... apa yang pernah dia lihat hingga mampu membunuh kelembutan itu sepenuhnya?
Aku menemukan sebuah ruangan di lantai dua yang pintunya tidak terkunci. Ruangan itu tidak seperti ruangan lainnya yang penuh kemewahan atau desain modern. Justru sebaliknya—ruangan itu kecil, gelap, dan penuh debu. Tidak ada lampu gantung kristal, hanya satu lampu meja kuno di sudut.
Ada rak buku besar dengan deretan buku-buku tua, sebagian besar tentang politik gelap, sejarah perang, dan jurnal psikologi. Di sudut ruangan, ada satu lukisan—potret seorang anak laki-laki kecil mengenakan jas kecil dengan ekspresi datar.
Anak itu punya mata seperti Grayson.
Aku mendekat. Lukisan itu tidak diberi nama. Tapi entah kenapa, aku yakin itu adalah dirinya. Mungkin saat berusia enam atau tujuh tahun.
Mengapa lukisan ini ada di ruangan tersembunyi seperti ini?
Dan... mengapa sorot mata anak itu sangat familiar? Seperti aku pernah melihatnya sebelumnya—di wajah pria yang menghardikku tanpa ampun, yang membeli hidupku tanpa ragu.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Aku tersentak. Suara itu berat, rendah, dan sangat dekat.
Aku berbalik cepat. Grayson berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja hitam yang lengannya digulung. Rambutnya agak basah, dan ada bekas darah kering di ujung jarinya.
Aku mematung.
“Aku… aku tidak tahu ini ruangan pribadi,” kataku gugup, mundur perlahan.
Dia menatap lukisan itu sebentar, lalu menatapku tajam. “Itu bukan urusanmu.”
Aku mengangguk. “Maaf. Aku hanya…”
“Jangan pernah masuk ke sini lagi.” Nadanya tegas. Tidak berteriak, tapi cukup untuk membuat lututku goyah.
Aku berjalan cepat keluar dari ruangan, tapi sebelum menuruni tangga, aku menoleh sekali lagi. Grayson masih berdiri di sana, tapi matanya menatap lukisan itu—tidak dengan kemarahan, tapi dengan luka yang tak bisa dia tutupi.
Ada sesuatu yang pecah di dalam diriku. Entah apa. Tapi aku tahu, sejak saat itu, aku tidak bisa lagi melihat Grayson dengan cara yang sama.
Malam itu aku terbangun oleh suara dentuman keras dari lantai bawah. Jantungku melonjak. Aku bangun dari tempat tidur, meraih jubah tidur, dan berjalan ke luar kamar.
Langkah kakiku pelan saat menuruni tangga. Suara dentuman itu berasal dari ruang tamu. Aku mengintip dari balik dinding.
Grayson berdiri di tengah ruangan. Sebuah vas porselen pecah di lantai. Dia tidak berbicara. Hanya menatap ke arah api di perapian yang mulai redup.
Tangannya mengepal. Rahangnya mengeras. Dan untuk pertama kalinya, aku melihat punggung pria itu sedikit gemetar.
Dia tampak... hancur.
“Apa kau hanya akan berdiri di sana dan mengamatiku?”
Aku terkesiap. “Maaf… aku hanya khawatir.”
Dia tertawa kecil, getir. “Khawatir? Itu kata yang lucu datang dari seseorang yang kubeli.”
“Aku bukan barang,” bisikku, berani untuk pertama kalinya. “Kau tidak bisa terus meneriaki atau memaksa atau menahan seseorang dan berharap mereka tetap diam.”
Dia menoleh cepat, menatapku dengan mata tajam. Tapi kali ini, ada api lain di sana. Luka yang tak sembuh.
“Kau tahu apa yang terjadi pada orang yang terlalu banyak bicara dalam dunia sepertiku?” katanya pelan, nyaris membisik. “Mereka menghilang. Tanpa jejak. Bahkan tak sempat menyesal.”
Aku menelan ludah.
“Tapi aku bukan bagian dari duniamu.”
“Sayangnya, Eleanor, sekarang kau adalah bagian darinya.”
Aku kembali ke kamar malam itu, tidak bisa tidur. Kata-kata Grayson menggema di kepala. Bukan ancamannya yang membuatku terjaga. Tapi sorot matanya.
Untuk sesaat, dia bukan mafia. Bukan bos. Bukan pria kaya yang membeliku seperti budak.
Dia hanya seorang manusia. Luka. Penuh rahasia. Penuh amarah.
Dan mungkin… kesepian.
Aku kembali ke kamar dengan langkah pelan. Lampu redup di lorong membuat suasana vila semakin sunyi, hampir seperti rumah kosong yang tak berpenghuni. Tapi aku tahu, di ruangan lain, pria itu masih terjaga. Mungkin sedang berpikir. Atau mungkin bergulat dengan hantu masa lalunya sendiri.
Aku duduk di ranjang, memandangi langit-langit putih pucat yang seperti ikut membisu bersamaku. Pikiranku masih kembali ke ruangan rahasia di lantai dua, ke lukisan anak kecil dengan mata kosong dan suasana yang membekukan udara. Entah kenapa, aku merasa ruangan itu adalah potongan jiwa Grayson yang ia kubur dalam-dalam.
Sesuatu tentang anak laki-laki dalam lukisan itu... terasa menyakitkan.
Kupikir, hanya aku yang memiliki luka masa kecil. Kupikir, hanya aku yang membawa trauma keluarga. Tapi mungkin, dia juga... hanya manusia yang tak pernah diberi pilihan selain menjadi dingin, keras, dan tak mengenal kasih sayang.
Apa yang membuat seseorang bisa membeku seperti itu?
Pertanyaan itu melekat seperti noda dalam pikiranku. Semakin aku mencoba melupakannya, semakin dalam rasa ingin tahuku tumbuh.
Di antara rasa takut dan benci, perlahan muncul sebuah simpati. Tapi aku membencinya. Aku membenci diriku sendiri karena bisa merasa iba kepada seseorang yang menjadikanku boneka dalam hidupnya.
Namun itulah kenyataannya. Di balik semua ketegangan yang dia ciptakan, ada kekosongan di dalam dirinya yang lebih sunyi daripada kesepianku.
Keesokan harinya, aku tidak melihatnya lagi.
Salah satu pelayan mengatakan bahwa Grayson sudah pergi sejak subuh. Tidak dijelaskan ke mana, dan tidak ada yang berani menanyakannya. Semua orang di vila ini seolah hidup dalam ketakutan. Bahkan pembantu-pembantu yang bekerja di sini terlihat lebih seperti tahanan daripada staf biasa.
Aku menatap jendela kaca besar di ruang makan. Langit pagi berwarna kelabu, angin membawa aroma laut dari kejauhan. Di tempat yang begitu megah dan mewah ini, aku merasa seperti burung dalam sangkar emas—terperangkap, dilihat, tapi tak pernah benar-benar hidup.
Selama dua hari berturut-turut, jadwal latihanku berubah drastis. Bukan lagi pukul enam pagi di lapangan belakang, bukan lagi bersama Damien sendirian.Kini aku selalu berlatih di ruang tertutup, dengan dua orang pelatih bayaran lain yang tak pernah bicara, hanya memberi isyarat dan perintah. Semua itu atas perintah Grayson.Aku tak butuh penjelasan untuk tahu alasannya. Sejak foto itu muncul di kamarku, ia tidak pernah lagi membiarkanku berada dalam situasi tanpa pengawasan.Kamar dipasangi sensor. Pintu belakang dijaga dua orang bersenjata. Bahkan Damien… tak lagi menampakkan diri.Bukan karena dia pergi.Tapi karena ia dijauhkan dariku.Malam itu, aku mendobrak batasan yang dibuat Grayson.Aku meninggalkan ruang latihan lebih awal, lalu memutar ke arah barak belakang—tempat Damien biasanya tinggal saat tak bertugas.Aku mendapati dia sedang melipat senjata di meja kayu panjang. Gerakannya tenang, tapi saat melih
Dia tak menjawab. Tapi sorot matanya menjauh. Seperti ada bagian dari dirinya yang mulai takut pada versi baru diriku ini—versi yang tidak bisa ia kendalikan lagi.“Kau bukan boneka, Eleanor. Tapi jangan jadi peluru yang bisa melukai siapa pun.”Aku menatapnya tanpa berkedip. “Aku tidak ingin melukai siapa pun. Tapi aku juga tidak ingin menjadi korban lagi.”Dan kali ini, dia tidak menjawab.Dia hanya menatapku dalam diam, sebelum akhirnya berbalik dan keluar dari kamar… tanpa berkata apa-apa lagi.Tapi aku tahu. Di balik langkah kaki dingin itu, Grayson mulai menyadari satu hal yang belum ia akui:Aku bukan lagi perempuan yang bisa ia abaikan.Esok paginya, aku bangun lebih cepat dari biasanya. Tubuhku belum sepenuhnya pulih, tapi pikiranku terlalu gelisah untuk bisa diam di ranjang. Setelah semalam… aku merasa telah melewati batas baru. Dan batas itu—sekali dilangkahi—tak bisa
Malam harinya, aku kembali ke balkon. Angin malam berembus pelan. Vila ini terlalu tenang untuk tempat yang penuh rahasia dan bahaya.Aku memejamkan mata sebentar. Tapi sebelum aku sempat menenangkan diri, suara langkah kaki kembali terdengar.Aku menoleh.Grayson.Tanpa jas, hanya mengenakan kemeja hitam dan celana panjang. Rambutnya sedikit acak, wajahnya tidak setegas biasanya.“Kau selalu ada di sini sekarang,” ucapnya datar.“Aku tak suka kamar itu. Terlalu sunyi.”Ia berjalan mendekat, lalu berdiri di sampingku. Kami memandangi langit malam dalam diam. Lama.“Aku tahu Damien menyimpan sesuatu,” katanya tiba-tiba.Aku menoleh. “Apa maksudmu?”“Dia tidak bilang padamu siapa dia sebenarnya, kan?”Aku diam. “Apa kau akan memberitahuku?”“Belum saatnya.”Aku mengepalkan tangan di balik selimut tipis yang menut
Pagi datang tanpa permisi. Cahaya matahari menembus tirai kamar dan menyentuh wajahku, tapi rasa letih di tubuhku belum ikut pergi. Aku belum benar-benar tidur tadi malam. Setelah ketukan misterius itu, aku hanya terbaring, terjaga dalam gelap, menunggu suara lain… yang tak pernah datang.Kepalaku berat. Tapi bukan karena kelelahan fisik, melainkan karena satu hal: aku tidak tahu siapa yang sedang mempermainkanku.Pesan misterius. Pisau berukir namaku. Dan sekarang, ketukan di pintu kamar. Semua itu seperti potongan teka-teki yang belum bisa kususun.Apakah aku hanya paranoid?Atau benar-benar ada mata yang terus mengikuti ke mana aku melangkah?Di lapangan belakang, Damien sudah menungguku. Hari ini, aku datang lebih lambat dari biasanya. Kaki kiriku sedikit keseleo, tapi aku tetap datang.“Kenapa terlambat?” tanyanya tanpa basa-basi.Aku menarik napas. “Kaki kiri bermasalah.”Dia hanya menganggu
Damien meninggalkan kamarku tak lama kemudian, dan saat pintu tertutup, aku merasa seluruh tubuhku diselimuti tekanan yang tak bisa dijelaskan. Ini bukan hanya tentang pelatihan atau pernikahan yang dipaksakan.Ini tentang bertahan di tengah dunia yang bisa membunuh dalam senyap.Dan aku harus belajar membaca siapa yang menggenggam pisau di balik senyuman.Di ruang bawah tanah vila, Grayson duduk sendirian dengan rokok menyala di jarinya. Di hadapannya, laptop menampilkan rekaman kamera keamanan yang baru saja dia unduh.Wajah Eleanor muncul di layar. Lelah. Tapi tatapan matanya mulai berbeda. Bukan lagi ketakutan—melainkan waspada.Damien juga muncul. Terlalu dekat. Terlalu sering menatapnya.Grayson menghembuskan asap rokok, lalu menyandarkan tubuh ke kursi. Dia tidak suka perasaan ini. Tidak suka ketika seseorang berada terlalu dekat dengan miliknya—meski ia tak pernah menyentuh, bahkan nyaris tak berbicara dengan wanita itu.Dia menatap layar lama. Matanya menyipit saat melihat El
Matahari belum sepenuhnya terbit saat aku tiba di lapangan belakang. Rumput masih basah oleh embun, udara dingin menggigit kulitku, tapi langkahku tak ragu.Tubuhku masih pegal sejak latihan kemarin—pundak kaku, lengan penuh memar, dan perut seperti tertinju berkali-kali. Tapi aku datang lebih awal. Bukan karena aku rajin, melainkan karena satu hal sederhana: aku ingin hidup.Damien Wolfe sudah berdiri di bawah pohon, melatih napas dengan gerakan ringan. Wajahnya seperti kemarin—dingin, tajam, dan sulit ditebak. Tapi tidak mengintimidasi. Tidak seperti Grayson."Kau datang lebih cepat dari jadwal," katanya, tak menoleh."Aku butuh lebih banyak waktu untuk bisa menyamamu," jawabku, mencoba terdengar percaya diri.Damien berbalik, mengangguk kecil. “Bagus. Hari ini kita mulai belajar mengatasi rasa takutmu. Karena rasa takut itulah yang akan membunuhmu lebih cepat daripada peluru.”Aku mengepalkan tangan. “Aku tidak takut.”“Semua orang takut. Tapi orang pintar tahu cara menyembunyikann