Aku terdiam. Kata-katanya membakar dada. Tapi aku tidak akan menangis. Tidak di depannya.
“Kau mungkin berpikir bisa mencairkan sikapku. Tapi jangan terlalu naif. Aku tidak tertarik padamu. Tidak akan pernah.”
Kalimat itu seperti palu yang menghantam dadaku.
Ia berjalan ke mejanya, mengambil bingkai itu dan memasukkannya ke dalam laci. “Keluar dari sini. Sekarang.”
Aku ingin berkata sesuatu—apa pun. Tapi aku tahu tidak akan ada gunanya. Jadi aku memutar tubuh dan melangkah keluar, membiarkan pintu tertutup di belakangku dengan suara menggelegar.
Malam itu, aku berbaring di tempat tidur sambil menatap langit-langit.
Aku tidak bodoh.
Grayson ingin membuatku kecil. Tak berharga. Tapi yang membuatku benar-benar marah adalah… bahwa dia berhasil.
Aku bukan wanita yang lemah. Aku dibesarkan dalam keluarga yang hancur. Aku bertahan dari ayah tiri yang menjualku. Tapi mengapa pria itu bisa mengoyak harga diriku hanya dengan beberapa kata?
Karena kau ingin dia melihatmu.
Karena bagian dari dirimu... ingin dia menganggapmu berbeda.
Aku menepis pikiran itu sekeras mungkin.
Dia bukan siapa-siapaku. Dan aku bukan miliknya. Aku hanya bagian dari kesepakatan yang sama-sama kami benci.
Tapi mengapa rasanya... seperti aku kehilangan sesuatu yang lebih?
Malamnya, aku duduk di kursi dekat jendela kamar. Hujan turun pelan, menciptakan irama monoton yang menenangkan dan menyesakkan di saat bersamaan. Sejak kejadian di ruang kerja tadi siang, aku belum melihat Grayson lagi.
Tidak ada permintaan maaf. Tidak ada penjelasan.
Tapi aku juga tidak mengharapkannya.
Aku menarik lutut ke dada dan menyandarkan kepala ke dinding. Ruang ini terlalu luas untuk diriku yang merasa kecil. Mungkin itu memang tujuannya—untuk membuatku tahu betapa sendirinya aku sekarang.
Ponselku tidak bisa digunakan untuk menghubungi siapa pun. Semua aplikasi sosial dibatasi, hanya bisa memesan makanan atau mengakses sistem keamanan vila. Di sini, aku benar-benar diputuskan dari dunia luar. Dari kehidupanku yang dulu.
Aku menutup mata, mencoba mengabaikan suara hati yang berteriak: Kau tidak pantas diperlakukan seperti ini.
Tapi apa gunanya?
Bagiku, bertahan berarti diam.
Keesokan harinya, aku turun ke dapur dengan harapan bisa membuat teh hangat. Tapi Melissa sudah ada di sana—duduk anggun di atas meja dapur dengan gaun tidur tipis, seperti sedang bermain peran sebagai nyonya rumah.
“Oh, akhirnya kau muncul,” katanya, memutar sendok kecil di cangkirnya. “Kukira kau sudah kabur.”
Aku menahan napas dan berjalan ke dispenser. “Maaf, ini dapur, bukan panggung drama.”
Dia tertawa. “Lucu sekali. Tapi sayangnya, tak seorang pun tertarik pada lawakanmu. Bahkan suamimu.”
Aku menoleh. “Grayson bukan suamiku dalam arti yang sesungguhnya.”
Melissa menaikkan alis. “Kau pikir aku tidak tahu? Dia tidak pernah menyentuhmu, kan? Belum, setidaknya.”
Aku diam.
“Aku kasihan padamu. Kau tinggal di rumah sebesar ini, tapi tetap seperti tamu tak diundang.” Ia menyisip teh pelan. “Atau... seperti boneka tak berguna yang dibeli murah di pasar gelap.”
Tanganku mengepal. Aku ingin membalas. Tapi tak ada gunanya beradu lidah dengan wanita seperti Melissa. Dia mencari perhatian. Dan aku tidak akan memberikannya.
Aku meninggalkan dapur tanpa sepatah kata. Tapi aku tahu dia menang hari ini. Bukan karena aku kalah, tapi karena aku terlalu lelah.
Menjelang malam, suara mobil terdengar di halaman. Dari jendela kamarku, aku melihat Grayson keluar dari sedan hitam, jasnya rapi meski hujan mengguyur. Ia tampak berbicara dengan seseorang—mungkin asistennya—lalu masuk ke rumah dengan langkah tegas.
Jantungku berdebar, meski aku benci mengakuinya.
Ada sesuatu tentang pria itu... yang selalu membuat udara di sekitarnya terasa lebih berat.
Aku turun perlahan, berharap bisa mengambil camilan tanpa bertemu dengannya. Tapi takdir seolah ingin menguji keberanianku.
Dia berdiri di lorong menuju ruang tamu, melepas jasnya dengan satu gerakan dingin dan rapi. Matanya bertemu mataku. Datar. Kosong.
“Kau mau ke mana?” tanyanya pelan.
Aku menggigit bibir. “Ke dapur. Mau makan.”
Dia menatapku sejenak, lalu mengangguk kecil. “Jangan sentuh ruangan pribadi lagi.”
Aku mengangguk, tak berniat memperpanjang percakapan. Tapi dia tetap berdiri di sana.
“Dan satu lagi.” Suaranya serendah bisikan, tapi cukup tajam untuk membelah udara. “Kalau kau pikir bisa membangkitkan rasa kasihan atau perhatian dariku dengan tampang sedihmu itu, lupakan.”
“Aku tidak butuh simpati dari pria sepertimu,” kataku akhirnya.
Dia tersenyum sinis. “Bagus. Karena aku tidak punya simpati untuk diberikan.”
Aku kembali ke kamarku malam itu dengan dada sesak.
Bagian dari diriku ingin percaya bahwa pria itu hanyalah topeng—bahwa di balik sikap dinginnya ada alasan. Tapi apa gunanya alasan, jika rasa sakitnya tetap nyata?
Aku memandangi jendela yang basah oleh hujan. Langit menangis, seolah ikut merasakan apa yang kusimpan di dalam dada.
Aku tidak tahu sampai kapan harus bertahan di tempat ini. Tapi satu hal yang pasti: aku tidak akan membiarkan Grayson Blake—atau Melissa, atau siapa pun—menghancurkan jiwaku.
Tidak sebelum aku tahu siapa sebenarnya pria itu, dan mengapa hatinya sekeras batu.
Karena semakin keras ia mencoba menjauh, semakin aku penasaran... ada luka seperti apa yang bersembunyi di balik matanya.
Dan mungkin—mungkin—itulah awal dari kehancuranku.
Aku berbalik, berjalan cepat menuju tangga, berusaha menyembunyikan kemarahan yang mendidih di dadaku. Tapi sebelum sempat menapaki anak tangga pertama, suara langkah kaki berat itu terdengar mendekat.
“Kau tahu,” katanya tajam dari belakangku. “Aku bisa saja memaksamu untuk tunduk. Aku tidak melakukannya karena aku memberi pilihan. Tapi jangan salah artikan sikap diamku sebagai kelemahan.”
Aku menghentikan langkahku, menggenggam pegangan tangga dengan erat. Pilihan?
Dengan suara bergetar, aku menjawab, “Jika benar kau memberi pilihan, seharusnya aku tak berada di rumah ini.”
Ada keheningan sejenak.
Lalu suaranya lebih dingin lagi. “Kau ada di sini karena kau adalah milikku. Dibeli dengan harga yang sangat mahal. Jangan pernah melupakan itu, Eleanor.”
Tubuhku bergetar. Bukan karena takut, tapi karena harga diriku diinjak lagi dan lagi. Namun aku menahan air mata. Aku tidak akan menangis di hadapannya.
“Kalau begitu,” gumamku, tanpa menoleh, “semoga investasi mahalmu itu segera membuahkan hasil.”
Lalu aku menaiki tangga, meninggalkannya berdiri di sana. Aku tahu kata-kataku mungkin saja membuatnya marah. Tapi aku tidak peduli.
Malam ini, hatiku terlalu perih untuk merasa takut. Dan jika aku harus terus hidup dalam rumah neraka ini, aku akan bertahan dengan cara terbaikku—sekalipun itu harus menjadi wanita yang paling ia benci.
POV EleanorHari demi hari kami lewati dengan penuh bahagia. Dari sebuah pilihan kecil membuat hidup kami begitu harmonis hingga tak terasa kini telah menginjak satu bulan kami tinggal di New Zealand. Grayson bahkan sudah mulai lihai memasak. Dan aku begitu menikmati masakannya yang nyaris jauh lebih enak dariku.Sinar matahari musim semi menyusup melalui jendela kamar, menyentuh kulitku yang mulai pucat. Aku duduk di tepi ranjang, tanganku refleks mengusap perutku yang masih rata, meski aku tahu di dalam sana ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang kecil, rapuh, tapi menjadi alasan baruku untuk hidup.Aku menatap Grayson yang berdiri tak jauh, sibuk membuka tirai sambil menoleh ke arahku. Wajahnya tampak lebih tenang dibandingkan beberapa minggu lalu, tapi aku tahu di balik matanya selalu ada kegelisahan yang tak pernah sepenuhnya pergi.“Gray…” suaraku lirih.Ia segera menoleh, mendekat, lalu duduk di sampingku. &
POV EleanorSetelah menikah kemarin, Grayson tak memberi jedah untuk kami. Grayson mengatakan ingin memberikanku sebuah hadiah pernikahan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Ia menutup mataku dan ia membawaku menaiki sebuah jet pribadi yang sudah siap di halaman meski aku bahkan belum mandi pagi itu.Dan saat kami tiba, Grayson membuka penutup mataku. Sontak aku sangat terkejut. Tempat yang terlalu indah, penuh ketenangan.Aku menutup mulut dengan kedua tanganku.“Selamat datang di New Zealand istriku…” ucap Grayson dengan senyum yang begitu mengembang.Air mataku tak bisa tertahan lagi. Haru dan bahagia semakin tak terbendung lagi.“Gray… ahh terima kasih hadiah pernikahannya…” Aku masih menatap keseluruh penjuru dengan perasaan takjub.“Apa kamu menyukai tempat ini?”“Yah! Tentu…” mataku masih berkaca-kaca“Kalau be
POV EleanorUdara sore di luar kapel kecil itu terasa tenang, seolah angin pun menahan napas menyaksikan momen yang akan datang. Kapel tua di atas bukit yang dibelakangnya ada pantai yang indah, jauh dari hiruk pikuk dunia mafia, berdiri sederhana namun anggun. Dinding batu putih yang sudah berlumut tetap berdiri kokoh, sementara cahaya matahari senja menembus kaca patri, memantulkan warna merah dan emas di dalam ruangan.Aku—Eleanor—berdiri di depan cermin tinggi dengan gaun putih cantik nan elegant. Tidak ada kemewahan berlebihan, hanya renda lembut yang membalut tubuhku. Tanganku bergetar saat menyentuh kaca, seolah aku belum percaya bahwa hari ini akhirnya tiba.Suara pelan terdengar di pintu. “Eleanor…” Itu suara Clara. Ia masuk perlahan, mengenakan gaun biru gelap yang anggun. Tatapannya melembut saat melihatku. “Kau terlihat… indah. Bahkan lebih indah daripada yang bisa kubayangkan.”
POV GraysonSetelah rapat dengan Vincent, Clara, dan Damien berakhir, aku duduk sendirian di ruang kerja. Lampu meja menyinari berkas-berkas yang berserakan, tapi pikiranku tak lagi berada pada dokumen atau strategi. Jemariku berhenti di atas layar ponsel. Nomor yang sudah lama tersimpan, tapi jarang sekali kugunakan.Nomor ibuku.Aku menarik napas panjang, menekan tombol panggil. Suara sambungan terdengar, dan detik-detik itu terasa seperti menunggu vonis.“Gray?” suara ibuku akhirnya terdengar, lembut, hangat, tapi juga penuh keheranan. “Hallo sayang... tumben kamu telfon ibu, ada apa sayang?”Aku menutup mata sejenak, mencoba menahan gejolak emosi. “Ibu… aku ingin kau datang besok.”“Besok?” suaranya terdengar bingung. “Untuk apa? Kau jarang mengundangku mendadak seperti ini.” Ada jeda singkat sebelum ia menambahkan dengan nada lebih curiga. “Apakah
POV GraysonRuang kerja di vila terasa lebih dingin dari biasanya. Hujan deras menghantam jendela, seakan ikut menekan suasana tegang yang menggantung di udara. Di hadapanku, Vincent, Clara, dan Damien duduk dengan wajah serius. Peta wilayah, laporan finansial, dan catatan aliansi mafia tersebar di atas meja besar dari kayu. Semua mata tertuju padaku, menunggu keputusan.Vincent yang pertama membuka suara, nadanya tenang tapi penuh desakan.“Gray, ini bukan sekadar tentang kita. Sisa loyalis Moretti dan Castel masih aktif. Mereka mulai bergerak di pelabuhan Marseille dan Nice. Kalau kita biarkan, mereka akan bangkit lagi. Kita butuh strategi untuk menekan mereka sekarang juga.”Clara menambahkan, nada dinginnya seperti pisau.“Kau sudah lihat sendiri, Verena jatuh bukan berarti ideologinya mati. Orang-orang itu masih mengibarkan nama Castel. Kalau kau mundur, mereka akan menafsirkan itu sebagai kelemahan. Dan kelemaha
POV EleanorGrayson duduk di sofa, wajahnya serius tapi tatapannya tak pernah lepas dariku. Di antara cahaya lampu yang redup, aku bisa melihat sisa-sisa luka di tangannya—goresan pedang, lebam, dan bekas darah yang belum sepenuhnya hilang meski sudah dibersihkan. Tangannya itu, yang pernah membuatku ketakutan, kini justru menjadi tempat di mana aku merasa paling aman.Aku menarik napas pelan, menahan perasaan campur aduk yang terus menggelayut.“Grayson… apa kau benar-benar yakin dengan semua ini?” suaraku bergetar. “Setelah semua yang terjadi… aku takut, kalau aku hanya akan menjadi bebanmu lagi.”Grayson tidak langsung menjawab. Ia hanya meraih tanganku, menatap setiap jemariku yang masih penuh bekas memar, lalu mengangkatnya ke bibirnya.“Eleanor, dengarkan aku,” katanya pelan, namun tegas. “Kau bukan beban. Kau adalah alasan kenapa aku mas