Beranda / Romansa / Terpaksa Menikah dengan Bos Mafia Billionaire / Bab 5 – Ruang yang Tak Ingin Terbuka

Share

Bab 5 – Ruang yang Tak Ingin Terbuka

Penulis: skusumahendang
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-14 14:00:12

Aku terdiam. Kata-katanya membakar dada. Tapi aku tidak akan menangis. Tidak di depannya.

“Kau mungkin berpikir bisa mencairkan sikapku. Tapi jangan terlalu naif. Aku tidak tertarik padamu. Tidak akan pernah.”

Kalimat itu seperti palu yang menghantam dadaku.

Ia berjalan ke mejanya, mengambil bingkai itu dan memasukkannya ke dalam laci. “Keluar dari sini. Sekarang.”

Aku ingin berkata sesuatu—apa pun. Tapi aku tahu tidak akan ada gunanya. Jadi aku memutar tubuh dan melangkah keluar, membiarkan pintu tertutup di belakangku dengan suara menggelegar.

Malam itu, aku berbaring di tempat tidur sambil menatap langit-langit.

Aku tidak bodoh.

Grayson ingin membuatku kecil. Tak berharga. Tapi yang membuatku benar-benar marah adalah… bahwa dia berhasil.

Aku bukan wanita yang lemah. Aku dibesarkan dalam keluarga yang hancur. Aku bertahan dari ayah tiri yang menjualku. Tapi mengapa pria itu bisa mengoyak harga diriku hanya dengan beberapa kata?

Karena kau ingin dia melihatmu.

Karena bagian dari dirimu... ingin dia menganggapmu berbeda.

Aku menepis pikiran itu sekeras mungkin.

Dia bukan siapa-siapaku. Dan aku bukan miliknya. Aku hanya bagian dari kesepakatan yang sama-sama kami benci.

Tapi mengapa rasanya... seperti aku kehilangan sesuatu yang lebih?

Malamnya, aku duduk di kursi dekat jendela kamar. Hujan turun pelan, menciptakan irama monoton yang menenangkan dan menyesakkan di saat bersamaan. Sejak kejadian di ruang kerja tadi siang, aku belum melihat Grayson lagi.

Tidak ada permintaan maaf. Tidak ada penjelasan.

Tapi aku juga tidak mengharapkannya.

Aku menarik lutut ke dada dan menyandarkan kepala ke dinding. Ruang ini terlalu luas untuk diriku yang merasa kecil. Mungkin itu memang tujuannya—untuk membuatku tahu betapa sendirinya aku sekarang.

Ponselku tidak bisa digunakan untuk menghubungi siapa pun. Semua aplikasi sosial dibatasi, hanya bisa memesan makanan atau mengakses sistem keamanan vila. Di sini, aku benar-benar diputuskan dari dunia luar. Dari kehidupanku yang dulu.

Aku menutup mata, mencoba mengabaikan suara hati yang berteriak: Kau tidak pantas diperlakukan seperti ini.

Tapi apa gunanya?

Bagiku, bertahan berarti diam.

Keesokan harinya, aku turun ke dapur dengan harapan bisa membuat teh hangat. Tapi Melissa sudah ada di sana—duduk anggun di atas meja dapur dengan gaun tidur tipis, seperti sedang bermain peran sebagai nyonya rumah.

“Oh, akhirnya kau muncul,” katanya, memutar sendok kecil di cangkirnya. “Kukira kau sudah kabur.”

Aku menahan napas dan berjalan ke dispenser. “Maaf, ini dapur, bukan panggung drama.”

Dia tertawa. “Lucu sekali. Tapi sayangnya, tak seorang pun tertarik pada lawakanmu. Bahkan suamimu.”

Aku menoleh. “Grayson bukan suamiku dalam arti yang sesungguhnya.”

Melissa menaikkan alis. “Kau pikir aku tidak tahu? Dia tidak pernah menyentuhmu, kan? Belum, setidaknya.”

Aku diam.

“Aku kasihan padamu. Kau tinggal di rumah sebesar ini, tapi tetap seperti tamu tak diundang.” Ia menyisip teh pelan. “Atau... seperti boneka tak berguna yang dibeli murah di pasar gelap.”

Tanganku mengepal. Aku ingin membalas. Tapi tak ada gunanya beradu lidah dengan wanita seperti Melissa. Dia mencari perhatian. Dan aku tidak akan memberikannya.

Aku meninggalkan dapur tanpa sepatah kata. Tapi aku tahu dia menang hari ini. Bukan karena aku kalah, tapi karena aku terlalu lelah.

Menjelang malam, suara mobil terdengar di halaman. Dari jendela kamarku, aku melihat Grayson keluar dari sedan hitam, jasnya rapi meski hujan mengguyur. Ia tampak berbicara dengan seseorang—mungkin asistennya—lalu masuk ke rumah dengan langkah tegas.

Jantungku berdebar, meski aku benci mengakuinya.

Ada sesuatu tentang pria itu... yang selalu membuat udara di sekitarnya terasa lebih berat.

Aku turun perlahan, berharap bisa mengambil camilan tanpa bertemu dengannya. Tapi takdir seolah ingin menguji keberanianku.

Dia berdiri di lorong menuju ruang tamu, melepas jasnya dengan satu gerakan dingin dan rapi. Matanya bertemu mataku. Datar. Kosong.

“Kau mau ke mana?” tanyanya pelan.

Aku menggigit bibir. “Ke dapur. Mau makan.”

Dia menatapku sejenak, lalu mengangguk kecil. “Jangan sentuh ruangan pribadi lagi.”

Aku mengangguk, tak berniat memperpanjang percakapan. Tapi dia tetap berdiri di sana.

“Dan satu lagi.” Suaranya serendah bisikan, tapi cukup tajam untuk membelah udara. “Kalau kau pikir bisa membangkitkan rasa kasihan atau perhatian dariku dengan tampang sedihmu itu, lupakan.”

“Aku tidak butuh simpati dari pria sepertimu,” kataku akhirnya.

Dia tersenyum sinis. “Bagus. Karena aku tidak punya simpati untuk diberikan.”

Aku kembali ke kamarku malam itu dengan dada sesak.

Bagian dari diriku ingin percaya bahwa pria itu hanyalah topeng—bahwa di balik sikap dinginnya ada alasan. Tapi apa gunanya alasan, jika rasa sakitnya tetap nyata?

Aku memandangi jendela yang basah oleh hujan. Langit menangis, seolah ikut merasakan apa yang kusimpan di dalam dada.

Aku tidak tahu sampai kapan harus bertahan di tempat ini. Tapi satu hal yang pasti: aku tidak akan membiarkan Grayson Blake—atau Melissa, atau siapa pun—menghancurkan jiwaku.

Tidak sebelum aku tahu siapa sebenarnya pria itu, dan mengapa hatinya sekeras batu.

Karena semakin keras ia mencoba menjauh, semakin aku penasaran... ada luka seperti apa yang bersembunyi di balik matanya.

Dan mungkin—mungkin—itulah awal dari kehancuranku.

Aku berbalik, berjalan cepat menuju tangga, berusaha menyembunyikan kemarahan yang mendidih di dadaku. Tapi sebelum sempat menapaki anak tangga pertama, suara langkah kaki berat itu terdengar mendekat.

“Kau tahu,” katanya tajam dari belakangku. “Aku bisa saja memaksamu untuk tunduk. Aku tidak melakukannya karena aku memberi pilihan. Tapi jangan salah artikan sikap diamku sebagai kelemahan.”

Aku menghentikan langkahku, menggenggam pegangan tangga dengan erat. Pilihan?

Dengan suara bergetar, aku menjawab, “Jika benar kau memberi pilihan, seharusnya aku tak berada di rumah ini.”

Ada keheningan sejenak.

Lalu suaranya lebih dingin lagi. “Kau ada di sini karena kau adalah milikku. Dibeli dengan harga yang sangat mahal. Jangan pernah melupakan itu, Eleanor.”

Tubuhku bergetar. Bukan karena takut, tapi karena harga diriku diinjak lagi dan lagi. Namun aku menahan air mata. Aku tidak akan menangis di hadapannya.

“Kalau begitu,” gumamku, tanpa menoleh, “semoga investasi mahalmu itu segera membuahkan hasil.”

Lalu aku menaiki tangga, meninggalkannya berdiri di sana. Aku tahu kata-kataku mungkin saja membuatnya marah. Tapi aku tidak peduli.

Malam ini, hatiku terlalu perih untuk merasa takut. Dan jika aku harus terus hidup dalam rumah neraka ini, aku akan bertahan dengan cara terbaikku—sekalipun itu harus menjadi wanita yang paling ia benci.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Aqiqah Julitters
tiap hari begini terus, bosan tempee thor 1 bab cem cerita diary 1 hari krnx Q gk bgtu suka kisah dg POV 1, krn terbatas sudut pandangx klo dr berbagai sudut spt cerita pd umumx akn byk yg bs diulas, di eksplor n lebih nampak hidup n zerru
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Terpaksa Menikah dengan Bos Mafia Billionaire   Bab 105 – Perangkap di Tengah Malam

    Jam menunjukkan pukul 02.48 dini hari.Seluruh vila dalam kondisi siaga. Lampu-lampu diredam. Pengamanan diam-diam dilakukan di seluruh lorong dan pintu akses. Kamera tersembunyi diaktifkan. Mikrofon dipasang untuk menangkap suara sekecil apa pun. Tim Grayson bekerja dalam diam, tapi aku tahu—semua mata tertuju padaku.Karena aku adalah umpan malam ini.Aku duduk di ruang kerja Grayson. Bukan di ruang tengah seperti pesan musuh. Kami sengaja menciptakan ilusi Eleanor sedang tidur di sofa ruang tengah, menggunakan boneka berbentuk tubuh yang dibuat mirip denganku. Kamera dummy dipasang. Tirai digerakkan agar terlihat ada bayangan orang duduk di dalam. Clara mengawasi dari ruang pengawas. Grayson berada tidak jauh di lorong, siap menerkam siapa pun yang mencoba menyentuhku.Aku mengenakan pakaian hitam pas tubuh dan rompi pelindung tipis di baliknya. Senjataku ada di pangkuan. Nafasku teratur, tapi jantungku berdetak kencang. Aku berusaha menjaga kend

  • Terpaksa Menikah dengan Bos Mafia Billionaire   Bab 104 – Bayangan di Ujung Pintu

    Pagi menyapa vila dengan warna abu-abu kehijauan. Langit menggantung berat, seperti meniru isi pikiranku yang penuh awan pekat. Aku berdiri di balkon lantai atas, menatap kebun lavender yang tenang, seolah-olah semuanya belum pernah terbakar oleh kekacauan."Tidurmu gelisah," suara Grayson menyapaku dari belakang. Ia berdiri dengan secangkir kopi, mengenakan sweater hitam yang membuat sorot matanya makin tajam.Aku tidak menoleh. "Aku bermimpi tentang suara itu. Pria dalam video. Dia memanggilku dengan nama yang... seolah dia mengenalku sejak lahir."Grayson diam sejenak, lalu berkata, "Mimpi kadang menyimpan kode yang tidak bisa dijelaskan. Tapi yang ini, kita akan uraikan. Dengan fakta."“Ya, Gray…”Ia pun pergi setelah berbincang.Kami kembali ke Silent Room hari itu. Vincent dan Clara telah mendapatkan analisis tambahan dari tim Istanbul. Suara dalam video dicocokkan dengan arsip suara milik kelompok kriminal lama di w

  • Terpaksa Menikah dengan Bos Mafia Billionaire   Bab 103 – Tangan Bayangan

    Hening menyelimuti vila pagi itu. Bahkan burung-burung pun enggan berkicau. Mungkin mereka pun merasakan tekanan yang menggantung di udara, seperti awan badai yang belum meledak, tapi sudah menyesakkan napas.Aku duduk di ruang kerja Grayson, di kursi yang biasa ia tempati, memandangi layar yang menyala dengan peta digital keamanan vila. Titik-titik biru kecil mewakili para penjaga yang sedang berpatroli. Semuanya tampak normal. Terlalu normal.Clara muncul di ambang pintu. Wajahnya lelah, tapi matanya masih tajam. "Vincent sedang memeriksa kembali daftar logistik. Kita temukan satu pengiriman aneh ke salah satu rumah aman kita di Marseille."Aku berbalik. "Rumah aman yang sudah ditutup dua bulan lalu?"Clara mengangguk. "Itu sebabnya aneh. Tidak ada perintah untuk mengaktifkannya kembali. Tapi sistem membaca akses kunci biometrik milik... Andre."Aku menggigit bibir bawahku. Meskipun Andre sudah ditangkap dan diinterogasi, masih ada bayangan langk

  • Terpaksa Menikah dengan Bos Mafia Billionaire   Bab 102 – Kabut Pengkhianat

    Pagi itu terasa berbeda. Matahari belum naik sepenuhnya, dan kabut tipis menggantung di atas halaman vila. Aku berdiri di balkon kamar, mengenakan sweater tebal berwarna krem, memandangi embun yang menggantung di dedaunan. Angin membawa aroma tanah basah dan... firasat buruk.Aku tidak bisa mengabaikannya.Sudah dua hari sejak Clara melaporkan adanya penyusupan ke sistem komunikasi Grayson. Sejak itu, suasana di vila menjadi lebih tegang. Tim keamanan ganti shift dua kali lebih cepat. Vincent memeriksa semua catatan akses dan menelusuri IP log yang mencurigakan. Tapi hasilnya nihil.“Ini bukan orang luar,” katanya semalam. “Ini seseorang yang tahu semua prosedur. Yang tahu cara menyembunyikan jejaknya.”Grayson hanya menanggapi dengan tatapan beku. Sejak kejadian itu, ia hampir tidak tidur. Tubuhnya mungkin tetap kuat, tapi matanya... penuh perang.Aku turun ke ruang kontrol pagi itu. Clara sedang duduk di depan layar, menga

  • Terpaksa Menikah dengan Bos Mafia Billionaire   Bab 101 – Luka yang Membuka Mata

    Setelah malam itu—setelah Damien tersungkur demi menyelamatkanku dan vila menjadi benteng pertahanan terakhir—Grayson berubah. Tidak dalam satu malam, tentu. Tapi langkahnya, caranya memandang dunia, caranya menatapku... semua perlahan bergeser.Damien masih dirawat di lokasi medis rahasia. Luka tembak di sisi perutnya cukup parah, dan dokter mengatakan proses pemulihan akan lama. Namun yang paling sulit bukan pemulihan fisik—melainkan perasaan bersalah yang menggerogoti Grayson dari dalam.Aku melihatnya duduk sendirian di ruang pertemuan bawah tanah, menatap layar monitor pengawasan. Biasanya dia akan memberi perintah tegas. Tapi sekarang, ia lebih sering diam. Mendengar. Memikirkan. Mengambil keputusan tak lagi didorong oleh ego, tapi oleh kebutuhan melindungi.Dan bukan cuma organisasi.Tapi aku.“Dia menembakkan seluruh pelurunya demi melindungi kamu,” kata Vincent suatu malam saat kami berdua berada di ruang senj

  • Terpaksa Menikah dengan Bos Mafia Billionaire   Bab 100 – Kembali ke Rumah

    Langit Prancis tampak mendung ketika pesawat jet hitam yang membawa kami meninggalkan Nice. Di dalam kabin, suasana hening namun tegang. Meskipun Verena, Dion Castel, Rafael Vega, dan Max Hayes telah ditangkap, kami tahu satu hal: perang belum benar-benar berakhir.Aku duduk di sebelah jendela, memandangi awan kelabu yang berarak pelan. Di seberang lorong, Grayson duduk dengan wajah datar, jari-jarinya mengetuk-ngetuk sandaran kursi dengan gelisah yang ia sembunyikan rapi. Di belakang kami, Clara dan Vincent berdiskusi pelan tentang rotasi pengamanan ketika kami mendarat nanti.Tapi firasatku buruk. Sesuatu terasa tidak beres.Dan seperti menjawab pikiranku, tak lama setelah kami mendarat di landasan pribadi milik keluarga Blake, sebuah ledakan terdengar di ujung hanggar. Tanah bergetar. Teriakan terdengar. Suara senjata.“Ambush!” teriak Vincent.Aku segera merunduk, menarik pistol kecil yang selalu kusimpan di dalam jaket. Grayson lan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status