Home / Romansa / Terpaksa Menikah dengan Bos Mafia Billionaire / Bab 6 – Di Balik Mata Dingin Itu

Share

Bab 6 – Di Balik Mata Dingin Itu

last update Last Updated: 2025-06-14 20:30:16

Sudah tiga hari sejak perdebatan kami di lorong. Dan selama tiga hari itu pula, Grayson benar-benar menghilang. Tidak ada suara mobil datang, tidak ada jejak kaki di lantai marmer, bahkan bayangannya pun tak muncul di vila.

Aneh. Tapi lebih menenangkan bagiku.

Melissa juga tidak muncul lagi. Mungkin dia sudah kembali ke apartemen mewahnya di pusat kota, tempat di mana dia bisa menghamburkan uang dan menjatuhkan orang lain dari kejauhan. Aku tidak mencarinya. Aku bahkan lega saat menyadari bahwa kehadiran satu racun sudah menghilang dari vila ini.

Namun, ketenangan yang kurasakan hanya semu. Karena ketika malam tiba dan lampu-lampu dimatikan, pikiranku terus berputar. Pertanyaan-pertanyaan yang tak berjawab menggantung di udara, memenuhi ruang kosong yang semakin menyesakkan.

Siapa sebenarnya Grayson Oliver Blake?

Pria itu tidak sekadar kaya atau berkuasa. Ia membawa aura yang gelap—seakan ada sesuatu yang disembunyikannya begitu dalam, jauh di balik jas mahal dan sorot matanya yang membekukan.

Dan semakin aku menatap matanya, semakin aku ingin tahu... apa yang pernah dia lihat hingga mampu membunuh kelembutan itu sepenuhnya?

Aku menemukan sebuah ruangan di lantai dua yang pintunya tidak terkunci. Ruangan itu tidak seperti ruangan lainnya yang penuh kemewahan atau desain modern. Justru sebaliknya—ruangan itu kecil, gelap, dan penuh debu. Tidak ada lampu gantung kristal, hanya satu lampu meja kuno di sudut.

Ada rak buku besar dengan deretan buku-buku tua, sebagian besar tentang politik gelap, sejarah perang, dan jurnal psikologi. Di sudut ruangan, ada satu lukisan—potret seorang anak laki-laki kecil mengenakan jas kecil dengan ekspresi datar.

Anak itu punya mata seperti Grayson.

Aku mendekat. Lukisan itu tidak diberi nama. Tapi entah kenapa, aku yakin itu adalah dirinya. Mungkin saat berusia enam atau tujuh tahun.

Mengapa lukisan ini ada di ruangan tersembunyi seperti ini?

Dan... mengapa sorot mata anak itu sangat familiar? Seperti aku pernah melihatnya sebelumnya di wajah pria yang menghardikku tanpa ampun, yang membeli hidupku tanpa ragu.

“Apa yang kau lakukan di sini?”

Aku tersentak. Suara itu berat, rendah, dan sangat dekat.

Aku berbalik cepat. Grayson berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja hitam yang lengannya digulung. Rambutnya agak basah, dan ada bekas darah kering di ujung jarinya.

Aku mematung.

“Aku… aku tidak tahu ini ruangan pribadi,” kataku gugup, mundur perlahan.

Dia menatap lukisan itu sebentar, lalu menatapku tajam. “Itu bukan urusanmu.”

Aku mengangguk. “Maaf. Aku hanya…”

“Jangan pernah masuk ke sini lagi.” Nadanya tegas. Tidak berteriak, tapi cukup untuk membuat lututku goyah.

Aku berjalan cepat keluar dari ruangan, tapi sebelum menuruni tangga, aku menoleh sekali lagi. Grayson masih berdiri di sana, tapi matanya menatap lukisan itu—tidak dengan kemarahan, tapi dengan luka yang tak bisa dia tutupi.

Ada sesuatu yang pecah di dalam diriku. Entah apa. Tapi aku tahu, sejak saat itu, aku tidak bisa lagi melihat Grayson dengan cara yang sama.

***

Malam itu aku terbangun oleh suara dentuman keras dari lantai bawah. Jantungku melonjak. Aku bangun dari tempat tidur, meraih jubah tidur, dan berjalan ke luar kamar.

Langkah kakiku pelan saat menuruni tangga. Suara dentuman itu berasal dari ruang tamu. Aku mengintip dari balik dinding.

Grayson berdiri di tengah ruangan. Sebuah vas porselen pecah di lantai. Dia tidak berbicara. Hanya menatap ke arah api di perapian yang mulai redup.

Tangannya mengepal. Rahangnya mengeras. Dan untuk pertama kalinya, aku melihat punggung pria itu sedikit gemetar.

Dia tampak... hancur.

“Apa kau hanya akan berdiri di sana dan mengamatiku?”

Aku terkesiap. “Maaf… aku hanya khawatir.”

Dia tertawa kecil, getir. “Khawatir? Itu kata yang lucu datang dari seseorang yang kubeli.”

“Aku bukan barang,” bisikku, berani untuk pertama kalinya. “Kau tidak bisa terus meneriaki atau memaksa, menahan seseorang dan berharap mereka tetap diam.”

Dia menoleh cepat, menatapku dengan mata tajam. Tapi kali ini, ada api lain di sana. Luka yang tak sembuh.

“Kau tahu apa yang terjadi pada orang yang terlalu banyak bicara dalam dunia sepertiku?” katanya pelan, nyaris membisik. “Mereka menghilang. Tanpa jejak. Bahkan tak sempat menyesal.”

Aku menelan ludah.

“Tapi aku bukan bagian dari duniamu.”

“Sayangnya, Eleanor, sekarang kau adalah bagian darinya.”

Setelah itu aku kembali ke kamarku. Kata-kata Grayson terus menggema di kepalaku, membuatku tak bisa memejamkan mata. Namun bukan ancamannya yang membuatku terjaga, melainkan sorot matanya.

Untuk sesaat, dia bukan mafia. Bukan bos. Bukan pria kaya yang membeliku seperti budak.

Dia hanya seorang manusia. Luka. Penuh rahasia. Penuh amarah.

Dan mungkin juga… kesepian.

***

Aku kembali duduk di ranjang, memandangi langit-langit putih pucat yang seperti ikut membisu bersamaku. Pikiranku masih kembali ke ruangan rahasia di lantai dua, ke lukisan anak kecil dengan mata kosong dan suasana yang membekukan udara. Entah kenapa, aku merasa ruangan itu adalah potongan jiwa Grayson yang ia kubur dalam-dalam.

Sesuatu tentang anak laki-laki dalam lukisan itu... terasa menyakitkan.

Kupikir, hanya aku yang memiliki luka masa kecil. Kupikir, hanya aku yang membawa trauma keluarga. Tapi mungkin, dia juga... hanya manusia yang tak pernah diberi pilihan selain menjadi dingin, keras, dan tak mengenal kasih sayang.

Apa yang membuat seseorang bisa membeku seperti itu?

Pertanyaan itu melekat seperti noda dalam pikiranku. Semakin aku mencoba melupakannya, semakin dalam rasa ingin tahuku tumbuh.

Di antara rasa takut dan benci, perlahan muncul sebuah simpati. Tapi aku membencinya. Aku membenci diriku sendiri karena bisa merasa iba kepada seseorang yang menjadikanku boneka dalam hidupnya.

Namun itulah kenyataannya. Di balik semua ketegangan yang dia ciptakan, ada kekosongan di dalam dirinya yang lebih sunyi daripada kesepianku.

Keesokan harinya, aku tidak melihatnya lagi.

Salah satu pelayan mengatakan bahwa Grayson sudah pergi sejak subuh. Tidak dijelaskan ke mana, dan tidak ada yang berani menanyakannya. Semua orang di vila ini seolah hidup dalam ketakutan. Bahkan pembantu-pembantu yang bekerja di sini terlihat lebih seperti tahanan daripada staf biasa.

Aku menatap jendela kaca besar di ruang makan. Langit pagi berwarna kelabu, angin membawa aroma laut dari kejauhan. Di tempat yang begitu megah dan mewah ini, aku merasa seperti burung dalam sangkar emas—terperangkap, dilihat, tapi tak pernah benar-benar hidup.

skusumahendang

Suka kisah Eleanor dan Grayson ? Masukkan novel ini ke Perpustakaanmu agar kamu tidak ketinggalan setiap bab terbarunya yah ! ✨ Jika kamu menikmati cerita ini, dukung aku dengan memberikan komentar positif—itu sangat berarti untukku sebagai penulis dan akan membantuku terus menulis dengan semangat! 💜 Terima kasih sudah membaca! Aku tidak sabar membaca pendapatmu di kolom komentar.

| 18
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Anna
aku suka ceritanya.. sangat menarik :)
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Terpaksa Menikah dengan Bos Mafia Billionaire   Bab 184 – Antara Berita Baik dan Buruk (Epilog)

    POV EleanorHari demi hari kami lewati dengan penuh bahagia. Dari sebuah pilihan kecil membuat hidup kami begitu harmonis hingga tak terasa kini telah menginjak satu bulan kami tinggal di New Zealand. Grayson bahkan sudah mulai lihai memasak. Dan aku begitu menikmati masakannya yang nyaris jauh lebih enak dariku.Sinar matahari musim semi menyusup melalui jendela kamar, menyentuh kulitku yang mulai pucat. Aku duduk di tepi ranjang, tanganku refleks mengusap perutku yang masih rata, meski aku tahu di dalam sana ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang kecil, rapuh, tapi menjadi alasan baruku untuk hidup.Aku menatap Grayson yang berdiri tak jauh, sibuk membuka tirai sambil menoleh ke arahku. Wajahnya tampak lebih tenang dibandingkan beberapa minggu lalu, tapi aku tahu di balik matanya selalu ada kegelisahan yang tak pernah sepenuhnya pergi.“Gray…” suaraku lirih.Ia segera menoleh, mendekat, lalu duduk di sampingku. &

  • Terpaksa Menikah dengan Bos Mafia Billionaire   Bab 183 – New Zealand

    POV EleanorSetelah menikah kemarin, Grayson tak memberi jedah untuk kami. Grayson mengatakan ingin memberikanku sebuah hadiah pernikahan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Ia menutup mataku dan ia membawaku menaiki sebuah jet pribadi yang sudah siap di halaman meski aku bahkan belum mandi pagi itu.Dan saat kami tiba, Grayson membuka penutup mataku. Sontak aku sangat terkejut. Tempat yang terlalu indah, penuh ketenangan.Aku menutup mulut dengan kedua tanganku.“Selamat datang di New Zealand istriku…” ucap Grayson dengan senyum yang begitu mengembang.Air mataku tak bisa tertahan lagi. Haru dan bahagia semakin tak terbendung lagi.“Gray… ahh terima kasih hadiah pernikahannya…” Aku masih menatap keseluruh penjuru dengan perasaan takjub.“Apa kamu menyukai tempat ini?”“Yah! Tentu…” mataku masih berkaca-kaca“Kalau be

  • Terpaksa Menikah dengan Bos Mafia Billionaire   Bab 182 – Pernikahan Kedua

    POV EleanorUdara sore di luar kapel kecil itu terasa tenang, seolah angin pun menahan napas menyaksikan momen yang akan datang. Kapel tua di atas bukit yang dibelakangnya ada pantai yang indah, jauh dari hiruk pikuk dunia mafia, berdiri sederhana namun anggun. Dinding batu putih yang sudah berlumut tetap berdiri kokoh, sementara cahaya matahari senja menembus kaca patri, memantulkan warna merah dan emas di dalam ruangan.Aku—Eleanor—berdiri di depan cermin tinggi dengan gaun putih cantik nan elegant. Tidak ada kemewahan berlebihan, hanya renda lembut yang membalut tubuhku. Tanganku bergetar saat menyentuh kaca, seolah aku belum percaya bahwa hari ini akhirnya tiba.Suara pelan terdengar di pintu. “Eleanor…” Itu suara Clara. Ia masuk perlahan, mengenakan gaun biru gelap yang anggun. Tatapannya melembut saat melihatku. “Kau terlihat… indah. Bahkan lebih indah daripada yang bisa kubayangkan.”

  • Terpaksa Menikah dengan Bos Mafia Billionaire   Bab 181 – Pernikahan Kedua

    POV GraysonSetelah rapat dengan Vincent, Clara, dan Damien berakhir, aku duduk sendirian di ruang kerja. Lampu meja menyinari berkas-berkas yang berserakan, tapi pikiranku tak lagi berada pada dokumen atau strategi. Jemariku berhenti di atas layar ponsel. Nomor yang sudah lama tersimpan, tapi jarang sekali kugunakan.Nomor ibuku.Aku menarik napas panjang, menekan tombol panggil. Suara sambungan terdengar, dan detik-detik itu terasa seperti menunggu vonis.“Gray?” suara ibuku akhirnya terdengar, lembut, hangat, tapi juga penuh keheranan. “Hallo sayang... tumben kamu telfon ibu, ada apa sayang?”Aku menutup mata sejenak, mencoba menahan gejolak emosi. “Ibu… aku ingin kau datang besok.”“Besok?” suaranya terdengar bingung. “Untuk apa? Kau jarang mengundangku mendadak seperti ini.” Ada jeda singkat sebelum ia menambahkan dengan nada lebih curiga. “Apakah

  • Terpaksa Menikah dengan Bos Mafia Billionaire   Bab 180 – Tekad Grayson

    POV GraysonRuang kerja di vila terasa lebih dingin dari biasanya. Hujan deras menghantam jendela, seakan ikut menekan suasana tegang yang menggantung di udara. Di hadapanku, Vincent, Clara, dan Damien duduk dengan wajah serius. Peta wilayah, laporan finansial, dan catatan aliansi mafia tersebar di atas meja besar dari kayu. Semua mata tertuju padaku, menunggu keputusan.Vincent yang pertama membuka suara, nadanya tenang tapi penuh desakan.“Gray, ini bukan sekadar tentang kita. Sisa loyalis Moretti dan Castel masih aktif. Mereka mulai bergerak di pelabuhan Marseille dan Nice. Kalau kita biarkan, mereka akan bangkit lagi. Kita butuh strategi untuk menekan mereka sekarang juga.”Clara menambahkan, nada dinginnya seperti pisau.“Kau sudah lihat sendiri, Verena jatuh bukan berarti ideologinya mati. Orang-orang itu masih mengibarkan nama Castel. Kalau kau mundur, mereka akan menafsirkan itu sebagai kelemahan. Dan kelemaha

  • Terpaksa Menikah dengan Bos Mafia Billionaire   Bab 179 – Janji di Balik Luka

    POV EleanorGrayson duduk di sofa, wajahnya serius tapi tatapannya tak pernah lepas dariku. Di antara cahaya lampu yang redup, aku bisa melihat sisa-sisa luka di tangannya—goresan pedang, lebam, dan bekas darah yang belum sepenuhnya hilang meski sudah dibersihkan. Tangannya itu, yang pernah membuatku ketakutan, kini justru menjadi tempat di mana aku merasa paling aman.Aku menarik napas pelan, menahan perasaan campur aduk yang terus menggelayut.“Grayson… apa kau benar-benar yakin dengan semua ini?” suaraku bergetar. “Setelah semua yang terjadi… aku takut, kalau aku hanya akan menjadi bebanmu lagi.”Grayson tidak langsung menjawab. Ia hanya meraih tanganku, menatap setiap jemariku yang masih penuh bekas memar, lalu mengangkatnya ke bibirnya.“Eleanor, dengarkan aku,” katanya pelan, namun tegas. “Kau bukan beban. Kau adalah alasan kenapa aku mas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status