Perputaran keempat roda kendaraan pria dengan rahang tegas serta tubuh atletis itu berhenti tepat di depan sebuah bangunan sederhana yang ditinggali Lisa. Sadewa mengetuk pintu perlahan sambil mengucap salam, dan tidak lama kemudian seraut wajah lelah muncul seraya mengelus perut yang terlihat menggendut.“Ayah? Tumben ke sini? Apa kabar?” sapa sang pemilik rumah sembari mengambil tangan mertuanya dan mencium bagian punggungnya dengan khidmat.“Kevin mana, Sa? Saya mau bertemu dengan dia. Ada yang mau saya bicarakan. Penting!”Lisa menundukkan wajah sambil menangis.“Semenjak kami menikah, dia tidak pernah datang ke sini, Yah. Bahkan dia tidak pernah memberiku nafkah sama sekali,” lirih perempuan itu berujar, laksana angin yang sedang berkesiur.“Kamu tidak membohongi saya, ‘kan?”“Demi Allah, aku tidak pernah bohong.”Sadewa membuang napas kasar.Apa iya Kevin masih dibui, dan lelaki yang dia lihat tadi pagi hanya kebetulan mirip saja?Pria berhidung bangir tersebut memijat pelipis,
“Om, sabar!” Sania merangkul lengan sang suami, menggenggam erat jemari pria yang berdiri dengan gagah di sebelahnya meredam amarah yang mulai berkobar bagai api yang siap menghanguskan siapa saja yang ada di dekatnya. “Asal kalian tau, ibu-ibu. Wanita itu sudah meninggalkan saya sejak dua puluh empat tahun yang lalu, meninggalkan kedua anaknya yang masih batita karena saya miskin. Sekarang, setelah dia dicampakkan dan dibuang oleh suami barunya, juga tau kalau saya sudah mapan, dia terus saja mencoba merayu saya. Bahkan dia pernah mengajak saya untuk bertemu dan ngamar, padahal dia sudah tau kalau saat ini saya sudah menikah. Dia juga berani mengirim foto seksinya kepada saya, terus mengganggu hidup saya dan selalu berusaha menghancurkan rumah tangga saya dan Sania. Sekarang, siapa pelakor sebenarnya. Dia, atau Sania?!” sungut Sadewa muntap. “Bohong! Jangan percaya sama dia!” sanggah Veronika. “Ini, saya masih menyimpan chatnya. Silakan ibu-ibu liat sendiri!” Lelaki bertubuh atlet
“Iya, sih. Cuma ....” “Sudahlah, San. Jangan terlalu mencampuri urusan aku. Kamu itu bukan siapa-siapa aku!” sungut Clarissa membuat lawan bicaranya langsung menundukkan wajah. “Maaf!” lirih Sania sambil menahan sakit karena ternyata selama ini tidak pernah dianggap oleh Clarissa. “Maaf, Sania. Aku tidak bermaksud menyakiti perasaan kamu. Aku cuma sedang banyak masalah, jadi mudah terbawa emosi.” “Nggak apa-apa, Kak.” Kedua ujung bibir Sania ditarik membentuk lengkungan persis seperti bulan sabit. “San.” Clarissa menarik kursi meja makan, mengenyakkan bokongnya perlahan dan meneguk susu hangat seperti orang sedang kehausan. “Iya, Kak?” “Kamu ada simpanan, nggak? Lima puluh juta aja. Kalau ada aku pinjam dulu. Tapi jangan bilang-bilang sama Ayah, nanti dia marah,” tanyanya terdengar sungkan. “Kayaknya ada deh, Kak. Soalnya Om Dewa rajin mentransfer uang, tapi nggak pernah aku pakai karena semua kebutuhan aku ‘kan sudah terpenuhi.” “Aku pakai boleh ya?” “Iya, Kak.” “Tapi janji
Sania langsung menangis dan menghambur ke dalam pelukan Dewa, meluapkan rasa rindu juga ketakutan yang sedang membelenggu hati. “Om Dewa kenapa baru pulang. Ada yang masuk ke dalam kamar kita dan mau melecehkan aku tadi, Om. Untung aku masih bisa lari!” Sania berujar seraya menangis tersedu.“Penyusup?”“Iya, Pak. Kata Ibu tadi ada yang masuk ke dalam rumah. Makanya dia sembunyi di sini sama si Mbok. Ini aja pintu kamar si Mbok ampe diganjal pake meja,” timpal Darmi menerangkan.Sadewa terlihat menghela napas dalam-dalam tanpa melepas pelukan istrinya yang sedang ketakutan.“Bapak sendiri, kenapa wajahnya babak belur seperti itu?” tanya Darmi lagi.Sania mendongak, menatap lalu mengusap wajah suaminya yang dipenuhi luka lebam.“Tadi pas saya mau bertemu rekan bisnis di Depok, tiba-tiba mobil saya dijegat sama sekelompok orang. Mereka memukuli saya, mengambil berkas-berkas yang saya bawa dan semua harta benda milik saya termasuk ponsel dan dompet. Saya mencoba melawan dan mempertahank
“Apa kamu serius mengatakan semua itu, San?” Sadewa menangkup wajah istrinya menggunakan kedua telapak tangan. Sania hanya diam membisu, karena sebenarnya apa yang dia katakan itu hanya dusta belaka. Dia juga begitu takut kehilangan Sadewa karena kasih sayang yang diberikan oleh laki-laki itu selalu membuat dirinya berharga juga berarti. Namun entahlah, pikirannya terasa begitu kacau malam ini. “Kenapa kamu diam, San?” Sadewa terus saja mencecar. Wanita dengan hidung bangir serta bibir tipis itu melesakkan kepala ke dalam dada suaminya, melingkarkan tangan di pinggang laki-laki itu seraya menangis tersedu. “Aku akan tetap berjuang untuk mendapatkan hati kamu, San. Aku tidak akan melepaskan kamu begitu saja, tidak peduli kalau kamu begitu membenci aku. Aku akan mempertahankan kamu setidaknya sampai anak ini lahir. Dan setelah itu kamu boleh minta pi...” “Sssst!” Sania menautkan telunjuk di bibir sang pemilik rahang tegas, mengusap pipi Sadewa yang ditumbuhi jambang kemudian menyent
“Astaga, Ayah. Ayah nuduh aku terlibat? Memangnya apa untungnya buat aku neror Sania, Yah?”“Siapa tau kamu merasa cemburu sama istri baru Ayah. Kamu tidak suka melihat Ayah bahagia, dan tidak mau kasih sayang Ayah untuk kamu terbagi setelah Ayah memiliki istri.”“Enggak, Yah. Seujung kuku pun aku tidak memiliki perasaan seperti itu. Aku juga sayang sama Sania dan merasa senang karena kehadiran Sania mampu mengubah Ayah yang pemarah jadi lebih lembut, bahkan aku merasa lebih diperhatikan oleh Ayah ketimbang sebelum Ayah menikah. Jadi, untuk apa aku cemburu kepada Sania?”Sadewa mengusap wajah dan menatap putrinya, lalu merangkul Clarissa dan meminta maaf.“Katakan sama Ayah. Kamu meminjam uang lima puluh juta sama Sania untuk apa? Apa David yang menyuruh kamu?”Clarissa menelan saliva dengan susah payah sambil melirik tidak suka ke arah ibu tirinya.Ember banget mulut kamu, Sania. Sudah aku bilang jangan mengadu ke Ayah, tapi kamu masih saja mengadukannya. Ia menggumam sendiri dalam h
“Ayo, Ca. Mulai sekarang, kamu dan Enjel akan tinggal di rumah Ayah. Pokoknya Ayah nggak mau kalau kamu sampai kembali sama suami kamu!” ajak Sadewa seraya menarik tangan putrinya.“Tapi, Ayah?”“Kamu itu ya? Apa sih yang membuat kamu begitu tergila-gila dan bertekuk lutut sama si David itu?”“Karena aku mencintai dia, Ayah.”“Cinta? Terus, kamu akan diam saja walaupun terus menerus disakiti? Cinta boleh saja, tapi pake logika!”Clarissa menundukkan wajah tidak berani menatap wajah sang ayah.“Kunci pintu rumah kamu. Kita pulang ke rumah. Lagian, percuma ‘kan kamu punya suami kalau semua keperluan kamu masih jadi tanggungan Ayah. Mending sekalian saja kamu menjadi janda!” sungut Sadewa bertambah meradang.“Jadi selama ini Ayah nggak ikhlas ngasih semuanya ke Ica?”“Astagfirullah, Ica. Kamu itu bo*oh atau apa sih? Buka mata dan hati kamu. Kamu sadar nggak sih, selama ini David itu tidak mencintai kamu. Dia itu Cuma memanfaatkan kamu saja!”Bibir merah Clarissa terkatup rapat. Dia lalu
“Pake gamis sama kerudung. Kita jalan sekarang!” perintahnya membuat Sania langsung tersenyum penuh kemenangan.“Jangan lupa hapus juga riasan kamu. Aku tidak mau ada laki-laki lain yang ikut menikmati kecantikan kamu!”“Siap, Bos!”Sania segera berjalan menuju wastafel, membasuh wajahnya lalu lekas mengganti pakaian. Mereka berdua kemudian berjalan keluar dengan mode saling bergandengan tangan tanpa menghiraukan dua pasang mata yang memandang dengan tatapan cemburu.“Kalian mau ke mana?” tanya Clarissa seraya menelisik tampilan Sania dari ujung kaki hingga ke ujung kepala, karena gamis yang ibu tirinya kenakan selalu baru dan dari merek yang lumayan cukup terkenal.“Beli martabak, Kak. Kakak mau?” Sania menjawab dengan senyuman terkembang di bibir merah mudanya.“Oh...enggak. Aku nggak suka sama terang bulan!”“Kamu mau nitip apaan, Ca? Biar Ayah beliin.” Sambung Sadewa.“Enggak, Yah. Aku nggak kepengen apa-apa.”“Ya sudah kalau begitu. Ayo, Sayang. Kita jalan sekarang. Sudah jam sem