Buru-buru turun dari tempat tidur, menutup jendela dan aku lihat ada dua orang berbaju serba hitam serta berkacamata sedang menatap ke arah kamar Om Dewa. Aku lekas menutup tirai rapat-rapat juga mengunci pintu kamar, takut ada yang masuk ke dalam bilik dan berbuat jahat kepadaku.
Tok!
Tok!
Tok!
Aku terkesiap ketika mendengar suara nyaring pintu diketuk.
"Lindungi aku, ya Allah," ucapku menahan takut luar biasa.
Keringat sebesar-besar biji jagung mulai menyembul dari balik pori-pori, tenggorokan mendadak kering dan tubuh mulai gemetar.
"San, kamu ada di dalam 'kan?" Terdengar suara Clarissa memanggil namaku.
Lekas berlari ke arah pintu, memutar anak kunci dan segera menyuruh Clarissa untuk masuk ke dalam kamar dan kembali menguncinya kembali.
"Ada apa, San? Kok wajah kamu pucet banget?" tanya Clarissa terlihat begitu khawatir melihat keadaan diriku.
"Ada yang mengawasi kamar ini. Tadi aku dapat telepon misterius, dan dia juga mengirimkan pesan berupa ancaman kepadaku!" Aku menjawab seraya memegangi tangan Clarissa.
"Ada yang mengawasi? Ayah sudah tinggal di rumah ini selama sepuluh tahun dan nggak pernah ada hal-hal aneh di sini lho. Kamu jangan berpikiran yang aneh-aneh, ah!"
"Demi Allah, Kak. Tadi ada dua orang dengan pakaian hitam-hitam mengawasi kamar ini. Aku juga barusan mendapat chat ancaman dari nomer nggak dikenal!"
Aku mengambil gawai yang tergeletak di lantai, menunjukkan pesan tersebut kepada lawan bicaraku dan wajah Clarissa berubah pias setelah membacanya.
"Kita hubungi Ayah kalau begitu, San. Ayah harus tau masalah ini," usul Clarissa kemudian.
"Nggak, Kak. Aku nggak mau mengganggu konsentrasi kerja Om Dewa. Biar dibicarakan nanti saja kalau Om Dewa udah pulang."
"Tapi, San?"
Aku menggeleng pelan. Terdengar helaan napas berat putri suamiku, dan dia segera mengembalikan ponsel tersebut kepadaku.
***
Sepanjang hari aku terus saja memikirkan pesan itu, juga dua orang yang mengintai rumah suami. Rasanya hidup ini mendadak tidak tenang. Hanya sekedar memejamkan mata sebentar saja rasanya tidak mampu. Takut saat mata tertutup dan ketika kembali membukanya mereka ternyata sudah ada di dalam rumah ini dan berbuat macam-macam terhadap diriku.
Ya Allah. Lindungilah hamba-Mu selalu.
Tidak lama kemudian terdengar suara deru mesin kendaraan masuk ke pekarangan rumah. Gegas mengenakan hijab, berjalan keluar melihat siapa yang datang.
Alhamdulillah, Om Dewa sudah pulang. Aku tidak akan merasa takut lagi jika dia ada di sisi, sebab yakin kalau pria berjambang tipis tersebut akan selalu melindungi.
"Ternyata enak ya kalau punya istri. Pulang kerja langsung ada yang nyambut. Disenyumin lagi. Coba kalau malam juga bisa..." Dia menggantung kalimat seraya menatap wajah ini.
"Bisa apa, Om?" tanyaku sembari menyalami suami dan mencium bagian punggung tangannya dengan khidmat.
"Enggak. Ayo masuk! Sudah malam."
Kami berjalan bersisian naik ke dalam kamar, menutup pintu dan Om Dewa segera melepas kemejanya.
Aku membuang pandang ke arah lain ketika tanpa senagaja melihat perut roti sobek milik suami. Tidak bisa dipungkiri, ada perasaan aneh ketika melihat pemandangan seperti itu secara live di depan mata.
Om Dewa memang sudah tua. Tapi bentuk tubuhnya tidak kalah dari atlet-atlet yang suka aku lihat di televisi. Atletis juga macho.
"Kamu kenapa, San? Kaya ada yang aneh gitu? Nggak pernah liat laki-laki buka baju ya?" tanyanya aneh.
Ya jelaslah aku nggak pernah lihat orang buka baju. 'Kan belum pernah menikah sebelumnya.
"Mau dipeluk?" Dia malah merentangkan kedua tangan, menatapku dengan pindaian aneh.
"Ish, Om Dewa nggak jelas banget!" Mencebik bibir manja, melipat tangan di depan dada sambil duduk di bibir ranjang.
"Om Dewa mau ke mana?"
"Mandi. Mau ikut?"
"Ogah!"
Dia terkekeh sambil berjalan masuk ke dalam toilet.
Tidak lama kemudian terdengar suara gemericik air beradu dengan lantai. Aroma shampo serta sabun mandinya mulai menguar di udara, memenuhi kamar yang luasnya dua kali lipat dari kamarku di rumah.
Sambil menunggu suami mandi kusiapkan segala keperluannya, karena tugas seorang istri adalah melayani suami dengan sebaik-baiknya.
Ya... walaupun belum bisa melakukan tugas yang paling inti, sebab jujur aku belum bisa melakukannya dan Om Dewa tidak pernah meminta haknya.
"Duh, terima kasih sudah disiapin baju, San." Dia berujar seraya mengeringkan rambut dengan handuk dan meletakkan handuk basah di sembarang tempat.
"Handuknya taro di kamar mandi lagi dong, Om. Itu 'kan basah!" protesku kesal seraya cemberut.
Lelaki berusia empat puluh lima tahun itu hanya menyeringai dan lekas kembali ke kamar mandi.
"Om, baca ini." Menyodorkan ponsel, menyuruh suami membanca pesan serta melihat gambar yang dikirim oleh nomer misterius tadi.
Riak wajah pria yang seharusnya menjadi mertuaku itu seketika langsung berubah. Kepanikan tergambar jelas di sorot kedua netranya, namun dia berusaha tetap santai menanggapinya.
"Aku takut, Om."
"Tidak perlu takut, San. Selama ada aku, tidak ada seorang pun yang akan berani berbuat macam-macam sama kamu. Aku akan selalu menjaga dan melindungi kamu, seperti janjiku kepada Ayah kemarin."
Aku mendongak menatap wajah Om Dewa, hingga sesaat pandangan kami saling bersirobok. Entahlah, aku merasa aneh ketika bersitatap seperti ini. Ada rasa nyaman, damai, juga rasa yang tidak bisa diungkapkan.
"Mantan istri Om cantik ya?" Aku sengaja memancing dia supaya menceritakan masa lalu tentang mantan istrinya.
"Kamu lebih cantik dan lebih segalanya, Sania," puji suami membuat pipi ini seketika bersemu merah.
"Gombal, ih. Dasar buaya darat!!"
"Apa aku terlihat seperti buaya?"
Aku tertawa geli jadinya. Tidak menyangka lelaki yang dulu terlihat super cuek dan cenderung menyeramkan ini ternyata bisa berlaku lembut serta hangat kepada pasangannya. Pasti dulu dia juga begitu mencintai mamanya Kak Ica sampai-sampai rela menduda hingga puluhan tahun lamanya.
"Om menikah sama mantan istri Om saat umur berapa? Kok masih muda tapi anaknya sudah besar-besar?"
"Kamu ini kok kaya wartawan, San. Banyak banget yang ditanyakan."
"Biar aku tau masa lalu Om, lah. Memangnya tidak boleh?"
"Aku dan Vero menikah karena kecelakaan, San. Saat itu Vero masih duduk di bangku kelas tiga SMA sedangkan aku masih kuliah semester dua. Vero hamil dan meminta pertanggungjawaban, padahal aku sama dia cuma melakukannya sekali saat itu dan itu juga bukan yang pertama buat Vero. Dia selalu jujur sama aku dan sering cerita kalau setiap pacaran suka melakukan itu. Makanya pas dia ngajakin begituan ya aku mau saja, karena aku pikir nggak akan terjadi hal-hal buruk kepada kami. Ternyata malah tekdung!"
"Terus, kenapa Om nggak nikah lagi setelah cerai sama Tante Vero?"
"Karena belum menemukan perempuan yang cocok. Aku tidak begitu mempercayai perempuan, karena mereka itu sama saja. Hanya cinta sama uang!"
"Termasuk aku?" Menunjuk diri sendiri.
"Kamu itu lama-lama cerewet juga kaya nenek-nenek!" Dia menarik hidungku gemas.
Lama-lama bisa jadi Pinokio kalau ditarik terus seperti ini.
"Kamu sudah makan belum, San?"
"Belum, 'kan nunggu suamiku pulang."
Kedua sudut bibir Om Sadewa ditarik ke atas membentuk lengkungan indah di wajah.
Kami kemudian segera turun ke lantai dasar, menyantap masakan yang sudah disediakan oleh Mbok Dar sambil bercengkrama ringan di meja makan.
Di saat kami sedang bersama, sebisa mungkin aku berusaha terlihat ceria, tidak mau terus mengingat-ingat masa-masa menyakitkan termasuk ketika tiba-tiba kami dinikahkan secara siri karena Kevin ternyata sudah menghamili perempuan lain. Aku akan terus berusaha menyembunyikan luka itu dari suami dan membuka hati untuk dia.
***
"Sudah malam, Om kenapa nggak tidur?" tanyaku seraya duduk di sebelah suami yang masih berjibaku di depan laptop dan terlihat serius menatap layar berukuran empat belas inchi yang ada di hadapannya itu.
"Kamu sendiri kenapa belum tidur?" Dia balik bertanya.
"Nungguin Om."
"Sudah, tidak usah ditunggu. Aku sudah biasa begadang sampai pagi. Kamu tidur saja. Nanti sakit."
"Tapi aku nggak bisa tidur, Om."
Lelaki yang sudah menjadi suamiku selama dua pekan tersebut segera mematikan laptop, menutupnya lalu diletakkan di atas meja.
"Ayo, tidur. Sudah malam."
Aku mengangguk patuh. Segera menarik selimut dan berusaha memejamkan mata, namun istirahat malamku terganggu oleh gerakkan Om Dewa.
"Om itu kenapa sih? Setiap malam kalo mau tidur kaya orang gelisah. Gerak mulu nggak mau diem. Kenapa nggak sekalian jungkir balik saja di kasur?" protesku karena merasa terganggu dengan gerakan suami yang hampir tidak pernah berhenti. Dia terlihat begitu gelisah serta merasa kurang nyaman, padahal kasur di kamarnya terasa begitu empuk.
"Itu karena kamu, San," jawab Om Dewa dengan wajah terlihat frustasi.
"Kok malah aku yang disalahkan?"
"Yasudah, kalau begitu bantu aku supaya bisa tidur dengan tenang tanpa bergerak-gerak agar tidak menggangu istirahat kamu!"
"Dengan cara apa?"
Dia menggeser tubuhnya semakin mendekat hampir tanpa sekat, dan pelan-pelan tangan kekar suami menyentuh pipi ini dengan lembut, mendekatkan wajahnya lalu mendaratkan bibir di tempat yang sama membuat diri ini hampir tidak bisa bernapas.
"Apa aku boleh meminta hakku malam ini, Sania?" Pria beralis tebal itu bertanya dengan suara serak, dan kedua tatapan matanya tidak lepas dari wajahku.
Aku menelan ludah dengan susah payah, bingung harus menjawab apa. Jika menolak takut malaikat melaknat, akan tetapi juga belum siap menyerahkan segalanya kepada Om Dewa.
Tangis sahabat seperjuangannya itu semakin pecah ketika melihat sang mertua datang. Sadewa ikut duduk di lantai, menatap lemas dengan air mata sudah merebak dari balik kelopak.“Maaf, Pak. Silakan anak-anaknya diazani dulu!” Seorang perempuan berseragam khas perawatan keluar sambil tersenyum, menyuruh Aditya segera masuk untuk mengazani anak-anaknya.Sambil menghapus air mata laki-laki berkumis tipis itu berjalan masuk, menghampiri istrinya yang masih terbaring lemah dan menciumi pipinya sambil menangis.“Jangan cengeng, Abang. Masa seorang penembak jitu nangis sesenggukan begini?” ucap Clarissa sembari menerbitkan senyum.“Iya, Ca. Saking jitunya Abang nembak, sekali jadi langsung tiga! Makanya Abang terharu dan melihat perjuangan kamu melahirkan ketiga anak kita. Padahal, dokter kemarin Cuma bilang kalau kamu hamil kembar. Abang pikir Cuma dua. Ternyata malah tiga!” Aditya kembali mengusap air matanya.“Alhamdulillah, Bang. Rezeki kita langsung dikasih amanah banyak sama Allah. Ting
“Maaf, Sayang. Abang begitu mengkhawatirkan kamu soalnya. Plis jangan nangis. Abang liat kamu kesakitan saja sudah stres, ditambah liat kamu nangis. Abang minta maaf kalo Abang salah. Tolong jangan menangis. Mana yang sakit biar Abang elus-elus.” Aditya terus saja mencerocos sambil mengusap perut gendut istrinya.“Sakit semua, Bang!” Wanita berambut ikal itu melingkarkan tangan di pinggang, mencengkeram baju yang tengah dikenakan sang suami sambil meringis menahan sakit yang semakin terasa.“Minum air hangat dulu, Kak. Biar rileks!” Sania berjalan sambil menyodorkan segelas air putih hangat dan langsung disambar oleh menantunya, ditenggak habis hingga tersisa gelasnya saja.“Istri gue ngasih minum buat anak gue! Kenapa jadi lo yang minum?!” Sadewa menjitak kepala sahabatnya itu.“Maaf, Wa. Aku terlalu grogi!”“Wa...Wa... Dasar mantu durjana, sama mertua sendiri panggil nama. Nanti gue coret kamu dari daftar keluarga!” protes sang pemilik rahang tegas sambil menjitak kepala Aditya seka
“Naik motor, ya Bang. Ica pengen peluk Abang dari belakang!”Lelaki berambut cepak itu menghela napas berat, akan tetapi dia tidak berani menolak permintaan si istri, karena saat ini Clarissa tengah berbadan dua dan perasaannya begitu sensitif. Ia pun akhirnya mendorong sepeda motor miliknya keluar, menyuruh Clarissa merapatkan tubuh serta memeluknya dan segera melajukan kendaraan roda dua miliknya menuju tukang sate langganan.Clarissa tersenyum sembari menyenderkan kepala di punggung sang suami, merasa begitu nyaman serta bahagia hidup bersama sahabat ayahnya yang kini sudah sah menjadi suaminya.Tidak seperti saat membina biduk rumah tangga dengan David dulu, yang penuh luka juga liku. David tidak pernah berlaku manis, bahkan sekedar tersenyum kepadanya pun tidak pernah. Hanya luka yang selalu ditorehkan, baik di sanubari maupun fisiknya.“Terima kasih, ya Bang,” bisiknya seraya mempererat dekapan.“Untuk apa?” Raditya menggenggam jemari Clarissa yang tengah bertengger di pinggang.
Pagi-pagi sekali Sania sudah berjibaku di dapur menyiapkan sarapan untuk suami serta putranya. Kebetulan hari ini Mbak Resti izin libur, karena suaminya sedang kurang sehat jadi Sania harus menyiapkan segala sendiri.“Assalamualaikum, selamat pagi bidadari,” sapa Sadewa sembari melingkarkan tangan di pinggang sang istri.“Emangnya aku secantik bidadari, Yah?”“Lebih cantik dari bidadari malahan. Kamu itu luar biasa. Wanita tercantik yang pernah aku temui juga perempuan terbaik yang pernah aku kenal. Kamu adalah jantung serta napasku, dan tanpamu mungkin aku tidak akan sanggup lagi untuk hidup serta berdiri. Terima kasih atas cinta yang selama ini kamu curahkan kepadaku, terima kasih juga karena sudah mau menjadi ibu dari anak-anakku!” bisiknya mesra di telinga istrinya.Saat sedang santap pagi terdengar suara pintu diketuk nyaring. Sania segera keluar untuk melihat siapa yang datang, dan ternyata Malvin—anaknya Darmi yang bertamu. Sania mengulas senyum tipis kepada anak mantan asisten
“Sudah, buruan dimakan. Biar dedeknya tambah besar!”“Iya, Yah. Ayah juga sebaiknya cepat makan. Nanti Embun habisin loh, jatahnya kalau Cuma diliatin doang.”“Kalau mau silakan habiskan. Kalau kamu minta sekalian dibeli sama kios-kiosnya juga akan aku turuti.”“Ish! Memangnya mau buat apaan?” Sania mencebik. Perempuan berhijab ungu itu segera memotong makanan berbentuk bulat dengan isi tertelan daging tersebut dan lekas menyantapnya dengan semangat, hingga keringat sebiji-biji kacang hijau menitik di dahinya.Buru-buru Sadewa menarik dua lembar tisu, mengelap peluh yang membuat istrinya semakin terlihat bertambah menawan sambil tidak henti-hentinya mengagumi wajah cantik Sania.“Kenapa Ayah liatin aku seperti itu?” Sania menghentikan aktivitasnya menyantap bakso karena terus diperhatikan.“Kamu cantik. Aku mencintai kamu!”“Aku tau, kok, kalau Ayah begitu mencintai aku.”“Aku mencintai kamu lebih dari yang kamu tahu, Mbun. Cinta di hati ini begitu besar, dan bahkan tiap detiknya kian
“Abang ngapain? Kok malah olah raga?” tanya Clarissa seraya menatap bingung ke arah suaminya.“Sayangku itu bagaimana sih? Tadi katanya Abang suruh pemanasan. Sekarang malah ditanya lagi ngapain?”Hah? Mulut perempuan berambut ikal itu menganga lebar.Seriusan ini laki nggak mudeng pemanasan? Pikirnya.“Bang, maksud aku pemanasan itu bukan seperti itu. Tapi...Ah, masa Abang tidak tahu. Kan aneh, Abang ini duda, masa nggak paham pemanasan sebelum perang?” Kedua bulat bening milik Clarissa terus saja menatap wajah Aditya yang terlihat basah oleh keringat juga sudah ngos-ngosan.“Sebenarnya, Abang belum pernah perang sebelumnya, Ca. Abang...” Dia menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. “Abang dulu belum sempat kikuk-kikuk sama mantan istri Abang. Dia menolak disentuh sama Abang, dan ternyata setelah beberapa bulan usia pernikahan kami, Abang baru tahu kalau dia sedang mengandung benih orang lain!”“Ya Allah, Bang. Miris sekali kisah cinta Abang dulu. Berarti Abang duda perjaka, don
“Saya terima nikah dan kawinnya Clarissa Arabella binti Veronika untuk diri saya, dengan mas kawin tersebut tunai!” Dengan sekali tarikan napas dan semangat empat lima Aditya mengucap ijab qobul di depan penghulu juga beberapa orang saksi, memindahkan tanggung jawab serta dosa-dosa wanita yang telah resmi menjadi pendamping hidupnya.Clarissa menghampiri lelaki yang kini menyandang gelar suami, menyalami dan mencium bagian punggungnya dengan takzim, disambut ciuman hangat di kening dan Aditya segera membacakan doa setelah ijab kabul.“Alhamdulillah. Akhirnya aku bisa menghalalkan anak kamu, Wa,” ucap Aditya ketika kedua mempelai disuruh sungkeman.“Coba sekali lagi kamu panggilan saya apa?” Kedua manik hitam lawan bicaranya melotot, menatap sang menantu yang tidak ada sopan-sopannya sama sekali.“Lah, saya harus panggil apa, Wa?”“Wa! Wa! Hargai saya sedikit lah, Dit. Saya ini ayahnya Ica dan Ica istri kamu. Otomatis kamu sudah menjadi menantu saya. Harusnya kamu panggil saya ayah. Ja
Kevin tertawa mendengar kabar tersebut, merasa lucu saja jika sang kakak benar-benar menikahi sahabat ayahnya itu.“Kenapa kamu ketawa seperti itu, Kevin? Ada apa? Memangnya nggak boleh, saya nikah sama Ica?” Timpal Aditya yang ternyata sudah berdiri tidak jauh dari tempat kevin serta Sania bercengkerama.“Ya lucu saja, Om. Om kan ... ya sudahlah. Asalkan Om setia dan menyayangi kakak saya. Usia nggak jadi penghalang. Yang penting saling mencintai!” Kevin menjawab sambil menahan tawa.“Tumben kamu lempeng, Vin?”“Kan sudah berguru sama Om waktu saya dipenjara!” kekehnya lagi.Tidak lama kemudian Clarissa keluar sambil menggendong Angel putrinya. Senyum terkembang di bibir merah perempuan itu, apalagi ketika melihat Lisa bersama putrinya datang bertamu untuk pertama kalinya.“Alhamdulillah akhirnya kamu mau main ke rumah juga, Sa. Kakak seneng kamu dateng,” ucap wanita berambut ikal itu seraya menyalami sang adik ipar.“Terima kasih, Kak.”“Hayo masuk ke dalam. Kita ngobrol-ngobrolnya
"Silakan lakukan kalo Mama berani. Aku pastikan Ayah dan Bang Adit tidak akan memberi ampun sama Mama, apalagi sampai melepaskan Mama!" Clarissa mengancam balik. Aditya yang merasa namanya disebut dengan embel-embel 'Bang', tersenyum semringah dan langsung memasang wajah serius serta jemawa. "Maaf, ibu yang pake baju hijau!" Dia menunjuk salah seorang perempuan yang tengah merekam kejadian dan memintanya untuk menghampiri dirinya. "Ma--maaf, Pak. Saya cuma iseng-iseng merekam. Kalo Bapak tidak berkenan akan saya hapus!" Wajah si ibu tampak ketakutan. "Tidak perlu takut, Bu. Saya seorang anggota polisi dan saya akan meminta video yang ibu rekam tadi sebagai barang bukti untuk menjebloskan mantan mertua calon istri saya ke penjara," ucap Aditya kemudian, membuat mamanya David bertambah ketakutan. "Pak, saya tadi cuma bercanda loh. Saya nggak serius ngancem Ica. Lagian Enjel itu kan cucu saya. Mana mungkin saya berani menculik dan menjualnya. Tolong jangan penjarakan saya, Pak Adit.