Yuan kembali menelan ludah kasar. Entah mengapa suara Rian membuat jantungnya berdegup semakin kencang. Suara lelaki itu terdengar begitu seksi dan menggoda di telinganya.
Rian menjauhkan tubuh dari Yuan. Dia menarik sabuk pengaman, kemudian memasangkannya pada tubuh Yuan. Sontak Yuan membuka mata.
Tanpa sadar ternyata perempuan tersebut sudah menahan napas. Saat Rian kembali ke tempat duduknya, Yuan langsung mengembuskan napas kasar. Ada rasa kecewa ketika mengetahui Rian hanya memakaikan sabuk pengaman.
"Kita berangkat sekarang, Sayang?" tanya Rian sambil menoleh ke arah Sinta.
"Lets go, Ayah!" Sinta meninjukan kepal tinjunya ke udara.
Mendengar sapaan Rian kepada Sinta kembali membuat Yuan berdebar. Dia merasa kata sayang tersebut ditujukan Rian kepadanya. Terlebih ketika dia menangkap sang suami tengah tersenyum tipis sambil meliriknya.
Akan tetapi, Yuan menepis semua prasangka itu. Dia kembali teringat akan Andri, mendiang suaminya yang sudah tidur abadi di dalam tanah. Rasa sedih kini menyeruak ke dalam hati Yuan.
Yuan berulang kali mengucap kata maaf karena merasa telah mengkhianati cinta sang suami dengan menikah dengan Rian. Namun, dia tidak bisa berbuat apa pun. Semua terjadi begitu saja karena keadaan yang memaksanya untuk menikah dengan kakak dari mendiang sang suami.
"Bunda, sebentar lagi liburan! Apa Bunda nggak mau ajak Sinta pergi berlibur?" tanya Sinta sambil memperhatikan buku bergambar yang ada di dalam genggamnya.
"Nanti, ya, Sayang. Bunda masih ...."
"Bukankah liburan masih sebulan lagi? Tenang saja! Nanti ayah ajak Sinta jalan ke Jakarta, mau?" Rian memotong obrolan istri dan anaknya.
Hal itu tentu saja membuat Yuan kesal setengah mati. Dia melipat lengan sambil melirik tajam ke arah sang suami. Tak lupa bibir tipis perempuan itu mengerucut.
Rian yang menyadari kalau Yuan tidak suka dengan sikapnya justru menggoda sang istri. Dia menaik-turunkan alis seraya tersenyum jahil. Yuan pun mengepalkan jemari seakan hendak meninju Rian.
Rian terkekeh karena berhasil membuat istrinya itu kesal. Melihat Yuan tampak kesal justru membuat Rian gemas. Jika saja Sinta tidak ada di dalam mobil, sudah dipastikan Rian akan memeluk sang istri dan menghujaninya dengan ciuman.
"Kita sudah sampai!" seru Rian ketika mereka sampai di gerbang sekolah Sinta.
"Terima kasih, Ayah, Bunda!" Sinta meraih tangan Yuan dan Rian secara bergantian untuk berpamitan.
Setelah Sinta turun dari mobil, Rian kembali melajukan mobil untuk mengantarkan Yuan ke klinik Riana. Keduanya hanya diam sepanjang perjalanan. Tadi ketika ada Sinta, Rian tidak merasa canggung dan terus berusaha menjahili Yuan.
Namun, ketika putri kecilnya itu sudah tidak bersama mereka, Rian merasa sangat canggung dan gugup. Dia berulang kali mengetukkan ujung jari di atas roda kemudi. Sesekali Rian melirik Yuan yang terlihat acuh sambil menatap ke luar jendela.
Setelah menempuh perjalanan selama lima belas menit dari sekolah Sinta, akhirnya mereka sampai di klinik kecantikan milik Riana. Awalnya Rian berniat untuk membukakan pintu untuk Yuan, tetapi istrinya itu turun lebih dulu dan berjalan cepat untuk masuk ke klinik.
"Bahkan dia tidak sudi berpamitan kepadaku." Rian tersenyum kecut sambil menatap nanar punggung Yuan yang semakin menjauh.
Ketika tubuh Yuan tidak lagi tampak di mata Rian, lelaki itu langsung menginjak pedal gas untuk berangkat ke rumah sakit. Beberapa hari yang lalu sang ayah memintanya kembali ke Surabaya untuk belajar beberapa hal mengenai manajemen rumah sakit.
Anton memang berniat menyerahkan rumah sakit yang ada di Jakarta untuk putra pertamanya itu. Jadi, untuk mempersiapkan Rian, Anton akan mengajarinya beberapa hal penting mengenai manajemen rumah sakit. Setelah siap, dia akan menyerahkan kepemilikan rumah sakit yang ada di Jakarta kepada Rian secara resmi.
Ketika sudah setengah jalan menuju rumah sakit, ponsel Rian berdering. Dia mengerutkan dahi ketika melihat layar ponselnya. Nama Riana muncul di sana.
"Halo, Mas. Kata Mbak Yuan ponselnya ketinggalan di mobil. Bisa tolong antar ke klinik?"
Rian melirik ke kursi yang sebelumnya diduduki oleh Yuan. Benar saja, ponsel istrinya itu ada di sana. Rian tersenyum kemudian menjawab permintaan Riana.
"Boleh, tapi bisa nggak kalau Yuan sendiri yang minta tolong secara langsung. Rasanya kurang sopan saja kalau dia minta tolong dengan meminjam lidahmu." Rian menyeringai ketika membayangkan ekspresi Yuan sekarang.
Dari ujung sambungan telepon terdengar Riana sedang memanggil Yuan. Tak lama berselang terdengar hela napas kasar dan suara Yuan mulai menyapa pendengaran Rian. Rian tersenyum lebar karena Yuan menuruti kemauannya.
"Mas, bisa minta tolong bawakan ponselku ke sini? Takutnya nanti ada panggilan homecare dadakan."
Suara Yuan terdengar santai, tetapi Rian masih bisa menangkap ada nada kesal di sana. Rian yang jahil pun kembali memulai aksinya. Sebuah ide muncul di kepala lelaki tampan tersebut.
"Bisa mengatakan tolong dengan nada manja? Aku masih mendengar kalau kamu sedang kesal sama aku."
"Ya gimana aku nggak ...." Yuan meninggikan suaranya, tetapi tidak melanjutkan ucapan.
Dari ujung telepon Yuan terdengar berdecap kesal. Tak lama perempuan tersebut mengembuskan napas berat. Mendengar itu semua membuat Rian tersenyum geli.
"Sayaaang, tolong antar ponselku ke klinik sekarang, ya? Aku butuh buat kerja. Terima kasih sebelumnya," ucap Yuan dengan nada paling manja yang dia bisa.
Rian bersorak dalam hati. Dia mendapatkan panggilan sayang dari Yuan untuk pertama kali. Senyum bahagia jelas terpancar di bibir Rian, meski Yuan mengucapkannya secara paksa.
"Baiklah, istriku yang manja! Aku akan mengantarkan ponsel ini untukmu. Tunggu sebentar, ya?" Rian menutup sambungan telepon kemudian putar balik.
Setelah sampai di halaman depan klinik, lelaki itu mematikan mesin mobil. Rian meraih ponsel milik Yuan. Sebuah ide jahil lainnya kembali muncul di benak Rian.
Rian menekan tombol kunci, sehingga menampilkan gambar layar ponsel Yuan. Dia tersenyum kecut melihat foto yang terpajang di sana. Sebuah foto kebersamaan Yuan dengan Andri masih ada di sana.
"Kamu beruntung banget, sih, Ndri! Aku iri! Yuan benar-benar masih mencintaimu." Rian tersenyum kecut kemudian membuka kunci layar ponsel Yuan.
Setelah itu, Rian menyalakan kamera dan mulai mengambil fotonya sendiri. Dia mengambil gambar beberapa kali. Setelah merasa cukup, Rian memilih foto itu dan menjadikan satu yang paling bagus untuk dijadikan gambar layar ponsel sang istri.
Tidak sampai di sana, Rian kembali berulah dengan mengecek nomor ponselnya sendiri. Rasa kecewa sekaligus sedih kini bercampur menjadi satu. Ternyata selama ini Yuan tidak menyimpan nomor ponselnya.
"Ck, istri macam apa ini?" Rian mendengkus kesal.
Lelaki tersebut mengetikkan nomor ponselnya dan menyimpan dalam kontak handphone sang istri. Sebuah senyum miring kini terukir di bibir Rian. Setelah selesai dengan semua kejahilannya, Rian pung bergegas turun dan memberikan benda pipih tersebut kepada sang istri.
Usai menyerahkan ponsel tersebut, Rian langsung pergi ke rumah sakit. Yuan menyampaikan bahwa akan ikut makan siang di rumah, jadi Rian akan menjemput sang istri terlebih dahulu sebelum Sinta.
Bagi Yuan hari itu berjalan damai. Namun, sebuah panggilan membuat perempuan tersebut terbelalak. Sebuah foto dan nama yang muncul pada layar ponsel membuat darah perempuan tersebut seakan mendidih.
Yuan menoleh ke arah jendela mobil. Seorang lelaki bertubuh tegap kini berdiri di samping mobilnya. Tak lama berselang lelaki itu membungkuk.Yuan dapat mengenali siapa orang yang ada di luar sana walau terlihat samar. Dia adalah Burhan, mantan kekasihnya. Bagaimana bisa Burhan mengetahui keberadaannya saat ini?Akhirnya Yuan memutuskan untuk keluar dari mobil. Saat dia kembali menutup pintu mobil, Burhan melepas kacamata hitam yang sejak tadi menyembunyikan sepasang mata lelaki tersebut."Apa kabar, Sayang?" tanya Burhan dengan senyum menyeringai.Yuan tidak menjawab. Dia terus mengepalkan jemari tangan seraya menatap sepasang mata Burhan penuh kebencian. Burhan memasukkan kacamatanya ke dalam saku kemeja dan mulai mendekati Yuan."Kenapa kamu semakin sombong, Yuan? Nyonya muda Ismoyo kita ternyata semakin menggoda!" seru Burhan sembari memindai tubuh Yuan dengan tatapan mesum."Mundur! Ada Sinta di dalam! Jangan sam
Yuan menepuk dahinya. Dia tidak yakin sang putri akan sabar menunggu. Namun, Yuan akhirnya memaksakan senyum agar Sinta berhenti bertanya lagi soal adik."Baiklah! Sekarang main sama Juna dulu. Bunda mau kerja sama Bunda Riana." Yuan membelai lembut pipi putrinya.Sinta pun membereskan beberapa perlengkapan yang dia pakai untuk mengerjakan tugas sekolah. Begitu juga dengan Arjuna. Setelah itu, mereka berdua masuk ke kamar masing-masing."Aduh, jangan sampai Juna ikut-ikutan minta adik!" celetuk Riana tanpa mengalihkan tatapannya dari laptop.Yuan langsung menoleh ke arah Riana yang masih duduk rapi di sofa depan televisi. Dia berdiri dari atas karpet, lalu berjalan mendekati Riana. Yuan berkacak pinggang seraya menatap tajam adik iparnya itu.Merasa dirinya terus diperhatikan oleh Yuan, Riana pun mendongak. Dia menyengir kuda kemudian mengangkat lengan dengan jemari membentuk huruf 'v'. Tanpa basa-basi Yuan langsung mengimpit ke
Rian melongo mendengar pertanyaan Yuan yang menurutnya tidak masuk akal. Di sisi lain, Yuan terlihat kesal karena pertanyaannya tidak kunjung dijawab oleh Rian. Perempuan tersebut langsung melipat lengan seraya mengerucutkan bibir.Sedetik kemudian, Rian tertawa terbahak-bahak. Dia memegangi perutnya yang terguncang akibat ledakan tawa. Kini Yuan mulai mendaratkan cubitan pada lengan sang suami karena merasa kesal."Aduh, ampun!" teriak Rian tanpa menghentikan tawanya.Yuan tidak segera melepaskan cubitan dari lengan Rian, sampai akhirnya sang suami menarik lengannya paksa, lalu membanting pelan tubuh Yuan hingga istrinya itu terlentang di atas ranjang. Tatapan keduanya saling bertemu, tetapi dada Yuan masih kembang kempis karena menahan amarah."Kamu ini lucu, Sayang. Tentu saja aku akan menuruti semua keinginanmu. Bahkan aku bisa membeli pabrik es krim kesukaanmu, kalau kamu menginginkannya!" seru Rian jemawa.Yuan hanya terse
Rian dapat mendengar kalau Yuan menggumamkan sesuatu walau terdengar samar. Dia akhirnya menoleh dan menanyakan apa yang menjadi ganjalan hati sang istri. Namun, Yuan hanya menggeleng.Rian membuang napas kasar. Dia tidak mau memaksa sang istri mengatakan apa yang memang tidak dia ingin katakan. Akhirnya Rian memilih untuk tetap diam dan terus fokus mengendarai mobilnya."Mau makan di mana?" tanya Rian tanpa menoleh ke arah sang istri."Terserah," jawab Yuan singkat.Rian menelan ludah karena mendengar kata mematikan itu keluar dari bibir sang istri. Dia berpikir sejenak, berusaha mengingat beberapa makanan favorit sang istri.Setelah berpikir hampir 15 menit, akhirnya Rian memutuskan untuk berhenti di sebuah warung tegal. Yuan terdiam sesaat. Tak lama berselang, dia menoleh ke arah Rian."Mas Rian kok berhenti di sini?" tanya Yuan seraya memindai warung sederhana dengan etalase di bagian depannya."Kamu ri
Rian dan Siti pun menoleh ke arah Yuan. Wajah perempuan tersebut tampak merah padam dengan jemari mengepal kuat di samping badan."Nggak boleh!" seru Yuan tegas.Rian dan Siti melongo melihat Yuan yang sedang marah. Perempuan itu kini melipat lengan di depan dada sambil menatap tajam Siti. Hilda ikut melongo melihat Yuan yang tampak emosi.Hilda memandang Yuan dengan tatapan polos. Hilda bergerak dan berdiri di atas kursi. Kini semua tatapan tertuju pada bocah mungil berambut ikal itu."No, no, no! Tante nggak boleh mayah-mayah! Nggak baik kata papa!" Hilda menggerakkan jari telunjuk di depan wajahnya.Yuan mengalihkan pandangannya kepada Hilda. Amarah Yuan padam seketika. Dia mulai berpikir kalau dirinya tidak lebih dewasa dari anak berusia tiga tahun.Yuan akhirnya menyandarkan punggung pada bantal sofa di belakangnya. Bahunya merosot dan tatapan Yuan masih tertuju pada Hilda yang kini mulai turun dari kursi.
Rian mengerutkan dahi ketika melihat Yuan kembali bersikap kekanakan. Dia menggendong Hilda, kemudian menyusul Yuan yang sudah ada di dalam mobil. Rian mengetuk kaca mobil karena melihat istrinya itu duduk di belakang roda kemudi.Di dalam mobil, Yuan berusaha menekan tombol starter. Dia berniat pulang dengan mengendarai mobil sang suami sendirian dan meninggalkan Rian bersama janda gatal bernama Siti itu.Perempuan tersebut sangat jengkel ketika melihat bagaimana Siti tersenyum kepada suaminya. Dia merasa hanya Rian yang dinanti dan disambut kedatangannya. Belum lagi ketika Hilda yang langsung naik ke pangkuan Rian seperti sudah kenal sejak lama."Ah, sial!" Yuan memukul roda kemudi ketika menyadari dia tidak membawa kunci mobil."Pantas saja! Mau aku starter sampai jempolku patah mesinnya nggak akan nyala!" gerutu Yuan, lalu menenggelamkan kepala di antara kedua lengan yang memegang roda kemudi.Sedetik kemudian, Yuan menyadari kalau Rian mengetuk kaca mobil. Dia akhirnya menurunkan