Share

Bab 4. Rian Memang Jahil

Yuan kembali menelan ludah kasar. Entah mengapa suara Rian membuat jantungnya berdegup semakin kencang. Suara lelaki itu terdengar begitu seksi dan menggoda di telinganya.

Rian menjauhkan tubuh dari Yuan. Dia menarik sabuk pengaman, kemudian memasangkannya pada tubuh Yuan. Sontak Yuan membuka mata.

Tanpa sadar ternyata perempuan tersebut sudah menahan napas. Saat Rian kembali ke tempat duduknya, Yuan langsung mengembuskan napas kasar. Ada rasa kecewa ketika mengetahui Rian hanya memakaikan sabuk pengaman.

"Kita berangkat sekarang, Sayang?" tanya Rian sambil menoleh ke arah Sinta.

"Lets go, Ayah!" Sinta meninjukan kepal tinjunya ke udara.

Mendengar sapaan Rian kepada Sinta kembali membuat Yuan berdebar. Dia merasa kata sayang tersebut ditujukan Rian kepadanya. Terlebih ketika dia menangkap sang suami tengah tersenyum tipis sambil meliriknya.

Akan tetapi, Yuan menepis semua prasangka itu. Dia kembali teringat akan Andri, mendiang suaminya yang sudah tidur abadi di dalam tanah. Rasa sedih kini menyeruak ke dalam hati Yuan.

Yuan berulang kali mengucap kata maaf karena merasa telah mengkhianati cinta sang suami dengan menikah dengan Rian. Namun, dia tidak bisa berbuat apa pun. Semua terjadi begitu saja karena keadaan yang memaksanya untuk menikah dengan kakak dari mendiang sang suami.

"Bunda, sebentar lagi liburan! Apa Bunda nggak mau ajak Sinta pergi berlibur?" tanya Sinta sambil memperhatikan buku bergambar yang ada di dalam genggamnya.

"Nanti, ya, Sayang. Bunda masih ...."

"Bukankah liburan masih sebulan lagi? Tenang saja! Nanti ayah ajak Sinta jalan ke Jakarta, mau?" Rian memotong obrolan istri dan anaknya.

Hal itu tentu saja membuat Yuan kesal setengah mati. Dia melipat lengan sambil melirik tajam ke arah sang suami. Tak lupa bibir tipis perempuan itu mengerucut.

Rian yang menyadari kalau Yuan tidak suka dengan sikapnya justru menggoda sang istri. Dia menaik-turunkan alis seraya tersenyum jahil. Yuan pun mengepalkan jemari seakan hendak meninju Rian.

Rian terkekeh karena berhasil membuat istrinya itu kesal. Melihat Yuan tampak kesal justru membuat Rian gemas. Jika saja Sinta tidak ada di dalam mobil, sudah dipastikan Rian akan memeluk sang istri dan menghujaninya dengan ciuman.

"Kita sudah sampai!" seru Rian ketika mereka sampai di gerbang sekolah Sinta.

"Terima kasih, Ayah, Bunda!" Sinta meraih tangan Yuan dan Rian secara bergantian untuk berpamitan.

Setelah Sinta turun dari mobil, Rian kembali melajukan mobil untuk mengantarkan Yuan ke klinik Riana. Keduanya hanya diam sepanjang perjalanan. Tadi ketika ada Sinta, Rian tidak merasa canggung dan terus berusaha menjahili Yuan.

Namun, ketika putri kecilnya itu sudah tidak bersama mereka, Rian merasa sangat canggung dan gugup. Dia berulang kali mengetukkan ujung jari di atas roda kemudi. Sesekali Rian melirik Yuan yang terlihat acuh sambil menatap ke luar jendela.

Setelah menempuh perjalanan selama lima belas menit dari sekolah Sinta, akhirnya mereka sampai di klinik kecantikan milik Riana. Awalnya Rian berniat untuk membukakan pintu untuk Yuan, tetapi istrinya itu turun lebih dulu dan berjalan cepat untuk masuk ke klinik.

"Bahkan dia tidak sudi berpamitan kepadaku." Rian tersenyum kecut sambil menatap nanar punggung Yuan yang semakin menjauh.

Ketika tubuh Yuan tidak lagi tampak di mata Rian, lelaki itu langsung menginjak pedal gas untuk berangkat ke rumah sakit. Beberapa hari yang lalu sang ayah memintanya kembali ke Surabaya untuk belajar beberapa hal mengenai manajemen rumah sakit. 

Anton memang berniat menyerahkan rumah sakit yang ada di Jakarta untuk putra pertamanya itu. Jadi, untuk mempersiapkan Rian, Anton akan mengajarinya beberapa hal penting mengenai manajemen rumah sakit. Setelah siap, dia akan menyerahkan kepemilikan rumah sakit yang ada di Jakarta kepada Rian secara resmi.

Ketika sudah setengah jalan menuju rumah sakit, ponsel Rian berdering. Dia mengerutkan dahi ketika melihat layar ponselnya. Nama Riana muncul di sana.

"Halo, Mas. Kata Mbak Yuan ponselnya ketinggalan di mobil. Bisa tolong antar ke klinik?"

Rian melirik ke kursi yang sebelumnya diduduki oleh Yuan. Benar saja, ponsel istrinya itu ada di sana. Rian tersenyum kemudian menjawab permintaan Riana.

"Boleh, tapi bisa nggak kalau Yuan sendiri yang minta tolong secara langsung. Rasanya kurang sopan saja kalau dia minta tolong dengan meminjam lidahmu." Rian menyeringai ketika membayangkan ekspresi Yuan sekarang.

Dari ujung sambungan telepon terdengar Riana sedang memanggil Yuan. Tak lama berselang terdengar hela napas kasar dan suara Yuan mulai menyapa pendengaran Rian. Rian tersenyum lebar karena Yuan menuruti kemauannya.

"Mas, bisa minta tolong bawakan ponselku ke sini? Takutnya nanti ada panggilan homecare dadakan." 

Suara Yuan terdengar santai, tetapi Rian masih bisa menangkap ada nada kesal di sana. Rian yang jahil pun kembali memulai aksinya. Sebuah ide muncul di kepala lelaki tampan tersebut.

"Bisa mengatakan tolong dengan nada manja? Aku masih mendengar kalau kamu sedang kesal sama aku."

"Ya gimana aku nggak ...." Yuan meninggikan suaranya, tetapi tidak melanjutkan ucapan.

Dari ujung telepon Yuan terdengar berdecap kesal. Tak lama perempuan tersebut mengembuskan napas berat. Mendengar itu semua membuat Rian tersenyum geli.

"Sayaaang, tolong antar ponselku ke klinik sekarang, ya? Aku butuh buat kerja. Terima kasih sebelumnya," ucap Yuan dengan nada paling manja yang dia bisa.

Rian bersorak dalam hati. Dia mendapatkan panggilan sayang dari Yuan untuk pertama kali. Senyum bahagia jelas terpancar di bibir Rian, meski Yuan mengucapkannya secara paksa.

"Baiklah, istriku yang manja! Aku akan mengantarkan ponsel ini untukmu. Tunggu sebentar, ya?" Rian menutup sambungan telepon kemudian putar balik.

Setelah sampai di halaman depan klinik, lelaki itu mematikan mesin mobil. Rian meraih ponsel milik Yuan. Sebuah ide jahil lainnya kembali muncul di benak Rian.

Rian menekan tombol kunci, sehingga menampilkan gambar layar ponsel Yuan. Dia tersenyum kecut melihat foto yang terpajang di sana. Sebuah foto kebersamaan Yuan dengan Andri masih ada di sana.

"Kamu beruntung banget, sih, Ndri! Aku iri! Yuan benar-benar masih mencintaimu." Rian tersenyum kecut kemudian membuka kunci layar ponsel Yuan.

Setelah itu, Rian menyalakan kamera dan mulai mengambil fotonya sendiri. Dia mengambil gambar beberapa kali. Setelah merasa cukup, Rian memilih foto itu dan menjadikan satu yang paling bagus untuk dijadikan gambar layar ponsel sang istri.

Tidak sampai di sana, Rian kembali berulah dengan mengecek nomor ponselnya sendiri. Rasa kecewa sekaligus sedih kini bercampur menjadi satu. Ternyata selama ini Yuan tidak menyimpan nomor ponselnya.

"Ck, istri macam apa ini?" Rian mendengkus kesal.

Lelaki tersebut mengetikkan nomor ponselnya dan menyimpan dalam kontak handphone sang istri. Sebuah senyum miring kini terukir di bibir Rian. Setelah selesai dengan semua kejahilannya, Rian pung bergegas turun dan memberikan benda pipih tersebut kepada sang istri.

Usai menyerahkan ponsel tersebut, Rian langsung pergi ke rumah sakit. Yuan menyampaikan bahwa akan ikut makan siang di rumah, jadi Rian akan menjemput sang istri terlebih dahulu sebelum Sinta.

Bagi Yuan hari itu berjalan damai. Namun, sebuah panggilan membuat perempuan tersebut terbelalak. Sebuah foto dan nama yang muncul pada layar ponsel membuat darah perempuan tersebut seakan mendidih.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status