Share

Wa'alaikumsallam ya ukhti

Begitu Safna membuka pintu depan bola matanya langsung mencari keberadaan seseorang,. dia tampak panik mencoba menatap ke arah sisi kiri dan kanannya, pandangan nya penuh kebingungan diliputi kesunyian dalam keadaan sebab ini jelas masih cukup pagi karena itu wajar saja di dalam tiap lorong hotel tidak didapati satu penghuni pun yang hilir mudik. Dan sayangnya juga Safna tidak melihat siapapun yang ada di luar pintu kamar nya.

Gadis tersebut kembali menatap handphonenya, mencoba membaca kembali beberapa pesan yang masuk ke handphone nya dengan seksama, berusaha tidak gegabah dan memperhatikan baik-baik pesan yang masuk juga jam terkirim nya.

22.40.

"Assalamu'alaikum, apakah kamu tidur? aku didepan, aku tidak membawa kartu akses kamar, sedikit memalukan untuk mengambil kartu cadangan nya di meja resepsionis,"

23.10.

"Mungkin aku akan menunggu beberapa waktu hingga kamu mengaktifkan handphone kamu,"

23.55.

"Sepertinya kamu benar-benar lelah,"

01.20.

"Aku masih berharap kamu bangun,"

02.35.

"Aku akan mengambil kamar yang berbeda,"

04.30.

"Assalamualaikum, jelang subuh pertama kita, apakah kamu sudah bangun?,"

05.10.

"520"

Dan untuk riwayat panggilan, sepertinya tidak perlu ada yang dipertanyakan sebanyak apa riwayat panggilan yang terjadi sejak semalam hingga pagi hari ini. Jantung Safna seketika tidak baik-baik saja, tiba-tiba bola matanya mencari sebuah ruangan kamar yang berbeda dia bergerak dengan cepat dan mencari angka 520.

fokus Safna tertuju pada setiap kamar hotel yang ada di sekitarnya, dia mencoba menghitung nomor kamar yang ada di lantai tersebut untuk beberapa waktu. Nyatanya urutan nya adalah 2xx dan 3xx, itu artinya dia harus naik selangkah melewati tangga lift atau kamar elevator 🛗 menuju ke lantai berikutnya. Demi apapun Safna langsung bergegas dengan cepat bergerak menuju ke arah tangga lift, terlalu lama pikir nya jika menunggu kamar elevator 🛗 terbuka.

Gadis tersebut berlarian dengan ucapan tanpa memikirkan apapun menuju ke lantai atas, pada akhirnya dia menemukan barisan angka 4xx dihadapan nya, Safna menghitung kamar, mencari angka 520 disana persis seperti orang linglung. Sungguh di luar akal warasnya, ini pertama kali nya dia bersikap seperti itu dalam seumur hidupnya.

Dan setelah dalam perjuangan panjang mencari angka kamar yang dia inginkan, hingga akhirnya bola mata gadis tersebut membulat dengan sempurna saat dia menemukan apa yang dia inginkan.

"Ketemu." Safna nyaris saja melompat kegirangan saat dia menemukan nomor kamar yang tertera dengan jelas di pesan masuk di dalam handphonenya tersebut. Tapi seolah-olah menyadari keadaan gadis tersebut langsung menertawakan dirinya dan menyentuh keningnya untuk beberapa waktu. Dia mematung di hadapan pintu kamar hotel yang bertuliskan angka.

520.

Safna tiba-tiba bimbang, padahal tadi niat awal nya dia langsung ingin menggedor pintu kamar tersebut, tapi tiba-tiba saja dia mengurungkan niatnya dan berpikir bukankah itu terlalu berlebihan?.

"Tidak," Safna bergumam pelan.

Dia membiarkan netra nya menatap pintu kamar tersebut untuk beberapa waktu, kemudian Safna menghela pelan nafasnya dan pada akhirnya gadis tersebut berniat untuk membalikkan tubuhnya, beranjak pergi dari sana dan kembali ke kamar nya lagi

Tapi belum juga dia mengeksekusi niat nya, tiba-tiba saja.

Titttttt.

Titttttt

"Hah?," Safna terkejut.

Bisa dia dengar seseorang mencoba membuka pintu kamar di hadapannya.

Klatakkkkk.

Dan seketika gadis tersebut menegang saat dia sadar pintu kamar itu terbuka secara perlahan. Bola mata Safna membulat dengan sempurna saat sepasang bola mata indah keluar menyembulkan dirinya, bertemu pandang dengan bola mata Safna untuk waktu yang cukup lama. Sesosok laki-laki dalam balutan baju kaos putih yang menampilkan wajah tampan juga awet muda dengan kharismatik sang pemilik wajah yang sudah begitu lama tidak pernah dia lihat selama bertahun-tahun lamanya.

Tiba-tiba seulas senyuman manis mengembang dibalik wajah tampan tersebut, dan suara bariton sang pemilik wajah membuat Safna kehilangan kata-kata nya.

"Wa'alaikumsallam salam, ya ukhti."

Entahlah apakah itu kalimat godaan atau sindiran Safna tidak tahu, yang dia ingat sebenarnya dia yang seharusnya mengucapkan salam lebih dulu saat melihat sosok tersebut berdiri dihadapannya membuka pintu tapi dia lupa mengucapkan kata tersebut saking bingung dan terkejutnya bertemu dengan laki-laki tersebut.

Safna masih membeku, menatap sosok yang sebenarnya sudah tidak asing di balik bola matanya tersebut, namun terasa asing karena mereka sudah lama tidak bertemu.

"Assalamualaikum, paman." Dia terlalu gugup, lupa mengucapkan salam malah lebih dulu dibalas salam, terlalu memalukan saat dia mengucapkan kata salam di akhir pada pertemuan pertama mereka kembali.

Callister terlihat mengembangkan senyumannya, menjawab salam kekasih halalnya.

"Wa'alaikumsallam," masih laki-laki tersebut membiarkan netra nya menatap gadis dihadapannya tersebut untuk beberapa waktu hingga pada akhirnya bola mata laki-laki tersebut tiba-tiba terarah pada arah kaki Safna.

Eng Ing Ong.

Dan Safna secara perlahan ikut mengarahkan bola matanya ke arah kedua kakinya.

"Aih?," dia bergumam didalam hati.

Baru sadar dia sama sekali tidak menggunakan sandal nya sejak tadi, tepat nya dia berlarian sejak tadi tanpa alas kaki alias nyeker ayam.

"Tunggu dulu, hah!" Safna langsung memerhatikan penampilan nya sendiri, menyentuh rambutnya dengan cepat.

Seketika rasa malu menghantam Safna, bayangkan bagaimana rasanya saat sadar dia tidak menggunakan sandal, masih menggunakan pakaian tidur, baru selesai mandi, rambut basah dan berantakan karena belum di sisir.

"Ohhh," Safna langsung memejamkan bola matanya, dia mencoba merapatkan kedua kakinya dalam rasa malu yang luar biasa.

Di detik berikutnya Safna berusaha untuk mencoba membalikkan tubuhnya secara perlahan, mungkin sebaiknya dia kabur dan kembali ke kamar nya sendiri. Tapi belum sempat dia benar-benar berbalik, Callister berkata.

"Masih ada waktu subuh, mau menunaikan kewajiban bersama?," tanya laki-laki tersebut cepat.

"Tapi mungkin aku belum bisa menjadi imam yang sesempurna harapan mu." Lanjut laki-laki tersebut lagi.

Safna membeku mendengar ucapan Callister, dia diam untuk beberapa waktu, hingga pada akhirnya secara perlahan membalikkan tubuhnya dengan gerakan lamban.

"He em." Seolah abai soal keadaannya yang jelas berantakan, akhirnya gadis tersebut mengangguk kan kepalanya secara perlahan.

Callister memperlebar membuka pintu kamar nya, menunggu Safna untuk masuk kedalam sana. Sejenak Safna diam, menatap pintu kamar hotel tersebut yang terbuka kemudian tatapan nya berpindah pada sosok Callister yang menunggu dirinya.

"Itu-," gadis tersebut menghentikan ucapannya, menatap Callister dengan gelisah.

"Aku tidak bawa mukenah," halus suara yang keluar dari bibirnya, dia menundukkan kepalanya dengan perasaan malu, masih berusaha menyembunyikan satu kaki nya ke kaki satunya dengan perasaan tidak baik-baik saja.

Sebenarnya apa yang ada dikepala nya semalam tidak seperti ini, mungkin pertemuan mereka tidak akan hangat atau canggung seperti ini, dia sudah mengumpulkan keberanian untuk menatap tajam bola mata Callister, laki-laki tua berusia 10 tahun lebih di atas nya, mungkin laki-laki tersebut sudah tidak menarik lagi, terlalu ribet dengan perut besar nya, dia ingin membuat sebuah kesepakatan tentang pernikahan mereka misalkan melakukan kesepakatan pernikahan seperti di novel-novel remaja yang sering dia baca di media online yang marak belakangan ini.

CEO menikah paksa dengan gadis cantik yang miskin atau, gadis cantik yang keren menikah paksa dengan laki-laki pilihan orang tua nya. Membuat surat perjanjian, 2 tahun menikah, tidak saling menyentuh, bebas melakukan kegiatan dan aktivitas masing-masing tanpa mengurus urusan lawan. Tapi terkadang apa yang dipikirkan tidak sesuai dengan apa yang harus dijalankan. Dia kehilangan kata-kata saat berhadapan dengan paman Callister.

Semua niatnya Ambyar dan bubar, semua tiba-tiba hilang seperti serpihan kapas, jadi berganti dengan perasaan canggung dan serba salah.

Paman Callister tidak seperti yang dia bayangkan, meskipun dia masih membencinya karena peristiwa di masa lalu, tapi tidak dia pungkiri dia masih berdebar-debar menatap laki-laki tersebut saat ini.

"Oh ayolah jangan pikirkan surat perjanjian pernikahan, kau terlalu konyol, Safna." batin gadis tersebut cepat.

"Aku sudah mempersiapkan mukenah nya di dalam," dan jawaban Callister mengejutkan Safna.

"Bagaimana?,' dia takut salah mendengar, mencoba untuk kembali bertanya soal ucapan dari Callister.

"Masuklah," tanpa mengulangi jawaban yang sama, laki-laki tersebut kembali bicara, menunggu Safna masuk kedalam kamar nya sembari dia melirik kearah jam di tangan nya.

"Waktunya cukup terjepit," lanjut Callister lagi kemudian.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Devi Pramita
cie cie subuh pertama setelah akad nikah ......
goodnovel comment avatar
Siti Nur janah
lucu kayaknya cerita.mereka ni, tapi pasti ada misteri di dalamnya, dan novel Mak Eva selalu memberikan kejutan tak tergoda, mantab dah pokonya............
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status