Share

Bab 2. Menjadi pengantin

 Bela terus menangis, tapi air mata itu tidak akan mengubah takdir sah Bela menjadi istri orang lain. Seorang wanita yang sedang menemani Bela menggandeng tangan Bela dan berkata, "Ayo, berdiri! Kamu harus bersalaman dengan suamimu. Segera hapus air matamu, Bela."

 "Aku tidak mau menikah," rengek Bela. Bela tidak bisa berdiri karena tubuhnya lemah. Alhasil, pria yang merupakan suami Bela itu yang mendekati Bela.

 Deva, pria yang kini menjadi suami Bela, mengulurkan tangan kanannya ke arah Bela. Ayah Bela juga ada di sana. Dengan cepat ayah Bela meraih tangan Bela dan tangan Deva bersatu.

 "Dia sah suamimu, Bela. Ayo cium tangan suamimu!" kata ayah Bela. Dengan gemetar dan menangis, Bela mendekatkan bibirnya ke punggung tangan suaminya. Bibir mungil Bela berhasil mendarat lembut di punggung tangan Deva. Deva pun langsung memegang kepala Bela dan membacakan doa. Semuanya tersenyum bahagia, kecuali Bela yang masih belum bisa menerima pernikahan mereka.

 ***

 Upacara pernikahan perjodohan akhirnya selesai. Semua undangan sudah pulang, dan lokasi tempat yang digunakan untuk ijab dan resepsi masih dibersihkan. Dan sekarang mempelai wanita yang baru sah ada di kamar. Bela sempat menoleh ke ayahnya, dia tidak mau masuk ke kamar karena belum larut malam dan dia belum mengantuk. Namun tubuh Bela didorong oleh ayahnya. Bahkan ayahnya sampai tega mengunci pintu kamar dari luar.

 Sekarang yang dilakukan Bela adalah duduk kembali di tempat tidur sambil menangis lagi. Sebelumnya Deva sempat meminta Bela untuk berbicara, namun Bela bungkam. Dia mengabaikan Deva.

 Deva lalu duduk di depan Bela. Bela langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tangan Bela terasa tersentuh. Bisakah Bela memastikan bahwa Deva yang menyentuh tangannya?

 "Sampai kapan kamu akan menangis?" tanya Deva sambil mengangkat alis.

 Tanpa memkamu ng Deva, Bela menjawab, "Mengapa kamu mau menikah dengan anak seperti aku? Apakah tidak ada wanita lain di luar sana? aku pikir kamu terlalu tua untuk aku juga. aku tidak menyukaimu."

 Deva tersenyum mendengar perkataan Bela. Dia senang karena Bela tidak berbicara dengannya sejak itu. "Kalau begitu kamu akan menyukaiku. Aku yakin tidak akan lama," kata Deva dengan bangga.

 Bela menoleh dan menatap Deva dengan mulut terbuka, lalu tersenyum. "Sangat percaya diri. aku bukan seseorang yang mudah jatuh cinta dengan sembarang pria," kata Bela membela diri.

 Deva terpancing dengan omongan Bela. Pria yang merupakan suami Bela itu menatap Bela dengan alis terangkat. "Oh ya? Jangan lupa, aku bukan sembarang pria, tapi sekarang aku adalah suamimu. Aku bisa melakukan apa saja untukmu, untuk membuatmu jatuh cinta nanti."

 Tangis Bela berhenti. Kini Bela menatap suaminya kesal. Bibirnya didorong ke depan, seperti bibir bebek. Bela langsung membenturkan bantal yang ada di pangkuannya tadi ke Deva. "Menjengkelkan..menyebalkan..menyebalkan," teriak Bela sambil terus memukul Deva dengan bantal.

 Deva tidak marah, pria itu menertawakan sikap Bela yang kekanak-kanakan. Setelah membiarkan Bela memukuli dirinya sendiri, dia. Akhirnya Deva menangkap bantal Bela sehingga tidak bisa bergerak dan memukulnya. Bela menatap Deva dengan bibir masih bergerak ke depan. Nafas Bela seperti tersengal-sengal karena kelelahan. Tindakan memukulnya juga membutuhkan energi.

 Deva mengambil bantal dan melemparkan bantal Deva ke tengah kasur. Deva kembali menatap Bela yang sedang mengernyitkan dahi. Ini membuat senyum Deva terlihat jelas. Deva memajukan dirinya. Bela mengundurkan diri. Pikiran Bela sudah berkelana kemana-mana. Dia pernah membaca novel romantis tentang pasangan pengantin baru. Bela mengira malam itu juga Deva akan melakukan hal yang sama seperti yang Bela baca sebelumnya. Mata Bela terpejam saat nafas Deva menerpa wajahnya. Jantung Bela sudah bekerja tidak teratur.

"Kita harus pergi makan!" Deva berbisik di telinga Bela. Setelah itu Deva menjauhkan diri dan langsung berdiri. Sementara itu, Bela perlahan membuka matanya. Dia masih malu, Deva. Bagaimana menurutmu, Bela? Bela menggerutu mengutuk dirinya sendiri.

 Deva menatap Bela dengan tatapan menggoda. "Kenapa? Apakah gadis kecil sepertimu juga mengerti orang dewasa?" tanya Deva dengan senyum nakal.

 Bela menggeleng cepat. "Tidak, aku tidak tahu apa-apa," kata Bela menutupi pikiran konyol yang terlintas di benaknya. Hal itu membuat Deva tertawa.

 "Kamu cantik kalau tidak menangis seperti itu," kata Deva, memuji Bela tiba-tiba. Sebisa mungkin, Bela tersenyum, dia suka jika mendapat pujian. Biasanya Bela akan menyombongkan diri, tapi kali ini Bela menahannya, dia malu.

 Deva kembali duduk di depan Bela. "Kamu anak yang lucu ya. Tidak salah aku menikah denganmu, Bela akung. Jangan menahan senyum itu lagi." Mendengar perkataan Deva, Bela jadi tambah malu.

 "Diam!" teriak Bela kemudian. Gadis itu kembali menjulurkan bibirnya, pertkamu dia kesal. Deva menyodok dagu Bela, tapi Bela berusaha mengelak.

 "Baiklah, ayo makan!" kata Deva.

 Bela menggelengkan kepalanya. "Tidak," kata Bela. Deva mengusap wajahnya dengan kasar, hembusan nafas panjang juga keluar dari bibir Deva. Deva harus bersabar menghadapi istrinya yang kekanak-kanakan dan tentu saja gadis keras kepala itu.

 "Kamu mau mati?" teriak Deva.

 "Ya, lebih baik aku mati saja. Aku tidak terima pernikahan ini," jawab Bela santai.

 Deva menjawab, "Bela… sekarang kamu sudah sah menjadi istriku. Kamu harus patuh padaku!"

 Bela sangat senang mendengarnya. "Apa yang akan dikatakan teman-temanku jika mereka tahu aku menikah dengan om om? Dengan pria sepuluh tahun lebih tua dariku. Mereka pasti akan menertawakanku. Itu semua karena kamu." Bela mencurahkan isi hatinya kepada Deva. Deva menjadi pendengar setia, dia diam dan membiarkan Bela buka suara lagi. Deva berharap hal ini bisa membuat Deva mengenal sosok Bela dengan mudah sehingga dia tahu bagaimana cara membahagiakan Bela.

 “aku juga gagal kuliah di luar negeri karena jodoh ini,” Bela bersorak saat mengingat mimpinya. Bela mengalihkan pkamu ngannya. "Kenapa kamu tega? Kenapa kamu sepertinya menjualku?" Mata Bela kembali berlinang air mata. Hatinya sakit ketika mengingat bahwa pemaksaan dan perjodohan dilakukan semata-mata untuk menyelamatkan perusahaan ayahnya.

 Deva tidak tega melihat perempuan menangis, apalagi gadis kecil yang sudah menjadi istrinya. Deva menyeka air matanya. Lalu Deva meraih tangan Bela dan menggenggamnya. Bela tidak mengelak dan membiarkan Deva.

 "Jangan bicara seperti itu! Aku tidak ingin kamu kecewa dengan pernikahan kita." Deva mencoba menjelaskan.

 Bela segera menarik tangannya dan menyangkalnya. "aku kecewa." Air mata Bela pecah lagi. "Kamu tidak merasakannya, jadi kamu dengan mudah mengatakan itu," kata Bela.

 Deva menyela. "Ya, Bela, aku bisa mengerti," kata Deva dan menarik kembali tangan Bela. "Bela… aku akan membuatmu bahagia. Yang perlu kamu ketahui Bela, jika usia bukan ukuran cinta seseorang, perbedaan usia juga bukan syarat untuk menikah. Mengapa kita menikah dengan seseorang yang tidak jauh dari kita dalam usia, tapi kamu tidak bahagia? Mengapa kamu peduli dengan kata-kata mereka? Bukankah kamu seharusnya bangga menikah dengan seorang pengusaha? Permintaan apa yang bisa aku berikan? aku yakin teman-teman kamu akan iri alih-alih mengejek." Deva memberikan pengertian kepada Bela. Lelaki itu berharap agar Bela bisa segera paham dan paham.

 "Tapi aku masih anak-anak untukmu," kata Bela yang sudah berhenti menangis.

Deva tersenyum. "Terus kenapa? Aku menyukainya. Kamu tidak perlu khawatir, aku akan menerimamu apa adanya." Bela terdiam, dia tidak lagi menjawab perkataan Deva.

 "Hm… cepat pakai bajumu! Kita akan kembali ke rumahku hari ini," kata Deva sambil berdiri dari tempat duduknya.

 Mata Bela membulat. Mulut Bela pun menganga, dia terlihat kaget dengan pernyataan Deva. "Apa yang kamu katakan? Ke rumahmu? Tidak bisakah kita tinggal di rumah Ayah untuk beberapa bulan ke depan? Jika kamu ingin pulang maka pulanglah. Aku akan tinggal di sini," kata Bela.

 Deva menggelengkan kepalanya. "Tidak. Kamu telah menjadi istriku. Jadi kamu harus ikut denganku untuk kembali ke rumahku!"

 Bela melihat jam dinding di kamarnya. "Apa kamu tidak tahu ini sudah malam? Apa kamu tidak tega? Aku lelah," kata Bela dengan nada yang sama sekali tidak sopan.

 Mendengar jawaban dari Bela, Deva menghela nafas panjang. "Baiklah, kita akan tinggal di sini sampai besok. Dan besok kamu harus segera bersiap-siap untuk pulang bersamaku. Jadilah istri yang baik," kata Deva dengan suara lembut. Bela baru saja berdehem.

 Setelah itu Bela berjalan menuju meja rias. Bela belum menghapus riasan pengantinnya dan juga belum menghapus riasannya. Semua aksesoris yang menempel di kepala atau badan Bela langsung dilepas Bela. Make up pun langsung ditanggalkan Bela.

 "Kemana kamu pergi?" tanya Deva saat melihat Bela berdiri dari kursi meja rias.

 Bela menoleh. "Mandi," jawab Bela sambil berjalan menuju lemari pakaiannya. Bela kemudian mengambil piyama tidur panjangnya. Dia tidak mau harus kembali untuk mengganti pakaiannya nanti. Bela berpikir lebih baik segera memakai piyama untuk tidur.

 "Jangan terlalu lama!" tegur Deva saat Bela hendak masuk kamar mandi.

 "Berisik," teriak Bela menanggapi perkataan Deva. Bela masuk ke kamar mandi, pintu kamar mandi langsung ditutup Bela dengan keras mengeluarkan suara.

 "Aku juga mau segera mandi," teriak Deva yang terdengar oleh Bela.

 Bela membuka pintu kamar mandi lagi. "Nah...." Bela hanya menjulurkan lidah pada Deva setelah itu dia kembali ke kamar mandi dan segera melakukan ritual mandinya. Deva menyela. "Ya, Bela, aku bisa mengerti," kata Deva dan menarik kembali tangan Bela. "Bela… aku akan membuatmu bahagia. Yang perlu kamu ketahui Bela, jika usia bukan ukuran cinta seseorang, perbedaan usia juga bukan syarat untuk menikah. Mengapa kita menikah dengan seseorang yang tidak jauh dari kita dalam usia, tapi kamu tidak bahagia? Mengapa kamu peduli dengan kata-kata mereka? Bukankah kamu seharusnya bangga menikah dengan seorang pengusaha? Permintaan apa yang bisa aku berikan? Aku ýyakin teman-teman kamu akan iri alih-alih mengejek." Deva memberikan pengertian kepada Bela. Lelaki itu berharap agar Bela bisa segera paham dan paham.

 "Tapi aku masih anak-anak untukmu," kata Bela yang sudah berhenti menangis.

 Deva tersenyum. "Terus kenapa? Aku menyukainya. Kamu tidak perlu khawatir, aku akan menerimamu apa adanya." Bela terdiam, dia tidak lagi menjawab perkataan Deva.

 “Hm… cepat pakai bajumu. Hari ini kita pulang ke rumahku,” kata Deva sambil berdiri dari duduknya.

 Mata Bela membulat. Mulut Bela pun menganga, dia terlihat kaget dengan pernyataan Deva. "Apa yang kamu katakan? Ke rumahmu? Tidak bisakah kita tinggal di rumah Ayah untuk beberapa bulan ke depan? Jika kamu ingin pulang maka pulanglah. Aku akan tinggal di sini," kata Bela.

 Deva menggelengkan kepalanya. "Tidak. Kamu telah menjadi istriku. Jadi kamu harus ikut denganku untuk kembali ke rumahku."

Bela melihat jam di dinding kamarnya. "Apa kamu tidak tahu ini sudah malam? Apa kamu tidak tega? Aku lelah," kata Bela dengan nada yang sama sekali tidak sopan.

 Mendengar jawaban dari Bela, Deva menghela nafas panjang. "Baiklah, kita akan tinggal di sini sampai besok. Dan besok kamu harus segera bersiap-siap untuk pulang bersamaku. Jadilah istri yang baik," kata Deva dengan suara lembut. Bela baru saja berdehem.

 Setelah itu Bela berjalan menuju meja rias. Bela belum menghapus riasan pengantinnya dan juga belum menghapus riasannya. Semua aksesoris yang menempel di kepala atau badan Bela langsung dilepas Bela. Make up pun langsung ditanggalkan Bela.

 "Kemana kamu pergi?" tanya Deva saat melihat Bela berdiri dari kursi meja rias.

 Bela menoleh. "Mandi," jawab Bela sambil berjalan menuju lemari pakaiannya. Bela kemudian mengambil piyama tidur panjangnya. Dia tidak mau harus kembali untuk mengganti pakaiannya nanti. Bela berpikir lebih baik segera memakai piyama untuk tidur.

 "Jangan lama-lama!" imbau Deva saat Bela hendak masuk ke kamar mandi.

 "Berisik," teriak Bela menanggapi perkataan Deva. Bela masuk ke kamar mandi, pintu kamar mandi langsung ditutup Bela dengan keras mengeluarkan suara.

 "Aku juga mau segera mandi," teriak Deva yang terdengar oleh Bela.

 Bela membuka pintu kamar mandi lagi. "Wel...." Bela hanya menjulurkan lidah pada Deva setelah itu dia kembali ke kamar mandi dan segera melakukan ritual mandinya.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Laurencia Vicky
typo dan typo ... baca sambil mikir ini mau nulis apa
goodnovel comment avatar
HiGlow Klandasan
Banyak Typo nya jadi binggung sendiri yg baca
goodnovel comment avatar
Bagheera
Eja’an tulisan nya bnyk typo...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status