Share

Bab 3. Salah mengartikan

 Di bawah pancuran air, Bela kembali menangis. Meratapi nasibnya yang malang. Menjodohkan, dan menikah setelah SMA tidak pernah terpikir olehnya. Pernikahan yang dilangsungkan pagi ini seakan menghancurkan impian dan masa depan Bela.

 "Argh...." rintih Bela sambil menggedor-gedor dinding kamar mandi. Dia belum bisa menerima nasibnya.

 "Ayah jahat! Jahat! Mengapa kamu tidak peduli dengan masa depan Bela! Ayah jahat!" teriak Bela terus menangis.

 Ada ketukan di pintu. Bela hanya menoleh.

 “Bela,” panggil Deva dari luar kamar mandi. Pria itu terus mengetuk pintu. Namun, Bela hanya menangis dalam diam. Air mata itu tersamarkan oleh percikan air pancuran yang membasahi kepalanya ke seluruh bagian tubuhnya.

 "Bela, kamu baik-baik saja? Bela jawab aku?" teriak Deva.

 "Aku hanya ingin mati!" teriak Bela kemudian.

 Dari luar kamar mandi, Deva yang mendengar ucapan Bela melebarkan matanya. Ia khawatir akan terjadi sesuatu pada Bela. Dia takut Bela nekat menyakitinya. Deva terus mengetuk pintu kamar mandi dan memanggil-manggil nama Bela. Namun, Bela tidak menanggapi sama sekali. Deva kesal.

 "Bela, buka pintunya! Jika tidak, aku akan mendorongnya!" ancam Deva sambil berteriak.

 Dengan isak tangis yang keluar, Bela menjawab, "Pergilah! Pergilah! Aku ingin sendiri! Pergilah!" Tubuh Bela merosot ke lantai kamar mandi. Tubuhnya bersandar di dinding kamar mandi. Bela merasa tubuhnya kembali lemas. Matanya sudah terasa perih dan berat karena terlalu lama menangis dan terkena air dari shower.

 Perlahan mata Bela terpejam oleh isak tangis yang sudah lama tidak terdengar. Sedangkan Deva yang berada di luar kamar mandi mondar-mandir gelisah. Hatinya tidak tenang. Deva lalu kembali ke depan pintu kamar mandi. Jari tengahnya berulang kali mengetuk pintu kamar mandi. “Bela, buka pintunya,” pinta Deva dengan suara lembut. Ia tahu gadis seperti Bela harus dibujuk secara halus, bukan dengan membentak apalagi marah.

Deva tidak berhenti berusaha. Ia mengkhawatirkan Bela. Apalagi saat tidak ada lagi balasan atau teriakan dari Bela disana. Deva menggelengkan kepalanya, dia tidak bisa diam. Dia harus mendongkrak pintu kamar mandi untuk memastikan Bela baik-baik saja.

 Deva sudah tidak sabar menunggu Bela. Dia langsung mendobrak pintu kamar mandi. Pintunya dirobohkan dua kali dan tidak mau terbuka. Deva tidak menyerah. Dia kembali mendobrak pintu kamar mandi. Akhirnya pintu kamar mandi bisa dibuka. Deva langsung masuk dan mencari keberadaan Bela.

 “Bela,” teriak Deva dengan mata terbelalak saat melihat Bela bersandar di tembok tanpa sadar. Deva buru-buru mendekat.

 Shower yang masih mengganggu Deva langsung dimatikan. Setelah itu, Deva berjongkok dan menepuk pipi Bela. "Bela, bangun!" Deva menelepon dan berusaha membangunkan Bela. Namun, tidak ada tanggapan dari istrinya.

 Deva tidak ingin Bela sakit, maka lelaki itu langsung mengangkat tubuh Bela yang basah. Dia membawa Bela keluar dari kamar mandi. Deva tidak langsung membaringkan Bela di ranjang. Pria itu meletakkan tubuh Bela yang basah di atas sofa. Setelah itu Deva lari ke kamar mandi untuk mengambil handuk Bela.

 Seluruh bagian tubuh Bela yang masih basah dikeringkan dengan handuk oleh Deva. Deva bingung bagaimana dia mengganti pakaian istrinya. Dia tidak ingin menjadi suami yang kasar karena dia pertama kali melihat tubuh istrinya tanpa izin dari pemilik tubuh.

 "Bagaimana ya?" tanya Deva sendirian. Deva tidak bisa meminta bantuan asisten rumah tangganya, karena Deva khawatir nantinya akan menimbulkan masalah baru. Tak lama kemudian Deva berjalan menuju lemari Bela. Dia melihat pakaian Bela satu per satu. Deva lalu mengambil home dress berwarna putih bergambar beruang.

 Langkah kaki Deva kembali membawanya dekat dengan Bela. Dia menatap tubuh mungil Bela terlebih dahulu. Mata Deva perlahan dipenuhi kabut nafsu. Deva semakin merasakan keinginannya. Namun, Deva dengan cepat menggelengkan kepalanya. Dia tidak bisa melakukannya tanpa izin dan sepengetahuan Bela.

 Baju rumah yang dibawa Deva diletakkan di belakang sofa. Deva tidak langsung mengganti baju Bela. Pria itu pergi lagi, kali ini menuju tempat tidur. Deva menarik selimut tebal dan besar itu dan membawanya ke tempat Bela berada. Selimut menutupi separuh tubuh Bela.

 Deva menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. "Bela, maafkan aku jika aku tidak sopan padamu. Tapi aku tidak bisa membiarkanmu dalam kea begib." Deva memegang ujung bawah baju basah yang masih menempel di badan Bela. Kemudian Deva memejamkan matanya rapat-rapat. Barulah Deva melepas baju basah dari tubuh Bela. Memang agak sulit, tapi Deva harus melakukannya.

 Setelah berhasil melepas baju Bela yang basah, Deva menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh Bela. Lukas perlahan membuka matanya. Bibir Deva menghela nafas panjang. Baju yang ditaruh di belakang sofa, Deva mengambilnya kembali. Bahkan gantungan baju yang masih setia bertengger di gaun itu dicopot oleh Deva.

 Deva kembali menatap wajah Bela yang sudah terlihat pucat. Mungkin juga karena gadis itu merasa kedinginan. Deva segera mengenakan gaun itu dengan hati-hati. “Akhirnya selesai juga,” kata Deva menghela napas lega. Baju rumahan itu kini melekat sempurna di tubuh mungil Bela.

 Agar Bela bisa istirahat dengan nyaman, Deva membawa Bela ke tempat tidur. Deva terlihat begitu telaten merawat Bela. Tubuh Bela diposisikan dengan benar agar tidak menimbulkan rasa sakit saat bangun tidur. Selimut yang tadinya digunakan untuk menutupi tubuh Bela di atas sofa, Deva mengambilnya kembali dan menutupkannya pada tubuh Bela.

Deva mengelus kepala Bela dengan lembut. Deva bahkan mencium kening Bela. “Kamu sedang menguji aku,” seru Deva sambil tersenyum. Setelah itu Deva pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

 ***

 Di tengah malam, Bela terbangun. Kepalanya terasa sangat pusing. Bela menghela nafas kesakitan sambil memegangi kepalanya. Dia kemudian berbalik ke samping tempat tidurnya. Mata Bela melebar sempurna. "Aa..." teriak Bela begitu keras.

 Bela kemudian duduk sambil menutupi tubuhnya dengan selimut. Jantungnya berdetak begitu kencang. karena teriakan Bela begitu kencang, seorang pria yang sedang tidur di samping Bela terbangun dan menatap Bela dengan tatapan datar.

 "Mengapa?" tanya Deva sambil bangun dari tidurnya. Pria itu menggosok matanya berulang kali.

 "Apa yang kamu lakukan di sini?"

 Deva mengangkat alis. “Aku suamimu,” jawab Deva santai. Bela terdiam, dia lupa. Bela ingat kejadian tadi pagi, pernikahannya karena perjodohan ayahnya.

 Mata Bela melebar lagi saat mengingat sesuatu. Bela buru-buru melihat pakaiannya. Bela lalu menatap Deva dengan amarah dan rasa tidak percaya. "Kamu? Apa yang telah kamu lakukan padaku?" marah Bela sambil menatap tajam ke arah Deva.

 Deva mengusap wajahnya dan menghela napas panjang. "Sudah malam, tidurlah!" teriak Deva mengabaikan pertanyaan Bela.

 Bela mengambil guling di sebelahnya. Lalu Bela menggunakan benda itu untuk memukul Deva, air mata Bela jatuh lagi. "Kamu sangat jahat! Kamu pria yang tidak sopan, kamu tahu itu! Apa yang telah kamu lakukan padaku?" kata Bela dengan air mata.

 Deva melindungi dirinya dari pukulan Bela. "Bela, hentikan! Akan kujelaskan," pinta Deva. Namun, Bela tak menghiraukan perkataan Deva. Dia terus memukuli suaminya dengan guling. Akhirnya Bela menjadi lelah dan menghentikan pukulan itu. Bela masih menangis.

 "Kamu telah menghancurkan masa depanku. Aku benci pria sepertimu. Pergi kamu!" Pusing di kepala Bela semakin menjadi. Namun, Bela tidak peduli. Saat ini hati Bela lebih sakit dari rasa sakit di kepalanya.

 Deva menarik napas dalam-dalam. Dia tahu bahwa Bela saat ini salah paham dengannya. Mengira Deva telah merenggut kehormatannya secara diam-diam dan tanpa izin. Namun, apa yang dipikirkan Bela salah. “Bela…” panggil Deva, namun tidak dijawab oleh Bela. Gadis itu masih menangis.

 Deva harus bersabar menghadapi istri yang kekanak-kanakan itu. "Aku tidak melakukannya," kata Deva pelan.

 "Bohong!" bentak Bela tak percaya.

 Deva mengacak-acak rambutnya sembarangan. "Kamu dengarkan aku, jadi kamu tidak salah paham!" Pidato Deva terhenti sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. "Ketika aku memanggilmu, kamu tidak menjawab. Aku sangat mengkhawatirkanmu. Aku mendobrak pintu kamar mandi, jadi aku bisa memeriksa kondisimu. Aku melihat kamu masih mandi dalam keadaan tidak sadar. Aku akan menjemputmu dan membawamu ke sofa." Deva menunjuk sofa yang tadinya dipakai untuk mengganti baju Bela.

 Mata Bela mengikuti arah yang ditunjuk Deva. Lagi-lagi mata Bela terbelalak, saat masih melihat bajunya yang basah di atas sofa. Teriaknya, Bela malu dan kesal dengan Deva.

 "Kamu kedinginan, aku tidak ingin kamu sakit. Dan aku tidak bisa membiarkanmu tidur dengan pakaian basah. Ya… aku harus menggantinya." Mendengar kata-kata terakhir Deva, Bela kembali berteriak dan tangisnya semakin keras.

 "Eh.. eh, tenang. aku nggak lihat, tadi aku pejamkan mata, aku juga menutupi kamu dengan selimut," tambah Deva menjelaskan apa yang dilakukannya.

Bela menatap Deva dengan tatapan penuh tanya. "Aku tidak percaya apa yang dikatakan pria." Bela mulai menangis lagi. Dia tidak percaya Deva. Pria tidak bisa saja tertarik dan tidak melakukan apa pun pada wanita yang tidak sadar. Bagaimanapun, itu adalah malam pernikahan pertama mereka. Bela benar-benar tidak percaya dengan perkataan Deva. Bisa jadi Deva hanya berbohong dan kata-kata itu hanya untuk menenangkan Bela.

 “Bela…” Panggil Deva pelan. Bela terus menangis. Bela mengabaikan Deva, dia memilih kembali tidur membelakangi pria yang kini menjadi suaminya.

 "Bela, maaf…."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status