Sedang melihar-lihat dekorasi aula untuk resepsi pernikahan, mata Mila mulai pegal. Ia tak tahu harus apa lagi disini, maka dari itu ia memutuskan pulang. Lagipula ini urusan Diaz untuk menyelesaikan dan memastikan tidak ada kekurangan.
"Gue pulang dulu," pamitnya langsung di hadapan Diaz yang sedang melihat ke langit-langit.
"Kok cepet banget?" tanyanya entah bodoh atau apa.
"Mata gue bisa rusak liat beginian. Gue juga banyak urusan, nulis episode novel misalnya." Ia memberi contoh kesibukannya jika di rumah.
"Ya udah, silahkan kalo mau pulang."
Mila tidak menjawab. Ia langsung undur diri dari hadapan Diaz untuk keluar gedung.
"Mila! Sebentar!"
Mila membalikkan badan padahal belum mencapai pintu. "Kenapa lagi sih?" Entah kemasukan hantu atau otaknya terbalik, Diaz memberikan setangkai bunga mawar untuknya. "Ngambil dimana lo?" tanyanya menerima bunga itu.
"Mampir sebentar ke Toko Bunga," jawab Diaz tersenyum hangat.
Mila menurunkan tangannya dan maju selangkah membisikkan sesuatu ke telinga Diaz. "Lo berusaha ngambil hati gue atau cari muka di depan orang-orang disini?"
"Gak dua-duanya," jawab Diaz sambil menjauhkan Mila darinya. Dia memandang Mila tanpa kedip dan mengatakan, "Saya mau memperlakukan kamu dengan baik."
Mila menyunggingkan senyuman. "Kalo disini gak ada orang lain, gue gak akan nerima bunga ini." Ia tahu ucapan selanjutnya agak kejam, tapi kalau tidak seperti ini Diaz akan makin gencar cari perhatian padanya. "Lo berharap satu makna sama bunga ini di depan gue?"
"Saya gak tertarik diperhatikan kamu."
"Lo baru aja cari perhatian gue," terangnya. "Liat baik-baik sebelum gue keluar dari sini." Mila melangkah menuju pintu keluar. Di depan pintu itu ada tempat sampah yang berisi hiasan tak terpakai dan rusak. Ia menyempatkan diri untuk menoleh pada Diaz. "Harusnya lo tau diri," batinnya dilanjut melempar bunga mawar tadi masuk ke tempat sampah layaknya tidak berguna.
Diaz melihat perbuatan Mila. "Gapapa, mungkin ini belum seberapa di mata kamu," ucapnya menunduk sebentar dan kembali mendongak karena harus memantau perkembangan pelaminannya.
"Orang kayak lo emang harus ditegasin supaya gak aneh-aneh." Mila akan bosan jika menulis novel lagi karena sudah terlanjur berada di luar. Kira-kira Stephen sibuk tidak ya? Sudah lama juga ia tidak mengganggunya. Baru melintas di pikirannya, ponsel Mila berdering dengan nama "Stephen" di layar.
"Mil, kok lo gak ada di rumah?"
"Gue lagi ke luar. Lo ke rumah ngapain?" Mila menelepon sambil berjalan.
"Gue gabut di rumah. Ini kan weekend, lo pulang cepetan. Lo lupa kita harus update banyak episode?"
"Gue lagi gak mood ngetik. Tadi pagi soalnya gue udah update 1 episode."
"Wah parah lo. Gue pulang lagi gitu? Lo ada dimana, biar gue kesana."
"Gue ada masih sekitaran gedung serbaguna, deket Klinik Indah Medika, tau gak?"
"Itu deket kampus gue."
Mila tertawa lantaran tak tahu letak Kampus sahabatnya sendiri. "Gue tunggu di pinggir jalan."
"Sekalian minta-minta, Mil. Biar cepet kaya raya."
"Bentar lagi gue nikah sama orang tajir, jadi gak perlu mikirin uang keluarnya dari mana."
"Lo juga gak bakal denger token listrik bunyi akhir bulan, Mil. Gue berangkat nih."
"Oke ... hati-hati." Tidak peduli masalah token listrik, ia hanya ingin hidup tenang setelah ini.
Setelah 15 menit menunggu duduk di trotoar jalan, akhirnya Stephen datang dengan motor ninja favoritnya. Ia malas kalau sudah begini. "Lo kenapa bawa motor yang begini, Stephen?" Mila sampai memukul jok motor pria itu sebab kesal. Padahal Mila sudah beberapa kali menyuruhnya agar tidak membawa motor dengan jok tinggi di belakang. "Lo ganti warna motor atau beli lagi?" tanyanya curiga.
Mendengar Stephen terkekeh saja Mila sudah tahu jawabannya. "Beli dong."
Mila mendengus dan mengomeli Stephen. "Lo harusnya beli yang matic, jangan model begini." Sungguh tidak bisa ia pahami karakter Stephen. "Besok lagi kalo buat novel jangan yang badboy-badboy terus lah. Lo yang beli motor gue yang pusing."
"Kenapa pusing?"
"Gue gajian langsung bayar listrik, beras, minyak, gula, banyak pokoknya mah. Lah lo? Enak banget bisa beli motor baru."
"Boros dikit makanya, jadi mau beli apa-apa bisa langsung."
Mila mengambil helm yang diikat di samping jok belakang dan Stephen bertanya, "Lo lagi persiapan resepsi abis dari gedung itu?"
"Lo kira gue mau jualan disana, hah?" Ia naik motor karena sejak datang Stephen tidak turun dari motor. "Kita mau ngapain? Makan?"
"Perpustakaan," jawab Stephen tetap menghadap ke depan karena mengemudi motor.
Mila menghela nafas lagi. "Gue bahkan gak inget terakhir baca buku apa," gumamnya masih terdengar Stephen.
"Lo hela napas mulu, kenapa sih?"
"Gapapa. Gue cuma agak sensitif kalo deket Diaz."
"Kok bisa?"
"Makin lama dia gak bisa kendaliin diri. Gue udah bilang gak usah terlalu cari muka depan gue apalagi Bunda. Tapi tetep aja."
"Lo sakit gak ditinggal Revan?" tanya Stephen tiba-tiba.
"Pertama, sakit. Tapi gue belajar cepat lupain masalah sama dia," jawabnya berdasarkan fakta. Mila tidak pura-pura sok kuat di depan sahabatnya.
"Diaz nanti juga ngerasain hal yang lo rasain. Ya, dia sekarang masih sakit hati karena lo selalu nolak diperjuangin. Tapi nanti dia terbiasa dan justru makin keras deketin lo. Lo berdua kan bukan pacaran lagi, tapi nikah. Mana mungkin orang tua mau anaknya cerai."
"Gue gak bilang mau cerai sama dia." Hanya niat di dalam hati.
"Tapi itu terlintas di hati lo," pungkas Stephen. "Gue kenal lo emang gak se lama Revan. Tapi kita sering curhat, gue tau apa yang ada di hati lo pas denger mau dijodohin sama orang yang sama sekali gak lo kenal." Dia tersenyum ketika Mila tidak menjawab ucapannya. "Biarin aja dia berjuang, jangan ditolak. Kalo dia capek bakal berhenti sendiri. Kecuali dia bener-bener cinta sama lo, mungkin dia gak bakal capek."
"Dia juga terpaksa nikah sama gue asal lo tau."
"Awalnya mungkin iya."
Sekitar 15 menit mereka sampai di Perpustakaan tengah kota. Mereka jalan beriringan, sudah lama sekali Mila tidak berkunjung karena sibuk rebahan mencari uang di kamar.
"Emang tuh cowok ngapain sampe lo sensi?" Sebelum benar-benar masuk, Stephen bertanya karena penasaran karena pasti di dalam tidak boleh bising,
"Ngasih bunga," acuh Mila melihat Taman di sisi kanan dan kiri Perpustakaan. "Ahh, males banget gue harus liat bunga lagi disini."
Stephen tidak melihat Mila membawa bunga, satu pun. "Terus lo kemanain bunganya?"
"Gue buang di depan matanya lah." Mila masuk lebih dulu karena Stephen geleng-geleng kepala mendengar jawabannya. "Lo mau jadi patung selamat datang diem disitu?"
"Gue malah berpikir, lo begini karena dicampakkin Revan. Lo melampiaskan semua ke Diaz, ya?" tanyanya dengan suara pelan.
"Gak. Mereka sama-sama gue benci."
Hari pernikahan Mila dan Diaz diselenggarakan secara mewah. Para tamu undangan berasal dari pegawai berseragam formal, di tengah aula terdapat pancuran air tinggi yang diberi lampu biru dan putih. Mereka tampak bahagia datang memberi selamat kepada pengantin yang duduk bersanding di pelaminan. Meida dan Lisana pun turut menyambut tamu dan berbincang dengan mereka.Selama itu juga, mulut Mila kaku karena terpaksa senyum. Stephen menyaraninya agar terlihat bahagia daripada ketahuan dalam waktu kurang dari 3 jam setelah akad. Kalau bukan perjodohan konyol ini, Mila ogah berdiri di pelaminan apalagi di sebelahnya ada manusia paling ribet sedunia. Melihat Diaz tersenyum di depan tamu hampir membuat perutnya mual. Tapi biarkan saja, itu baik untuk reputasi pernikahannya.“Ini sampe jam 9 doang, kan?” tanya Mila sambil melirik jam dinding besar di dekat pintu utama aula yang menunjukkan pukul 8 malam. Gaun yang dipilih Fila memang bagus, tapi sayangnya ia tidak te
Diaz tidak bisa tidur, sungguh. Mila tidur dengan nyaman di atas kasur empuk sedangkan dia tidur di sofa yang panjangnya kurang dari panjang tubuhnya. Gadis itu sudah terlelap lebih dari setengah jam yang lalu. Diaz menatap langit-langit kamarnya yang bertabur bintang karena lampu hias.“Gapapa, ini sementara karena Mila belum nyaman satu kamar.” Sudah 30 kali kalimat itu ia ucapkan dalam hati untuk mengurangi rasa tidak nyaman tidur di sofa.Alasan Mila tidak mau satu ranjang dengan Diaz tidak lain adalah sadar diri, ia kalau tidur seperti jarum jam berputar alias tidak bisa diam. Selain Mila takut Diaz berbuat hal khilaf, ia juga tidak ingin aibnya terbongkar sekarang.Diaz menerima alasan Mila yang katanya tidak ingin dia kena tendang dan pukul selama gadis itu tidur, tapi bukankah kasurnya sangat luas bahkan bisa muat 3 orang? Apa ini sengaja?Mila mengulet saat mendengar azan subuh. Tangannya mencari-cari keberadaan guling walaupun matany
Mila tidak ingin disebut penguntit karena mengikuti Diaz dari belakang. Langkah panjang pria itu sulit diimbangi oleh kaki mungilnya."Tungguin gue," ucap Mila menarik jas Diaz dari belakang agar dia berhenti.Diaz berhenti lalu melihat ke samping. Ternyata istrinya tertinggal.Mila mengerjap lihat gaya rambut Diaz sangat rapih dan licin. "Tega lo jalan cepet banget."Diaz tersenyum lalu menggandeng tangan Mila agar langkah mereka seimbang. Mila melihat tangannya tapi diam saja karena mereka bukan di tempat yang tepat untuk debat.Kantor yang dipimpin Diaz besar juga. Aktivitas tiap ruangan bisa terlihat karena hanya kaca saja. "Woah ... Keren.""Saya?" tanya Diaz sambil berhenti."Kantornya," jelas Mila. Ia tidak tahu kapan pria ini mulai percaya diri. "Kenapa kita naik tangga?" tanyanya begitu menaiki tangga ikut Diaz.Diaz jawab, "Kamu harus olahraga.""Gue juga gak bisa naik lift.""Kenapa?"Mila
"Mila ... Itu HP kamu bunyi terus. Angkat coba," ujar Diaz yang kebisingan. Pagi-pagi begini istrinya sudah seperti artis yang dapat job. Mila sebenarnya dengar, tapi malas mengangkat panggilan. Rasa kantuknya mengalahkan dering ponsel. "Mila... " Diaz memanggil lagi namun sedikit mengeraskan suara. Jam 6 pagi harusnya dia sudah bangun dan sarapan, tapi habis salat malah tidur lagi. Tangan Mila meraba-raba nakas yang ada tepat di sebelah ranjang untuk mengambil ponsel. "Itu buka dulu penutup matanya," tegur Diaz. Mila berdecak dan mengangkat panggilan entah dari siapa. "Halo?" [Mila. Bunda mau ke sana jam 7 nanti. Udah lama Bunda gak liat kamu] Mila melepas penutup matanya dan dilempar begitu saja. "Aduh!" Mila meminta maaf karena penutup matanya mengenai wajah Diaz yang pas sekali sedang balik badan. "Bunda mau ke sini? Jam 7?" Sekarang ia bahkan belum apa-apa. Mendengar kabar setengah baik dan setengah
"Hari ini Diaz betul-betul libur, kan?" tanya Fila. "Ini yang masak siapa? Kamu, Mei?" Dia bertanya karena Mila tidak mungkin memasak masakan enak apalagi sangat rapi hidangannya.Meida menggelengkan kepala. "Bukan aku.""Terus siapa?"Mila menyuapi makanan ke mulutnya. Ia menutupi sisi wajah dengan tangan kiri. Apa yang terpikir oleh Fila tidak salah. Bukan Mila yang memasak dan tidak mungkin hanya karena sudah menikah ia menjadi rajin."Diaz, Bun.""Apa?!" batin Mila. Matanya melotot pada Diaz yang sekarang tebar senyum pada Fila dan Meida.Diaz melihat keterkejutan Mila, namun hanya tersenyum sampai matanya menyipit. Dia menarik pipi kanan Mila dengan gemas. "Mila ini ... Mau dimasakin katanya, Bun. Diaz gak bisa nolak," katanya.Pria itu benar-benar tahu cara menarik perhatian mereka. Untuk menyambung sandiwara ini Mila ikut tersenyum bangga untuk masakan Diaz. "Oh iya, Bun. Diaz pernah cerita bisa masak, tapi aku gak percay
Diaz tetap dalam posisinya. Revan yang melihat mereka tidak jadi memanggil Mila karena takut ganggu. Dia menyuruh kekasihnya untuk lanjut jalan. "Udah pergi?" tanya Mila dengan suara pelan. Ia menoleh ke atas, tingginya hanya sedada Diaz. "Tinggi lo berapa, Diaz?" Mila dengan polosnya mengukur ujung kepala dan dada Diaz menggunakan tangan. "Lo tinggi banget, mungkin Oppa Chanyeol segini kali ya?" Mila terkekeh lalu menoleh ke belakang untuk melihat Revan sudah pergi atau belum. Begitu tahu tidak ada Revan, ia langsung memisahkan diri. "Lo ngambil kesempatan dalam kesempitan. Dasar!" "Jangan samain saya sama orang lain," lirik Diaz tidak suka. Mila memang mengira tinggi Diaz sekitar 180cm lebih, melihat pria itu saja harus mendongak kalau ingin menatap. Kali ini, mata Diaz menyipit sebab berhadapan dengan sinar matahari. Membuat kulit wajah putih bersihnya makin berkilau, atau biasa kalian sebut ... Glowing. "Lo gak masuk?" Mila dengar Diaz mau k
"Dari saya?" beo Diaz. Dia tidak akan membahayakan Mila dalam hal apa pun karena perempuan itu menakutkan kalau tidak sengaja tersentuh."Lo tau ... Cowok biasanya dikelilingi banyak setan," ujar Mila misterius."Kata siapa?" Diaz menertawakan ucapan Mila."Kata gue lah! Siapa tau pas malam-malam lo nelusup buat apa-apain gue. Bisa jadi, kan?!" Mila jadi ngeri membayangkan sendiri.Diaz bahkan tidak pernah berniat seperti itu. "Saya gak akan apa-apain kamu.""Tapi kan gak berlaku selamanya. Ngaku lo?"Ucapan Mila membuat Diaz terjengat. "Berarti kamu yang berharap saya apa-apain," tunjuknya langsung."Gue?!" Mulut Mila komat-kamit hendak menyumpahi Diaz. "Sama sekali gak minat. Dari awal juga lo yang mau nikahin gue."Diaz membalas, "Saya memang cari istri, tapi saya gak berharap itu kamu." Tunggu, kenapa mereka jadi bertengkar?Mila mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. "Berarti gak cuma gue yang nyesel, lo juga ka
Diaz sudah meletakkan foto Irene di tempat yang lebih tersembunyi agar tidak diambil Mila lagi. Dengan kejamnya Mila mau membuang satu-satunya foto Irene agar bisa Diaz kenang.Malam pukul 8, mereka berada di kamar melakukan kegiatan masing-masing. Mila mengangkat satu kakinya ke atas kursi seperti di warteg. Di mulutnya ada es bungkus yang ia beli di warung untuk camilan saat mengetik cerita.Diaz sedang duduk di sofa tunggal, di tangannya terdapat sebuah novel untuk referensi membaca. Pria yang memakai setelan piyama kotak-kotak warna biru dengan garis tipis putih sedang melihat Mila cukup lama untuk mengerti perasaan yang mungkin tidak dia ketahui. Apakah mungkin Mila cemburu?Kepalanya menggeleng cepat. Tidak mungkin Mila cemburu hanya karena foto. Diaz sudah menganalisis kepribadian istrinya dari pertama bertemu. Mila tidak mudah goyah, kecuali menyangkut Revan. "Dia gak mungkin cemburu... " lirihnya menyangkal.Mila melihat p