Share

Obrolan Setelah Fitting Baju

Fokus. Fokus. Fokus.

Mila meregangkan jari-jari tangan, tak lupa ia menarik napas dalam-dalam lalu dihembuskan perlahan. Di atas laptop sudah ada note untuk menulis episode selanjutnya dalam novel "Menikah untuk Takhta". Ia mengetik alur yang ada di otaknya selama 3 jam penuh.

Saat menulis, masalahnya hilang. Kalau sudah selesai, masalah kembali datang. 

Mila merebahkan tubuhnya menunggu jemputan. "Biarin aja lah. Selama gue diperlakukan kayak Princess, dianter jemput, dibukain pintu mobil, jalan duluan di depan, makan diambilin. It's okay," ucapnya untuk menyemangati diri sendiri. "Gue pasti bisa jalanin ini semua sesuai apa yang gue mau." Bukan Mila namanya kalau melakukan sesuatu apa yang tidak dia inginkan.

Baginya, seorang Diaz yang sibuknya melebihi Presiden yang bolak-balik mengurus negara akan mudah dimanfaatkan. Kalau bisa, Mila akan hidup tenang setelah menikah.

Stephen yang IQ-nya di bawah Mila pun setuju kalau dia menerima perjodohan dadakan ini. Pria itu mengatakan lewat pesan singkat, selama Diaz tidak selingkuh, dia pasti dihormati dan diperlakukan baik. Itu berlaku kalau Mila berperilaku baik juga.

Mila melihat jam dinding. "Ck, tumben lama." Ini lebih dari 10 menit dari waktu yang ditentukan.

TIN TIN

Mila membiarkan klakson mobil. Sengaja ia ulur waktu, gantian.

"Milaaaa ... turun cepetan!" Fila yang sedang masak di dapur langsung meneriaki anaknya karena banyak orang masuk rumah membawa 4 stan hanger yang digantungi gaun pernikahan berbeda warna. Ada warna putih, merah muda, biru, dan cokelat muda.

Mila akan menggetok kepala pria itu karena tidak mau ke atas menemuinya dahulu. Terpaksa dia turun malas-malasan masih pakai piyama lengan panjang dan sandal tidurnya.

"Mila. Liat ini ... " 

"Apaan sih, Bun. Heboh bang--" S*t, lanjutnya mencela dalam hati. mengapa rumahnya seperti butik dadakan? "Bentar, bentar. Ini mengapa banyak gaun gini?" Ia buru-buru ke ruang tamu di mana banyak perempuan modis yang menjaga tiap stand hanger.

Fila yang habis bicara dengan salah satu wanita  itu menghampiri Mila. "Diaz gak bisa kesini, dia ada meeting. Makanya bawa ini semua supaya kamu bisa pilih salah satu dari 4 warna ini."

"Apa? Dia gak dateng?" ulang Mila berkacak pinggang, marah.

Fila mendorong punggung anaknya agar segera memilih baju pernikahannya. "Ayo, Bunda nilai penampilan kamu."

Begini kah riwayat hidup Mila?

"Harus banget pilih, Bun? Dia gak dateng kan bisa pilihin sendiri. Kalau gini aku yang bingung," protesnya.

"Udah, cobain aja semuanya." Fila tersenyum ramah pada mereka.

Dengan kesabaran yang masih tertahan di ubun-ubun, Mila akhirnya mencoba satu per satu gaun yang dibawa pria bermuka dua itu.

Fila yang menentukan mana yang bagus dipakai anaknya. Kalau dia rasa belum pas ya menyuruh Mila ganti lagi, terus sampai ada yang cocok.

"Bunda. Aku itu mau nikah, bukan jadi brand ambassador. Kenapa ribet banget sih? Tinggal ngangguk aja susah banget," omelnya yang kelelahan melepas dan memakai gaunnya.

"Lho, karena kamu mau nikah penampilannya harus bagus supaya cocok bersanding sama Diaz," ujar Fila.

"Gue males banget bersanding sama cowok carmuk," gumamnya.

"Bilang apa kamu?" tanya Fila melihat mulut anaknya menye-menye.

"Gak bilang apa-apa," celetuk Mila kembali mencoba gaun satu per satu.

Setelah hampir 1 jam Mila memilih gaun, akhirnya selesai juga. "Gue yang nikah, Bunda yang milih. Mantul gak tuh?" lirihnya menjatuhkan bokong ke sofa dan tidur selonjoran.

"Makasih banyak ya, Mbak." Fila menunggu di pintu karena perempuan-perempuan suruhan Diaz gila itu hendak kembali ke habitatnya.

Baru memejamkan mata, Fila menghampiri Mila untuk bertanya. "Gimana? Bagus kan yang Mama pilih?"

"Itu yang Mila pake pertama, mengapa gak langsung iyain aja sih, Bun. Badan aku remuk," jawab Mila.

Fila tertawa. "Maaf deh. Bunda kan mau yang terbaik buat kamu."

"Baik sih baik, Bun."

"Bunda mau lanjut masakin makanan buat kamu. Kamu gak mandi?"

"Males. Diaz juga gak jadi kesini, ngapain rapi-rapi di rumah."

"Terserah kamu, yang penting kamar harus bersih gak ada sampah satu pun."

"Oke, Bunda."

Mata Mila terpejam lagi. Selepas hal bahwa bunda pemilih, dia juga perhatian. Itu yang membuat Mila merasa adil hidup berdua dengan Fila.

"Lo liat aja, Baj*ngan. Lo nyiksa gue hari ini," hardiknya dalam hati.

Mila hanya bersikap baik pada Fila, Stephen, dan Revan. Mereka orang yang paling mengenalinya, sulit bagi Mila untuk dekat dengan yang lain selain mereka bertiga. tetapi berhubung hubungan asmaranya kandas, dia jadi malu bertemu Revan.

Ponsel Fila yang ada di meja bergetar panjang. Mila melihat nama tertera dan terkikik sendiri. Ternyata Bunda belum sadar.

'Menantu yang Tak Diharapkan'

Mila menggeser tombol hijau dan mengeraskan suara karena malas memegang ponsel.

[Halo, Bun. Gimana? Mila suka gak?]

Sejak kapan Diaz memanggil Fila dengan 'Bunda' juga?

"Gak sekalian lo bawa butiknya masuk ke rumah gue?" cetusnya.

Diaz tertawa, membuat dahi Mila berkerut.

[Niat saya gitu. Tapi itu aja udah banyak pilihan]

"Ya, udah dipilih sama Bunda."

[Bagus kan?]

"Gue mau cabut ke kamar. Bye--"

[Mau mahar apa?]

"Mahar?" Mila berpikir untuk meminta yang agak berat. "Terserah lo aja. Yang penting hidup gue makmur, sentosa, tanpa utang."

[Siap]

"Kapan kesini? Ada yang mau gue bahas."

[Besok, mungkin]

Mila menghela napas sampai suaranya mengeras sedikit. "Hm. Cuma lo mungkin yang mau nikah tetapi masih kerja. Semoga kepala lo aman pas resepsi seharian."

"MILA! KOK NGOMONGNYA LA-LO-LA-LO SAMA DIAZ?"

Mila terlonjak. "maaf, BUN. SENGAJA --EH MAKSUDNYA GAK SENGAJA." Nah kan, ketahuan tidak sopan dengan menantunya saja dia dikritik.

Fila menasihati anaknya dari dapur. "Panggilny, Mas, dong. Apa nama langsung, jangan pake lo-lo, gak sopan sama calon suami."

"Geli ah, Bun. Masa manggil 'Mas' ?" Membayangkan saja dia malas

[Nama aja, Diaz]

"Gak usah nyamber kayak tiang listrik deh," sahut Mila. "Jadi tau kan, Bunda."

[Saya udah minta dekorasi gedung samping kantor. kalau mau liat kesana aja]

"Kalau gak bagus, gue protes."

[Iya..]

"Gak ada acara minum-minum kan?"

[Minum sirup]

"Ohh, iya." 

[Bunda mana?]

"Masak. HP-nya di sini, jangan suruh gue ke dapur. Lagi mager."

[Jarak dari ruang tamu ke dapur gak ada 5 meter, kan?]

Memang benar. Lalu mengapa? Orang malas ya mau dekat pun malas pindah.

"Situ katanya lagi meeting?"

[Istirahat, sebentar lagi ada meeting lanjutan]

"Wahhh, ngobrolnya lama ya." Fila datang membawa nasi goreng telur mata sapi favorit anaknya.

Mila langsung duduk dan menyantap makanannya. Fila mengambil ponselnya dan melotot ketika lihat nama di layar hapenya.

"Mila ... ini siapa ya yang ganti ... ?" tanya Bundanya dengan nada merendah padahal ingin marah.

Mila memperlambat kunyahannya. "Gak tau," jawabnya melihat sendoknya sendiri untuk mengalihkan tatapan.

"Kamu kan?" tunjuk Fila.

"Bukan aku, tapi jari aku yang ganti namanya."

"Alasan kamu."

[Kenapa, Bun?]

"Gapapa. Gimana kabar kamu?"

[Baik, Bun. Alhamdulillah]

"Bunda senang kalian mulai banyak ngobrol sekarang."

[Sedikit-sedikit harus ada perkembangan]

"Kalau Mila gak sopan manggil kamu, kasih tau Bunda ya."

[Iya, hehe]

"Kayaknya kalian bahagia deh. Bunda harap kalian sampai tua ya."

Tidak ada yang menjawab baik Diaz maupun Mila.

[Maaf, Bun. Diaz harus meeting lagi, nanti Diaz telepon lagi]

"Ohh, iya, iya. Makasih ya, Diaz."

[Sama-sama, Bunda, Calon Istriku juga]

Mila tersedak nasi yang sedang dia kunyah sampai batuk dan muncrat.

Fila memukul lengan anaknya, mendengar Diaz menyebut Mila "calon istriku" malah batuk-batuk. "Denger gak tuh? Diaz udah suka sama kamu."

"Bukannya itu pencitraan, Bun?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status