Diaz tahu Mila sedang usil menyuruh bicara pada kekasihnya. Mereka sudah ada di depan Rumah, tepatnya depan pintu. Mila mengetuk pintu rumah Revan. "Revan ... " Dia berteriak, sengaja.
Diaz menoleh cepat, matanya memicing. Namun karena dilihat Mila juga, dia mencoba acuh.
"Kenapa lo? Gak suka?" tandasnya.
Sebelum Diaz jawab, rupanya pintu terbuka memunculkan sosok pria dengan rambut cokelat klimis belah kanan sedang suntuk kurang tidur karena kantung matanya menghitam.
"Revan, kamu kenapa matanya sembab gini?" Mila menangkup wajah Revan.
Revan menurunkan tangan Mila perlahan. "Kenapa? Gue lagi pusing, banyak tugas kuliah."
Mila menyenggol Diaz. "Ayo ngomong," bisiknya.
Revan menatap Diaz. "Lo bawa siapa, Mil?" tanyanya tertuju pada Mila dengan sedikit kekehan di akhir pertanyaannya.
"Saya Diaz. Saya disuruh Mila buat izin ke kamu."
"Izin apaan?" Revan terkekeh lalu memijit pelipisnya yang pening.
"Menikah dengan Mila," jawabnya tanpa spasi.
Revan melirik Mila. "Kalian mau nikah?" Dia lantas tertawa kencang dan bertanya, "Undangannya mana?"
"Apa kamu bilang?" Sungguh Diaz tidak mengerti dengan situasi saat ini.
"Nikah aja, ngapain minta izin segala." Revan menatap Mila dengan redup. "Kan gue udah bilang, hubungan kita gak usah diperpanjang. Lo tau gue selingkuh, tetep aja maksa bertahan."
Diaz mengerutkan dahi, sedangkan Mila menunduk dalam.
Revan memutuskan. "Nikah sama dia aja, Mil." Dilihat-lihat, Mila pilih pria yang tepat dibanding dirinya. Penampilan orang di depannya begitu formal, tampak seperti pegawai kantoran daripada dirinya yang masih berstatus mahasiswa dan belum bekerja.
Mila bertanya, "Kamu sengaja mainin hubungan kita?"
Revan menjawab, "Kan lo yang milih bertahan, rela jadi pacar bayangan."
Diaz bergeser menutupi Mila seperti melindunginya karena gadis itu akan menangis setelah dengar penuturan Revan.
"Aku kira kamu bakal nahan aku, Van." Atau selama ini ia yang menahan Revan untuk pergi?
Revan mendatarkan wajah. "Berhenti, Mila. Lo gak bisa maksa gue buat bertahan, gue juga punya prioritas. Lo gak bersyukur banget dapet yang lebih," tukasnya.
Mila sudah terisak di belakang Diaz. Pria itu belum bicara lagi.
"Jangan nangis," cecar Revan. Dia yang tersiksa kenapa Mila menangis? Revan tak ada pilihan selain menepuk-nepuk pundak Diaz dan berkata, "Jagain aja. Walaupun gue kesel, kita pernah bareng. Mil, jangan buat gue ngerasa nyakitin lo, lah. Kan lo yang milih bertahan sendiri." Sebenarnya sudah sering Revan menyuruh Mila berhenti. Perempuan ini, seringkali banyak berharap membuatnya muak.
Diaz paham sekarang. Mila mempermalukan diri sendiri di depan pacar yang tidak mengakuinya. "Kita pulang," putusnya. "Maaf ganggu kamu. Permisi," lanjutnya menarik tangan Mila.
Mila menahan tubuhnya dan menatap sendu Revan. "Van, aku cinta banget sama kamu."
Diaz berdecak kesal. "Dia udah lepasin kamu! Ngapain sih ngerendahin diri sendiri begini!"
"Tapi, aku cinta--"
Revan memegang kepalanya. "Gue pusing, Mil. Banyak tugas kuliah. Tetangga gue ntar pada ngebac*t," ucapnya langsung masuk dan menutup pintu cukup keras.
Diaz membiarkan Revan masuk. Kini dia yang heran dengan Mila. "Kamu mau berlutut sama dia disini?"
Mila menggeleng dan menepis tangan Diaz. Ia berjalan melewatinya menuju mobil untuk pulang.
Diaz melihat Mila tersakiti. Tapi salahnya juga menyakiti hati dengan bertahan sendirian. Dia pun mengikuti sampai masuk mobil. Sungguh dia tidak menyangka akan sedramatis ini bicara pada Revan. Apa Mila berharap Revan menahannya? Benar-benar aneh.
Sampai rumah, Mila langsung masuk kamar walaupun Fila memanggil-manggil namanya. Diaz hanya diam di belakang Fila.
"Pasti Revan marahin kamu ya?" tanya Fila.
"Iya," jawabnya terpaksa berbohong. Mila akan baik-baik saja, bukan? Dia tipe orang yang sering marah karena banyak unek-unek di hatinya.
Jadi Mila juga membohongi keadaan hubungannya dengan Revan pada Fila. Mila benar-benar mencintai Revan sampai segitunya.
"Revan bilang apa pas tau kalian mau nikah?"
"Banyak, Tante. Gak bisa dijelasin. Revan marah, Mila juga," tutur Diaz. Benar, Mila akan baik-baik saja karena Revan sudah berterus terang tidak mencintainya lagi.
"Yang penting kamu udah ngomong. Kamu boleh pulang, besok kan fitting baju."
Diaz sampai lupa sesaat. "Iya," lirihnya kembali ingat. "Pastiin Mila makan teratur, Tante."
Fila paham tentang itu. Setelah Diaz pergi, dia kembali mempersiapkan sisanya untuk pernikahan mereka.
Mila mengumpat dalam hati sampai malam atas ucapan Revan yang berhasil mempermalukannya di depan Diaz. Tangisnya mereda begitu ingat Diaz sempat bergeser menutupi tubuhnya. "Dia sadar kah nyakitin gue?" Dia memukul-mukul kasur yang tidak berdosa. Memang salahnya, lalu kenapa? Bukankah itu wajar untuk mempertahankan hubungan?
"Pasti besok dia ngeledek gue," gumamnya. Buruk nasibnya. "Gak bisa gue biarin." Mila melompat turun dari atas kasur lalu keluar kamar. Ia sempat mengintip apakah ada Bunda di suatu ruangan. "Bunda?" Ia sedikit teriak karena tidak menemukan Bundanya.
"Bunda di kamar!"
Ia bergegas turun dan masuk kamar Bundanya.
"Kenapa?" tanya Fila saat anaknya masuk.
"Bun, pinjem HP."
"HP kamu mana?"
"Di atas."
"Ambil lah."
"Iihh, Bunda. Aku pinjem HP Bunda buat telepon Diaz," ujarnya.
Fila menodongkan ponselnya tepat di depan wajah Mila. "Ini."
Mila tahu, Bunda pasti gerak cepat kalau ia sebut nama calon menantunya.
"Mila bawa ke kamar dulu ya, Bun."
"Iya sana. Yang lama ya," suruhnya.
Mila keluar tak lupa tutup pintu lagi. Dia mendesis, "Mau gue hapus nomornya takut kualat." Ia naik tangga agak cepat sambil menggerutu. Sesudah duduk di dekat jendela, Mila mengatur nafasnya dan memegang ponsel Fila untuk menelepon Diaz.
Sesudah memencet panggilan video ke nomor Diaz, Mila siap-siap bicara. Alisnya menyatu begitu yang muncul di ponselnya adalah pria lain, bukan Diaz. "Wah, lo siapa?" tanyanya menantang dan bingung jadi satu.
Lalu ponsel seperti diarahkan ke seseorang, mereka berjalan di sebuah tempat yang terlihat macam kantor.
[Tolong pegangin]
Itu suara Diaz yang mungkin menyuruh asistennya untuk memegang ponselnya.
"Gue mau ngomong," ungkap Mila. Ia ragu Diaz akan mendengarkan atau tidak karena masih berjalan.
[Silahkan]
"Jangan bilang Bunda tentang masalah tadi."
[Udah saya lakuin]
Jadi, sudah? Mila manggut-manggut. "Yang lo tadi--"
[Langsung ngomong. Saya mau meeting]
Mila menahan nafas agar sabar melihat Diaz menaiki tangga. "Jangan sampe Bunda tau," ulangnya.
[Terus?]
"Besok lo jangan berani ngetawain gue," ancamnya.
[Mana sempat saya ketawain orang]
"Gue mau bilang itu aja."
[Gak usah pertahanin dia]
"Hm. Gak usah kasihanin gue. Gue gak suka."
Panggilan diputus Diaz padahal ucapannya belum dijawab. Kesal sekali Mila. Ia mengganti nama kontak Diaz dengan sesuatu. Sesudah itu turun untuk mengembalikan ponsel Fila yang ternyata saat ia masuk, pemiliknya sudah tidur.
Mila melihat foto keluarga berbingkai besar di dinding ruang tamu. "Diaz bentar lagi jadi menantu Papa. Papa bahagia kan?" Entah bagaimana kelanjutan kisahnya. Seharusnya indah jika ia bisa menggapai cita-cita di usia sekarang, tapi sayang terhalang oleh perjodohan. "Papa jangan salahin aku kalau sewaktu-waktu kita cerai. Mila dari awal gak cinta sama Diaz."
Fokus. Fokus. Fokus.Mila meregangkan jari-jari tangan, tak lupa ia menarik napas dalam-dalam lalu dihembuskan perlahan. Di atas laptop sudah ada note untuk menulis episode selanjutnya dalam novel "Menikah untuk Takhta". Ia mengetik alur yang ada di otaknya selama 3 jam penuh.Saat menulis, masalahnya hilang. Kalau sudah selesai, masalah kembali datang.Mila merebahkan tubuhnya menunggu jemputan. "Biarin aja lah. Selama gue diperlakukan kayak Princess, dianter jemput, dibukain pintu mobil, jalan duluan di depan, makan diambilin. It's okay," ucapnya untuk menyemangati diri sendiri. "Gue pasti bisa jalanin ini semua sesuai apa yang gue mau." Bukan Mila namanya kalau melakukan sesuatu apa yang tidak dia inginkan.Baginya, seorang Diaz yang sibuknya melebihi Presiden yang bolak-balik mengurus negara akan mudah dimanfaatkan. Kalau bisa, Mila akan hidup tenang setelah menikah.Stephen yang IQ-nya di bawah Mila pun setuju kalau dia men
Sedang melihar-lihat dekorasi aula untuk resepsi pernikahan, mata Mila mulai pegal. Ia tak tahu harus apa lagi disini, maka dari itu ia memutuskan pulang. Lagipula ini urusan Diaz untuk menyelesaikan dan memastikan tidak ada kekurangan."Gue pulang dulu," pamitnya langsung di hadapan Diaz yang sedang melihat ke langit-langit."Kok cepet banget?" tanyanya entah bodoh atau apa."Mata gue bisa rusak liat beginian. Gue juga banyak urusan, nulis episode novel misalnya." Ia memberi contoh kesibukannya jika di rumah."Ya udah, silahkan kalo mau pulang."Mila tidak menjawab. Ia langsung undur diri dari hadapan Diaz untuk keluar gedung."Mila! Sebentar!"Mila membalikkan badan padahal belum mencapai pintu. "Kenapa lagi sih?" Entah kemasukan hantu atau otaknya terbalik, Diaz memberikan setangkai bunga mawar untuknya. "Ngambil dimana lo?" tanyanya menerima bunga itu."Mampir sebentar ke Toko Bunga," jawab Diaz tersenyum hangat.
Hari pernikahan Mila dan Diaz diselenggarakan secara mewah. Para tamu undangan berasal dari pegawai berseragam formal, di tengah aula terdapat pancuran air tinggi yang diberi lampu biru dan putih. Mereka tampak bahagia datang memberi selamat kepada pengantin yang duduk bersanding di pelaminan. Meida dan Lisana pun turut menyambut tamu dan berbincang dengan mereka.Selama itu juga, mulut Mila kaku karena terpaksa senyum. Stephen menyaraninya agar terlihat bahagia daripada ketahuan dalam waktu kurang dari 3 jam setelah akad. Kalau bukan perjodohan konyol ini, Mila ogah berdiri di pelaminan apalagi di sebelahnya ada manusia paling ribet sedunia. Melihat Diaz tersenyum di depan tamu hampir membuat perutnya mual. Tapi biarkan saja, itu baik untuk reputasi pernikahannya.“Ini sampe jam 9 doang, kan?” tanya Mila sambil melirik jam dinding besar di dekat pintu utama aula yang menunjukkan pukul 8 malam. Gaun yang dipilih Fila memang bagus, tapi sayangnya ia tidak te
Diaz tidak bisa tidur, sungguh. Mila tidur dengan nyaman di atas kasur empuk sedangkan dia tidur di sofa yang panjangnya kurang dari panjang tubuhnya. Gadis itu sudah terlelap lebih dari setengah jam yang lalu. Diaz menatap langit-langit kamarnya yang bertabur bintang karena lampu hias.“Gapapa, ini sementara karena Mila belum nyaman satu kamar.” Sudah 30 kali kalimat itu ia ucapkan dalam hati untuk mengurangi rasa tidak nyaman tidur di sofa.Alasan Mila tidak mau satu ranjang dengan Diaz tidak lain adalah sadar diri, ia kalau tidur seperti jarum jam berputar alias tidak bisa diam. Selain Mila takut Diaz berbuat hal khilaf, ia juga tidak ingin aibnya terbongkar sekarang.Diaz menerima alasan Mila yang katanya tidak ingin dia kena tendang dan pukul selama gadis itu tidur, tapi bukankah kasurnya sangat luas bahkan bisa muat 3 orang? Apa ini sengaja?Mila mengulet saat mendengar azan subuh. Tangannya mencari-cari keberadaan guling walaupun matany
Mila tidak ingin disebut penguntit karena mengikuti Diaz dari belakang. Langkah panjang pria itu sulit diimbangi oleh kaki mungilnya."Tungguin gue," ucap Mila menarik jas Diaz dari belakang agar dia berhenti.Diaz berhenti lalu melihat ke samping. Ternyata istrinya tertinggal.Mila mengerjap lihat gaya rambut Diaz sangat rapih dan licin. "Tega lo jalan cepet banget."Diaz tersenyum lalu menggandeng tangan Mila agar langkah mereka seimbang. Mila melihat tangannya tapi diam saja karena mereka bukan di tempat yang tepat untuk debat.Kantor yang dipimpin Diaz besar juga. Aktivitas tiap ruangan bisa terlihat karena hanya kaca saja. "Woah ... Keren.""Saya?" tanya Diaz sambil berhenti."Kantornya," jelas Mila. Ia tidak tahu kapan pria ini mulai percaya diri. "Kenapa kita naik tangga?" tanyanya begitu menaiki tangga ikut Diaz.Diaz jawab, "Kamu harus olahraga.""Gue juga gak bisa naik lift.""Kenapa?"Mila
"Mila ... Itu HP kamu bunyi terus. Angkat coba," ujar Diaz yang kebisingan. Pagi-pagi begini istrinya sudah seperti artis yang dapat job. Mila sebenarnya dengar, tapi malas mengangkat panggilan. Rasa kantuknya mengalahkan dering ponsel. "Mila... " Diaz memanggil lagi namun sedikit mengeraskan suara. Jam 6 pagi harusnya dia sudah bangun dan sarapan, tapi habis salat malah tidur lagi. Tangan Mila meraba-raba nakas yang ada tepat di sebelah ranjang untuk mengambil ponsel. "Itu buka dulu penutup matanya," tegur Diaz. Mila berdecak dan mengangkat panggilan entah dari siapa. "Halo?" [Mila. Bunda mau ke sana jam 7 nanti. Udah lama Bunda gak liat kamu] Mila melepas penutup matanya dan dilempar begitu saja. "Aduh!" Mila meminta maaf karena penutup matanya mengenai wajah Diaz yang pas sekali sedang balik badan. "Bunda mau ke sini? Jam 7?" Sekarang ia bahkan belum apa-apa. Mendengar kabar setengah baik dan setengah
"Hari ini Diaz betul-betul libur, kan?" tanya Fila. "Ini yang masak siapa? Kamu, Mei?" Dia bertanya karena Mila tidak mungkin memasak masakan enak apalagi sangat rapi hidangannya.Meida menggelengkan kepala. "Bukan aku.""Terus siapa?"Mila menyuapi makanan ke mulutnya. Ia menutupi sisi wajah dengan tangan kiri. Apa yang terpikir oleh Fila tidak salah. Bukan Mila yang memasak dan tidak mungkin hanya karena sudah menikah ia menjadi rajin."Diaz, Bun.""Apa?!" batin Mila. Matanya melotot pada Diaz yang sekarang tebar senyum pada Fila dan Meida.Diaz melihat keterkejutan Mila, namun hanya tersenyum sampai matanya menyipit. Dia menarik pipi kanan Mila dengan gemas. "Mila ini ... Mau dimasakin katanya, Bun. Diaz gak bisa nolak," katanya.Pria itu benar-benar tahu cara menarik perhatian mereka. Untuk menyambung sandiwara ini Mila ikut tersenyum bangga untuk masakan Diaz. "Oh iya, Bun. Diaz pernah cerita bisa masak, tapi aku gak percay
Diaz tetap dalam posisinya. Revan yang melihat mereka tidak jadi memanggil Mila karena takut ganggu. Dia menyuruh kekasihnya untuk lanjut jalan. "Udah pergi?" tanya Mila dengan suara pelan. Ia menoleh ke atas, tingginya hanya sedada Diaz. "Tinggi lo berapa, Diaz?" Mila dengan polosnya mengukur ujung kepala dan dada Diaz menggunakan tangan. "Lo tinggi banget, mungkin Oppa Chanyeol segini kali ya?" Mila terkekeh lalu menoleh ke belakang untuk melihat Revan sudah pergi atau belum. Begitu tahu tidak ada Revan, ia langsung memisahkan diri. "Lo ngambil kesempatan dalam kesempitan. Dasar!" "Jangan samain saya sama orang lain," lirik Diaz tidak suka. Mila memang mengira tinggi Diaz sekitar 180cm lebih, melihat pria itu saja harus mendongak kalau ingin menatap. Kali ini, mata Diaz menyipit sebab berhadapan dengan sinar matahari. Membuat kulit wajah putih bersihnya makin berkilau, atau biasa kalian sebut ... Glowing. "Lo gak masuk?" Mila dengar Diaz mau k