"Setelah menikah, kamu jadi lupa sama mama, ya?" tuduh Hana dengan wajah kesal, nadanya tajam, seolah Latisha adalah anak durhaka yang meninggalkan ibunya begitu saja.Siang itu, Latisha mampir ke toko kue mamanya. Sudah hampir sebulan ia tak sempat berkunjung, tenggelam dalam kesibukan kantor dan segala kerumitan hidup barunya."Bukan gitu, Ma. Icha lagi banyak kerjaan akhir-akhir ini," Latisha membela diri, berusaha terdengar lembut meski tubuhnya lelah. Tangannya sibuk menata kue di etalase, mencoba mengalihkan ketegangan."Suami kamu kan bos. Kenapa kamu masih kerja? Harusnya kamu santai, tinggal di rumah. Biarin aja suami kamu yang urus semua."Latisha menghela napas panjang, sudah hafal dengan pola pikir mamanya. Ini bukan kali pertama mereka memperdebatkan hal yang sama.Hana melipat tangan di dada, tatapannya menyelidik. "Kalau kamu dulu nurut sama mama, hidup kamu nggak akan sesulit ini, Icha. Kamu udah bisa hidup enak sama calon suami yang mama pilihkan. Kamu tuh kebangetan.
Latisha membuka pintu apartemennya dengan sisa tenaga. Bahunya terasa pegal, langkahnya berat, dan pikirannya penuh. Hari ini benar-benar menguras energi—pekerjaan menumpuk, tenggat mepet, dan Nadya yang sejak siang tak berhenti menggodanya soal Sagara.Ia menjatuhkan tas sembarangan ke sofa lalu merebahkan diri, menatap langit-langit apartemen sambil menghela napas panjang."Aduh… capek banget. Tapi kalau nggak kerja, nggak bisa jajan," gumamnya sambil memijat pelipis sendiri.Matanya setengah terpejam, mulutnya menggerutu pelan. "Kenapa harus berubah sih… Kalau gue lupa batasan, gimana coba? Ujung-ujungnya gue juga yang sakit. Udah gitu, Nadya juga nyebelin banget hari ini."Latisha menutup wajahnya dengan bantal, mencoba mengusir semua pikiran yang berlarian di kepalanya. Ia ingin tidur, atau setidaknya istirahat barang sebentar.Baru beberapa detik matanya terpejam, tiba-tiba terdengar bunyi pintu yang terbuka dari arah depan.Deg.Latisha sontak bangkit, jantungnya berdetak cepat
Di tengah riuh suasana kantor, pagi itu rapat dadakan digelar. Telepon berbunyi di setiap sudut ruangan, mesin fotokopi tak berhenti bekerja, dan langkah-langkah tergesa terdengar bersahutan. Semua orang tampak sibuk, berlarian menyelesaikan tugas masing-masing. Deadline mepet, dan seperti biasa, tekanan di kantor semakin menggila setiap akhir bulan.Latisha memeluk tumpukan dokumen di dadanya sambil berjalan cepat ke ruang meeting. Nadya menyusul di belakangnya dengan wajah cemas."Ca, lo yakin semua data udah kelar? Gue masih belum dapet laporan bagian finance," ujar Nadya sambil terengah-engah.“Udah gue kejar semalem. Cuma bagian summary-nya belum gue cek ulang. Gue butuh lo bantu review pas di dalam,” jawab Latisha sambil terus berjalan cepat.Begitu mereka sampai, pintu ruang rapat sudah hampir tertutup. Sagara sudah duduk di ujung meja, wajahnya seperti biasa—datar, nyaris tanpa emosi.Latisha menarik napas dalam-dalam sebelum masuk, mencoba menenangkan diri.“Maaf, Pak, sediki
"Mau berangkat bareng?" tanya Sagara, suaranya datar tapi cukup jelas terdengar di antara suara angin pagi yang masih malas berhembus.Latisha menoleh sekilas, lalu buru-buru mengalihkan pandangan."Nggak usah, Pak. Saya bisa berangkat sendiri."Padahal dalam hati, ia ingin. Tapi... perasaan itu selalu ia tahan. Ada batas tak kasat mata yang terus ia jaga. Entah karena canggung, entah karena takut terlalu berharap.Sagara melirik jam tangan di pergelangan kirinya. "Yakin?"Latisha spontan menunduk melihat jam tangannya juga. Sudah hampir pukul tujuh. Kalau harus pesan kendaraan umum sekarang, bisa-bisa dia datang terlambat. Sagara masih diam, tapi langkahnya belum bergerak. Menunggu. Tenang tapi terasa menekan."Dia nggak mau maksa dulu gitu, ya..." gerutu Latisha dalam hati, menggigit bibir bawahnya kesal sendiri."Saya berangkat dulu."Nada suara Sagara tetap datar, sopan, tapi terasa berjarak. Ucapannya seperti sebuah pagar yang tak bisa Latisha lewati.Latisha mendesah pelan.Seb
“Latisha.”Refleks, tubuhnya menegang. Ia menoleh cepat, nyaris terlonjak kaget. Panik melintas sekejap di wajahnya.“Sial! Gue ketahuan?” batinnya mendesah, canggung.Sagara memutar tubuh perlahan, bersandar pada kursinya. Tatapannya mengarah padanya—tenang, tapi sulit ditebak. “Belum tidur?”Latisha cepat-cepat menyusun ekspresi santai. “Eh… belum. Tadi cuma mau ambil air,” katanya sambil tersenyum canggung.Sagara mengangguk tipis. “Kamu bisa tidur duluan. Saya masih ada yang harus diselesaikan.”Namun langkah Latisha tak kunjung bergerak. Pandangannya terarah pada jam dinding, lalu kembali pada Sagara yang terlihat lelah tapi tetap memaksa duduk tegak.“Tapi ini udah tengah malam, Pak. Waktunya istirahat…” ucapnya pelan. Meski lirih, suaranya cukup jelas untuk didengar.Sagara menatapnya sesaat. Ada jeda. Seolah sedang mempertimbangkan—apakah itu bentuk perhatian atau sekadar basa-basi.“Sebentar lagi,” jawabnya akhirnya, singkat.Latisha diam sejenak, lalu memberanikan diri melan
Ruang meeting siang ini dipenuhi suara presentasi dan gemerisik kertas. Namun di antara semua kesibukan itu, ada dua orang yang terlihat sangat berjarak.Mereka duduk bersebelahan, seperti biasa. Tapi kali ini, tak ada saling lempar pandang. Tak ada interaksi kecil yang mencairkan suasana. Hanya sunyi.Sagara membuka laptopnya, mengetik cepat tanpa sedikit pun menoleh ke arah Latisha.Latisha duduk tegak, mencatat dengan rapi, tapi jari-jarinya sesekali berhenti. Bukan karena tak paham, tapi karena pikirannya terpecah-ke arah pria di sampingnya, yang terasa begitu dekat namun nyatanya jauh."Lembar data tambahan sudah saya kirim ke email, Pak," katanya lirih, nyaris formal.Sagara hanya mengangguk, matanya tetap tertuju ke layar. "Oke. Terima kasih."Tak ada nada hangat di suaranya. Hanya suara atasan yang bicara pada rekan kerja. Dan Latisha mencatat itu baik-baik, meski tak menunjukkan apa pun di wajahnya.Nadya, yang duduk di ujung meja, melirik mereka bergantian-mengamati bahasa t