Share

sabar, ini baru awal.

"Mas, bajunya mau pakai warna apa?"

Aku mendengar sautan tak jelas dari dalam kamar mandi.

Seperti beberapa hari terakhir, terhitung satu minggu menjadi istri. Aku menyiapkan segala kebutuhan suamiku sebelum berangkat ke kantor. Tidak tau seleranya, wajar saja aku menyiapkan segalanya melihat dari sudut pandangku dan keyakinan bahwa stelan ini tak akan mengurangi tingkat kegantengannya. Dingin sih, tapi tetep ganteng.

"Itu Mas, pakaiannya Karin siapin di ranjang. Maaf kalau nggak sesuai."

Ujarku mendengar pintu kamar mandi terbuka. Belum menoleh, dia berdehem aku membalik badan. Innalillah, mataku!

"Mas Ravin! Kenapa nggak pake baju!"

Pekik ku tak sadar, biasanya dia selalu berpakaian lengkap saat keluar kamar mandi. Tidak ku dengar sahutan kecuali menggumamkan maaf, lalu memakai baju. Aku masih memunggunginya. Sampai dia berdehem, memberi tahu ia sudah berbaju. Aih?

"Lain kali, kalau pakai baju di kamar mandi, Mas. Jangan di luar, apa gunanya kamar mandi kalau fungsi kamar mandi sendiri nggak di pakai?"

Omelku meraih dasi di ranjang, lalu melingkarkannya di leher suamiku. Laki-laki ini tidak banyak bicara. Deg. Aku menelan siliva seret, saat ia membungkuk memberiku kemudahan agar tak berjinjit. Pendek emang. Pipiku seketika memanas, menyadari sedari tadi aku mengomel. Sungkan, siapa aku?

"Maaf," cicitku.

"Bukan masalah."sahutnya.

Menggigit pipi bagian dalam, seketika aku melepaskan tangan dari dasinya yang belum terpasang sempurna, aku tak terlalu kesulitan menyimpulkan dasi, karena pernah, meski tak sering aku memakaikan dasi Rangga kakak sepupu yang usianya hanya berbeda tiga hari denganku, itupun katika aku berkunjung dan sepupuku tak mendapat perhatian lebih dari sang mama karena repot menyiapkan sarapan.

"Mas bisa lanjutkan sendiri."

Mas Ravin berdehem. Seolah mengerti, ia membenarkan sendiri simpul dasinya.

"Makasih."

Katanya saat aku permisi keluar dan mengingatkan sarapan sudah tersaji di ruang makan. Aku mengangguk, memegang dadaku saat keluar kamar, bersandar di pintu. Bagaimana aku bisa menganggap dia suamiku beneran? Eh? Emang suamiku beneran, kan? Tapi kami menikah bukan karena cinta. Yakali, secerewet itu.

"Iyuh, dasar mulut. Di rem napa, gasnya! Kan, malu."

Pagi yang laknat, sepertinya belum usai, baru saja hendak menegakan diri dari sandaran di pintu. Kayu jati manis itu malah terbuka karena tarikan dari dalam.

Bruk.

Aku mendesis saat merasakann pantatku sakit. Lalu menoleh ke samping, Mas Ravin ikut terduduk dengan simpul dasi yang menyedihkan. Oh astaga! Apa aku menariknya tanpa sengaja?

Sumpah pengen nangis.

"Wah, wah, kalau begini mama bisa cepet dapet cucu ini."

Aku memutar kepala, saat mama Luna bertepuk tangan ceria di depan kami. Mas Ravin mendengkus kasar, lalu membantuku berdiri. Kok debarannya aneh?

"Mama."

peringat Mas Ravin, dengan tangan masih di kedua pundakku. Mama berdehem, aku menunduk, tau maksudnya. Wanita paruh baya cantik itu melenggang pergi usai mengatakan kami di tunggu di bawah untuk sarapan. Tatapan kami bertemu, lalu kehangatan di pundak ku menghilang. Kupu-kupu di perutku salah jalan. Nyesek.

**

"Masa belum?"

Pekik mama Luna, langsung mendapatkan deheman dari ayah Yusuf. Aku menunduk dalam. Mama mertuaku meraih wajahku. Di putarnya ke kanan dan ke kiri. Lalu berdecak.

"Kamu cantik, Karin. Suamimu mirip lee min ho. Yakan? Iya nggak Pa? Ravin gantengnya kaya aktris Korea kan? Bahkan lebih. Menantu kita juga cantik berhijab pula. Ini yang buta siapa, sih? Masa nggak ada nafsu-nafsunya? Waras?"

"Ma."peringat papa Yusuf.

Aku meringis, fulgar sekali ya tuhan. Papa Yusuf menyenggol lengan istrinya yang masih mengomel tak jelas. Yang jelas membahas tentang 'ena-ena' paham, kan? Masih banyak omelan yang harus ku dengarkan, berkali pula papa mertua berusaha mencegah. Tapi dasar mulut wanita, mana ada rem nya? Menikah itu bukan hanya mendampingi raga, tapi juga jiwa. Bukan hanya melayani raga, tapi tuga batin. Istri itu guling suami. Harus memberi kenyamanan agar suami tergoda dan bla bla bla ....

"Jangan salahkan mama, kalau sampai ikut campur urusan privasi kalian."

Aku kembali kepayahan mengisi tenggorokanku yang mengering. Pernikahan macam apa ini? Nisya, tanggung jawab kamu. Runtukku dalam diam.

"Kamu sudah pakai pakaian yang mama saranin belum?"

Aku menggeleng.

"Malu,Ma."

"Sama suami kok malu Rin, keburu nanti suamimu jajan di luar loh."

Amit-amit jangan sampai. Aku mengehela napas dalam.

Sekarang, bagaimana Mas Ravin mau menyentuhku? Jika hasrat itu tak ia temukan pada mantan calon kakak iparnya ini? Menikah dengan dab tanpa cinta itu, beda mama. Aku mendesah dalam diam. Apalagi yang bisa ku lakukan selain diam? Andai aku bisa memilih, aku akan memilih menikah dengan dia yang pernah ku sebut di akhir doaku. Dia yang diam ku kagumi. Dia yang, ah, sudahlah. Menyalahkan takdir dan ketentuan illahi bukan yang terbaik kali ini. Hanya perlu ikhtiar dan tawakkal. Hasilnya aku pasrah. Bukankah tuhan maha membolak balikan hati? Pemilik hati, lalu?apa yang aku harus takutkan?

"Laki-laki tidak butuh cinta untuk bisa menyentuh,Rin."

Aku menoleh.

"Tapi Karin belum siap, di miliki tanpa memiliki, Ma."

Itu pikiranku, tapi nyatanya hatiku menentang. Pernikahan ini memang salah, tapi bukankah setiap pernikahan adalah tujuan memperbanyak keturunan? Papa, anakmu lelah. Tapi tak boleh menyerah.

****

"Tapi Pete enak juga,ma. Kalau jengkol bikin perut mual baunya. Kaya..." Aku menutup mulut ketika membayangkan butiran jengkol mendarat di lidahku. Seketika perutku mual dan ingin muntah. Mama tertawa juga khawatir. Terlihat jelas wajahnya.

"Kamu itu, baru bayangin aja masa sudah mual. Tapi Ravin suka sekali sama jengkol loh, Rin."

Aku mendongak, menatap mama betul-betul.

" Masa?"

Mama mengangguk, aku menghela napas dalam. Sedikit tidak terima, tapi pernah ku dengar bahwa cara terampuh menciptakan kesan bagi seseorang adalah makanan.

"Assalamualaikum."

Aku dan mama menoleh, Mas Ravin baru saja masuk rumah usai bekerja. Aku berdiri menghampiri suamiku. Meraih tangannya, lalu mengecup singkat. Rutinitas yang sudah beberapa hari terakhir ku tekuni haha. Awalnya dia kaget, tapi karena terus terulang laki-laki itu akhirnya terbiasa.

"Kalau mama sama papa dulu, waktu salim langsung di cium kening atau nggak pipi. Lah ini masih muda kok nggak ada gregetnya."

Aku mendelik, apa-apaan ini. Berbeda dengan mas Ravin yang hanya tersenyum, lalu mengusap puncak kepalaku. Sepintas saja, tidak ada rasa. Berjalan menuju mama lalu mencium tangan di susul pipi bidadarinya. Aku hanya menatap, karena berharapun tidak akan secepat ini.

"Ravin ke kamar dulu, capek."

Aku mengangguk, mama masih menatapku. Sampai ketika langkahku menuju kamar terhenti karena cekalan di lenganku.

"Sabar ya, lukanya memang tidak sederhana. bertahan sebentar lagi." Bisiknya.

Aku mengangguk, lalu kembali melangkah menuju kamar. Saat masuk, ku lihat mas Ravin duduk bersandar di kursi dengan mata terpejam.

"Mas."

Lelaki itu membuka mata mendengar panggilanku.

Lalu duduk dengan benar.

"Kalau capek istirahat dulu, bersih-bersih,mandi. Sudah sore, pamali kalau tidur mau magrib."

"Sudah makan?" Lanjutku, dia mengangguk. Lalu menggeleng.

"Sudah apa belum?" Pastiku.

"Lupa." Jawabnya dengan sedikit bangkit. Tangannya memegang perut.

"Perutnya sakit?" Tanyaku memastikan.

Dia menggeleng, lalu berjongkok di depan laci.

" Agak kembung, tau minyak kayu putih dimana?"

Aku mengangguk, berjalan kearahnya lalu membuka laci mengambil minyak. Lalu memberikan kepada mas Ravin.

"Makasih." Dia mengeluarkan baju yang masih di masukkan ke celana, menuangkan minyak di telapak tangan, lalu mengoleskannya Keperut.

"Mau di bantu,mas?"

Mas Ravin menggeleng, sebelum berjalan mengambil baju yang sudah ku siapkan lalu masuk kamar mandi.

Aku menghela napas pasrah, sedikit kecewa.

" Nggak papa, lukanya memang tidak sederhana."

Kataku pada diri sendiri. Teringat kata-kata mama.

Di tambah lagi sabarnya.

"Rin."

Aku menyudahi lamunan. Menoleh ke arahnya.

"Boleh minta tolong pijit sebentar?"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status