Share

ku hargai usahanya

Perang dingin antara aku dan mas Ravin masih ku rasa Sampai pagi. Semakin terasa ketika mengingat hari ini adalah hari minggu. Seharusnya Senin saja, setidaknya kami tidak harus saling membuang muka saat tidak sengaj berjumpa. Seperti tadi ketika aku hendak ke kamar mandi ternyata mas Ravin lebih dulu membuka pintu, kami tidak melakukan apapun,aku diam dia diam. Tidak enak, tidak suka. Akhirnya aku memutuskan untuk turun ke bawah, siap-siap masak bersama mertua tercinta.

Aku sedikit melirik bayangan yang sedari tadi mengganggu konsentrasiku memasak, mama Luna sedang ke depan membeli di mang Asim beberapa keperluan dapur yang kurang. Karena hari ini hari minggu, adik ipar dan suamiku kini sedang berolahraga keliling kompleks. Sedang, ayah Yusuf memilih meregangkan otot di taman belakang. Malas di geniti janda kompleks katanya, tentu saja itu membuat mama Luna memberikan kecupan manis untuk papa mertuaku itu. Aku terkekeh menyembunyikan kegetiran di hatiku.

"Jangan kasih Ravin jatah, kalau masih suka di goda janda," ujar mama pagi tadi, saat Mas Ravin pamitan bersama Adam untuk olahraga. Aku mendengus, di anggep aja enggak, ma. Miris.

"Kapar, ngelamun aja sih, kenapa?"

Tanya Adam yang tiba-tiba berdiri di hadapanku. Aku menatap sejenak adik iparku itu, lalu melanjutkan kegiatan. Dia berdecak.

"Mbak, Mbak, Mbak. Jawab dung, yakali adek seganteng gue di kacangin." protesnya, aku tak peduli meski sebenarnya geli. Konyol, tapi menyenangkan. Andai Mas Ravin seperti adiknya ini. Tangannya tiba-tiba bertengger di atas lenganku. Sontak saja aku mengibaskannya . Dia menatap kikuk, lalu berdehem.

"Maaf, cuma pengen kenalan sama Mbak baru, salah?"

Aku menggeleng, lalu tersenyum kearahnya. Dia terpaku. Iya, aku tau aku cantik.

"Emang, umur kamu berapa? Siapa tau kita seumuran." tanyaku, berusaha nyaman. Dia tersenyum jenaka, menampilkan gigi putih rapi kearahku. Aku menyebutkan umurku, dia mengangguk lalu kembali tersenyum. Kuakui, senyum Adam menular.

"Kita beda 3 tahun, Mbak Karin tua. Hahaha."

Bugh, enak saja! Adik iparku meringis ketika aku memukulnya dengan sepatula di tangan. Meski tetap terkekeh. Meminta maaf, bahkan merayu dan berkata bahwa meskipun aku lebih tua, wajahku tetap terlihat lebih muda di bandingnya. Aku memutar bola mata malas, receh.

Sampai deheman membuat candaan kami terhenti. Aku menatap lurus dan menemukan Mas Ravin berdiri di sana dengan handuk kecil di tangan. Tatapannya tidak nyaman.

"Ah, elah. Mata Mas Ravin bisa buat Mbak Karin kencing sambil berdiri. Serem banget."

Aku memelototkan mata, astaga. Mahluk alien ini benar-benar. Mas Ravin tetap datar, melenggang pergi. Aku terkesiap, mematikan kompor lalu mengejarnya, setalah memberi kepalan tangan ke Adam, yang di balas cekikikan khas bocah tengil itu.

Meremas tangan, ragu ingin mengetuk atau tidak. Kenapa aku mengabaikan perintah Mas Ravin untuk tidak terlalu dekat dengan Adam, sih? Gini, kan jadinya.

"Karin? Ngapain? Udah mateng?"

Aku menoleh, mama Luna dengan beberapa sayur di tangan menatapku heran. Aku menggigit bibir, menjelaskan, hati-hati. Takut di semprot karena membangkan perintah suami.

"Mas Ravin,ma." jawabku.

"Kenapa?"tanya mama.

Aku menjelaskan pelan kepada mama, takutnya beliau salah paham dan menyimpulkan aku pembangkang.

"Oh, biarin aja." ujar mama usai aku menjelaskan.

Aku membeliak, gitu aja responnya? Wanita itu meninggalkanku di depan pintu. Syukurlah. Aku berjanji untuk tidak dekat dengan Adam nanti.

"Jadi sekarang lagi diam-diam an? Dari tadi malam?"

Aku mengangguk, mama geleng-geleng kepala.

"Rin, kamu pasti tau. Berdosa kalau sampai istri tidur tapi suaminya masih marah sama dia. Tapi, oke. Ravin juga ga boleh seenaknya larang-larang tanpa alasan."

Aku menunduk, Untung saja di nasehati nggak pake di semprot. Tapi tiba-tiba mama berhenti membuat tubuhku menubruk tubuhnya.

"Ma? Kenapa?"

"Mama punya ide. Kamu ikut permainan mama ya. Di jamin seru."

Belum sempat menjawab, mertuaku itu segera menarik tanganku menuju ruang makan setelah memanggil nama mas Ravin keras.

Lagi-lagi, pikiran negatif mengerami otakku. Astagfirullah.

**

Suasana makan malam terasa seperti biasanya, kecuali untukku. Tentu saja karena pria di sampingku masih mendiami seharian. Hanya membalas pertanyaanku singkat. Meski tak berarti dia selalu menanggapiku dengan panjang lebar, setidaknya tidak dengan raut datar sedatar masa depan, eh? Ku perhatikan ia dalam diam, rautnya tegas. Hidungnya mancung, apalagi posisisku kini di sampingnya.

"Ehem, Karin."

Seketika aku mengerjap. Menoleh ke arah mama Luna dengan senyum tertahan di bibirnya. Mas Ravin Adam dan papa kini menatap sempurna ke arahku. Malu gusti, sumpah nggak lagi.

"Setelah makan malam, kamu di temani Adam pergi ke minimarket, ya? Bahan buat besok habis soalnya. Bisa?"

Makanan di mulutku salahh jalan, seharusnya ia lewat jalur kerongkongan bukan jalan pernapasan.

Jadilah sekarang aku terbatuk karena tersedak. Kurasakan kemudian usapan ringan di punggung lalu segelas air di hadapanku. Mama Luna menatapku, aneh. Misteri.

"Kenapa Mbak? Segitu geroginya mau di temani pangeran sampe keselek gitu?"

Ipar laknat emang, aku meneguk air pelan sambil mencuri pandang ke Mas Ravin. Datar-datar saja. Aku menoleh ke arah Adam yang masih cekikikan. Di sertai kerlingan dari mama Luna. Tak mau ambil pusing, aku menoleh ke arah suamiku.

"Karin, sih terserah Mas Ravin. Kalau Mas Ravin oke,

Karin oke. Gimana, Mas?"

Aku menoleh sepenuhnya kearah suamiku, menatapnya, menunggu jawaban. Begitu anggukan di berikan. Adam bersorak. Mama mendesah kecewa. Entah kenapa.

"Akhirnya, jalan bareng sama Mbak baru. Nanti kita sekalian ke pasar malam di alun-alun, ya Mbak. Pasti keren. Boleh kan, Mas? Boleh ya. Pinjam sebentar istrinya. Janji nggak akan lecet."

Pinta Adam. Aku melotot. Mana bisa! Nggak ada!

" Nggak boleh lah, kamu kan bukan mahram. Bukan suami, nggak boleh pergi berdua."

"Nunggu, di ajak jalan malam sama suami mbak yang sangat antiromantik ya sekalian nunggu bulan jadi tetangganya matahari."

Aku berdecak, benar juga.

"Lagian, romantisnya mas Ravin udah habis waktu pacaran kali, makanya-awws."

Aku tau, mama berusaha menghentikan Adam dengan melakukan sesuatu pada lelaki itu di bawah meja. Aku tersenyum. Sakit? Enggak. Kan emang iya. Meski tak menoleh, aku tau wajah di sampingku menoleh ke arahku.

" Mbak, ma-"

" Jadi gimana, mas? Tetep boleh pergi ber dua sama Adam? Kalau di izinin aku nggakpapa."

Aku menatapnya, ada sesuatu yang di perlihatkan, tapi tidak ku tau artinya dari mata lelaki di hadapanku. Dia berdehem, menatap Adam sebentar.

Harapanku pupus seketika ketika anggukan kedua di berikan Mas Ravin. Bukan aku saja, mama Luna juga. Adam cengar-cengir, tapi tidak berteriak. Sepertinya masih sungkan dengan kata-kata nya tadi. Padahal aku baik-baik saja.

"Kita pergi bertiga."

Skak. Tawa Adam berhenti. Binar di mata mama Luna kembali bersinar, hatiku bersorak, akhirnya tidak jadi berdua sama si tokek dekil. Hu, rasain! Tapi? Kok?

"Adam, kalau nggak mau ikut aku sama Karin saja yang pergi."

Adam mencak-mencak, aku terkekeh. Menatap kearah mas Ravin. Dia tersenyum, tipis sekali. Tapi aku tau dia sedang berusaha. Entah berusaha untuk apa. Tapi aku akan menghargai itu.

******

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status