Share

Jangan sakit

"Kalian ini, kamu juga Adam. Ngapain ngajak ke alun-alun sudah tau mendung!"

Oceh mama memberikan kami botol minyak kayu putih, sekaligus 3 cangkir wedang jahe yang di bantu mbok.

"Nggak keliatan ma, udah gelap lang."

"Kan, kalau di kasih tau pasti bantah."

Aku menyembunyikan senyum ketika melihat mama memukul pundak Adam dengan tangannya gemas. Mas Ravin diam, tangannya menekan bagian perutnya pelan. Wajahnya meringis samar.

"Aku ke kamar dulu ya,Mau ganti baju, takut masuk angin."

Mas Ravin berdiri, setelah menyeruput wedang jahe, dia sepertinya sudah malas mendengar mama mengomel. Aku mengikuti langkah lelaki itu.

"Adam juga."

"Eh, mau kemana sayang? Mama belum selesai ngomong. Lihat mas mu bisa saja sakit, karena nurutin tingkah kamu itu. Sudah tau Ravin nggak bisa kalau kena hujan. Karin juga. Rese emang kamu ini."

"Karin sama mas Ravin nggakpapa ma, kasihan Adam juga pasti kedinginan."

Adam mengangguki ucapanku, memasang wajah melas yang cukup menggemaskan.

"Adam anak mama juga, loh. Masa nggak rela kalau mas Ravin sama mbak Karin sakit. Tapi teganyiksa anak gantengnya sendiri."

Aku menepuk dahi, ini anak emang seneng simulasi telinga. Dan benar, sebelum aku pergi ku lihat mama sudah menjewer telinga adik iparku sampai merah. Sukuri aja Dam, mumpung masih muda. Haha.

"Mau di bantu, Mas?"

Tanyaku ketika melihat as Ravin kesulitan mengoleskan minyak kayu putih di punggungnya.

"Iya, tolong."

Aku mendekat, menerima sebotol minyak kayu putih yang di ulurkannya.

"Mas Ravin alergi sama hujan? Langsung merah gitu mukanya."

Entah keberanian dari mana, tanganku refleks menyentuh keningnya. Hangat.

"Bukan alergi, tapi memang begitu kalau kedinginan. Perut saya sakit."

Mas Ravin memejamkan matanya, sedikit meringis menekan perut. Aku khawatir,mengajaknya duduk di tepi ranjang. Sekali dua kali mas Ravin mulai bersendawa. Raut wajahnya seperti tak nyaman.

"Mau di kerokin? Masuk angin kaya nya?"

"Pijit saja, nggak pernah di kerok."

Aku mengangguk, dia merebahkan diri di kasur.

"Kalau Mas Ravin sendiri nggak tahan dingin, kenapa malah ngasih jaket Adam ke aku? Seharusnya Mas Ravin sendiri yang pakai. Sekarang udh terlanjur. Gimana? Mau minum obat? Biar nggak makin parah. Perutnya sakit, perih apa kembung?" Tentu saja khawatir, wajahnya kian pucat.

Wajah lelaki yang tengkurap itu menoleh ke arahku. Lalu tersenyum tipis.

"Bisa ngomel ternyata."

Komentarnya, eh? Aku menutup mulut. Bisa-bisanya aku mengomeli mas Ravin dengan pedenya. Siapa aku!

"Kehormatan pria itu, bisa dilihat dengan selembut apa ia memperlakukan wanitanya. Dan bagaimana tanggung jawabnya terhadap wanita yang seharusnya di lindungi juga di utamakan. Bagaimana mungkin, saya membiarkan diri saya hangat. Di saat bersama melihat istri saya kedinginan? Bagaimanapun, kamu adalah tanggung jawab saya."

Aku tersentuh, pada kata-katanya. Lebih lagi pada kata 'wanitanya dan istri saya' secara tidak langsung, mas Ravin sudah mengakui pernikahan ini. Entah mengapa, aku merasakan panas di kedua belah pipiku. Mengabaikan empat kata terakhirnya.

"Bisa tolong matikan AC nya?"

Aku mengangguk, lalu mematikan AC. Lelaki ini sedang tidak dalam kondisi baik. Sampai ketukan di pintu menyita konsentrasiku.

Mas Ravin membari isyarat untuk membuka, aku menurut.

"Ma? Kenapa?"

Ternyata mama dengan senampan obat, Bubur dan segelas air.

"Buat Ravin, anak itu paling nggak bisa kalau kena hujan. Ini ada paracetamol sama kompres."

Aku tersenyum, menerima nampan dari mama.

"Iya, tadi juga lagi mijitin Mas Ravin. Perutnya sakit katanya. Kayanya emang masuk angin. mau Karin kerok, katanya minta pijit saja."

Mama menghela napas berat, lalu menengok sebentar ke dalam. Kembali keluar lalu menatapku.

"Mama titip Ravin, ya. Dia punya maag akut Rin. Obatnya ada dalam laci kalau sakit perutnya tambah parah." aku mengangguk.

Setelah itu mama pergi, aku kembali ke Mas Ravin yang kini tidur menyamping dengan wajah tak tenang.

"Mas, ada yang sakit?"

Khawatir juga melihatnya seperti itu, wajah Mas Ravin pucat. Juga keringat dingin membasahi tubuhnya. Tergerak tanganku untuk menyentuh keningnya. Panas.

"Perut saya sakit." Lirihnya.

Mas Ravin meringkuk memeluk erat bagian perut dengan kedua tangan. Aku panik, kali ini wajahnya lebih tersiksa.

"Rin, tolong bantu berdiri. Mau muntah."

Aku cepat-cepat membantunya berdiri . Badannya sudah basah keringat. usai berbicara seperti itu, mas Ravin berdiri sedikit berlari masuk kamar mandi. Aku mengikuti di belakangnya. Benar saja, lelaki itu berusaha mengeluarkan isi perutnya.

'HUEK'

berkali-kali dia berusaha muntah, aku juga ikut memijit leher belakangnya. Lumayan lama, dan aku yakin. Makanan yang tadi malam masuk ke lambungnya kini tak tersisa.

"Sudah?"

Tanyaku, dia menggeleng. Kembali membungkuk dan muntah banyak sekali. Aku mengurut tengkuknya pelan. Dia terengah-engah.

"Stt, sakit banget."

Menghembuskan napas pelan, sambil menekan perutnya. Aku tak bisa berkata-kata, tiba-tiba mataku memanas melihat lelaki ini tak berdaya.

"Masih mau muntah?"

Mas Ravin tidak menjawab, tubuhnya hampir limbung kalau tidak segera ku tangkap.

"Mas, Allah. Keluar dulu, Jalan bisa? Atau aku panggil Adam?" Dia menggeleng, menyerahkan seluruh beban tubuhnya ke tubuhku.

Pelan ku tuntun ia untuk kembali ke ranjang. Di iringi ringisan pelan dari mulutnya.

Menyiapkan bubur dan obat yang di antarkan mama tadi.

"Minum obat maag dulu ya, kayaknya kambuh. Makanya sakit perut." Ujarku, menyiapkan obat yang kua ambil dari laci yang mama tunjukan tadi. Lalu menyerahkan kedepannya.

"Minum obatnya nanti dulu,bisa? Masih mual banget." Lirihnya. Aku meletakkan obat di atas meja, menuangkan minyak kayu putih di tanganku lalu mengoleskan ke bagian perutnya. Mas Ravin tidaak menolak. Ia hanya memejamkan mata menikmati rasa sakit.

"Rin, sakit banget."

Tangannya memegang erat tanganku. Menyalurkan sebagian sakitnya. Aku ikut menangis melihat dia kesakitan seperti itu.

"Aku panggil mama,ya." Mas Ravin menggeleng. Aku semakin terisak, mengusap kepalanya yang kini sudah basah keringat. Pucat Pasih.

"Minum obat kalau gitu, biar enakan perutnya."

Dia membuka mata,menatapku sebentar lalu menutup lagi. Kali ini di sertai anggukan kecil.

Aku membantunya duduk, dia meringis sakit.

"Ini."

Mas Ravin membuka mulut, aku memasukan obat ke mulutnya lalu air. Sebentar kemudian dia kembali meraih tanganku, lalu menggengmnya erat. Satu tangannya lagi meremas perutnya.

"Jangan di remes gitu, makin sakit nanti. Aku buatin susu bentar sama ambilin kompres ya mas, sudah dingin kompresan dari mama."

Dia menggeleng, membuka mata sedikit.

"Nggak usah."

Aku mendesah berat, ku dengar susu bisa meredakan sakit perut. Aku mana tega melihat dia kelimpungan menahan sakit sendirian. Aku mengusap keningnya dengan air yang di bawakan mama meskipun sedikit dingin.

"Perih, sakit."

Adunya, aku kembali mengelus perutnya sambil menggenggam tangannya. Wajahnya sudah tidak semedihkan tadi. Tapi kini badan mas Ravin sangat panas.

"Mas butuh apa? Mau ganti baju?"

Tanyaku, dia menggeleng membuka mata

"Jangan di lepas."

Ujarnya menatap tanganku dan tangannya bertaut. Aku mengangguk. lalu kembali mengusap kening yang Basar air keringat.

"Cepet sembuh ya mas, jangan sakit. Aku khawatir."

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status