Share

tidak mudah, bukan berarti susah

"Buah hati selalu berhasil menjadi penyejuk antara orang tuanya, Rin."

Lagi-lagi kata-kata mama Luna mengembang di pikiranku.

"Sulit,ma."

"Laki-laki,sekuat apapun egonya akan kalah dengan nafsunya. Percaya sama mama."

Aku diam, masalahnya beda mama.

Semerawut. Hanya itu yang ada di hatiku saat ini. Bayangkan saja, ya, bayangkan saja, karena menjadi aku terlalu sulit. Bagaimana sekarang jika salah satu di antara kalian ada diposisiku, menjadi tumbal keegoisan adik tercinta dan menjadi istri dari calon adik ipar? Oh tuhan. Ini terlalu mendadak. Aku sungguh berharap ini hanya mimpi.

"Ehm,"

Aku menoleh karena deheman itu. Mas Ravin membawa satu stel gamis yang ku pastikan itu baru pemberian mama.

Ah, memang tak ada persiapan apapun tadi. Usai akad nikah dan berpamitan pada para keluarga dekat, aku langsung di bawanya kabur. Ya, kabur. Itu lebih cocok untuk sikap kami yang menghindari berbagai pertanyaan yang kami yakin akan di cekokan, terutama dari teman dan kolega bisnis Mas Ravin.

"Ini, nggak bawa baju ganti, kan?"

Aku mengangguk, sedari tadi mataku tak bosan dan tak jera mengawasi detail kamar ini. Nuansa pink dengan lampu pualam salem, di hiasi gorden senada dengan warna temboknya. Ada beberapa tempat foto kosong dengan diameter yang ku yakin cukup besar, namun tidak di isi. Atau lebih tepatnya baru saja di kosongkan karena tuan putri nya mendadak hilang. Ah, ini warna, tempat ini bukan untukku, suasannya favorit adik tak berhatiku. Suara deheman mampu membuatku mengalihkan pandangan.

"Nanti bisa di desain ulang." ujar Mas Ravin, dia cukup peka.

"saya nggak tau berapa ukurannya ini dari mama, maaf kalau kurang cocok." lanjutnya

"Bukan masalah, terimakasih." Aish, formal sekali. Dia mengangguk.

Dia berbicara seolah mengerti. Aku? Tak mengangguk tak menggeleng, aku netral saja. Meski lebih suka pada nuansa biru.

Memang, sebagai wanita aku tak bisa berbohong. Ada rasa tak suka melihat dan merasakan semua persiapan ini di tujukan bukan untukku. Karena, siapapun dia, bagaimanapun hubungan kalian jika saat itu bersama seorang wanita maka ia sama sekali tidak suka menjadi opsi kedua dan seterusnya. Egois? Tentu saja. Karna itu sifat wanita. Namun, kembali lagi aku memutar ingatan kebelakang. Memang bukan untukku, kan? Aish. Berasa jadi istri cadangan. Hiks, nyesek. Yang cewek pasti tau rasanya.

"Hum, kalau mau istirahat, silahkan saja. Aku akan keluar dulu, mau ngobrol sama mama. "

Aku menoleh ketika mendengar gumaman nya.

"Nggak perlu bilang terima kasih, karena ini juga demi keluarga ku juga. Kita sama-sama korban disini."

Suaraku kebas, dia mengangguk lalu berjalan ke kasur. Merebahkan diri disana sambil menutup matanya dengan lengan tangan kanan. Aku yakin, seribu atau duaribu persen. Dia menangis dalam diam. Atau mungkin tidak menangis, hanya saja meruntuki kejadian hari ini. Sibuk memikirkan bagaimana hidup dengan wanita yang bukan di inginkan.

"Kita hanya menikah di atas kertas."

Kaki terpaku di tempat.

"Hanya mengingatkan, jangan terlalu menggunakan perasaan." lanjutnya, aku tak berani menoleh.

"Tidak mungkin juga mencintai orang asing dalam satu malam, jadi sampai saat ini tidak ada yang perlu di takutkan." aku menjawab, meski ada sakit yang tiba-tiba terasa.

"Syukurlah."

Aku menghela nalas berat, lalu melangkah keluar. Hatiku mulai sesak mendengar Mas Ravin bicara seperti itu. Seperti aku menjadi tokoh antagonis yang berencana menggantikan posisi adikku dan merebut kebahagiaan mereka.

Padahal, disini aku juga korban. Dan siapa tokoh antagonis sesungguhnya? Jawab sendiri. Kembali ku Hela napas dalam. Aku seorang istri, aku harus bisa melayani suamiku meski aku belum merasakan cinta untuknya dan secara tidak langsung aku belum mendapatkan izin untuk mencintai nya. Disini, aku juga korban. Hatiku mungkin patah, meninggalkan semua impian, semua perasaan yang juga sudah ku dedikasikan kepada orang lain. Namun, dia pasti lebih patah, kan? Mengalah di hari pernikahan. Pasti sakit.

* *

Kata demi kata mengalir begitu saja dari bibir ranum wanita setengah baya di hadapanku, seperti biasa 'ibu' selalu berhasil menjadi tongkat terbaik yang membantu pilihan ketika jatuh. Tidak semua, tapi selalu ibu tokoh utamamya. Sesekali wanita itu mengul senyum, membelai jilbab yang melekat. Lalu menatap dalam.

"Kamu yang sabar, aja. Ravin pasti mau nerima kok. Dia anak mama yang paling peka perasaannya, paling perhatian apalagi sama perempuan."

Aku tersenyum singkat, sepekanya manusia tau sudah cinta buta juga, kan? Sebaik Ravin saja masih disia-siakan sama manusia setidak tau diri adiku. Ah, hukum dunia memang tidak selalu adik,kan?

"Mas Ravin itu tipe yang bagaimana,Ma?"tanyaku.

"Ganteng." Wanita itu terkekeh usai menjawab. Ku akui, suamiku memang ganteng. Ganteng banget malahan.

"Serius padahal." sungutku. Mama tertawa.

"Loh? Memang anak mama nggak ganteng to Rin?"

Aku mengangguk sambil menyesap teh buatan mama mertua. Sedangkan beliau menyeduh kopi bening. Karena perutku lemah jika harus Ramu dengan kopi. Cerita tentang Mas Ravin, mengalir begitu saja. Bagaimana sikap suami baruku itu ketika bersedih, apa saja yang membuatnya marah. Apa yang di sukai dan di bencinya. Beruntung sekali, mertuaku menerimaku dengan lapang. Meski tentu saja, beliau juga tak terima anaknya di permainkan. Aku meraih tangannya yang berada di depanku, binar bulan menatap sempurna ke arah mataku.

"Maaf Tante, soal ..."

Mama Luna menyimpan tangannya di bibir. Pertanda aku harus berhenti sebelum berkata. Aku mengangguk. Tentu saja paham. Tentu saja, nama mantan calon menantunya itu kuping beliau sudah ingin bernyanyi haredang haredanng, haredang. Ngepul asap. Panas.

"Mama, bukan Tante. Kamu bukan lagi besan buat mama tapi sudah jadi menantu. Anak gadis mama sama papa. Jadi, tolong di biasakan. Di rasakan dan di terima dengan legowo apa yang sudah tuhan takdirkan. Ya sayang, ya."

Mama Luna tersenyum lembut, aku mengangguk.

"Istirahat, saja dulu. Temani suamimu, setidaknya jadilah temannya ssampai dia menerimamu menjadi istrinya."

Aku menghela napas, berat. Kapan? Kapan ia akan melihatku sebagai seorang istri? Jika di matanya aku adalah seorang kakak. Kakak dari perempuan yang di cintanya.

* *

Masuk kamar, aku di suguhkan dengan sesosok lelaki yang kini berbaring menyamping. Menjadikan lengannya sebagai bantal tambahan. Surai rambutnya rapi, sedikit acak-acakan akibat pergesekan dengan bantal. Aish, tampan juga. Heh? Aku menggelengkan kepala. Meruntuki kesalahan mulai mendominasi otakku. Mengamati wajah tenangnya dalam tidur, hatiku nyiut seketika.

Cintanya pada Nasya terlampau besar. Tentang bagaimana mereka sebelum menikah, Mas Ravin yang bersedia membatalkan jadwal hanya karena Nisya sedang marah dan tidak mau bertemu sore itu. Akankah aku bisa menggantikan?

Jika iya, kapan? Sanggupkah aku bertahan? Oh ya Allah, engkau yang membolak balik kan hati, kuserahkan segalanya kepadamu. Yang terbaik adalah kuasamu. Yang terjadi adalah takdirmu. Sedang hatiku adalah milikmu. Maka kuatkan aku, selama aku bersandar kepadamu wahai robbku. Doaku dalam diam, tak terasa air mata mengalir begitu saja, mendapati kenyataan tak sekuat ekspetasi.

Tiba-tiba saja setetes air mengalir di pipiku, sesak. Ternyata semenyakitkan ini ketika aku sendiri. Takdir memisahkan ku dengan laki-laki yang ku impikan, tapi menyatukanku dengan lelaki yang tak pernah ku bayangkan sedetikpun akan menjadi imam. Inilah takdir tuhan, tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan.

"Seharusnya tidak menerima, jika kamu merasa akan terluka."

Aku mengerjap, hembusan napas berat terdengar di samping telingaku. Tanpa menolehpun aku tau siapa pemilik suara itu. Aku tetap pada posisiku. Dia juga, tidak bergerak. Tidak mendekat.

"Lalu, apa yang bisa aku berikan ke mama? Cinta? kasih sayang? Semua terenggut paksa saat calon istrimu memutuskan untuk lari." dada ku sesak, mengingat bagaimana wajah lelah mama.

"Terimakasih sudah berkorban dengan begitu besar untuk keluarga kita. Tapi maaf, aku tidak bisa memberikanmu janji apapun untuk perasaan." dia berujar.

Aku tetap diam, takut jika bersuara maka yang keluar bukan jawaban tapi raungan. Lagi-lagi aku mendengar deru napas dalam. Egois jika hanya melihat dari sisiku, tapi bagaimana lagi. Aku yang terjebak disini.

"Apapun yang aku lakukan kedepannya, jika menurut mu aku baik, itu hanya sekedar untuk menunaikan kewajibanku." Air mata tidak lagi bisa ku bendung saat kata-kata menyakitkan itu keluar dari lisannya. Kewajiban?

" Istirahat dulu, aku keluar."

Aku merasakan sedikit pergerakan.

"Mas," panggil ku. Dia menoleh.

"Mungkin sulit, tapi tidak ada salahnya mencoba."

Mas Ravin mengerut, lalu menatapku sepenuhnya.

"Mencoba untuk?"

"Berbagi."

* *

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status