Share

hujan dan kamu

"Ah, mending tidur di rumah. Dari pada jadi nyamuk."

"Nggak asik."

"Nggak seru!"

Ingin sekali menyumpal bibir Adam, bagaimana bisa dia mengoceh sepanjang perjalanan, protes karena harus duduk di kursi belakang. Dan sekarang, karena dia lebih mirip seperti anak kecil yang sedang menguntit orang tuanya belanja. Lucu, tapi pengen nampol.

Sedang Mas Ravin?

Tentu saja, ia mendorong trolly dan berjalan tepat di sampingku. Tak ada yang spesial, tapi sikap Mas Ravin sedikit menghangatkan hati. Sederhana, tak berlebihan. Ah, seharusnya aku tak terlalu menggunakan perasaan untuk sikapnya.

Aku menghela napas, tanpa sadar.

"Sudah belanjanya?"

Aku mengerjap.

"Eh? Apa?"

"Bisa-bisanya ya Allah, lagi belanja juga bengong. Eh, kapar, emang butuh pendampingan banget ya, tiati kalau nyebrang. Panggil adek tertampan, yang siap jadi pengawal kala pangeran es potong sedang berhalangan."

Aish, Mas Ravin menatapku lalu menatap Adam, menyerahkan, trolly kepada Adam, lalu tanpa aba-aba meraih tanganku untuk di genggam. Aku kehabisan napas, dadaku sesak oleh perasaan aneh yang menyenangkan.

"Bayar. Mas tunggu di mobil."

Mas Ravin menyerahkan kartu kreditnya, lalu begitu saja berlalu meninggalkan Adam.

"Nasib jadi bontot, jomblo lagi. Kerjaannya jadi nyamuk, makanannya sakit ati."

Terserah! Terserah apa yang Adam katakan, yang paling penting adalah, apakabar jantung ? Aman?

"Ayo."

Aku hanya mengangguk, mengikuti langkah kaki Mas Ravin keluar. Setelah membuka pintu mobil untukku, dia memutari mobil untuk mengambil posisi. Kami sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing, Mas Ravin menatap lurus ke depan sedang aku menatap jendela samping. Kelihatannya, angin sedang kencang di luar beberapa spanduk yang ada di pinggir jalan terlihat berkibar dengan begitu cepat.

"Ehm."

Aku menoleh dengan deheman itu, dan benar, Mas Ravin manatap ke arahku.

"Jangan terlalu dekat dengan Adam."

"Ha?" aku melongo mendapatkan perintah yang sama untuk ke dua kali. Mas Ravin terlihat serius, meskipun matanya mulai tak fokus. Ada ragu yang tak bisa dia ceritakan.

"Aku sudah berusaha jaga jarak dari Adam, t -. "

"Nggak ada maksud gimana-gimana, Adam laki-laki. Dia terlalu senonoh, kata orang Jawa harus jaga jarak, apalagi iparnya cowok. Sudah besar."

Aku mengernyit, sejak kapan seorang Ravin berpikiran se Jawa ini?

Brak.

Aku mengerjap kaget, pintu mobil belakang tertutup dengan kencang. Pelakunya tidak di ragukan, si dekil.

"Enak ya, adek di suruh bayar belanja kaya pembokat disini tuan sama nyonyanya pacaran. Iri banget, deh."

Aku tersenyum dikulum mendapati wajah super bete milik Adam, siapa yang tidak kesal? Apalagi dia laki-laki. Kasian, tapi sukurin.

"Pokoknya kita sekarang ke alun-alun. Titik, nggak ada koma."

Bocah!

"Enggak, mau hujan."

Tolak Mas Ravin, mulai menyalakan mesin mobil.

"Tadi rencanya begitu! Pokoknya Gua mau kita ke alun-alun. Deket ae loh Mas, jahat banget sama sodara. Kapar, hayuk ke alun-alun."

Ingin sekali tertawa melihat lelaki dewasa merengek seperti anak umur 4 tahun itu, ngajak me alun-alun lagi.

"Rencanamu, bukan rencana Mas."

Adam meraung marah, Mas Ravin diam-diam mengulum senyum. Aku menikmati senyuman itu dengan senang hati.

*****

"Ya Allah, kalau tau begini mending langsung pulang ae. Mana nggak punya tangan buat di gandeng, nggak ada temen buat jalan bareng, nasib hamba gini amat, heran."

Lebay!

Aku dan Mas Ravin memang jalan sebelahan, tapi tidak bergandengan. Tapi, memang lebih kasihan Adam. Pengen ngakak.

Adam menendang apapun di depannya, kerikil kecil dan terakhir kaleng.

"Diam atau pulang jalan kaki. Yang minta ke alun-alun siapa? Yang ngedumel siapa? Yang salah siapa? Lagian, ngapain minta jalan-jalan ke alunalun? Kaya bayi."

Adam terlihat setengah hati menuruti kata-kata mas Ravin. Bibirnya mengerucut lucu, sesekali mendumel lirih. Ternyata laki-laki itu bisa banyak bicara.

Aku menggelengkan kepala saat Adam mengerucutkan bibir kesal. Tapi memang salahnya sendiri.

"Niatnya cari gandengan, biar bisa uwu kaya kalian. Tapi, nggak papa deh, Mas sama kapar juga nggak uwu banget. Jalan aja jaga jarak, udah nikah tapi jari nggak saling taut -.

Bibir Adam mengatup saat tiba-tiba tangan besar Mas Ravin menggenggam tangan kecil ku. Debaran itu, menyapaku di satu malam yang sama. Fiks, besok ke dokter jantung. Dam, bilang makasih atau gimana akutuh di posisi ini.

"Gimana? Makin iri?"

Aku menelan ludah, membuang pandangan ke arah lain. Gelap, tapi aku yakin wajahku terlihat merah. Kami bertiga sama- sama mendongak ketika air turun. Hujan. Seketika kami berlari dengan tangan Mas Ravin yang masih menggenggam tanganku, untuk mencari tempat berteduh. Sampai batu jamur raksasa menjadi satu-satunya media terdekat untuk berlindung. Satu tanganku yang tidak di genggam Mas Ravin menggosok bahu, ketika hawa dingin mulai menusuk kulit. Semua ini gara-gara Adam.

"Sini," perintah Mas Ravin.

"Ha? Apa Mas?"

Aku menyerahkan kedua tanganku. Dengan cepat ia menakup kedua tanganku dalam genggamannya lalu meniup-niup memberi kehangatan di tengah rasa dingin. Jujur, aku tersentuh.

"Dam, lepas jaket mu

Perintah Mas Ravin, yang langsung di tolak oleh Ada

"Ogah, dingin loh Mas. Siapa suruh keluar nggak pake jaket"

"Cepet." perintahnya.

"Mas, dingin." Adam enggan mangalah.

Tatapan Mas Ravin menajam, adik ipar tengilku itu membuka jaket perlahan dan menyerahkan meski tidak ikhlas.

Ku kira ia akan memakainya, tapi ternyata...

"Pakai."perintahnya.

Aku mengerjap. Beneran?

"Nggak papa, Mas. Nggak dingin kok. Biar di pakai Adam saja."

Mas Ravin tak menghiraukan, tetap meminta aku untuk menerima jaket Adam.

"Dingin?"

Aku menggeleng, tentu saja bohong. Karena hawa dingin ini sudah membuat hidungku sedikit demi sedikit tersumbat.

"Hujannya lebat banget, bakal lama kalau nunggu reda. Kamu udah pucat, Rin. Gimana kalau kita lari ke mobil?"

Aku menggeleng, dia sendiri juga terlihat sangat pucat.

"Mas juga pucat. Kedinginan juga?"

Ia menggeleng, lalu menatap langit. Hujan masih sangat deras. Hawa dingin lebih terasa menusuk ketika hembusan angin menghampiri.

"Aku juga kedinginan loh ya. Ko nggak di tanyain. Nasib." omel Adam. Aku pura-pura tidak dengar .

"Trabas aja?" Tanya mas Ravin, aku menggeleng.

"Mas, nunggu reda ae lah. Kalaupun kita lari, ya bakal basah di tengah jalan. Areanya juga jadi licin. Bahaya."

Kilah Adam.

Aku mengangguk, membenarkan ucapan Adam. Meski kini rasa dinginnya lebih terasa. Aku menggosok dua tanganku. Memberi rasa hangat. Hidung gatal, tersumbat membuat aku tiba-tiba bersin.

"Sini. Dingin banget,ya?"

Mas Ravin menarik tanganku agar tubuh kami berdekatan, tak di sangka, lelaki itu melingkupi tubuhku dengan lengannya. Hangat. Dia menggosokkan kedua tangan lalu di tangkupkan ke pipiku, ini cukup menyamarkan rasa dingin.

"Tidak alergi dingin,kan?"tanyanya. Aku menggeleng.

"Enak mbak?"

Aku menoleh ketika Adam yang bersuara, wajanya sengit,iri dan tak nyaman membuat ku ingin tertawa.

"Mas,oke?"

Dia mengangguk, aku diam selanjutnya.

Canggung tapi nyaman. Dan aku menikmati debaran dada Mas Ravin, meski samar oleh gemericik hujan. Tubuh mas Ravin terlalu nyaman dan hangat untuk di tolak pada kondisi sedingin ini.

"Astagfirullah, cobaan macam apa lagi ini ya Allah?!" Adam berteriak kecil.

Aku terkikik dalam diam, sukurin!

"Adam oke?" tanyaku,kasihan tidak di anggap.

Aku semakin mengeratkan pelukan, dan mas Ravin juga. Berbunga. Satu kata yang kini memenuhi relung batin ku.

Adam meremas rambutnya, lalu membuang muka memeluk tubuh jamur. Ngenes.

"Mas, Mbak. Nanti saja kalau di rumah bisa pelukannya? Ada aku loh, disini."

Bodoamat!

"Mbak, Mas, ikut."

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status