Share

Bukan masalah besar

"Boleh?"

Aku mengangguk dua kali, berjalan mendekat ke arah mas Ravin.

"Disini?" tanyaku.

"Agak ke samping." jawabnya. Aku menurut, mengikuti instruksi nya.

"pusing?" tanyaku.

Dia berdehem untuk jawabannya. Aku menghela napas, saat ku rasakan dia berdiri.

"Makasih, maaf ngerepotin."

Aku ingin menjawab, tidak. Sama sekali tidak repot. Tidak masalah kalau pengen di pijit setiap hari. Tapi suaraku tidak keluar,hanya sampai di tenggorokan. Kemudian ku lihat dia mengambil kapsul di laci meja.

"Mau pakai air,atau roti minum obatnya?"

Tidak menjawab, dia hanya menggoyangkan tangan dan keluar. Mungkin untuk mengambil air. Kan nyesek. Di tolak lagi. Nggakpapa.

*******

Kepalaku mengangguk untuk yang kesekian kali. Mama Luna sedang berbaik hati mengajarkan kepadaku bagaimana cara merawat bunga di pekarangan belakang. Aku takjub dengan pengetahuan mama mertuaku kali ini. Beribu macam bunga ada disini. Dan dia hebatnya, beliau tau nama masing-masing nona jelita yang kini di basuhnya dengan penuh cinta.

"Kamu percaya kalau mereka akan mekar dengan indah dengan kita memegang masing-masing kelopaknya setiap hari? Seperti ucapan selamat pagi. Hm?"

Tanya beliau dengan mata masih menatap lurus bunga bugenvil ungu yang unyu-unyu. Alisku naik, berarti tak paham sepenuhnya dengan apa yang dikatakan. Bunga, ya bunga. Mereka tidak punya telinga, kan?

"Mereka memang tidak punya telinga, tapi mereka ciptaan Allah, yang pastinya dikaruniai perasa. kamu nakal juga, ya."

Mama Luna, melirik kearahku.

Aku unjuk gigi, malu pikiranku di baca mama mertua. Mama Luna kembali berjalan, dengan tak hentinya bibir melengkung sesekali menggumamkan sapaa. Ah, sudahlah.

"Hari ini mau masak apa,ma?" tanyaku.

Mama bukan menjawab, malah menepuk keras keningnya.

"Astagfirullahal'adzim, Karina! Mama lupa, ish, kenapa tidak di ingatkan? Kamu ini, benar-bentar."

Aku? Plis deh, mama. Apa? Apa yang harus diingatkan?

"Nanti Adam pulang, kita belum masak. His lah, hayu masuk. Bantu mama masak." lanjut beliau dengan tangan menarik lenganku.

"Adam itu, siapa ma?"

Aku bersuara, mama Luna menatapku aneh, lalu kemudian menghela napas. Seperti mengingat sesuatu.

"Ah, maaf, mama lupa. Seharusnya adikmu mengenal Adam."

Hatiku tersentil. Sebegitu dekatnya Nasya pada keluarga Mas Ravin. Lalu? Kenapa dia tega menyakiti mereka? Astagfirullah. Aku tersenyum menanggapi mama yang terlihat segan. Mungkin sungkan, karena mengira aku Nasya yang sudah tahu hampir seluruh keluarga mereka. Aku mendesah. Pikiran negatif rata berkeliling memenuhi otakku, sampai ocehan mama memenuhi indra pendengarku, lagi. Beliau dengan cekatan memberirahu bagaimana cara memasak yang sedap. Tak lupa memeberi tahu, apa yang di sukai dan tidak disukai suamiku. Kembali membahas tentang buah hijau berbau tidak sedap lagi.

"Adam itu adiknya Ravin, dia kuliah di Luar negeri. Kemarin waktu acara belum bisa hadir, karena disana cuacanya buruk."

Aku mengangguk mendapat informasi dari mama.

"Dia tau, kalau acara kemarin kacau?" tanyaku.

"Belum, kan nggak ada yang posting kemarin,Rin."

Aku tersenyum di kulum, iyalah kemarin kan aib, masa di umbar?

"Assalamualaikum."

Aku dan mama saling pandang, mendengar salam dari arah depan. Dengan langkah seribu mama berlari meninggalkan tumisan. Hais, kaya perawan ketemu gebetan. Selanjutnya aku beristigfar lalu mematikan kompor. Menyusul ke depan. Di ruang tamu, aku melihat dua sosok lelaki tampan berdiri disana. Bedanya, satu raga terengkuh dalam pelukan hangat mama Luna. Wanita itu tak hentinya mengecup inci demi inci wajah tampan itu. Satunya lagi, berdiri menyilangkan tangan ke dada. Mengawasi drama di depannya , dengan senyum tak lepas dari bibir merah mudanya. Duh, tampannya suamiku. Hatiku memuji, kesekian kali wajah ranum milik Mas Ravin. Eh? Tapi kok rada aneh.

"Karin, ngapain? Sini."

Aku tersentak, tiga pasang mata mengarah menatapku. Wajah baru itu menatapku aneh, lalu nyengir. Dekil, tapi tampan. Terlihat sangat kekinian.

"Wah, mama baik banget sih! Dateng-dateng udah disiapin mantu, cantik ma! Mas, ini hadiah yang mas janjiin waktu Adam nggak bisa Dateng ke nikahan? Siap atuh di hadiahin sekarang. Adam nggak nolak kalau hadiahnya bidadari. Adam mau nikah sama dinda kirana."

Plak.

Aku hampir terbahak, melihat adegan mama menjitak kepala Adam gemas. Mas Ravin datar. Senyum hilang dari bibirnya. Sedikit mendung naik ke puncak kepalanya.

"Ini kaka ipar kamu, enak aja mau di nikahin. Namanya Karin, bukan kiran. Kenalan, gih."

Mata Adam membola mendengar penuturan mama, aku paham.

"Istri lo? Mas nggak mungkinkan? Adam tau gimana wajah mbak Nisya. kalaupun pakai jilbab wajahnya pasti beda kecuali oprasi plastik. Oprasi plastik? Pakai hijab lagi sekarang. Gue yang lupa, atau emang bini lo makin cantik?" ujar Adam, meneliti wajahku tapi bertanya ke Mas Ravin.

"Mas mau mandi, kamu istirahat aja, besok lanjut kenalannya."

Ujar Mas Ravin, melangkah masuk kamar namun dengan tangan meraih tanganku dan menariknya pelan.

"Eh, bentar. Kan belum kenalan.''

Adam mencegah, meraih tangan mas Ravin. Lalu menatapku ketika langkah kami berhenti.

"Kenalin, Adam. Adik ipar mbak Kiran yang paling ganteng." Ujarnya. Aku tersenyum, lalu mengangguk. Ingin melepaskan tanganku yang di tarik mas Ravin tapi lelaki itu malah semakin mengeratkan pegangannya.

"Karin. Bukan Kiran."

Adam menggaruk belakang kepalanya, lalu kembali tersenyum.

"Salam kenal mbak, Adam harap kita bisa lebih dekat."

Puk.

Kembali wajah Adam meringis, satu pukulan kembali menyapa punggungnya. Siapa pelakunya? Mama lah, masa iya Mas Ravin.

" Di jaga mulutnya, lihat itu suaminya udah mau nyakar kamu. Lebih dekat gundulmu itu."

Aku tertawa, Adam mengejek ke arah mas Ravin. Lalu aku menoleh dan mendapati wajah mas Ravin datar tanpa senyum, matanya jelas menyiratkan rasa tidak suka. Tidak suka aku akrab dengan keluarganya? Tidak mau aku lebih dekat dengan adiknya?

Hatiku menciut, sebegitu tak inginkah ia, jika aku dekat dengan keluarga dekatnya? Dadaku panas, sesak. Sampai mata terasa kebas. Aku kuat. Nggak, jangan nangis. Perintahku pada dri sendiri. Entah kenapa perasaanku tiba-tiba main disini. Menyebalkan. Kami tetap bergandengan tangan ketika masuk kamar. Aku di dudukan di kursi rias depan lemari. Lalu dia melepas jas, dan dasinya. Menggulung lengan kemejanya, lalu menatap ke arahku.

"Jangan terlalu di tanggepin."

Aku mengangguk menghadap kaca. Derap langkah mendekat.

Aku mendongak, tepat ketika mata elang itu menatap bola mataku. Aku langsung menunduk.

"Maaf," gumamku.

Mas Ravin diam, aku mendengar napasnya kasar. "Astaghfirullah..." kudengar ia beristigfar.

"Maaf, Hari ini saya sangat lelah. Kamu istirahat. Jangan terlalu nanggepin Adam."

Setetes air mataku jatuh, eh. Kenapa aku secengeng ini? Cepat aku mengusap pipi dengan punggung tangan. Tiba-tiba selembaran kain putih melayang di antara mataku. Dia duduk di lantai, dengan posisi menyamai tinggi tubuhku yang duduk di kursi.

"Kenapa?"

Tanyanya, aku menggeleng, menerima sapu tangannya, lalu mengusap bersih sisa air mataku di pipi. kemudian mengangkat wajah, menatapnya. Memaksa senyum.

"Maaf sudah setuju permintaan mama, tapi Mas Ravin tenang aja, ini semua Karin lakukan untuk menjaga hubungan baik keluarga kita, muru'ah keluarga kita, nggak lucu, kan? Kalau gosip beredar putra sulung keluarga Abraham di tinggal lari di hari pernikahan oleh putri bungsu keluarga Mahesa."

"Kamu jangan salah paham, Saya bukannya nggak suka kamu dekat atau akrab sama keluarga."

Ku lihat tangannya sedikit menekan perut bagian kiri. Tapi tak ku hiraukan. Lelaki itu meringis usai berkata demikian.

"Stt, Allah." Lirihnya. Aku beranjak menuju laci, mengambil minyak kayu putih seperti kemarin.

"Aku mau menyiapkan makan malam dulu. Mas sudah makan di kantor?" Tanyaku, dia mengangguk. Sebenarnya tak yakin, tapi aku tak ingin menanyakan lagi untuk malam ini.

"Mas Ravin butuh obat?" tanyaku.

Entah aku salah paham,atau tidak mengerti sikapnya yang jelas malam ini aku sedikit terluka dengan sikapnya. Saat ia kembali menggeleng, aku mengangguk. Lalu meraih lengannya tanpa persetujuan dan membimbingnya untuk duduk.

Aku berusaha tersenyum, mengingat perasaanku sudah mulau tumbuh pada sosok yang selalu ku temui di sisi ranjang pembaringan kala mata terbuka, meski jarak masih terenggang du antara kita. Dia diam. Wajahnya tak bisa ku deteksi menampilkan raut apa.

"Mas istirahat saja, Karin mau bantu mama Luna."

Pamitku langsung neninggalkannya, tak sanggup lebih lama lagi berhadapan dengan wajah tersiksa miliknya. Bukan karena sakit, tapi lebih ke perasaan lelah yang belum bisa ku definisikan.

"maaf."

Aku sakit mendengarnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status