“Raja bagaimana keadaanmu sekarang? Oh ia aku membawakan buah. Tadi juga aku meminta Ibu untuk aku membuatkan segelas susu hangat untukmu. Mari Raja aku bantu untuk minum,” ucap Bunga sambil membantu Raja meminum segelas susu buatan Bunga.
“Raja selain desakan Bunga, kami kemari juga atas desakan Pak Broto. Beliau ingin ikut menjengukmu pagi ini, kami sudah bilang kepada beliau kalau kau ingin istirahat seminggu. Tetapi beliau memaksa untuk ikut dengan kami kemari,” ucap Agung yang tengah berdiri di samping Bunga.Pak Broto adalah yang memiliki agensi penyalur tulisan-tulisan atau novel dari Raja dan kelima kawannya. Beliau yang mempunyai Channel orang dalam untuk novel dari Raja dan kawan-kawannya menjadi sebuah naskah sinetron.“Selamat Pagi maaf Ibu Juariah saya lancang masuk tanpa permisi. Tapi saya tadi sudah meminta izin pada Pak Khotim untuk masuk ke dalam kamar ini. Tidak apa ya Bu Juariah, saya hanya ingin mengetahui kondisi rekan saya Raja saja,” tutur Pak Broto yang langsung duduk di samping Bunga.Raja hanya tersenyum dan Raja memang tahu benar kalau Pak Broto sebenarnya menyukai Bunga. Pak Broto juga seorang bisnis man kaya raya dan juga singgel father alias seorang duda muda.Maka dari itu selama ini ribuan kali serangan rayuan atau perhatian Bunga kepadanya. Raja tetap tak bergeming untuk melanjutkan rasa cinta Bunga kepadanya.Walau sebenarnya Raja juga menaruh hati pada Bunga. Tetapi Raja lebih mengesampingkan kepentingan pribadinya dan rasa cintanya pada Bunga telah ia pendam.Raja lebih mementingkan kebutuhan perut sahabat-sahabatnya. Sudah barang tentu kalau Raja menyahut rasa cinta Bunga. Pasti semuanya akan berantakan, sebab Pak Broto adalah tipe cowok yang cemburuan parah.Apalagi dia punya uang dan kuasa, tentu bisa saja dia menyuruh orang untuk menyelakai sahabat-sahabat Raja. Kalau Raja sendiri dia mungkin bisa mengatasi orang suruhan Pak Broto. Sebab dia juga ahli bela diri dan ahli silat.Tetapi ujung-ujungnya pemboikotan atau pemutusan kontrak kerja. Tentu akan berbuntut panjang pada kelima temannya. Apa lagi Roni dan Siti baru saja membina rumah tangga. Tentu mereka masih butuh uang banyak untuk kebutuhan sehari-hari.Tiba-tiba Paman Waluyo datang dengan tergesa-gesa. Beliau membawa pesan dari Pak Bandi. Paman Waluyo adalah anak Kakak Ipar dari Pak Khotim. Walau dia lebih muda dari Almarhum Danang dan lebih tua setahun dari Raja.Tetapi Ayah dari Paman Waluyo lebih tua dari Pak Khotim. Maka dalam silsilah keluarga di Jawa secara tradisi. Raja harus tetap memanggil Paman pada Waluyo.“Assalamualaikum maaf semua mengganggu keintiman persahabatan dan keintiman bercanda kalian. Saya membawa kabar dari Pak Bandi. Kata beliau meminta tolong pada Nak Raja untuk menenangkan Aisyah yang terus berteriak-teriak tak karuan sambil memanggil nama Danang,” tutur Paman Waluyo.“Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh Mas Waluyo. Lah terus Raja menenangkannya bagaimana, wong Raja bukan Danang mana bisa,” sahut Ibu Juariah berdiri menghampiri Paman Waluyo.“Benar sih Mbakyu tapi bagaimana lagi. Kalau kita tidak mengiakan nanti kita tidak enak hati juga. Mau ya Raja pergilah dulu ke rumah Pak Bandi. Sementara kita sekeluarga merundingkan tentang turun ranjang atau kemungkinan kamu menggantikan Danang sebagai pengantin laki-laki,” tutur Paman Waluyo.Sontak kata-kata turun ranjang dan kata menggantikan Danang sebagai pengantin pria yang terlontar dari bibir Paman Waluyo. Membuat Bunga terenyak sesaat dan menegun dalam kalut secara tiba-tiba.Namun Siti secara cepat mengetahui aroma rasa sesak hati, karena cemburu berlebih dari raut wajah Bunga. Secepat kilat Siti menyenggol kaki Bunga dengan kakinya. Sehingga Bunga lekas tersadar dari lamunan beku nan pahit yang tiba-tiba ada.“Kalau begitu kami memohon undur diri Bu Juariah, Paman Waluyo dan Raja. Masih banyak yang harus kami kerjakan di kantor. Ayo Mas Broto kita balik ke kantor hari sudah semakin siang. Bukankah kita masih ada rapat,” ucap Bunga menyenggol lengan Pak Broto.Pak Broto yang tak terbiasa dipanggil Bunga dengan panggilan Mas. Agak kelabakan bercampur senang langsung berdiri dan memohon pamit.“Oh ia, anu Bu Juariah kami mohon pamit dahulu. Raja saya tunggu kehadiranmu kembali di kantor ya. Tanpa kamu kami tidak bisa berjalan Raja. Sebab ide-idemu itu yang membuat agensi saya besar seperti sekarang ini. Ya sudah ayo rekan-rekan dan mari semua,” ucap Pak Broto berlalu pergi bersama kelima sahabat Raja.Ada riak wajah kesedihan dan rasa tak sampai di mata Raja yang ditangkap oleh Ibu Juariah. Sebab seorang Ibu selalu bisa mengerti rasa hati anaknya.Bu Juariah mengusap kepala Raja sambil tersenyum. Seakan Bu Juariah memberi kode pada Raja dengan senyuman dan berkata sabar dari hati ke hati. Raja jua mengerti arti dari senyuman kecil Ibunya tersebut.Sebab sedari kecil kalau Ibunya sudah tersenyum demikian. Berarti menyuruh Raja untuk tetap tenang dan bersabar. Masih ada Ibu di sini, begitulah kira-kira kalau digambarkan dengan kata-kata dari arti senyuman Ibu Juariah.“Ayo Raja kita berangkat ke rumah Pak Bandi segera,” tutur Paman Waluyo mengajak Raja segera berangkat.“Paman biar aku sendiri saja yang ke rumah Pak Bandi. Aku tahu harus melakukan apa dan harus bagaimana menenangkan Mbak Aisyah itu,” ucap Raja beranjak berdiri dari Ranjang.“Apa tidak apa-apa Raja,” timpal Bu Juariah merasa agak khawatir pada anaknya yang tinggal Raja saja.“Tidak apa Ibu, Ibu dan Paman di rumah saja dengan Bapak dan yang lain. Bukankah kalian hendak merundingkan istilah turun ranjang,” ucap Raja berlalu pergi namun sebelumnya tak lupa berpamitan pada Bu Juariah dan Paman Waluyo.Dengan motor moge sport hasil kerja kerasnya selama ini sebagai penulis. Raja melaju meninggalkan pelataran rumahnya menuju rumah kediaman keluarga Pak Bandi.***Rumah Pak Bandi,“Tidak, tidak, aku tidak mau menjadi janda, aku tidak mau menikah kalau tidak dengan Mas Danang. Mas Danang kembalilah Mas jangan pergi. Kalau Mas Danang tidak ke mari menjemputku. Biar aku yang menyusul Mas ke alam baka,” teriak Aisyah sambil mengacak-acak beberapa rak dan buku dan tempat tidur di kamarnya.“Nak Aisyah tenang Nak semua bisa dibicarakan. Aisyah kamu belum menikah Nak kenapa harus jadi janda. Jangan bicara seakan-akan kamu ingin mengakhiri hidupmu anakku sayang. Ayah bagaimana ini Aisyah, apa Ayah sudah meminta Raja kemari? Raja sangat mirip dengan Danang. Mungkin dengan hadirnya Nak Raja bisa membuat Aisyah tenang,” ucap Ibu Dian yang ikut menangis melihat apa yang menimpa anak gadis semata wayangnya tersebut.“Sudah Ibu, Ayah sudah menitipkan salam pada Waluyo untuk Raja. Kata Waluyo Raja sedang menuju ke mari, mungkin sebentar lagi juga dia datang,” jawab Pak Bandi yang ikut jadi serba salah.Brem, brem, brem,Tiba-tiba terdengar suara motor memasuki halaman rumah Pak Bandi. Secara mengejutkan Aisyah berlari ke luar sambil berteriak-teriak.“Mas Danang, ia ini suara motor Mas Danang. Mas Danang akhirnya kau kembali menjemputku. Bu Mas Danang datang, Ayah Mas Danangku menjemputku,” ucap Aisyah terus berlari ke luar rumah. Sebab dulu saat setiap malam minggu, Danang selalu apel ke rumah Aisyah mengendarai motor milik Raja.“Mas Danang aku cintaku!” teriak Aisyah melompat ke arah Raja yang baru saja turun dari motor.“Hai..,” hanya kata hai yang terlontar dari bibir Raja. Sebab ia hendak membalas dengan kata yang lain sungguh tak mampu. Saat ini dibenaknya hanya rasa bersalah pada Kakaknya. Sebab harus menggantikan perannya di sisi Aisyah.Kantor PT. Broto, Siang yang panas di atas area perkantoran kota Bangzo. Bahkan aspal di setiap depan blok setiap kantor terasa bagaikan memuai saja. Sementara itu di dalam area perkantoran milik Pak Broto. Terdengar sebuah pintu dibanting dan terbuka secara paksa. Brak, “Bandot tua sudah kesal aku dengan tingkah lakumu Broto. Aku berhenti dan aku sudah tidak tahan menutupi perilaku bejatmu itu!” terlihat Bunga dengan pakaian tampak acak-acakan keluar dari dalam ruangan Pak Broto. Berjalan dengan tergopoh-gopoh menuju ke meja kerjanya. Sekali ambil tas dan beberapa peralatannya terkemas sudah. Tampak kedua mata bunga teramat marah. Bahkan saking marahnya ia sampai meneteskan air mata merasa begitu jengkel. Agung yang begitu terkejut sontak berdiri diikuti Ambar dan sepasang pengantin baru Roni dan Siti. Mereka lantas mencegat langkah Bunga untuk keluar dari kantor. Bukan untuk mencegahnya berhenti bekerja, tetapi hanya sekedar bertanya ada apa. “Bunga kenapa, ada apa, apa bando
Malam terlalu larut untuk pulang sebaiknya menginap saja Nak Raja. Begitulah ucapan Bu Dian kepadaku di saat aku ingin berpamitan pulang dari rumahnya. Sempat aku melirik Rindu yang hanya tertunduk lesu dengan tatapan mata kosong di ujung sofa ruang tamu. Kasihan dia betapa sungguh terpukul hatinya akan kematian Mas Danang. “Apakah baik Bu saya menginap malam ini di sini. Sedangkan tetangga-tetangga Ibu sudah kepalang tahu. Jikalau Rindu akan menikah dengan Mas Danang. Apakah tiada kecurigaan berlebihan oleh mereka bila mengetahui aku menginap malam ini,” aku coba menolak dengan cara halus tanpa mengurangi rasa sopan santun dan segala hormat pada seorang Ibu tua di depanku ini. Lalu Pak Bandi segera berdiri mendekati kami yang tengah berdiskusi tentang pulang atau menginap di balik pintu. Aku sudah dapat menebak apa yang beliau katakan. Tentunya beliau juga akan mencegahku untuk pulang dan menginginkan aku menginap saja. “Benar Nak Raja malam sudah sangat gelap untuk berkendara se
Esok pagi menjelang dan aku lekas pergi dari rumah Rindu sebelum subuh datang. Aku masih tidak terbayang betapa aku bersalah dengan mendiang almarhum Mas Danang. Bukankah Rindu hanya milik Mas Danang. Kenapa aku menyentuhnya bahkan untuk seluruh milik Mas Danang yang ada pada diri Rindu. Pagi ini belum teramat terang benar dan aku sudah meninggalkan Rumah Rindu teramat jauh. Namun saat ini aku berkendara dengan keadaan kalut bercampur bingung. Bagaimana bisa istilah Turun Ranjang ini ada di dalam satu adat istiadat tanah Jawa. Bagaimana bisa seorang yang tidak tahu menahu akan satu hubungan yang semestinya bukan milikku. Harus aku miliki dengan suka rela dalam keadaan tiada rasa cinta di dalamnya. Kabut masih menebal dan masih terlalu gelap saat aku melintasi jalan-jalannya. Sejenak roda dua yang aku kendarai menepi di satu trotoar jalan yang aku lintasi. Sekedar melepas penat dengan sebatang dan sebotol minuman kemasan yang dibawakan oleh Bu Dian saat aku berpamitan dengan belia
“Asallamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Asallamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,” Bunga tampak ayu dibalut mukena biru berenda ungu di atas sajadah merah dengan motif bunga-bunga. Matanya teduh agak basah menetes hingga mukena. Kedua tangannya menengadah ke atas dengan segala harap dan memohon. Bibirnya yang masih tampak ranum mulai melafazkan kalimat-kalimat doa, zikir dan selawat. Bagaimana pun jua dia masih ada rasa sayang dan keinginan tetap bersama dengan Raja. Rasa cintanya tetap menggebu-gebu ingin bersatu sejiwa dengan Raja. Tetapi apa daya tangan tak sampai pada lengan Raja yang mungkin di waktu hampir terang ini Raja bersama Rindu jua. “Allah Ya Tuhanku maafkanlah aku bila meminta dengan menangis. Apabila Raja memang benar jodohku maka berilah hamba satu keajaiban untuk bersamanya. Namun apabila memang dia bukan milikku. Maka relakanlah hati ini untuk menjauh darinya,” usapan penuh keheningan dari dua telapak tangan Bunga. Mengusap wajahnya yang ayu alami. Tampak
“Bukankah itu Bunga di dalam taksi. Hendak ke mana dia pagi-pagi begini? Bukankah terlalu pagi untuk bepergian. Apa dia sudah mendapatkan pekerjaan lagi di kota lain?” aku coba memacu motorku agak mendekat ke arah taksi yang dinaiki oleh Bunga. Benar juga Bunga tampak tengah berpamitan pada teman-teman kosnya. Mereka seakan melepas bunga dengan lambaian tangan untuk yang terakhir kalinya. Sejenak aku letakkan motor menghadang laju taksi. Aku sudah tidak peduli hidup atau mati. Bahkan bila pagi ini memang aku harus mati, karena tertabrak taksi. Aku rela agar terlepas semua beban ruwet semrawut di dalam otakku. Aku mulai berdiri menantang maut di tengah jalannya. Bila memang Bunga akan pergi aku harus meminta maaf padanya. Mungkin juga ia pergi tak akan kembali ke kota ini lagi. Tentu aku tak ada kesempatan untuk bertemu dia lagi. Bahkan untuk mengucapkan kata maaf aku harus rela mengorbankan seluruh hidup dengan menantang maut. Sebenarnya lakon apa yang aku jalani? Sebenarnya milik
“Siapa sih yang usil sepagi ini, masih belum jam enam loh ini. Woi sini maju sekalian ambil orangnya jangan motornya saja. Kita duel satu lawan satu kalau kalian memang berani!” aku agak bingung bercampur kesal sambil teriak-teriak tak karuan sendiri di area tempat parkir pemakaman. Namun suasana hening masih saja tercipta tiada suara. Walau ada suara hanya ada suara jangkrik dan suara kodok yang senang akan datangnya hujan kala subuh tadi. Lalu aku mendengar suara langkah yang menginjak dedaunan. Tak jauh dari tempatku berdiri sambil kebingungan mencari motorku yang hilang. “Oh kalian mau main-main ya sama saya. Baik tunggu saja di situ dikira aku takut dengan kalian. Berapa pun jumlah kalian aku layani. Kalian jual aku borong, bukan lagi aku beli,” lantas aku berlari ke arah semak belukar sebelah luar pagar pembatas area makam dan jalan raya. Saat aku sudah benar-benar ingin mengambil dua sosok bayangan yang tengah mengintip dan mengendap-endap beberapa waktu lalu. Ternyata juga
Pagi itu Rindu membuka mata dari terpejam lelapnya semalam. Matanya berputar sekali mencoba menyibak keheningan suasana kamarnya. Tak lagi ia dapati sosok yang ia kira adalah Danang. Namun sebetulnya adalah Raja bukanlah Danang. “Kenapa kau pergi meninggalkan aku lagi?” riak hati Rindu mulai tersentak dalam. Sayatannya mulai kembali terbuka lebar. Rasa amat perih di lubuk sanubari mulai tumbuh lagi. Sepi kembali berjajar bagai satu raksasa besar dengan cakar-cakar tajam menghardik Rindu. Setidaknya begitulah khayalan yang tercipta dalam otaknya pagi ini. Tubuhnya masih lusuh lemas sebab ia merayu Raja yang ia anggap Danang semalam. Sebab ia menginginkan sepenuhnya Raja yang ia anggap Danang menjadi miliknya selalu di sisinya. “Kamu pergi ke mana Mas Danang?” Rindu bersandar pada dinding di atas kasurnya. Tubuhnya mulai menggigil dan ia balut penuh dengan selimut putih bergaris-garis hitam dan mulai bersendiku. Entah kenapa setelah kematian Danang, air mata Rindu seakan tiada
“Bro mau ke mana tunggu dulu lah. Kita seduh kopi bareng lagi seperti dulu. Kebetulan aku bawa dua bungkus kopi dari gang depan. Kangen juga aku bicara berdua denganmu. Aku cari-cari enggak ada, eh ternyata ada di sini. Tidak apalah walau di depan area makam jadilah,” begitulah Agung berteriak memanggilku dari kejauhan. Tampak ia membawa satu kantung keresek berisi dua bungkus kopi hitam. Setelah dia tepat di sampingku malah memelukku erat. Seakan kita lama sudah tidak bertemu atau seakan ini adalah satu salam perpisahan antara teman. “Apa sih Gung kamu ini, kayak aku cewek saja tiba-tiba main peluk, hi najis! Ada apa sih Gung. Ada apa seolah kamu mencariku dan ingin mengatakan hal penting saja?” aku mencoba menarik pembicaraan biar Agung mengatakan maksud dan tujuannya langsung. “Ets, selo Boy jangan terburu nafsu. Kamu ini Raja sudah berubah sekarang ya. Bahkan kita berlima sudah tidak lagi berkumpul seperti dahulu. Bunga sudah pergi pulang ke kampungnya dan tak akan kembali. Ron