Share

5. Itu Baru Permulaan

“Akh!” Hania mendesis kesakitan. Dalam sekali gerakan, dirinya kini bersandar pada tembok, terkurung tubuh bidang Zico. Kulit wajahnya terasa memanas karena cengkeraman jemari Zico saat ini.

“Lepas bajingan!” pekik Hania dengan ekspresi menahan sakit.

“Ya, memang si bajingan itu harus kau lepaskan.” Zico seolah bodoh dan mengalihkan maksud Hania.

“Zico, sakit!” Hania mengadu dengan wajah yang mulai berlinang air mata.

“Menyedihkan.” Zico melepas kasar cengkeraman kasarnya dari wajah Hania.

Hania terlihat bergetar ketakutan sembari meraba wajahnya yang kebas.

“Ck. Kenapa jadi seperti ini? Mana keberanian dan keangkuhan yang tadi kau tunjukkan, hem?” Zico memasang wajah sinis.

“Dasar sok keras.” Zico menyambung perkataannya.

“Entah bagaimana cara orang tuamu mendidik gadis sepertimu, sampai-sampai sudi menjadi selingkuhan suami orang. Kalau aku jadi dirimu, lebih baik tidak usah kuliah. Percuma mengejar pendidikan tinggi-tinggi, kalau martabat sendiri direndahkan.”

“TUTUP MULUTMU, ZICO!” Hania berteriak sangat kencang. Beruntung, lorong di sana jauh dari jangkauan para mahasiswa. Kecuali saat sedang ada kegiatan berbau musik.

“Silahkan menghinaku dengan brutal. Tapi satu hal, jangan bawa-bawa orang tuaku, Zico. Kau tidak tahu bagaimana mereka mendidik anak-anaknya dengan sabar dan penuh perjuangan, kau tahu apa soal itu semua, hah?!” Hania berbicara dengan napas tersengal.

“Dan untuk hidupku, kau ataupun sebagian orang mungkin berpikir semua itu bukanlah apa-apa. Tapi bagiku, berada di titik ini perlu perjuangan yang tak mudah.”

“Berbeda denganmu yang dilahirkan di tengah keluarga berpunya, aku hanya anak dari seorang petani. Semua orang memiliki kapasitas hidup yang berbeda, dan kau tidak pantas menilainya rendah. Karena kau tidak tahu, seberapa maksimalnya mereka berjuang demi semua itu,” ucap Hania meluapkan semua kekesalannya yang bersarang sejak kemarin. Apa yang dilontarkan Hania, terbentuk karena hinaan dari pria di hadapannya ini.

“Aku tahu, jangan mengajariku. Aku tahu semua orang punya kapasitas hidup masing-masing. Setidaknya, kalau sudah sulit ekonomi, jangan sulit sadar diri.” Zico memutar bola matanya malas.

“Laki-laki di dunia ini banyak Hania, bahkan yang sederajat denganmu pun tak sedikit. Apa susahnya kau melepaskan Daviandra untuk adikku? Jika kau butuh uang, sebutkan saja nominalnya, aku akan membayarnya agar kau tak merasa dirugikan,” sindir Zico. Pria itu menatap hina gadis di hadapannya.

Hania yang ditatap seperti itu merasa tidak suka. Dengan kasar, jemarinya menghapus jejak air mata di kedua belah pipinya. Ia mendongak, menatap tajam wajah Zico. Hania tak habis pikir, memang Zico kira Daviandra itu barang yang bisa dialihkan dan dibayar begitu saja.

“Berapapun nominalnya, akan aku bayar.”

“Memang mudah untuk orang sepertimu, memaksakan kehendak pada orang lain. Tanpa memikirkan perasaannya,” sergah Hania dengan senyuman menjatuhkan.

Terlihat Zico kembali mengeraskan wajah.

“Kenapa kau marah, Zico? Aku tidak salah bukan?” Hania mengembangkan senyum manisnya. Sayang, maknanya tak semanis itu.

“Sebaiknya, kau selidiki dulu adikmu. Mengapa bisa Daviandra lebih tertarik padaku yang notabenenya gadis kampung, daripada Larasati yang kau sebut-sebut sempurna itu. Terkadang, yang cantik di luar belum tentu cantik juga dalamnya,” ucap Hania sembari memaksakan senyuman penuh air di bibirnya.

Wajah menyebalkan Zico semakin meredup, digantikan dengan wajah datar tanpa ekspresi. Sepertinya Hania benar-benar kembali memanggil sisi iblis pria itu.

“Em, mungkin adikmu itu—“

“Emmmh!”

Perkataan Hania terjeda secara paksa karena bibirnya yang langsung dibungkam kasar oleh Zico. Dengan cara salah, yang kembali mengundang jejak air mata dari kelopak mata indah Hania.

Ya, Zico membungkam mulut Hania dengan bibirnya. Pria itu melumatnya dengan sangat kasar dan tanpa perasaan. Rasa asin ciri khas dari darah pun mendominasi kegiatan mereka

Setelah merasa Hania hampir kehabisan napas, Zico menjauhkan wajahnya. Setelahnya, terdengarlah isak tangis Hania yang begitu memilukan.

“Jangan coba-coba berani menghina adikku, atau aku bisa melakukan hal yang lebih padamu daripada ini!” tegas Zico.

Hania mendorong kasar tubuh Zico, lalu mendaratkan tamparan sebanyak dua kali dengan gerakan cepat.

“Dasar, iblis!” makinya dengan suara menggema.

“Ya, aku memang iblis yang siap menghancurkan hidup perempuan tidak tahu diri sepertimu,” balas Zico dengan tenang.

“Kau tidak punyak hak mengatur hidupku. Jadi mulai detik ini, berhenti mencampuri urusanku apalagi sampai memerintah hidupku. Dan soal adikmu dengan Daviandra, aku sama sekali tidak keberatan. Lagipula, poligami bukanlah hal yang dilarang bagi seorang pria yang mampu, bukan?” Senyuman jenaka tercetak jelas di bibir ranum Hania yang sedikit membengkak akibat ulah bejad Zico.

Setelah mengatakan hal itu, Hania memutuskan untuk pergi dari sana. Lama-lama di sana akan membuat ia kehilangan kewarasannya. Dengan sengaja Hania juga menabrak tubuh Zico dengan tubuhnya agar menyingkir dari jalannya.

“Coba saja kalau berani, kau akan tau akibatnya bitch!” Geraman dari bibi Zico sekilas masih terdengar di telinga Hania. Akan tetapi, ia memilih tak peduli pada semua itu.

Setelah dari lorong gedung musik, Hania pergi ke toilet. Di dalam sana, tangis gadis itu pecah.

Hidupnya sudah sulit, kini ditambah dengan kesulitan yang baru.

“Ibu, Hania takut!” Jeritan itu tertahan dalam hati Hania. Jika saja ia tak memikirkan masa depannya, mungkin Hania akan pulang kampung saja dan meninggalkan pendidikan berserta semua masalah yang menjeratkan saat ini.

Beberapa menit kemudian, Hania baru saja kembali dari kantin membeli satu botol air mineral. Rasanya tenggorokan Hania kering selepas berdebat dengan jelmaan iblis, seperti Zico tadi.

“Eh, ini bukannya Daviandra. Wow, dia baru nikah belum seminggu tapi sudah peluk- peluk perempuan lain. Laki-laki memang tidak pernah cukup dengan satu wanita ya.”

“Siapa sih, perempuannya? Kenapa harus disensor gitu mukanya?”

“Iya, penasaran secantik apa sih, sampai Daviandra berpaling dari istrinya. Padahal, Larasati itu sudah sempurna menurutku.”

“Yang pasti bukan Larasati lah. Kamu gak lihat, mereka bertengkar di sana.”

Hania memelankan langkah kakinya ketika melewati mading. Bola matanya membulat sempurna saat melihat beberapa pasang foto sepasang kekasih, sengaja ditempel di sana. Ya itu adalah fotonya bersama Daviandra. Wajahnya disamarkan, dan pakaian yang digunakan olehnya kala berfoto waktu itu adalah pakaian yang tak pernah ia gunakan ke kampus.

Sebisa mungkin Hania menahan ekspresi wajah, agar tak membuat semua orang curiga bahwa dirinyalah sosok yang berada di foto tersebut.

Pandangan Hania mengedar. Tak jauh dari mading, ia melihat sosok Daviandra sedang berusaha menenangkan Larasati yang kala itu bergerak memukul-mukul dada pria di hadapannya. Sepertinya mereka bertengkar karena foto-foto itu, yang berhasil menggemparkan satu fakultas dalam hitungan menit.

Hania mengepalkan tangannya. Ia tentu sudah tahu siapa dalang di balik semua kekacauan ini. Ternyata Zico tidak bisa dianggap remeh.

Sembari mengepalkan sebelah tangan, Hania melangkah pergi dari sana. Tujuannya saat ini adalah fakultas teknik ruang kelas A5. Kelas yang ia yakini adalah kelas Zico.

“Permisi.”

Semua atensi penghuni kelas A5 kala itu tertuju pada ambang pintu, lebih tepatnya pada sosok Hania.

Salah satu kelas teknik yang hanya dihuni oleh laki-laki itu terasa sunyi. Beberapa orang di sana saling tatap. Sedangkan sisanya setia berbaring entah tertidur atau malas berbaur dengan keadaan yang tersaji.

“Maaf, Kak. Cari Kak Zico.” Hania mengungkapkan tujuannya berada di sana.

“Oh ....” Terdengar balasan paham dari beberapa orang di sana.

“Tom, bangunin si Zico!” titah pria berbadan gemuk kepada salah satu dari mereka.

“Masuk saja, sini. Siapa namanya? Gue Sandi.” Seorang dari mereka mengulurkan tangannya. Tak ingin dikatakan tidak sopan, Hania pun membalas uluran tangan pria itu.

“Hania,” jawabnya.

Tatapan Hania berpindah pada sosok pria yang sedang membangunkan Zico. Saat itu terdengar geraman sosok yang dicarinya, pertanda Zico sudah bangun.

“Ada yang nyariin, namanya Hania.”

Apa yang disampaikan oleh Tomi, membuat Zico bangun dan spontan melompat dari meja. Pria itu kini sudah berdiri, dengan rambut acak-acakan khas bangun tidur.

“Zic, siapa itu?”

“Kirain selera dia yang glamoran doang.”

Bisik-bisik dari teman-teman Zico pun terdengar.

“Bukan siapa-siapa. Kenapa tanya-tanya? Minat sama dia? Tinggal request jam gampang kan,” balas Zico dengan senyum mengejek melirik teman-temannya.

Tak ada lagi yang bersuara. Teman-teman Zico bungkam. Bukan tak mengerti maksud perkataan Zico, hanya saja mereka tak begitu yakin Zico mengatakan hal semacam itu pada gadis lugu yang wajahnya super natural seperti Hania.

Berbeda dengan para laki-laki itu, darah Hania sudah mendidih.

“Ada perlu apa mencariku?” tanya Zico dengan wajah datar.

“Jangan pura-pura!” hardik Hania.

Melihat wajah berang lawan berbicaranya, Zico tertawa sumbang.

“Masih mau bermain-main denganku, hem? Itu baru permulaan Hania!” Zico menekan setiap perkataannya kala itu.

Dengan tangan mengepal, Hania melangkah mendekati Zico dan langsung menghadiahi pria itu tamparan yang tak kalah kuat dengan yang tadi. Dalam hitungan jam, sudah sebanyak empat kali Hania menampar wajah yang sama. Bahkan saking seringnya, sudut bibir Zico sampai mengeluarkan bercak darah.

“Keterlaluan!” teriak Hania tepat di hadapan wajah Zico dengan napas memburu dan emosi yang meledak-ledak.

Zico belum menjawab apa pun. Pria itu melirik temannya, memberi perintah melalui isyarat, yang Hania sendiri tak tahu apa itu.

Detik berikutnya, pintu ruang kelas ditutup oleh salah satu dari mereka dan diganjal sebuah kursi.

Hania mulai panik. Mengapa pintu harus ditutup? Ditambah, tak ada satu pun perempuan lagi selain dirinya. Hanya ada sepuluh orang laki-laki di sana.

Hania memundurkan langkahnya ketika melihat seringai di wajah Zico, yang menandakan bahwa ia sedang dalam bahaya. Zico adalah tipikal laki-laki yang nekat.

“Argh! Lepas!” Hania memekik ketakutan, saat tubuhnya yang akan berbalik ditarik paksa oleh Zico.

“Zico! Lepasin!”

“Tolong! Tolong!”

Teriakan ketakutan Hania saat itu bagaikan angin lalu semata yang tak didengar oleh siapapun di luar sana. Sedangkan sembilan orang laki-laki lainnya tak mungkin menolongnya lantaran mereka berada di pihak Zico.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status