Share

4. Peringatan Yang Kurang Mujarab

Beberapa hari berikutnya. Setelah selesai mengikuti mata kuliah jam pertama, Hania fokus mengerjakan tugas membuat resume dari dosen yang akan dikumpulkan Minggu depan. Walaupun waktunya cukup lama, tetapi Hania tetap mencuri-curi waktu untuk mengerjakannya. Mengingat malam hari ia tak punya waktu untuk tugasnya, selain pekerjaannya di kafe.

Ting!

Satu notifikasi dari ponselnya berhasil menarik atensi Hania yang sedang fokus pada buku di tangannya.

Daviandra

[Assalamualaikum. Hania, temui aku di tempat biasa. Sepuluh menit lagi aku sampai.”

Hania

[Wa’alaikumssalam.]

Hania hanya membalas singkat pesan Daviandra. Helaan napas berat pun terdengar. Sejujurnya ia lelah dengan hubungan rahasia seperti ini. Terlebih, saat ini keadaannya makin urgent dari sebelumnya. Jika sebelumnya mereka sembunyi-sembunyi karena ia takut dihujat oleh banyak orang, berbeda dengan saat ini yang sangat diharuskan sembunyi-sembunyi lantaran risikonya jauh lebih berbahaya.

Hania merapikan kertas-kertas berisi hasil rangkumannya yang baru beberapa lembar ia tulis itu, ke dalam laci. Setelah keluar dari ruang kelas, ia langsung berjalan lurus. Tak ingin memotong kompas lewat fakultas teknik, takut jika ia akan bertemu dengan pria arogan yang kemarin lagi.

“Untung saja Ana gak di kelas,” gumamnya sambil terus melangkah.

Setelah jam kuliah usai tadi, Ana memang pamit lebih dulu kepada Hania karena akan pergi makan siang bersama kekasihnya. Alhasil, Hania tersisa seorang diri di kelas kala itu.

Ia berusaha untuk lebih berhati-hati, takut seperti yang lalu, di mana Ana mengetahui pertemuannya dengan Zico. Untung saja waktu itu dosen langsung membawakan materi, jadinya permasalahan itu tak jadi diperpanjang oleh Ana. Dan jika yang satu ini ketahuan oleh Ana bisa mampus dirinya.

Pada saat ia sampai di belakang ruang musik, tepat juga bersamaan dengan Daviandra yang baru saja datang.

Pria itu tersenyum hangat seperti biasa saat bertemu kekasihnya. Diraihnya tangan Hania, agar ikut bersamanya mendekati tempat duduk andalan mereka. Jika dulu perasaan Hania menghangat ketika tangannya digenggam oleh pria itu, berbeda sekali dengan saat ini yang justru malah merasakan takut dan was-was. Hania bahkan untuk pertama kalinya melepas tangannya dari genggaman Daviandra.

“Kenapa?” Daviandra menatap gadis yang sangat ia cintai itu dengan sendu. Katakanlah ia cengeng, tetapi beberapa hari ini ia selalu bersandiwara di depan semua orang, berpura-pura bisa menerima sosok Larasati. Padahal kenyataannya, di hati dan pikirannya masih terisi penuh tentang Hania sampai detik ini.

“Aku takut ada yang melihat kita, dan bisa salah paham,” jawab Hania. Mau tak mau, akhirnya Daviandra pun mengangguk setuju.

“Mau apa mengajakku bertemu di sini?” Hania menatap Daviandra lekat.

“Kenapa memangnya? Jelas saja aku rindu padamu Hania. Apa kamu tidak merindukan ku? Oh, atau jangan-jangan kamu sudah mel—“

“Aku juga rindu.” Hania memotong ucapan Daviandra. Ia tak ingin terjadi keributan di sana, yang berakhir keduanya akan ketahuan.

Grep!

Tubuh Hania menegang saat merasakan Daviandra memeluknya. Meski akal menolak, tetapi hatinya menerima tindakan itu. Tanpa diminta, air mata Hania luruh begitu saja. Ia sangat menyayangi sosok pria ini. Lantas, haruskah ia mengikhlaskannya untuk perempuan lain? Tapi bagaimana caranya untuk melupakan Daviandra? Sedangkan perasaannya tak berkurang meski sedikit.

“Ssst, jangan menangis. Maafkan aku Hania. Aku tidak bisa berbuat apapun untuk menolak kehendak orang tuaku.” Daviandra semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh rapuh gadis di dalam dekapannya. Hatinya ikut tersayat sebagai pria yang lemah, dan tak mampu menangkal suatu hal yang pada akhirnya menyakiti wanitanya ini.

“Hania, aku berjanji akan berusaha keras agar hubungan pernikahan ini berakhir. Sungguh aku hanya ingin hidup bersamamu saja.” Daviandra terus mengucapkan kata-kata yang mampu ia ucapkan. Sementara Hania hanya mendengarnya tanpa berniat menanggapi. Gadis itu berusaha meluapkan luka hatinya yang telah ia tutup rapat-rapat. Rasanya, dada bidang pria berumur 24 tahun itu terasa sangat nyaman untuknya agar tak lagi berpura-pura kuat.

Setelah air matanya berhenti, Hania kembali mendapat kesadarannya. Dengan pelan, ia melepaskan diri dari dekapan Daviandra.

“Ini salah. Seharusnya kita jangan seperti ini,” ucapnya dengan suara serak.

“Apanya yang salah, Hania?” tanya Daviandra tak terima.

“Aku tidak mau jadi perusak rumah rumah tangga orang, Davi.” Hania menatap frustrasi pada pria yang saat ini juga tengah menatap kepadanya. Bahkan ia juga sengaja menekan setiap ucapannya.

“Kamu bukan perusak rumah tangga orang, Hania. Tapi kamu—“

“Selingkuhan. Ya, aku hanya seorang selingkuhan di sini, Davi, tidak lebih!” potong Hania dengan napas memburu.

Melihat kemarahan di wajah kekasihnya, Daviandra menggeleng lemah.

“Sudah cukup. Beri aku waktu. Aku tidak ingin bertemu denganmu dulu,” putus Hania.

“Tapi Hania ....”

“Atau, kita benar-benar berakhir.” Hania membuang tatapannya ke arah lain. Berat sejujurnya ia mengatakan hal itu. Akan tetapi, ia merasa harus sedikit tegas pada Daviandra. Semua demi kebaikan keduanya. Jika sampai terbongkar, keduanya akan sama-sama hancur, dan yang paling parah tentu saja Hania.

“Baiklah.” Daviandra terlihat pasrah. Lebih baik ia berhenti dulu sementara waktu untuk tidak menemui gadisnya, daripada harus kehilangannya. Setidaknya, keduanya masih bisa bertukar kabar lewat pesan ataupun telepon.

“Aku harus pergi.” Hania melenggang pergi setelah mendapat anggukan dari Daviandra.

Setelah punggung Hania tak lagi terlihat oleh pandangannya, Daviandra pun spontan menendang kursi yang tadi mereka duduki dengan sangat kuat.

“Argh! Dasar tidak berguna kau, Dav!” erang Daviandra. Pria itu marah kepada dirinya sendiri.

Langkah cepat Hania terpaksa memelan karena di hadapannya ia melihat sosok Zico yang entah kenapa, tiba-tiba sudah bersandar pada tembok sembari menghisap vapor yang talinya melingkar di leher pria itu.

Hania terus melangkah maju dengan jantung yang sudah bermaraton. Tak mungkin juga ia memutar balik dari sana bukan?

“Sepertinya peringatan pertamaku tidak mujarab ya,” ucap Zico tiba-tiba. Dengan sengaja, pria itu menghembuskan asap beraroma melon dari rokok elektriknya itu ke wajah Hania.

Melihat Hania yang hanya berdiam diri dengan pandangan tak tertuju ke arahnya, Zico naik pitam. Pria dengan setelan kaos hitam dan celana senada khas anak teknik itu spontan meninju tembok cukup keras. Hal itu membuat Hania yang tadi mencoba acuh tak acuh pada pria itu, terkejut bukan main.

“Sepertinya kau tidak bisa ditegur dengan cara baik-baik ya?” Zico berjalan memutari tubuh Hania.

Hania seketika diliputi rasa takut dan lelah. Ia benar-benar tak habis pikir, kenapa harus dirinya yang diteror oleh Zico? Memang salah dia apa? Kenapa tidak langsung menegur Daviandra saja kan? Kuliahnya di kampus ini bukan dibiayai oleh Zico, dan bukan pria itu juga yang memberinya beasiswa. Tapi hidupnya seakan berada dalam genggaman Zico sejak kemarin.

Hania memberanikan diri menatap pria arogan tersebut.

“Ck. Dasar murahan.” Hinaan itu dilontarkan oleh Zico.

“Cukup, Zico!” berang Hania marah. Ia bukan perempuan murahan, bahkan sampai detik ini sebagai seorang perempuan ia masih masih mampu menjaga kesuciannya.

“Kenapa? Gak terima? Ya apalagi namanya kalau bukan murahan, yang bersedia dipeluk-peluk suami orang,” cibir Zico.

“Kenapa, Hania? Kau tidak siap kehilangan Daviandra yang selama ini jadi penopang kehidupanmu?” ucap Zico diselingi tawa mengejek.

“Apa kau kekurangan pekerjaan? Sampai-sampai harus menguntit dan ikut campur terus urusan pribadiku?” Hania bertanya dengan raut wajah tak terbaca.

“Dengar ya, Zico. Kenapa kau tidak langsung saja meminta pada adik iparmu itu, agar berhenti menemui aku. Bukankah senior gila hormat sepertimu disegani banyak orang? Oh, atau ... masalahnya ada pada adikmu itu? Kenapa, dia kurang mampu membuat suaminya nyaman, sampai suaminya harus mengemis-ngemis padaku? Ups, kasihan sekali ....” Hania membekap mulut seraya menggelengkan kepalanya pelan, menunjukkan ekspresi prihatin.

Hania sengaja berkata demikian, ia tak ingin ditindas terus-menerus oleh pria arogan tersebut. Memangnya dia siapa sampai berani mengatur hidupnya.

Berhasil, tindakan Hania berhasil membangunkan sisi iblis dalam diri seorang Zico. Terlihat bagaimana kini mata elang itu menatap sangat tajam pada Hania. Urat lehernya pun tampak saking hebatnya pria itu menahan emosinya.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status