"Ya sudah, kamu duluan tidur saja. Aku mau keluar sebentar cari angin. Aku belum bisa tidur soalnya." Amira mengangguk. Aku segera bangkit untuk menuntaskan hasrat tertunda ini. Aku berencana untuk membaca buku yang sempat kubawa tadi. Semoga saja cara itu berhasil."Awww! Ssshh!" Aku memekik sedikit kencang."Kenapa kak?" Amira dengan cepat turun dari ranjang yang membuat ranjang itu berderit kencang. "Kakiku keseleo nih." Aku mengaduh kesakitan. Aku juga bingung kenapa tiba-tiba saja kakiku malah keseleo."Oh bentar kak. Aku ada minyak urut. Aku ambilkan dulu ya." Sementara aku masih mengaduh kesakitan. "Ssshh!" Desisku tertahan. "Ini kak. Aku urut dulu ya." Amira hendak menyentuh kakiku yang sakit. "Eh, emangnya kamu bisa urut?" Amira mengangguk cepat. Aku sebenarnya tidak begitu yakin akan kemampuannya. Namun kalaupun harus memanggil tukang pijat malam ini sepertinya tidak mungkin. "Ya sudah. Pelan-pelan aja ya." Amira pun mengangguk. Amira dengan ragu-ragu menyentuh kaki
Kini kami sudah sampai di rumah kedua orang tuaku. Mereka sangat bahagia sekali melihat kedatangan kami berdua. Ibu tak henti-hentinya mencubit gemas pipi Amira yang gembul. Sedangkan aku sudah seperti anak tiri yang tak dianggap. Ibu memperlakukan Amira dengan sangat baik. Ia bahkan mengajaknya mengobrol bersama di dapur. Bahkan ibuku juga sudah menyiapkan makanan yang sangat beragam di meja makan dengan porsi dua kali lipat daripada biasanya. "Bu, kok makanannya banyak banget? Emang bakal habis?" Tanyaku pada ibu yang saat itu masih asyik mengobrol dengan menantu barunya. "Kan sekarang ada Amira. Ibu nggak mau ya menantu ibu kekurangan makan disini? Ibu sama bapak ini masih sanggup kasih makan kok." "Tapi kan nggak sebanyak itu juga Bu. Kalau nanti dia tambah gend...?" Ibu menggeplak pahaku dengan centong nasi. "Hus! Kalau bicara bisa nggak sih disaring dulu. Tuh di dapur ada saringan gede. Muat tuh di mulut kamu." Ibuku mendelik menatapku."Sakit lah Bu.""Segitu doang sakit!
POV AuthorSesampainya Fadhil di rumah, Amira sudah menyambutnya di depan pintu. Amira cium punggung tangan Fadhil dengan takzim."Baru pulang kak. Sini aku bawain ke dapur." Amira mengambil kresek plastik yang kubawa. "Ya Allah dari belakang aja bentuknya seperti ini. Bukan seksi lagi tapi ini oversize." Fadhil menatap punggung Amira hingga tak terlihat lagi. Tak berapa lama kemudian, Amira datang kembali membawa secangkir teh dan aneka gorengan berupa pastel, risoles, bahkan bakwan pun ada. Amira meletakkannya di meja ruang tamu. "Ayo mas. Dimakan dulu." Amira tersenyum manis kepada suaminya namun sang suami hanya membalas seadanya. "Dikasih makanan lagi. Lama-lama aku bisa gendut kayak dia." Fadhil menggumam kemudian menggeleng lemah hampir tidak terlihat. "Kamu emang suka masak ya Mir?" Tanya Fadhil di sela-sela ia minum teh dan menikmati aneka gorengan itu yang terasa sangat nikmat di lidahnya. "Iya Kak. Aku emang hobi masak. Emang sih nggak jago kayak ibu, tapi nggak terla
Fadhil pun tak lama berada di Jambi. Ia sudah harus terbang ke Bandung untuk mengajar di pondok pesantren kembali. Ibu Fadhil menyayangkan kepergian anak dan menantunya. Padahal ia masih ingin berlama-lama mengenal sang menantu. Namun karena tugas dan amanah yang sudah diemban oleh anaknya, mau tak mau dia harus merelakan keduanya untuk pindah dari rumah itu. "Kenapa sih cepet banget kalian perginya? Nggak bisa apa ditunda sehari atau dua hari lagi gitu?" Bibir wanita parubaya itu mengerucut. "Ya nggak bisa dong Bu. Fadhil kan harus ngajar anak-anak santri juga. Waktu liburan mereka juga sudah hampir selesai. Jadi Fadhil harus kembali ke pondok lagi. Ya kalau liburan semester lagi, Fadhil pulang kampung kok." Kata Fadhil mengusap punggung ibunya. "Tapi kan waktu ibu mengenal lebih dalam istri kamu belum lama juga Dhil. Masa iya langsung diajak merantau? Kesel deh ibu sama kamu!" Ibunya bersedekap. "Lalu, Amira harus aku tinggal disini begitu Bu?" "Ya nggak gitu juga kali Dhil. Ka
Sesampainya di pondok pesantren, pasangan suami istri menghebohkan warga pondok. Tersebarnya berita tentang pernikahan dadakan Fadhil dan Amira membuat berbagai spekulasi. Namun hal itu tidak membuat syok pemilik pondok. Memang sehari setelah acara pernikahan dadakan itu, Fadhil sempat menghubungi Pak Kiyai Ahmad dan Ummi Sarah. Tetapi memang selain kedua orang itu, orang-orang pondok tidak ada yang mengetahui pernikahan Fadhil dengan Amira. "Ja-jadi dia istrimu, Fadhil?" Lirih Ridwan, selaku salah satu rekan pengajar. Fadhil mengangguk lemah. Ia bahkan hanya memainkan jemarinya. Ridwan meneguk ludah kasar saat melirik sekilas Amira yang tengah duduk bersama Ummi Sarah. Sedangkan Fadhil dan kedua temannya, Ridwan dan Munif berada tak jauh dari kedua perempuan itu sedang asyik mengobrol. "Yang bener saja kamu pilih istri, Dhil? Emang stok wanita kurus sudah hilang dari muka bumi, Dhil?" Tambah Ridwan. "Huss! Jangan body shamming gitu lah Wan!" Munif menyenggol bahu Ridwan yang keb
"Maling! Maling! Maling!" Teriak Amira sembari memejamkan matanya.. Ia sampai menghentak-hentakkan sapu itu ke arah pria yang menjerit kesakitan itu. "Awww! Hei! Ini aku Fadhil!" Mendengar hal itu gerakan Amira terhenti. Ia menatap ke arah pria yang baru saja keluar dari kamar itu. Memang benar itu adalah suaminya. "Ya Allah kak. Maaf, aku pikir tadi itu maling. Soalnya pintu masuk tadi nggak dikunci. Aku pikir ada maling masuk." Amira merasa bersalah. Amira menjatuhkan sapu itu ke lantai. Ia menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dadanya dan sedikit membungkukkan tubuhnya. "Makanya lihat-lihat dong. Mentang-mentang tubuhku lebih kecil dari tubuhmu yang besar itu kamu jadi menganggapku aku ini seperti semut yang bisa kamu injak begitu?" "Bukan begitu kak. Tapi aku benar-benar tidak tahu kalau ada kamu di kamar. Maaf ya kak." Amira merasa sangat bersalah. Ia tadi memukul hingga sekuat tenaganya, pastilah tubuh itu terasa sakit. "Sudahlah! Aku mau pergi." Ia hendak menuju k
Fadhil dan Amira sudah hampir dua minggu tinggal di pondok. Mereka tidak seperti pengantin baru pada umumnya. Bahkan selama di rumah, Fadhil tidak mengajak Amira berbicara sedikitpun. Ia lebih memilih menyibukkan diri dengan berselancar di dunia maya. Sedangkan Amira harus gigit jari saat ia mencoba mengakrabkan diri dengan Fadhil namun suaminya itu malah menganggapnya hanya angin lalu.Setelah selesai mengajar, Fadhil tidak langsung pulang ke rumah. Melainkan dia menyibukkan diri dengan membantu para pengurus pondok dalam berbagai kegiatan. Itu semua ia lakukan untuk membatasi interaksi antara dia dan Amira. Hal itu jelas terlihat oleh kedua sahabatnya di pondok. "Dhil, akhir-akhir ini aku lihat kamu selalu menyibukkan diri di kegiatan pondok. Apa kamu nggak rindu sama istrimu?"Fadhil segera menghentikan aktivitasnya kemudian menatap Ridwan tidak suka. "Bukan urusanmu wan!" Fadhil melanjutkan aktivitasnya lagi. "Aku cuma mengingatkan kamu Dhil. Kamu udah punya istri. Bukankah le
Hari demi hari mereka lalui bersama. Namun Fadhil masih juga dalam mode dingin dan tak banyak bicara. Hal itu membuat Amira kehilangan kesabaran. Apalagi selama ini dia tak diberikan uang nafkah sedikitpun. Ia membeli kebutuhan rumah dengan simpanan uangnya sendiri. "Kak!" Namun Fadhil masih diam tak menanggapi. "Kak!" Amira sedikit menyentak. Hingga akhirnya Fadhil menoleh. "Kenapa?" Ia kembali berkutat pada aktivitas membaca bukunya yang itu hanya dijadikan sebagai alibi agar dia tak diajak bicara oleh istrinya. Namun ternyata Amira tetap mengganggunya. "Kenapa sih Kak Fadhil diam terus? Aku ada salah sama kamu ya kak?""Enggak!" Jawab Fadhil singkat. Ia bahkan tak menoleh pada Amira. Amira menghela napas panjang. "Baiklah, kalau begitu bisakah aku minta uang nafkah?""Bukankah selama ini uang kamu cukup untuk kebutuhan di rumah ini? Kamu pun bisa jajan sepuasmu juga? Kenapa sekarang mengeluh?" "Tapi itu kan uang simpananku Kak. Kalau uang nafkah dari Kak Fadhil, aku belum pe