Share

Drama Pengantin Baru

Aku belum beranjak dari pintu yang sedari sudah Amira tutup tanpa kusadari karena aku terlalu banyak melamun.

"Masa iya aku harus melepas perjakaku malam ini juga?" Batinku sembari menelan ludah kasar.

Aku masih terus bergumam dalam hati sampai suara lembut membangunkan ku dari lamunan.

"Kak Fadhil." serunya.

"Eh iya Mir." Aku gelagapan.

"Mau mandi dulu atau sholat dulu? Tanyanya.

"Hah apa katanya? Mandi dulu atau sholat dulu? Maksudnya itu ritual sebelum nganu-nganu?" Gumamku dalam hati. Pikiran jorok itu mulai merasukiku.

"Kak...." serunya lagi.

"Ah iya. Gimana Mir?"

Ia tersenyum menampakkan lesung pipinya yang manis. Tuh kan, aku mulai memujinya secara tak langsung.

"Kak Fadhil mau mandi dulu atau sholat dulu?" Tanya Amira kembali.

"Mmm.. mandi dulu aja deh." Tukasku.

"Baiklah, saya persiapkan dulu baju gantinya. Tapi.." ucapannya menggantung.

"Kenapa Mir?" Tanyaku.

"Saya kan nggak punya baju laki-laki kak. Kalau kakak mau saya pinjamkan baju abang saya dulu gimana?"

Aku menepuk jidatku. Aku lupa kalau aku tak membawa persiapan baju ganti karena tadi ibu terburu-buru mengajakku kesini untuk akad nikah.

"Boleh Mir." seruku.

"Tapi kak..." Ucapannya menggantung, seperti ia ragu untuk melanjutkannya.

"Mmm.. tapi.. maaf kak, untuk pakaian dalamnya bagaimana ya kak?" Amira tertunduk. mungkin ia malu setelah mengatakan hal itu.

Aku memejamkan mata sejenak. Lidahku kelu untuk berucap lagi. Belum apa-apa, ia sudah menanyakan perkara pakaian dalam. Tapi bukankah sudah halal dan sah sah saja? Aku merasa ini seperti lelucon saja.

"Nggak apa-apa Mir. Nggak usah pakai saja." Aku menutup mulutku yang tak terkontrol ini.

Aku membuang pandanganku ke arah samping guna menghindari bersitatap dengannya. Sungguh rasanya malu.

Amira ternganga mendengar penuturan suaminya itu.

"Ah, kalau begitu coba saya tanyakan ke Bang Andi siapa tahu masih punya stok pakaian dalam belum terpakai. Tapi kemungkinan ukurannya tidak sama dengan yang biasa Kak Fadhil pakai." Ucapnya tanpa ragu sedikitpun.

Hah? Aku cukup kaget dengan perkataannya. Tahu darimana ukuran pakaian dalamku tak sama dengan ukuran pakaian dalam abangnya?

"Eh maaf kak. Bukan bermaksud menyinggung. Saya hanya berasumsi saja kok. Soalnya kelihatan dari postur tubuh kakak dengan tubuh Bang Andi sedikit berbeda. Kali saja ukuran baju maupun ukuran pakaian dalamnya juga berbeda. Maaf kak bukan bermaksud lancang." Ucapnya dengan tertunduk.

Aku lega. Aku mengira yang tidak-tidak tadinya. Tapi ternyata itu hanya asumsinya saja.

"Iya Mir." Jawabku sekenanya.

"Kalau begitu, saya permisi dulu ya kak. Saya mau menanyakan ke Bang Andi dulu.

"Assalamu'alaikum." Ucapnya kemudian berlalu dari kamar.

"Wa'alaikumsalam."

Setelah Amira pergi keluar kamar, aku langsung masuk ke dalam kamar mandi. Aku bergegas mandi untuk menyegarkan pikiran dan badanku yang sudah terasa lesu. Lima belas menit kemudian ritual mandiku selesai juga.

Saat aku melihat gantungan di kamar mandi, tak ada sehelai handuk pun disitu. Aku kalang kabut. Lalu bagaimana aku keluar? Bagaimana kalau Amira melihatnya? Malu banget aku. Lantas kalau aku memakai bajuku tadi, itu sudah bau karena ada bekas keringat disitu. Aku pun memberanikan diri melongok keluar pintu kamar mandi. Ternyata Amira sedang membaca buku dengan posisi membelakangiku.

"Mir, boleh minta tolong enggak? Aku lupa bawa handuk, tolong ambilkan ya." Aku setengah berteriak dari balik pintu kamar mandi yang tak tertutup rapat hanya kubuka sedikit.

Amira pun segera mengambilkan handuk untukku.

"Ini kak handuknya." Ia mengulurkan handuk itu.

Namun karena posisi yang aku tak begitu melihat dengan jelas letak handuk yang diberikan aku malah menarik tangannya hingga tubuhnya menabrak pintu kamar mandi.

"Awww" pekiknya. Aku panik ternyata aku terlalu kuat dan terburu-buru menarik tangannya.

"Maaf Mir." Aku segera mengenakan handuk kemudian keluar kamar mandi dengan terburu-buru.

"Maaf ya Mir. Aku tak sengaja tadi." Aku menghampirinya untuk meminta maaf karena ketidaksengajaanku tadi.

"Astaghfirullah. Kak Fadhil. Pakai baju dulu dong." Ia memalingkan wajahnya.

"Astaghfirullah. Maaf ya Mir." Aku yang terburu-buru malah lupa kalau sekarang keadaanku sudah setengah telanjang hanya handuk yang melilit di tubuh bagian bawahku. Sungguh malu sekali rasanya tapi sudah kepalang tanggung. Amira pun sudah melihatnya.

"Itu di atas ranjang kak bajunya." Ucapnya tanpa melihat ke arahku.

Aku bergegas mengambilnya kemudian masuk ke dalam kamar mandi lagi untuk memakai baju. Setelah selesai aku langsung keluar kamar mandi. Kulihat Amira masih berkutat pada bukunya. Hobinya ternyata sama sepertiku, yaitu membaca.

"Lagi baca buku apa Mir?" Aku mencoba mengalihkan kejadian tadi supaya tak canggung.

"Oh ini kak. Kebetulan lagi lanjutin baca sirah Nabawiyah." Ucapnya sembari membalikkan badan ke arahku.

"Wow, berbobot juga bacaan dia." Gumamku dalam hati.

"Kak Fadhil mau lanjut sholat Maghrib dulu? Sebentar lagi sepertinya mau adzan." Ucapnya.

"Iya Mir. Aku sholat dulu. Tapi aku mau ke masjid sekitar sini saja." Kataku.

"Oh kalau begitu bareng bapak sama Bang Andi aja gimana?" Tawarnya.

"Boleh Mir."

"Ya udah yuk keluar dulu temuin bapak sama Bang Andi." Ajaknya sembari bangkit dari kursinya.

"Mmm" aku mengangguk kemudian mengikuti langkahnya.

****

Sepulangnya dari masjid, aku langsung dipersilakan untuk makan bersama keluarga Amira. Hidangan di meja ini benar-benar menggugah selera.

"Ayo Nak Fadhil, kita makan." Ajak bapak mertua kepadaku.

"Iya Pak." Aku mengambil piring setelah bapak mertua dan Abang ipar mengambil piring.

Ketika hendak menyendokkan nasi ke piringku, pergerakan tanganku ditahan oleh ibu mertua.

"Sebentar Nak Fadhil."

"Amira, kan Nak Fadhil sudah jadi suamimu. Ayo dong dilayani. Kamu ambilkan makan buat suamimu."

Amira pun mengangguk kemudian mengambil piring dari tanganku. Ia menyendokkan nasi cukup banyak ke piringku. Itu melebihi porsi makanku biasanya. Aku menelan ludah kasar. Aku mau menghentikan langkahnya tapi aku tak enak pada keluarganya. Takutnya aku dibilang tidak menghargai jamuan mereka.

Kemudian ia menyendokkan beberapa lauk ke piringku tanpa bertanya kepadaku terlebih dahulu apa yang ingin aku makan saat ini.

Aku semakin frustasi. Aku tak mungkin menghabiskan porsi makan sebanyak itu. Kini tersaji di hadapanku kudapan istimewa yang disajikan istri gendutku itu. Tak henti-hentinya aku menelan ludah kasar sebelum menikmati hidangan itu. Bagaimana tidak, di atas piringku ada segunung nasi hangat ditambah dengan ayam goreng, sayur sop, tahu, tempe, sambal terasi, dilengkapi dengan 2 kerupuk. Iya sih, ini "isi piringku" banget, tapi versi nya jumbo. Tak sesuai dengan porsi kebutuhanku biasanya.

Aku ingin menolak tapi sungguh tak karuan enak rasanya. Tapi, mau aku habiskan juga itu kurang memungkinkan untukku. Akhirnya aku makan perlahan.

Kulihat Amira dengan lahapnya makan. Porsinya hampir sama denganku bedanya piringnya terlihat lebih penuh sedikit dari isi piringku. Aku pun hanya melongo melihat pemandangan unik ini.

"Apa iya dia sanggup menghabiskannya ya?" Batinku.

Awalnya suasana makan hening, hanya suara dentingan sendok beradu dengan piring yang memecah keheningan ini.

"Nak Fadhil, nanti setelah makan jangan lupa ya minum ramuan dari ibu. Ibu simpan di kulkas biar dingin waktu kamu minum." Kata Bu Maryam, mertuaku.

"Ramuan apa ya Bu?" Tanyaku polos.

Ia tersenyum penuh arti. Kemudian menoleh ke arah sang suami. Pak Amir pun memberikan respon yang sama.

"Biar kuat nanti pas malam pertama."

Uhuk uhuk uhuk

Aku dan Amira sama-sama terkejut kemudian kami langsung minum air hingga tandas.

"Pelan-pelan kalau kalian makan." Ucap Bu Maryam khawatir.

"Ibu, Amira malu. Kenapa harus seperti itu di hadapan Kak Fadhil." Gerutunya.

"Loh nggak apa-apa kan? Toh, kalian sudah jadi suami istri. Emang kalian nggak mau nganu-nganu?" Sergah Bu Maryam.

"Bukan begitu Bu. Tapi kan itu memalukan sekali Bu." Ucap Amira bersemu merah pipinya.

"Udah, serahin sama ibu boosternya. Kalian tinggal berusaha terus tiap hari biar bapak dan ibu segera menimang cucu juga." Celetuk Bu Maryam dengan santainya.

"Udah ah Bu malu tau. Biar itu urusan mereka nanti gimana." Ucap Pak Amir menengahi.

"Ih, bapak. Ibu kan mau kasih mereka wejangan saja." Gerutu Bu Maryam kesal.

Akhirnya ada yang membuat pembatas juga biar obrolan yang ngawur ini semakin tak melebar.

Mereka sudah selesai dengan makannya. namun tidak denganku yang porsinya masih setengah.

Padahal sejak tadi aku sudah berusaha menghabiskannya tapi kenapa seperti tak habis-habis rasanya.

Tapi perutku sudah mulai mual karena aku memang tak bisa makan banyak seperti ini. Aku hanya mengaduk-aduk makanan sejak tadi.

"Kak Fadhil sudah kenyang ya?" Tanya Amira.

Aku cuma nyengir kuda dan menggaruk kepalaku yang tak gatal. Aku mengangguk pelan. Ia pun tersenyum.

"Ya sudah kalau begitu saya saja yang menghabiskannya. Sayang banget kalau dibuang. Mubazir nanti." Tanpa persetujuanku, ia langsung memindahkan piringku ke hadapannya.

Aku hanya membelalakkan mataku.

"Apa dia tidak kenyang sudah menghabiskan makanan dia sendiri?" Aku hanya meneguk ludah kasar ketika Amira dengan cekatan menghabiskan makananku tanpa tersisa sedikitpun.

"Alhamdulillah." Ia mengusap pelan perutnya yang sedikit lebih membuncit. Bukan. Memang sudah buncit sebelumnya.

"Maaf ya Fadhil, nafsu makan Amira memang luar biasa. Makanya dia terlihat sangat subur." Kata ibu mertua.

Entah ini sebuah sindiran atau pujian untuk putrinya. Tapi aku pun ikut tertawa dalam hati.

Amira pun hanya nyengir kuda seakan tak bersalah sedikitpun.

Acara makan malam telah selesai. Semua anggota keluarga akan beristirahat. Sebelum aku ke kamar, ibu mertua mencegahku masuk.

"Tunggu Nak. Kamu belum minum ramuan yang ibu buat. Ini." Ibu mertua menyodorkanku ramuan itu.

"Aku kira sudah lupa, ternyata ibu mengingatnya." Batinku.

"Terus ini nanti penawarnya." Ibu menyerahkan satu gelas lagi.

Untuk menghargai ibu mertua, akhirnya dengan berat hati aku menerimanya.

"Ayo diminum. Sana duduk dulu di kursi depan TV." Perintah ibu mertua.

Aku pun mengangguk pasrah kemudian melakukan perintah ibu.

"Bismillah semoga tak apa-apa." Gumamku pelan tanpa ibu mendengarnya.

Aku menahan mual. Kututup hidungku agar baunya tak begitu kentara. Aku meneguk ramuan itu hingga tandas tak bersisa tanpa sedikitpun membuka mataku. Kemudian segera aku minum penawarnya.

"Alhamdulillah." Ucap ibu mertua.

"Habis ini langsung gempur Amira tanpa ampun ya." Ibupun terkekeh. Ia meninggalkanku begitu saja.

Aku hanya membelalakkan mata menyaksikan tingkah ibu mertua yang begitu antusias ingin aku melangsungkan acara nganu-nganu bersama istri gendutku.

"Hahhhh" aku menghela nafas kasar kemudian melangkah masuk ke kamar Amira.

"Kok lama kak?" Tanyanya setelah aku masuk.

"Emang mau ngapain cepet-cepet?" Tanyaku polos.

Ia terlihat canggung, "Bukan begitu kak. Tadi kan kak Fadhil ke kamar mandi belakang sebentar, tapi kok rada lama baliknya ke kamar."

"Oh tadi ditahan ibu dulu disuruh minum ramuan ibu." Kataku sambil mendaratkan tubuh di ranjang Amira. Namun diri ini belum mau merapatkan diri ke Amira.

Kulihat Amira jadi salah tingkah setelah aku mengatakan itu.

"Oh ya sudah kak kalau begitu." Ia pun berbalik badan memunggungiku.

Tak berselang lama, badanku terasa panas. Padahal pendingin ruangan ini sudah diatur pada suhu yang pas. Tapi badan terasa aneh. Gerah bukan main. Bagian tubuh bawahku terasa sesak dalam celanaku. Aku meneguk ludah kasar.

"Jangan-jangan ramuan tadi ada perangsangnya. Astaghfirullah gimana ini?" Aku merasa gelisah. Tubuhku begitu cepat bereaksi.

Aku hanya membolak balikkan badanku di ranjang karena kegelisahanku. Entahlah aku harus bagaimana. Kalau aku mempraktikkan apa yang selama ini sering kutonton di video blue film, aku bahkan tak berselera melihat pemandangan di sebelahku ini. Gadis gendut yang tak membuatku bergairah sama sekali.

"Aduh gimana ini?" Gumamku penuh gelisah.

Karena merasakan pergerakan ranjang yang tak stabil, Amira bangkit kemudian menatapku.

"Kak Fadhil kenapa?"

"Sepertinya ibumu sudah mencampurkan sesuatu ke ramuan tadi. Aku jadi terasa gerah dan gelisah."

Amira yang kemungkinan mengerti arah pembicaraanku hanya mengangguk pelan.

"Lalu apa yang harus saya lakukan kak?" wajahnya pias.

"Kamu mau melakukan kewajiban malam pengantin baru sekarang enggak?" aku menepuk pelan mulutku yang sudah keluar jalur ini. Entah dorongan darimana aku mengatakan hal memalukan ini. Tapi aku sedang membutuhkannya. Ah, aku merasa dilema. Di satu sisi aku belum bisa menerima dia sepenuhnya. Di sisi lain, hasrat kelelakianku meminta untuk disalurkan saat ini juga.

Amira bersemu merah. Pipinya sudah terlihat seperti kepiting rebus. Aku hanya menahan malu setelah mengatakan itu.

"Maaf Kak. Tapi saya sedang tanggal merah." Ungkapnya.

"Hah? Apa itu tanggal merah?" Tanyaku polos.

"Saya sedang haid kak. Kebetulan hari pertama." Jawabnya.

Aku menepuk jidatku. Entahlah aku harus bersyukur atau tidak. Yang jelas aku bersorak dalam hati. Akhirnya aku bisa sedikit menunda pekerjaan itu. Namun, bagaimana dengan hasrat tertunda ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status