“Udah ngisi belum, Nan?” Lagi, pertanyaan itu membuatku tak bersemangat. Sehari setelah melakukan pengecekan tentang ada atau tidaknya kehidupan dalam rahimku, menstruasiku pun datang tanpa permisi—tak ada gejala PMS. Andai aku bersabar satu hari saja, uang sepuluh ribu-ku tak akan melayang untuk membeli alat tespek—lumayan jajan ciki atau beli pop ice di Mang Tarya.Kutatap Tante Tuti dengan senyum mengembang—senyum palsu. “Belum, Tante.” Jika saja tak ingin membeli seblak, aku tak akan bertemu dengannya.“Kok, belum, sih? Dulu, si Kinara cuma beberapa bulan setelah nikah langsung hamil. Terus kenapa kamu belum, suaminya kan, sama? Kamu mandul kali?”Senyumanku berubah menjadi tawa. Masih berusaha untuk tetap bersabar. “Ya, belum dikasih sama Tuhan, Tante. Tuhan tahu kalo saya belum siap punya anak. Saya, kan masih kuliah,” kataku tanpa memalingkan wajah darinya. Sungguh adrenalinku sudah terpacu, jantungku memompa dengan cepat, dan darahku mendidih mengalir ke segala penjuru tubuhk
Aku tidak tahu kenapa masalahku terus saja berlanjut, baik di ranah tetangga, maupun di lingkup kampus. Setelah perdebatanku dengan Bu Tuti yang tak kunjung mendapat lampu hijau perdamaian—baik aku dan Bu Tuti sama-sama bersikeras tak ingin mengalah. Ya, Bu Tuti berlindung dengan sebuah kata ‘tidak sopan dengan orang tua’, sedangkan aku berlindung di balik kata ‘Aku punya harga diri yang tidak boleh diinjak-injak, meski orang tua sekali pun’. Ya, mau bagaimana lagi, zaman sekarang bukanlah zaman dinasti, di mana seseorang akan dihukum cambuk jika melawan orang yang lebih tua, meski orang muda tersebut terbukti tak bersalah. Anak-anak zaman sekarang sudah dilindungi dan memiliki hak untuk berbicara, termasuk hak untuk mempertahankan harga diri masing-masing. Jadi wajar saja, jika aku memperlakukan Bu Tuti seperti tempo hari, sebab dia-lah yang memulai perdebatan dan memancing emosiku. Sudah tahu aku gampang terbakar, ia malah memantik api di hadapanku. Aku menggosok-gosok wajahku deng
Setelah beberapa hari mengetahui fakta tentang hubungan Rangga dan Kinan, aku merasa belum ikhlas dengan hal itu. Sungguh, aku masih kesal pada kenyataan yang ada. Mengapa Tuhan begitu jahat padaku? Mengapa semesta tak pernah memberikan apa pun yang kuinginkan, padahal aku hanya meminta satu permohonan saja. Apakah sesulit itu untuk mengabulkannya? Apakah keinginanku begitu mustahil untuk kudapatkan? Apa Tuhan tak mau melihatku bahagia? Apakah skenario hidupku memang seperti ini? Selalu terpuruk dan tak bisa bahagia? Akan tetapi, kenapa hanya aku yang tak bisa berbahagia? Mengapa hanya aku yang tak bisa mendapatkan apa yang kuinginkan? Mengapa hanya aku yang tak boleh memaksakan kehendakku? Apa dosaku telah menggunung, sehingga satu doaku pun tak bisa terijabah?Aku benar-benar pusing akan masalah ini? Bagaimana bisa dunia begitu kejam padaku? Apa aku hidup hanya untuk menjadi pemeran pendukung? Padahal, aku juga ingin menjadi pemeran utama di dalam cerita ini. Bukankah itu tak adil?
Aku tersenyum masam saat mendengar Bu Caca mengucapkan sebuah kalimat yang mampu membuat jantungku berhenti berdetak sejenak. Ia memang mengucapkan selamat atas pernikahanku dan Mas Rangga, tetapi aku tahu apa yang sedang ia rencanakan. Sebagai pembawa acara kali ini aku yakin bahwa ia ingin mempermalukanku di depan banyak orang. Mengapa ia mengatakan di acara seminar seperti ini jika tidak ingin mempermalukanku? Bukankah ia sendiri tahu bahwa aku tidak ingin mengekspos hubunganku dengan Mas Rangga? Namun, melihat keseriusannya kali ini, membuatku yakin bahwa ia sebenarnya ingin menimbulkan konteks negatif akan ucapannya barusan. Aku menoleh ke kanan lalu ke kiri, saat Dewi dan Mela menggenggam jemariku erat lalu membisikkan kata-kata penyemangat yang kutahu itu hanyalah sebuah hiburan. Sepertinya hidupku akan kembali merasakan huru hara yang sulit untuk diatasi. Ruangan yang tadinya hening, sontak menjadi rusuh. Kalimat-kalimat tak suka samar-samar terdengar di telingaku, membuatku
“Apa ini rencana yang katanya akan membuat Kinan terpuruk, Ca? Bukannya mendapat hinaan, Kinan malah mendapat dukungan dari banyak orang.”Aku benar-benar kesal akan kejadian tempo hari. Bukannya dihujat, Kinan justru mendapat ucapan selamat dari teman-temannya, beserta dosen lainnya. Harusnya tidak seperti ini, bukan? Seharusnya Kinan merasa putus asa dan terpuruk akan cemoohan orang lain. Kinan tak pantas untuk Rangga yang terlalu sempurna. Mengapa rencana Caca tidak sesuai dugaan? Apakah sekarang aku harus mengakui kekalahanku? Tidak! Kinan tak boleh bahagia di atas penderitaanku. Itu tidak boleh sampai terjadi!“Aku juga tak tahu akan berakhir seperti ini, Bu Mega. Aku mengira semuanya akan berjalan sesuai rencana, tetapi Tuhan dan semesta sepertinya tidak mendukung rencanaku. Kinan benar-benar beruntung.”Beruntung? Ha-ha-ha, ya, gadis itu memang beruntung dan aku selalu sial. Begitu, kan? Aku sekarang bertambah yakin, bahwa dalam cerita ini, Kinan adalah pemeran utama yang sela
Apa ini? Mengapa banyak orang yang memberiku ucapan selamat atas pernikahan dan keberuntungan yang kudapatkan? Ya, walaupun kutahu masih ada segelintir dari mereka yang tidak menyukai fakta tersebut. Namun, aku tak bisa memaksa mereka untuk setuju dan menyukaiku, bukan? Mereka bebas mengemukakan pendapat dan aspirasi, mau membenci atau tidak, itu bukan urusanku. Yang terpenting bahwa aku tetap akan melanjutkan kehidupan ini meski kutahu bahwa jalannya tak akan semulus dulu—sebelum hubunganku terungkap.“Selamat, ya, Nan. Gue kira lo bakal nikah sama Devan, tau-taunya sama Pak Rangga.” Aku tak tahu siapa gadis itu, yang kutahu bahwa dia terlalu sok kenal dan sok akrab denganku. Mengapa sekarang banyak orang asing yang terus menghampiriku? Dan nahasnya lagi, aku tahu bahwa pernyataan yang mereka lontarkan adalah sebuah ketidak-ikhlasan.“Oh ya, Nan, kasih tau dong, resep supaya bisa deket sama cowok-cowok most wanted.”“Lah, maksud lo? Resep apaan coba? Gue nggak ada yang kek gituan.”
Aku bahkan tak pernah membayangkan tentang apa yang akan terjadi di rumah ini. Rumah yang selalu sepi dan terlihat tak ada kehidupan, akhirnya bisa merasakan keramaian, yang kutahu hanya akan bertahan sejenak. Sepertinya Mas Rangga menyampingkan egonya demi merayakan ulang tahunku. Kutatap lagi sosok pria yang duduk menyendiri di sudut ruangan, tampak mengasingkan diri dari ketiga sahabatku. Aku tahu bahwa dia sedikit kurang nyaman dengan celetukan absurd dan keributan yang mereka ciptakan. Namun, berusaha bertahan agar aku tak kecewa. Gurat lelahnya tampak jelas dari tempatku duduk, meski demikian ia masih sangat tampan. Mau bagaimana lagi, dalam kondisi apa pun, orang tampan akan tetap terlihat tampan, meski pakaiannya lusuh seperti gembel sekalipun. Aku kembali menerawang, mengingat awal pertemuan dengannya. Saat dijodohkan dengan Mbak Kinara. Sosoknya yang dingin membuatku sedikit canggung saat duduk di dekatnya. Kutahu bahwa Mbak Kinara sangat menyukainya, tetapi Mas Rangga mala
Perhatian!Untuk kedepannya, cerita ini akan berfokus pada sudut pandang Mega. ~~~~Apa aku harus menghentikan obsesiku pada Rangga? Tujuh tahun menunggu, tetapi dia tak pernah memandangku. Aku selalu ada untuknya, tetapi dia malah memilih wanita lain untuk menemani hidupnya. Bukankah itu tak adil bagiku? Aku yang selalu mendukungnya, tulus mencintainya, membantunya jika kesulitan, tetapi setelah dia berhasil melewati rintangan, aku dilupakan. Katanya dia tak pernah mencintaiku, dia tak pernah menaruh rasa padaku, dan sama sekali Rangga tak pernah tertarik denganku. Apa pengorbananku selama ini tak pernah ternilai di matanya? Apa bantuanku yang tulus tak sekalipun membuat hatinya tergerak?Seharusnya dari awal aku sudah sadar diri. Seharusnya sejak awal aku berhenti mencintainya. Bukankah tujuh tahun merupakan waktu yang cukup lama? 84 bulan kulewati tanpa balasan yang setimpal, 2556 hari yang terbuang percuma, 61.344 jam terlewat dengan sia-sia tanpa ada sedikit pun yang kudapatkan