Share

Bab 3| Tak Pantas Dimaafkan

"Maaf Dok, semua ini memang salah saya."

Ayana menunduk sesal. Ia tahu kata maaf tidak akan memperbaiki keadaan. Hanya saja Ayana tetap melakukannya, setidaknya dengan meminta maaf bisa sedikit mengurangi rasa bersalah di hatinya. Ayana sedang berada di ruang kerja dokter Harold, terletak di lantai enam belas dengan ukuran cukup luas membuat siapa saja bisa melihat pemandangan kota New York yang padat dan tidak pernah tenang.

"Duduklah dokter Ayana,” titah dokter Harold ramah.

Pria berambut ikal halus ini memang terkenal ramah. Semarah apa pun atau sebesar apa pun rasa kecewanya terhadap seseorang, ia tidak pernah menunjukkannya secara gamblang. Semampunya dokter Harold selalu berusaha menjaga perasaan orang-orang di sekitarnya. Ayana tergelak, ia menuruti perintah dokter Harold untuk duduk meski ragu.

"Sekali lagi maafkan saya."

"Jika kamu menyesal, ubahlah sifat burukmu itu Ayana."

Dokter Harold meletakan kedua tangan kekarnya di atas meja. Ia ingin membicarakan hal serius kali ini. Keputusan bijaksana yang diharapkan bisa memperbaiki keadaan untuk ke depannya.

"Akan saya usahakan."

"Buktikan kata-katamu dan inilah waktu yang tepat untuk itu.”

“Apa yang harus saya lakukan untuk menebus semua kesalahan saya hari ini, Dok?"

“Bergabunglah bersama dokter Andres di tim HPB 1.”

"Apa?!" pekik Ayana terkejut bukan main.

"Saya sudah memutuskan mulai hari ini dan seterusnya kamu berada di bawah naungan tim 1 HPB."

"Lalu bagaimana dengan Andres, ah maksud saya dokter Andres?"

Ayana merasa sesuatu yang tidak ia harapkan akan menimpanya. Wanita itu terlihat harap-harap cemas menanti penjelasan dr. Harold selanjutnya.

"Dia tetap di tim satu, sebagai atasanmu. Kamu akan menjadi asistennya.”

Mata almond itu membulat sempurna, ini kabar buruk yang ingin Ayana sanggah kebenarannya.

"Tapi Dok, saya tidak bisa bekerja sama dengan dokter Andres dalam hal apa pun. Anda lihat sendiri bukan, baru pertama kami disatukan dalam ruang operasi dan nyaris terjadi malapetaka. Jadi saya keberatan dengan keputusan Anda.”

"Apa yang membuatmu merasa keberatan? Karena dokter Andres ada di sana? Karena dia akan menjadi atasanmu? Kamu merasa terhina menjadi bawahan dari rivalmu, begitu?" tanya dokter Harold bertubi-tubi.

Benar, tidak ada satu pun keliru dari ujaran dokter Harold itu. Ayana memang tidak bersedia dipindahkan karena semua alasan itu. Entahlah, bagaimana nasibnya jika hal mengerikan itu benar-benar terjadi.

"Inilah kelemahan terbesarmu, Ayana. Kamu selalu meledak-ledak jika menyangkut sesuatu tentang dokter Andres. Sikapmu sangat tidak wajar, itu berlebihan.”

Dokter Harold mencoba mengeluarkan pendapat rasionalnya dengan hati-hati. Ayana menyimak dengan saksama, ada sengatan memilukan dari tiap kata yang terlontar dari lisan dr. Harold.

"Saya tidak bermaksud mencampuri urusan pribadi kalian. Saya juga tidak sedang membela Andres. Hanya saja semakin hari sikapmu sudah tidak bisa saya maklumi. Tidak cukupkah surat peringatan yang sering kalian dapat selama ini? Ayolah Ayana, ini tidak benar. Sudah tiga tahun berlalu, seharusnya kamu melupakan kejadian itu. Bukan Andres atau dirimu yang salah, tapi wanita itu. Dia yang seharusnya menjadi sasaran kebencianmu."

Dokter Harold kembali mengingatkan. Lambat laun arah pembicaraan ini sedikit melenceng dari topik pembahasan utama. Ayana sadar dokter Harold melakukan ini demi kebaikannya. Ketua seksi pelayanan medis itu memang perhatian padanya, terlebih dokter Harold adalah teman dekat ayahnya, Kendra.

"Saya mengatakan ini bukan sebagai atasanmu. Tapi sebagai kerabat dekat Ayahmu," lanjut dokter Harold, Ayana terdiam.

 Ia tidak tahu lagi harus mengatakan apa, mendadak perpustakaan katanya kosong tak berpenghuni.

"Setiap hari Andres selalu menghadapi sikapmu dengan tenang. Saya menghargai kedewasaannya, mungkin dia selalu tampak baik-baik saja tapi apa kamu yakin itu yang dia rasakan sebenarnya?”

"Dokter, saya ...."

"Masuklah ke tim satu dan jalankan tugasmu dengan baik. Kamu boleh pergi sekarang."

Ayana memang merasa berhutang budi pada Andres. Orang itu telah menyelamatkan pasien yang nyaris ia bunuh dengan kelalaiannya. Namun bukan berarti Ayana bisa mengangkat gencatan senjata dengan mudah. Kesalahan Andres yang mempermalukannya telak waktu itu sulit dimaafkan. Ayana harus menanggung kejamnya terkurung di balik jeruji besi yang menyeramkan. Semua pengalaman buruk itu dihadiahkan Andres pada Ayana dengan tega. Kebencian tumbuh sejak saat itu lalu mengakar dalam di dada Ayana.

***

"Apa ini saatnya memaafkan pria sialan itu?"

Ayana bersandar lemas pada tembok. Dia sedang berada di tangga darurat. Tempat favoritnya untuk menyendiri di kala pekerjaan menguras kekuatan. Ayana menurunkan posisinya dan duduk di salah satu anak tangga sambil merangkul kedua lutut. Lagi-lagi Andres mengacaukan harinya, bukan hanya kepala yang dibuat berdenyut namun hati wanita itu juga.

Ayana

Kamu bisa jemput aku di rumah sakit?

Ayana memejamkan mata begitu pemberitahuan pesan terkirim ia terima. Dalam keadaan seperti ini, hanya Willy satu-satunya orang yang bisa membuatnya tenang. Hanya pundak kokoh Willy yang bisa menghilangkan resah gelisah yang tengah ia rasa.

Willy

Ok, tepat pukul lima sore aku akan tiba di sana. Kamu sudah makan siang?

Ayana tak kuasa menahan senyum bahagia. Perhatian kecil semacam ini selalu mampu menggetarkan jiwa Ayana begitu hebat dan lambat laun emosinya mulai kembali stabil. Ia tak ingin memikirkan Andres selagi Willy bisa memberinya kebahagiaan utuh seperti ini. Jari-jari Ayana tampak terampil ketika memberikan balasan pesan untuk Willy.

Ayana

Belum, aku baru selesai operasi. Melihat banyak darah membuatku tak nafsu makan. Kamu sendiri sudah makan siang belum?

Willy

Hm, masa dokter takut makan setelah melihat darah, sih? Jangan skip makan siang, Sayang, atau aku akan marah. Btw, aku sudah makan siang tadi bersama rekan kantorku.

Ayana tak membalas pesan terakhir tunangannya. Seperti yang diharapkan, setelah menghubungi Willy perasaannya membaik dan mengembalikan semangat Ayana yang tadi sempat hilang. Wanita itu memutuskan pergi dari sana. Sebelum melangkah naik, sayup-sayup Ayana mendengar suara aneh dari arah bawah. Ia ingin berusaha mengabaikan namun suara itu kian mengganggu telinga, seakan menahannya untuk tetap berada di sana. Perlahan namun pasti Ayana berjalan ke arah sumber suara pelan-pelan. Mata gadis itu melebar, sedetik kemudian ia menerbitkan senyum sinis. Suara menjijikkan itu terus menguar di telinganya. Sejoli sedang bercumbu panas di bawa sana, mereka belum menyadari kehadiran Ayana.

"Wow, pemandangan macam apa ini?” ujar Ayana mengejutkan dua orang tadi.

Sang wanita mendongak sementara si pria dengan santai tersenyum mendengar suara Ayana. Aneh memang, harusnya Andres marah besar atas kelancangan Ayana mengganggu kenikmatannya akan tetapi pria itu justru terlihat senang dan tidak marah sedikit pun.

"Apa yang harus kita lakukan Andres?" tanya si wanita cemas, perawat itu takut jika Ayana melaporkan kejadian ini pada ketua perawat.

Dilarang berkencan selama jam kerja, tampaknya peraturan itu sudah cukup menggentarkan hati sang perawat yang khawatir ia akan kehilangan pekerjaannya karena masalah ini.

"Serahkan padaku, kamu boleh pergi," seru Andres tenang.

Atas perintah Andres, Bianca pun pergi lebih dulu dari ruangan itu. Kini hanya tersisa Andres dan Ayana. Ya, hanya mereka berdua.

"Jadi setelah menyombongkan diri di ruang operasi, beginilah caramu menghilangkan penat?" tanya Ayana bermaksud menyindir.

"Mm, kamu mau mencobanya denganku?"

Seperti biasa ketenangan selalu ditampilkan Andres dalam setiap pembicaraannya dengan Ayana.

"Jangan harap!" tolak Ayana tegas dengan tatapan tajam mengkilap, Andres terkekeh.

"Aku mengajakmu senang-senang, malah tidak mau. Rugi kamu nanti.”

"Hhh, bisa-bisanya kamu masih bersikap pongah setelah apa yang terjadi. Aku memegang kartu AS yang bisa menghancurkanmu!” ancam Ayana percaya diri.

“Oh ya?” sahut Andres singkat diselingi kekehan geli, ia menaiki anak tangga berusaha mencapai titik di mana Ayana berada.

“Iyalah, kamu tidak takut?!”

"Tidak.”

"Waw, besar juga nyalimu, oke kalau maumu begitu aku akan mengumumkan pada semua orang bahwa kamu bercumbu di rumah sakit. Nama baikmu akan hancur, lihat saja nanti!”

“Memangnya kamu punya bukti atas tuduhanmu itu?”

“Aku jelas melihatnya sendiri, itu adalah bukti!”

“Siapa yang akan percaya padamu, semua orang tahu kamu sangat membenciku selama ini. Paling mereka akan berpikir kalau kamu sedang mengarang cerita untuk menjatuhkanku. Lain kali kalau mau mengancam main cerdas, dong.”

Astaga, dasar  Ayana bodoh! Kenapa tidak kamu rekam kejadian tadi, hah?! Rutuk gadis itu kesal pada dirinya sendiri yang sangat gegabah.

"Aku pikir kamu sudah pintar, ternyata masih sama. Masih sering bertindak tanpa dipikir terlebih dulu. Jangan buat aku kembali membencimu dokter Ayana," sorot mata Andres yang semula datar kemudian menajam dan mencekam.

Ada begitu banyak rasa yang sulit ditafsirkan dari tatapan mematikan pria itu. Hingga pada puncaknya, ketajaman itu perlahan meneduh berganti dengan sorot jahil seperti yang biasa ditampilkan.

"Kamu terlalu cantik untuk aku benci, jadi jangan melakukannya lagi, ya?”

Pria itu berjalan santai, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jas putih dan membiarkan Ayana terhanyut dalam geming kebisuan.

"Ah, tunggu beberapa menit setelah kepergianku. Kamu tidak mau bukan orang-orang berpikir macam-macam tentang kita yang keluar dari ruangan ini sama-sama?”

Tangan Ayana mengepal jengkel, dadanya kembang kempis menyerukan kemarahan.

“Kamu memang tidak pantas mendapatkan maafku, dasar Andres sialan!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status