New York Downtown Hospital09.30 AmAyana berjalan dengan mantap menuju ruang kerjanya yang ada di lantai 5. Beberapa suster menyapa dan melempar senyum padanya namun gadis itu hanya membalasnya dengan anggukan singkat. Ayana ini memang terkenal cukup angkuh di kalangan rekan kerja. Meski begitu dia bisa jadi sangat kooperatif jika menyangkut hal kerjaan. Sikapnya pada para pasien juga ramah, tipikal dokter yang disukai para pasien."Selamat pagi dokter Ayana," sapa wanita kaukasoid dalam bahasa Inggris yang fasih, wanita itu baru saja memasuki ruang kerja Ayana. Selang tiga menit setelah Ayana mengenakan jas putihnya."Oh ya Jenny, apa yang lainnya sudah bersiap?" tanya Ayana tanpa membalas sapaan Jenny."Bersiap untuk apa ya, Dok?" tanya Jenny awalnya bingung.Setelah itu ia pun membuka mulutnya lebar, membentuk huruf A. Mulai mengerti arah pembicaraan yang sedang dibangun oleh ketua timnya ini."Apa
Tatapan murka itu tak sedetik pun menyingkir dari mata Ayana. Kesal, kecewa, dan marah membaur satu. Kesal, saat mendengar dokter lain menggantikannya untuk mengoperasi Tuan Janson. Kecewa pada dokter Harold yang sudah bertindak sewenang-wenang dan menyalahi aturan. Marah, karena ternyata Andres adalah orang yang menggantikan dirinya. Benar-benar sial, Ayana merasa hari ini Tuhan tidak mengizinkannya untuk merasa sedikit tenang. Langkah tak sabar Ayana menunjukkan bahwa gadis itu ingin segera menuntaskan permasalahan ini dengan Andres. Pecundang itu selalu bisa membuat darah Ayana mendidih. Gadis itu sama sekali tidak memedulikan tatapan heran orang-orang. terserah jika orang mau menyebutnya kejam, angkuh, atau jahat sekali pun. Tujuan Ayana kali ini hanya dua yaitu, meminta penjelasan pada dokter Harold dan ingin memberi peringatan pada si pencuri pasien. "Kali ini kamu harus benar-benar mati, Andares!" umpat Ayana sebelum membuka pintu. Ayana sudah ti
Lima menit berlalu, akhirnya Ayana tiba di ruang kontrol operasi yang berada di lantai sepuluh. Beberapa dokter sudah siap mengamati proses operasi Tuan Janson di ruangan itu."Dokter Harold, kita harus bicara," tukas Ayana mengalihkan perhatian orang-orang ketika ia menghampiri dr. Harold."Dokter Ayana, kenapa kamu masih di sini?" Kaget dokter Harold sontak membuat Ayana mengernyit."Operasinya sebentar lagi akan dimulai. Sebaiknya kamu cepat bersiap!"Segala pertanyaan yang telah disiapkan Ayana menguap. Mungkinkah dokter Harold sedang mempermainkannya?""Apa maksud Anda?" tanya Ayana bingung."Seharusnya kamu sudah masuk ke ruangan itu dan melakukan tugasmu. Kenapa kamu masih di sini?”“Justru itu yang ingin saya tanyakan pada Anda, Dokter. Apa-apaan ini, kenapa Anda menggantikan saya dengan dokter Andres tanpa pemberitahuan apa pun sebelumnya.”“Kita bicarakan masalah itu nanti, sekarang cepat kamu
"Maaf Dok, semua ini memang salah saya."Ayana menunduk sesal. Ia tahu kata maaf tidak akan memperbaiki keadaan. Hanya saja Ayana tetap melakukannya, setidaknya dengan meminta maaf bisa sedikit mengurangi rasa bersalah di hatinya. Ayana sedang berada di ruang kerja dokter Harold, terletak di lantai enam belas dengan ukuran cukup luas membuat siapa saja bisa melihat pemandangan kota New York yang padat dan tidak pernah tenang."Duduklah dokter Ayana,” titah dokter Harold ramah.Pria berambut ikal halus ini memang terkenal ramah. Semarah apa pun atau sebesar apa pun rasa kecewanya terhadap seseorang, ia tidak pernah menunjukkannya secara gamblang. Semampunya dokter Harold selalu berusaha menjaga perasaan orang-orang di sekitarnya. Ayana tergelak, ia menuruti perintah dokter Harold untuk duduk meski ragu."Sekali lagi maafkan saya.""Jika kamu menyesal, ubahlah sifat burukmu itu Ayana."Dokter Harold meletakan kedua tangan kekarnya di ata
"Sudah lama?" tanya Ayana menghampiri Willy."Belum, hanya lima belas menit. Satu jam pun aku sanggup untuk menunggumu, Ayana."Willy mulai menggombal, Ayana tersipu lantas memukul pelan dada bidang prianya. Willy mengunci tangan mungil itu di sana, mengikis jarak antara dirinya dengan Ayana kemudian merengkuh kekasihnya erat."Ahh, aku rindu sekali pelukan wanita manja ini," tutur Willy, menyimpan dagunya pada puncak kepala Ayana."Aku juga rindu kamu,Wil. Kamu tahu, akhir-akhir ini Andres kembali berulah. Aku selalu dibuat kesal setengah mati olehnya," rajuk Ayana sambil mengeratkan pelukannya.Gadis itu menenggelamkan wajah lelahnya pada dada bidang sang kekasih; mencium aroma maskulin khas prianya yang teramat ia suka."Dia memang menarik, aku jadi ingin kenal lebih dekat dengannya.”"Itu ide tergila yang pernah aku dengar. Sebaiknya kamu tarik kata-katamu barusan,Wil. Kamu pasti menyesal.""Kenapa?
"Kamu masih kesal padanya?" tanya Willy.Saat ini ia dan Ayana sedang berada dalam perjalanan pulang. Setelah sebelumnya pasangan kekasih itu sempat meluangkan waktu mereka untuk makan malam di restoran langganan mereka yang ada di kawasan Soho, Manhattan."Tentu, dia pasti merekam kita saat ciuman tadi,Wil. Bagaimana kalau dia menyebarkan foto atau video ciuman kita? Aku harus bagaimana?”"Tidak usah dipikirkan, tenang saja, semua itu tidak akan terjadi. Dokter Andres tidak akan melakukannya.""Kamu tidak tahu saja betapa menyebalkannya pria itu, dia orang sinting yang rela melakukan apa saja demi melihatku kesulitan.""Dokter Andres benar, sepertinya kamu memang tahu banyak tentangnya.”"Oh God, jangan bilang kamu cemburu padanya,Wil?""Jika benar, memangnya kenapa?"Ayana terkekeh geli. Wanita itu tidak habis pikir bagaimana bisa Willy cemburu akan hubungan uniknya dengan Andres. Ini seperti
Willy Tolimson, pria itu masih sibuk berkutat dengan segudang pekerjaan yang di San Capital Corporation, perusahaan milik keluarganya. Ia menjabat sebagaimanajer keuangan di sana. Terlahir dari pasangan Calvin Tolimson dan Dyana, membuat kehidupan Willy begitu diberkati dengan materi yang melimpah. Sejak kecil pria muda bertalenta ini memang sudah diarahkan untuk belajar bisnis dan mengelola perusahaan.Tidak seperti kebanyakan anak konglomerat lain yang merasa terkekang atau terbebani oleh keinginan orang tuanya. Willy justru sangat menikmati kehidupannya. Ia mencintai keluarganya, juga segala aturan yang berlaku di sana. Terlepas dari segala kesenangan hidup yang Willy punya, pria itu tengah menatap kertas undangan pernikahannya dengan lekat. Ia memejamkan mata dan menghempaskan tubuhnya ke sebuah sofa panjang yang ada diruang kerja pribadinya."Apa yang harus kulakukan?" desahnya frustrasi.Menjelang hari pernikahan yang tinggal satu minggu lagi suasana
"Selamat pagi," sapa beberapa penghuni di ruang kerja tim satu departemen HPB.Mereka menyambut Ayana dengan baik meski ada beberapa yang tak menganggap kehadirannya. Ayana tersenyum kikuk. Ia belum terbiasa bekerja di tim itu walau sudah satu minggu ia bergabung di sana."Dokter Ayana, katanya minggu depan dokter akan menikah, ya?” tanya Gerald, salah seorang dokter di sana."Iya, benar. Kalian mau datang?" tanya Ayana mencoba seramah mungkin.“Bolehkah? Kalau tidak keberatan tentu kami mau datang ke pernikahan Anda, Dok,” sahut Gerald langsung disepakati tiga rekannya yang ada di sana, mereka juga tertarik untuk datang ke pernikahan Ayana.“Tentu saja boleh, nanti aku berikan undangan pada kalian, tunggu saja. Oh ya, dokter Andres mana?” tanya Ayana tiba-tiba membuat tiga orang di sana saling tatap heran.Kabar perseteruan Ayana dan Andres sangat melegenda di rumah sakit itu, jadi wajar kalau setiap departemen