Share

Bab 2| Emergency Couple

Lima menit berlalu, akhirnya Ayana tiba di ruang kontrol operasi yang berada di lantai sepuluh. Beberapa dokter sudah siap mengamati proses operasi Tuan Janson di ruangan itu.

"Dokter Harold, kita harus bicara," tukas Ayana mengalihkan perhatian orang-orang ketika ia menghampiri dr. Harold.

"Dokter Ayana, kenapa kamu masih di sini?" Kaget dokter Harold sontak membuat Ayana mengernyit.

"Operasinya sebentar lagi akan dimulai. Sebaiknya kamu cepat bersiap!"

Segala pertanyaan yang telah disiapkan Ayana menguap. Mungkinkah dokter Harold sedang mempermainkannya?"

"Apa maksud Anda?" tanya Ayana bingung.

"Seharusnya kamu sudah masuk ke ruangan itu dan melakukan tugasmu. Kenapa kamu masih di sini?”

“Justru itu yang ingin saya tanyakan pada Anda, Dokter. Apa-apaan ini, kenapa Anda menggantikan saya dengan dokter Andres tanpa pemberitahuan apa pun sebelumnya.”

“Kita bicarakan masalah itu nanti, sekarang cepat kamu masuk ke ruang operasi. Sebentar lagi operasinya akan dimulai.”

"Maksud Anda, saya harus melakukan operasi bersama dokter Andres?”

"Iya, kamu dan dokter Andres akan bekerja sama dalam operasi kali ini. Sudah jelas bukan? Sekarang cepat lakukan tugasmu dengan baik."

Kegilaan apa lagi ini? Aku harus satu ruangan dengan dokter sialan itu? Yang benar saja, cih.

"Tapi Dok, saya—"

"Jangan membantah, singkirkan egomu dan bekerjalah dengan profesional. Saya tidak ingin kamu melibatkan masalah pribadi dengan pekerjaan. Kamu tidak ingin dicap sebagai dokter yang tidak profesional bukan?"

Ayana diam tertunduk, serangan dr. Harold membuatnya kalah telak.

"Jangan merusak kredibilitasmu sebagai seorang dokter, Ayana. Kamu adalah salah satu dokter terpilih, jadi lakukan apa yang harus kamu lakukan sekarang juga."

Meski awalnya Ayana enggan menerima keputusan ini, namun semua perkataan dokter Harold benar. Ini perkara nyawa seseorang, sumpah jabatan sudah ia kumandangkan beberapa tahun silam. Ayana tidak boleh melalaikan tugas hanya karena perasaan pribadi. Dengan terpaksa Ayana harus melupakan sejenak kekesalannya terhadap Andres. Menenggelamkan emosi dan menjunjung tinggi rasa tanggung jawab.

Demi kelancaran operasi, sekali saja. Kamu bisa menghadapinya sekali ini saja, Ayana.

"Baiklah, saya permisi."

***

"Tiga tahun," tukas Andres saat Ayana sudah berdiri di seberang ranjang operasi, tempat pasien yang sudah dibius total terbaring.

Gadis itu sudah mengenakan pakaian operasi seperti yang dikenakan semua rekannya di tempat itu. Ia mendelik ke arah Andres, tampak tak mengerti maksud celetukan aneh pria itu. Beberapa perawat di ruangan tersebut bergeming, membiarkan Andres menyambut kehadiran rival abadinya sebelum operasi benar-benar dimulai.

"Tiga tahun berlalu sejak perkenalan kita. Akhirnya kita bertemu di sini, melakukan operasi bersamaku adalah mimpi terbesarmu, kan, dokter Ayana?" lanjut Andres memamerkan senyum khas andalannya.

Lampu bundar berukuran cukup besar itu sudah dinyalakan, mengarahkan cahayanya langsung pada tubuh pasien.

"Jangan banyak bicara, mari kita mulai operasinya," balas Ayana yang ingin fokus pada pasiennya.

"Tentu, kita akan segera melakukannya," sahut Andres santai, "Namun ada satu hal yang perlu kamu ingat, di sini akulah pemimpinnya! Jadi bersikaplah dengan baik, jangan banyak membantah, nanti aku pusing,” pinta Andres ditingkahi senyum mengejek.

“Bisa tidak, sekali ... saja kamu jangan menyulut emosiku?”

"Tanda vital?" tanya Andres pada Lucas, seorang perawat yang membantu jalannya operasi kali ini. Andres sama sekali tak mengindahkan pertanyaan Ayana.

"Bp 120 lebih dari 60, denyut jantung 88 dan tingkat kejenuhan O2 pada 98%," jelas Lucas merinci keadaan vital pasien berdasarkan apa yang tertera di monitor dan berbagai macam alat medis di sana.

Andres mengangguk paham, kemudian menatap Ayana dengan serius. Tidak ada lagi candaan bodoh dari pria itu. Ia mulai berperan sebagai dokter yang sesungguhnya.

"Kita akan mulai operasi pengangkatan tumor Pankreas pada pasien Janson Smith sekarang," tutur Andres, disetujui oleh anggukan Ayana dan petugas lainnya.

"Pisau bedah !" ujar Andres meminta pisau bedah.

Setelah senjata utama sudah ada di tangannya, pria itu mulai menekan pelan bagian permukaan perut Tuan Janson, memilah bagian yang tepat untuk ia bedah menggunakan senjata medis itu. Ayana belum melakukan pergerakan, gilirannya belum tiba. Ia hanya memperhatikan aksi rivalnya yang kentara mahir saat melakukan hal semacam ini. Tentu saja Andares adalah seorang dokter spesialis bedah, apalagi yang mesti diragukan.

Andres merobek kulit luar perut Tuan Janson dengan hati-hati, menarik garis vertikal pisau bedah tersebut secara perlahan hingga rembesan darah pun keluar. Dengan tingkat konsentrasi tinggi Andres menggerakkan pisau bedah itu, menusuk perut Tuan Janson lebih dalam untuk membelah perut pasien dan kegiatan inti dari operasi ini pun bisa segera dilakukan. Segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Ketenangan Andres membawa atmosfer sejuk dalam ruangan itu. Andres terus mengoyak lapisan daging pada perut pasien, hingga tak berselang lama perut yang semula utuh itu pun sukses terbelah dua.

"Bovie ," ujar Kim Andres lagi meminta sebuah alat pada perawat Nately.

Andres memasukkan alat itu ke dalam organ di mana tumor tersebut bersarang. Ia berniat untuk membekukan salah satu organ yang terus mengeluarkan darah menggunakan alat itu. Ayana memerhatikan wajah Andres sekilas, lalu kembali terfokus pada pasien. Iris cokelatnya menangkap gerakan lihai tangan Andres yang sedang sibuk mengorek organ itu lebih dalam lagi.

Saat ini gadis itu hanya bertugas sebagai dokter pendamping, membantu Andres untuk mengangkat organ yang menutupi tumor dalam pankreas Tuan Janson. Beberapa saat giliran Ayana yang beraksi, menjahit kembali perut Tuan Janson yang sudah Andres bedah. Jujur Ayana sangat kecewa, dalam hatinya ia berujar bahwa seharusnya dirinyalah yang melakukan aksi heroik itu. Namun bagaimana pun sebagai seorang dokter Ayana harus tetap bersikap bijaksana. Ia tidak boleh egois, yang terpenting saat ini adalah kesuksesan operasi dan keselamatan nyawa pasien.

"Tunggu sebentar dokter Andres, sepertinya ada yang aneh," seru Ayana menghentikan aksi Andres sejenak. Gadis itu mengambil  alat penjepit untuk mengangkat organ dalam yang menurutnya terlihat ganjil.

Andres terdiam, tampak begitu ragu dengan tindakan yang sedang Ayana lakukan. Entah mengapa tiba-tiba perasaan buruk menyambangi hatinya.

"Ini aneh, mungkinkah ...."

Crett!

Semburan darah mengenai wajah dan sebagian baju operasi yang dikenakan Ayana. Andres terkejut bukan main, kekhawatirannya benar-benar terjadi. Deru napas Ayana terdengar tidak beraturan, matanya membelalak, tubuhnya kaku seperti baru saja dibekukan. Ini adalah kesalahan pertamanya di ruang operasi.

"Dokter Andres kau bisa mengatasinya?"

Tiba-tiba saja suara dokter Harold menggema di tengah kegentingan yang terjadi di ruang operasi. Ketua medik itu sedang gusar di atas sana. Ia terus memberikan dukungan melalui kata-katanya. Andres mendongak tepat ke arah dr. Harold lalu mengangguk yakin. Pria paruh baya itu mengela napas sedikit lega.

"Kita harus segera melakukan kompresi. Suction!"

Andres meminta alat pengisap, untuk menyurutkan darah yang mulai menggenang di sana akibat pecahnya arteri celiac tadi. Kejanggalan yang dirasa Ayana memang benar adanya. Tadi ia merasa ada gangguan pada salah satu organ yang tertutup gumpalan tumor di bagian pankreas. Semula Ayana hanya ingin memastikan, takut-takut terjadi pembengkakan di sekitar organ hati seperti perkiraannya. Hanya saja siapa sangka, pergerakan tangan Ayana ternyata dinilai kurang tepat. Dia tidak sengaja memecahkan arteri itu dengan alat penjepit yang tadi ia gunakan.

"Tidak apa-apa, operasinya pasti berhasil," gumam Andres menenangkan Ayana.

Pria itu tahu Ayana sedang tertekan. Dokter juga manusia, yang tidak luput dari kesalahan. Ini wajar meski risiko yang harus ditanggung sangat besar. Ayana menatap Andres sedang sibuk memperbaiki kesalahannya. Ini  kali pertama bagi Ayana mendengar ungkapan Andres yang tak membuatnya kesal. Entah karena suasana hatinya yang sedang kalut atau memang ungkapan Andres itu benar-benar tulus. Yang jelas Ayana yakin, Andres sedang khawatir akan keadaan psikisnya. Andres menggunakan alat jepit untuk menghentikan pendarahan, rupanya itu berhasil menghentikan pendarahan.

"Tanda vital?" tanya Andres memastikan kondisi vital yang sebelumnya tidak stabil akibat ketidaksengajaan Ayana.

"Saturasi, denyut jantung, dan tekanan darahnya sudah kembali normal sekarang," jelas Lucas cepat, helaan nafas lega pun terembus dari masing-masing petugas yang ikut terlibat dalam operasi ini.

Entah bagaimana nasib mereka semua jika sana Andres tidak bisa menangani masalah tadi dengan baik.

"Aku akan memotong arteri celiac pada sisi kanan dari klem," tambah Andres lagi memutuskan tindakan selanjutnya setelah ia mengetahui kondisi vital pasien yang sudah normal.

Salah satu perawat mengusap peluh yang bercucuran di dahi Andres, pria itu tidak menolak. Ia masih sangat fokus melaksanakan tugasnya. Kejadian menegangkan barusan begitu memacu semangat Andres untuk mengerahkan seluruh kekuatannya guna kelancaran operasi. Andres sedang menjahit bekas arteri yang sebelumnya sudah ia potong. Gerak tangannya terlihat sangat luwes, tak sedikit pun detak gugup mengganggu konsentrasinya.

"Sekarang kita akan mengeluarkan tumornya, bovie!"

Cipratan darah itu masih membasahi wajah Ayana. Tak sedikit pun ia bergeser dari posisinya, gadis itu hanya diam meratapi kebodohannya. Ia nyaris menjadi seorang pembunuh. Operasi hampir selesai, dan sejauh ini semuanya terbilang baik-baik saja.

"Kontrol perdarahan dan selesaikan operasinya. Kamu tidak perlu aku untuk itu, bukan?" titah Andres pada Ayana.

Gadis itu menatapnya terkejut. Andres menepuk pundak Ayana dua kali lalu meninggalkan ruang operasi lebih dulu. Semua perawat di sana tersenyum lega dan saling memuji satu sama lain.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status