"Sudah lama?" tanya Ayana menghampiri Willy.
"Belum, hanya lima belas menit. Satu jam pun aku sanggup untuk menunggumu, Ayana."
Willy mulai menggombal, Ayana tersipu lantas memukul pelan dada bidang prianya. Willy mengunci tangan mungil itu di sana, mengikis jarak antara dirinya dengan Ayana kemudian merengkuh kekasihnya erat.
"Ahh, aku rindu sekali pelukan wanita manja ini," tutur Willy, menyimpan dagunya pada puncak kepala Ayana.
"Aku juga rindu kamu, Wil. Kamu tahu, akhir-akhir ini Andres kembali berulah. Aku selalu dibuat kesal setengah mati olehnya," rajuk Ayana sambil mengeratkan pelukannya.
Gadis itu menenggelamkan wajah lelahnya pada dada bidang sang kekasih; mencium aroma maskulin khas prianya yang teramat ia suka.
"Dia memang menarik, aku jadi ingin kenal lebih dekat dengannya.”
"Itu ide tergila yang pernah aku dengar. Sebaiknya kamu tarik kata-katamu barusan, Wil. Kamu pasti menyesal."
"Kenapa? Aku serius ingin mengenal sosok pria yang mampu membuat gadisku kelabakan setiap hari.”
Ayana mendorong tubuh Willy pelan.
"Ngawur! Aku selalu berdoa agar tidak bertemu lagi dengannya. kenapa kamu malah ingin mengenal manusia menyebalkan itu?”
“Entahlah, sepertinya akan sangat menarik jika aku dekat dengannya.”
“Hhh, berarti kamu mau menjadi musuhku.”
Dengan sekali tarik Willy berhasil membawa tubuh Ayana ke dalam rengkuhannya lagi. Mereka berpelukan mesra, menguarkan nuansa cinta yang sempurna. Willy menyentuh kedua pipi Ayana, memiringkan kepalanya dan tak berapa lama bibir mereka pun bertemu. Baik Ayana maupun Willy sama-sama menenggelamkan diri dalam buai keindahan cinta mereka.
"Romantis sekali," tukas seseorang yang muncul dari arah belakang Ayana.
Refleks Willy dan Ayana saling menarik diri, menghentikan ciuman mereka. Ayana berbalik dan langsung melayangkan tatapan tak bersahabat pada orang itu. Sementara Willy hanya menggaruk tengkuknya kikuk. Entahlah, ada sedikit perasaan malu ketika mendapati orang lain menyaksikan ciumannya dengan Ayana tadi.
"Sedang apa kamu di sini?" dakwa Ayana tak suka, Andres mengernyit sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Mm, aku mengganggu kalian?" balas Andres berlaga tidak enak hati.
"Tidak juga, maaf karena kau harus menyaksikan kejadian barusan," jawab Willy lebih tenang dan sopan.
"Aku sudah biasa, maksudku siapa yang tidak pernah melihat orang berciuman di negara ini? Itu wajar."
Andres tersenyum ganjil, seperti ada maksud terselubung dari senyuman itu. Willy membalasnya tidak curiga sama sekali, berbeda dengan Ayana yang sudah menangkap sinyal berbahaya dari Andres.
"Ada apa kamu menemuiku?"
"Pede banget, kamu pikir aku mau menemuimu?"
"Kamu berharap aku menganggap kedatanganmu ini sebagai sebuah kebetulan?"
"Kenapa tidak, siapa tahu aku mau mengambil mobil juga."
"Sayangnya bukan itu alasannya, benar bukan?"
Andres mendecih, ia salut dengan segala hal yang dilakukan Ayana. Selalu ada saja tingkah laku atau tutur kata wanita itu yang membuat Andres terkagum-kagum.
"Wow, aku terkesan, sepertinya kamu paham sekali tentang aku.”
Perkataan Andres yang demikian sensitif itu berhasil mengusik kebisuan Willy. Dia tidak suka Andres menggoda Ayana di depan matanya.
"Jadi apa urusanmu?!" geram Ayana. Ia melirik Willy yang menampakkan ekspresi terganggu dengan ucapan Andres barusan.
"Oh maaf, bukan maksudku untuk menggoda tunanganmu. Kami memang sering bercanda seperti ini. Kuharap kau tidak salah paham."
“Tidak masalah, aku mengerti. Ayana sering mengatakan hal itu padaku."
Andres tidak terkejut. Sudah pasti wanita itu akan melakukannya. Dia memang tipikal orang yang tidak bisa memendam kekesalan seorang diri. Setiap memiliki masalah apa pun, Ayana harus membagi masalah itu dengan orang terdekatnya, dengan begitu ia baru bisa merasa tenang dan lega meski hal tersebut belum tentu mampu menyelesaikan masalah yang sedang ia hadapi.
"Aku tidak menyangka kamu begitu mengagumiku, dokter Ayana. Sampai-sampai tunanganmu tahu tentang hubungan unik kita."
"Abaikan ucapannya Wil, sudah kubilang dia memang sialan."
"Dia juga sering menceritakanmu padaku," timpal Andres sebelum Willy menanggapi perkataan Ayana.
"Benarkah?" Willy melirik Ayana yang sedang menatap Andres penuh kecaman.
"Mm, dia selalu memujimu di depanku, bahkan di hadapan semua anak buahnya. Katanya kau adalah pria terbaik yang pernah dia temui jauh berbeda denganku.”
"Hei! Jangan asal bicara!" bentak Ayana hendak memukul Andres namun Willy menarik tangan wanita itu.
"Kenapa marah? Aku bicara apa adanya. Kupikir dia tahu tentang kebiasaanmu yang selalu membandingkannya denganku."
"Kamu tidak punya hak untuk berbicara seperti itu!”
"Sudah kuduga, dia pasti tidak tahu. Kamu melakukannya agar aku merasa terintimidasi bukan? Sayangnya strategimu terlalu payah. Jelas kami berbeda, tunanganmu itu bukan levelku."
Willy mendecih setengah tertawa, apa Andres baru saja meremehkannya? Pria itu mulai muak akan kehadiran Andres.
"Maaf, sepertinya aku terlalu banyak bicara. Tidak perlu diambil hati. Kau tahu aku memang suka melucu. Karena itulah wanitamu memanggilku pria gila."
"Hentikan omong kosongmu Andres, katakan ada apa kamu menemuiku?"
Ayana mengambil jalan pintas untuk menyudahi percakapan sengit ini. Andres langsung mengangkat sebuah map berwarna biru yang sedari tadi ia pegang.
"Kamu melupakan laporan ini, Honey.”
Ayana mengambil laporan dalam map itu dengan kasar, ia melayangkan tatapan murka pada Andres.
"Sebagai atasanmu, aku hanya ingin memastikan semua dokterku bekerja dengan baik dan tidak melakukan hal bodoh yang membahayakan pasiennya di ruang operasi," jelas Andres penuh penekanan.
Ayana mendelik kesal, lantas meraih map di tangan Andres dengan kasar.
"Hanya ini bukan? Sudah sana pergi!"
Ayana merangkul lengan Willy; mengajak pria itu pergi dari sana.
"Dokter Ayana, tunggu!" panggil Andres ketika Ayana hendak memasuki mobil. Wanita itu menoleh walau malas. Sorot mata kejam tak lelah ia pancarkan pada lelaki itu.
"Aku punya something special di ponselku, kamu mau lihat tidak?”
Ayana mengernyit heran, setelahnya ia membulatkan mata terkejut. Andres tersenyum penuh kemenangan.
"Kalau begitu aku pergi dulu, sampai jumpa besok, permisi."
Andres melengos begitu saja. Ayana masih berdiri tidak percaya, ia membuka mulutnya membentuk huruf A agar hawa nafsunya keluar semua dari sana. Seketika hati Ayana yang sebelumnya teduh kembali terbakar amarah yang kian bergejolak.
Shit, ahhhh Andares ... kamu benar-benar berengsek!
***
"Kamu masih kesal padanya?" tanya Willy.Saat ini ia dan Ayana sedang berada dalam perjalanan pulang. Setelah sebelumnya pasangan kekasih itu sempat meluangkan waktu mereka untuk makan malam di restoran langganan mereka yang ada di kawasan Soho, Manhattan."Tentu, dia pasti merekam kita saat ciuman tadi,Wil. Bagaimana kalau dia menyebarkan foto atau video ciuman kita? Aku harus bagaimana?”"Tidak usah dipikirkan, tenang saja, semua itu tidak akan terjadi. Dokter Andres tidak akan melakukannya.""Kamu tidak tahu saja betapa menyebalkannya pria itu, dia orang sinting yang rela melakukan apa saja demi melihatku kesulitan.""Dokter Andres benar, sepertinya kamu memang tahu banyak tentangnya.”"Oh God, jangan bilang kamu cemburu padanya,Wil?""Jika benar, memangnya kenapa?"Ayana terkekeh geli. Wanita itu tidak habis pikir bagaimana bisa Willy cemburu akan hubungan uniknya dengan Andres. Ini seperti
Willy Tolimson, pria itu masih sibuk berkutat dengan segudang pekerjaan yang di San Capital Corporation, perusahaan milik keluarganya. Ia menjabat sebagaimanajer keuangan di sana. Terlahir dari pasangan Calvin Tolimson dan Dyana, membuat kehidupan Willy begitu diberkati dengan materi yang melimpah. Sejak kecil pria muda bertalenta ini memang sudah diarahkan untuk belajar bisnis dan mengelola perusahaan.Tidak seperti kebanyakan anak konglomerat lain yang merasa terkekang atau terbebani oleh keinginan orang tuanya. Willy justru sangat menikmati kehidupannya. Ia mencintai keluarganya, juga segala aturan yang berlaku di sana. Terlepas dari segala kesenangan hidup yang Willy punya, pria itu tengah menatap kertas undangan pernikahannya dengan lekat. Ia memejamkan mata dan menghempaskan tubuhnya ke sebuah sofa panjang yang ada diruang kerja pribadinya."Apa yang harus kulakukan?" desahnya frustrasi.Menjelang hari pernikahan yang tinggal satu minggu lagi suasana
"Selamat pagi," sapa beberapa penghuni di ruang kerja tim satu departemen HPB.Mereka menyambut Ayana dengan baik meski ada beberapa yang tak menganggap kehadirannya. Ayana tersenyum kikuk. Ia belum terbiasa bekerja di tim itu walau sudah satu minggu ia bergabung di sana."Dokter Ayana, katanya minggu depan dokter akan menikah, ya?” tanya Gerald, salah seorang dokter di sana."Iya, benar. Kalian mau datang?" tanya Ayana mencoba seramah mungkin.“Bolehkah? Kalau tidak keberatan tentu kami mau datang ke pernikahan Anda, Dok,” sahut Gerald langsung disepakati tiga rekannya yang ada di sana, mereka juga tertarik untuk datang ke pernikahan Ayana.“Tentu saja boleh, nanti aku berikan undangan pada kalian, tunggu saja. Oh ya, dokter Andres mana?” tanya Ayana tiba-tiba membuat tiga orang di sana saling tatap heran.Kabar perseteruan Ayana dan Andres sangat melegenda di rumah sakit itu, jadi wajar kalau setiap departemen
Ayana sedang sibuk menyiapkan acara pernikahannya. Mulai dari vendor, EO, dekorasi, dan hal-hal terkecil untuk pernikahannya diatur oleh gadis itu. Willy dan orang tuanya sedang ada di Indonesia, tiga hari sebelum pernikahan Willy pamit ke Indonesia pada Ayana untuk mengurus bisnis di sana.Sejauh ini semuanya berjalan sesuai dengan rencana, tidak ada kendala berarti yang memusingkan sang empunya hajat. Jika dipersentasekan mungkin persiapan pernikahan Ayana sudah mencapai angka 95%. Ayana sangat bahagia, tidak menyangka jika hubungannya dengan Willy yang baru berjalan satu tahun ini bisa berujung di pelaminan. Ia berjanji pada dirinya sendiri akan menjadi istri yang baik untuk Willy. Kepala gadis itu sudah dipenuhi oleh rencana-rencana indah yang siap ia realisasikan usai menyandang status sebagai istri sah Willy Tolimson.Sudah satu minggu Ayana tidak berhubungan dengan Willy. Rencananya Willy dan keluarga baru akan terbang ke New York besok pagi. Mengingat acara per
Katedral St. Patrick08.35 amKatedral St. Patrick, bangunan bergaya Neo-Gothic ini terletak di kawasan Midtown Manhattan, New York City. Sekitar setengah jam perjalanan dari kediaman Ayana yang berada di pemukiman Civic Center. Gereja rancangan James Renwick Jr. Dan Wiliiam Rodrigue ini akan menjadi saksi penyatuan cinta Ayana dan Willy. Ya, tepat di hari sabtu agung ini keduanya akan mengucap janji suci. Dihadiri puluhan orang, yang terdiri dari kerabat juga rekan kerja keluarga Ayana.Tidak banyak kerabat Willy yang hadir. Semua tamu sudah memasuki gedung katedral. Duduk di kursi panjang yang berjejer di ruang utama. Katedral ini memang sudah sangat mewah. Tanpa perlu dihias secara berlebihan tempat agung bagi umat Kristen dan Khatolik itu sudah sangat memanjakan mata. Sebuah piano klasik berwarna hitam legam sudah ditempatkan di dekat altar, Daniel –bocah cilik itu yang akan memainkannya nanti. Khusus untuk acara penti
Hai, Ayana ...Ini hari ketujuh kita tidak saling menyapa. Seharusnya kita bertemu sekarang, berdiri di depan altar dan mengucap janji sehidup semati. Kamu pasti sangat cantik, sayang aku tidak bisa melihat kecantikanmu saat mengenakan gaun pengantin. Membayangkannya saja sudah membuatku senang, apalagi jika aku berada di sana.Hhh, apa yang sedang aku lakukan sekarang? Memuji padahal aku sedang menyakitimu. Maaf, tolong maafkan manusia bodoh dan brengsek ini. Aku tidak bisa menjadi mempelai priamu. Aku tidak bisa memenuhi janjiku untuk membahagiakanmu, aku tidak bisa menjadi rumah untuk hatimu berpulang jika ia lelah.Bukanaku orang yang tepat untuk menjadi pelipur laramu, jangan menangis karena ini juga menyakitkan bagiku. Kamu sudah melihat fotonya? Jika kamu bertanya mengenai kebenaran akan hal itu, maka aku jawab ya, itu benar. Seperti yang kamu lihat, aku sudah menikah. Dia Hera, istri sahku. Wanita yang sedang
Di sinilah mereka sekarang, berdiri berdampingan di ambang pintu masuk katedral. Semua pasang mata terfokus pada mereka. Pancaran sendu, binar ketakjuban, tatapan intimidasi, sorot tidak percaya. Kurang lebih seperti itulah makna yang tersampir pada setiap tatapan orang -orang di sana. Daniel terlihat sangat tampan dan gagah seperti ayahnya. Dia duduk di hadapan piano klasik yang siap ia mainkan. Bocah itu menatap sang kakak sejenak dari kejauhan lalu menyunggingkan senyum manis. Hal yang sangat jarang ia lakukan selama ini. Kedua tangan mungilnya mulai menekan tuts piano tanpa kesulitan. Membawa alunan syahdu yang menggetarkan jiwa, lantas membungkam gemuruh kata yang terlontar dengan berbagai nada dari bibir tamu undangan.Ayana tak kuasa menahan haru, tangannya bergetar saat menyaksikan adik tercinta tersenyum begitu tulus padanya. Senyum menguatkan, memberi dukungan lewat untaian nada merdu yang dimainkannya. Andres menggenggam pergelangan tangan Ayana yang menyampir di l
"Kenapa hanya berdiri di situ? Kemarilah!" titah ayah Ayana pada Andres yang sedang berdiri di ambang pintu masuk ruang makan.Mereka berkumpul di ruang makan, terlihat Daniel yang sudah memulai sarapannya tanpa menunggu kehadiran sang kakak ipar. Sedangkan Ayana dan kedua orang tuanya masih menunggu Andres bergabung. Ini adalah hari pertamanya menjadi seorang suami, sekaligus menjadi bagian dari keluarga besar Kendra, ayah mertuanya. Ayana menoleh ke arah sang suami sambil menampilkan wajah malas. Kontras dengan ekspresi sendu yang kemarin mendominasi wajah cantik gadis itu.“Nikmati saja kegilaanmu, Andres,” batin pemuda itu menyunggingkan senyum tulusnya pada kedua mertua juga adik iparnya namun tidak untuk istrinya."Kamu pasti sangat lelah sehingga bangun terlambat," timpal Junia setelah Andres duduk tepat di hadapannya dan bersebelahan dengan Ayana. Andres kembali tersenyum, suasana seperti ini terasa asing baginya."Ayana, laya