Share

Terpaksa Menikahi Om Tampan
Terpaksa Menikahi Om Tampan
Penulis: Naza Dya

Bab 1 Menikahlah Denganku

Liyana Zahira berjalan dengan tergesa-gesa masuk ke dalam sebuah caffe favorit kekasihnya, Arsenio Bagas. Ia diminta datang tepat waktu dan langsung menuju kursi dengan nomor 10 sesuai perintah sang kekasih.

"Maaf, aku terlambat," ucap Liyana pada sang kekasih yang telah duduk di kursi nomor 10.

"Duduklah," pinta pria itu dengan datar. Arsenio kembali menurunkan tatapannya dari Liyana, seperti tengah menyembunyikan masalah.

Liyana segera mengindahkan perintah sang kekasih. Dia menarik kursi di depannya kemudian duduk dengan nyaman. Tampak di atas meja sudah tersedia dua gelas air berwarna orange dan dessert. Kedua Air berwarna orange itu bahkan telah berkurang setengahnya, seperti telah diteguk seseorang.

"Mas, mengapa kamu memintaku datang ke sini? Kita kan sedang dipingit, harusnya tak boleh bertemu." Liyana bertanya heran. Acara pernikahan mereka akan berlangsung satu minggu lagi. Gadis itu paham aturan keluarga kalau mereka tak boleh bertemu. Akan tetapi Arsenio memaksa dan Liyana tak boleh menolak permintaannya.

Belum sempat pria itu menjawab pertanyaan Liyana, seorang wanita tiba-tiba datang menghampiri keduanya lalu duduk dengan tidak sopan di dekat Arsenio.

"Siapa ini, Mas?" Liyana nampak bingung. Menatap Arsenio dan wanita itu secara bergantian.

"Katakan sekarang padanya, Mas!" Wanita itu meminta pada Arsenio yang masih membungkam.

Liyana Zahira semakin bingung pada dua orang dewasa di depannya. Wanita itu tidak sopan menyuruh pada kekasihnya.

"Ada apa ini, Mas?" tekan Liyana. Perasaannya mulai tidak nyaman.

Sang kekasih kini berani menatap Liyana setelah sebelumnya menatap wanita itu.

"Maaf, Liyana. Rencana pernikahan kita tak bisa dilanjutkan." Arsenio melepas cincin pertungannya kemudian diberikan pada Liyana.

Mendengar penuturan Arsenio, seketika bola mata Liyana berkaca-kaca. "Apa maksud kamu, Mas?" Bibir wanita itu bergetar menahan tangisan.

"Mas Arsenio sudah berbicara dengan jelas." Wanita yang tak dikenal oleh Liyana menjawab pertanyaan yang seharusnya keluar dari mulut Arsenio.

"Maaf, Liyana. Hubungan kita harus berakhir. Rencana pernikahan kita tidak bisa diteruskan." Arsenio beranjak dari tempat duduk kemudian pergi bersama wanita itu tanpa menjelaskan apa-apa.

Liyana masih mematung. Ia sempat memanggil kekasihnya tapi tak dihiraukan. "Tunggu, Mas Arsenio!"

Air mata gadis berusia dua puluh empat tahun itu merembes keluar. Dadanya bergemuruh lesu. Lututnya bergetar sehingga tak mampu berlari mengejar langkah sang kekasih yang dalam waktu sepersekian detik telah menjadi mantan. Namun meski pun begitu, ia berusaha bangkit kemudian mengejar langkah pria yang tampak menggandeng wanita lain masuk ke dalam mobil.

Dihadangkan kendaraan roda empat berwarna merah yang hendak melaju.

"Tunggu, Mas! Jelaskan padaku apa maksud semua ini?!" Liyana merentangkan kedua tangannya di depan mobil yang dikemudikan Arsenio.

Pria itu keluar dengan memasang wajah amarah tanpa sedikit pun merasa bersalah pada Liyana.

"Sudah aku katakan, hubungan kita berakhir! Kita putus! Jelas." Arsenio berbicara dengan nada tinggi. Dia tak memperdulikan wajah Liyana yang sudah basah oleh air mata.

"Mudah sekali kamu bicara seperti itu! Lalu, bagaimana dengan surat undangan yang sudah tersebar, gedung yang kita siapkan, bahkan catering telah dibooking. Kamu lupa ha!" Liyana membalas dengan emosi. Bibirnya bergetar menahan rasa panas di dalam dada. Ia sudah tak perduli dengan orang-orang di sekelilingnya yang melemparkan tatapan iba.

"Kamu tak usah khawatir, saya akan ganti rugi. Kamu sebutkan saja nominalnya." Dengan entengnya Arsenio berkata. Ia tampak memasang kaca mata hitam yang bertengger di hidungnya. Wajahnya tak menampakan rasa berdosa sedikit pun.

Tak disangka, sebuah tamparan keras dari tangan Liyana mendarat di pipi pria berkulit putih itu membuat kaca mata yang baru saja dipasangnya langsung terlempar jauh.

"Ingat baik-baik ya, aku tak akan pernah sudi menerima sepeser pun uang belas kasihan dari kamu. Aku tidak terima semua perlakuanmu terhadapku dan keluargaku, kamu akan mendapat akibatnya!" Liyana meluruskan jari telunjuknya penuh amarah, pada sang mantan kekasih yang telah menghancurkan hidupnya.

Tanpa menunggu balasan dari Arsenio, gadis yang hari ini bernasib malang itu kemudian pergi meninggalkan Arsenio dan wanita di dalam mobil yang disinyalir adalah kekasih barunya.

"Sayang, wanita itu telah menampar kamu. Aku akan buat perhitungan dengannya." Wanita tadi keluar dari mobil lalu mengusap pipi Arsenio yang merah membentuk tangan Liyana yang sempat mendarat.

"Tak apa. Mungkin dia sakit hati. Biarlah, itu adalah balasan baginya yang telah menipuku karena kelakuannya," balas Arsenio berselimut dendam. Dia dengan yakinnya memutuskan hubungan dengan Liyana karena pengaruh hasutan wanita di dekatnya yang mengatakan kalau Liyana sudah tak perawan karena sering menjajakan diri pada pria hidung belang. Padahal sesungguhnya itu hanya akal-akalan wanita itu dengan tujuan menggagalkan pernikahan Arsenio dan Liyana yang tinggal menghitung hari.

Sementara gadis yang kini dirundung nestapa, Liyana Zahira tampak mengemudikan kendaraan roda duanya dengan kecepatan tinggi. Ia bahkan tak terlalu perduli dengan keselamatannya saat bola mata terus mengembun oleh air mata.

Ia menepi di sebuah rumah makan kelas menengah ke atas, lalu duduk di tempat yang kosong. Dia datang ke tempat itu bukan untuk makan atau pun memulai pekerjaannya sebagai pelayan, melainkan menemui seseorang yang sangat dekat dengannya yakni sahabatnya. Tangisannya bahkan kembali pecah saat memikirkan nama baik keluarganya yang berada di tangannya.

"Gadis manis nampak sedih, kenapa?" Pria dewasa yang usianya sekitar empat puluh tahun tampak duduk di depan Liyana. Dia adalah Arya Bagaskara, pria dewasa yang telah lama bersahabat dengannnya yang sudah dianggap sebagai kakaknya. Liyana merencanakan sesuatu, kebetulan nama Arya nyaris sama dengan sang mantan.

Gadis berlesung pipit itu langsung menghapus air matanya. Liyana segera mengukir senyuman di hadapan sahabatnya, walau palsu.

"Mas Arya, maukah menikah denganku? Aku janji akan bekerja lebih giat lagi demi memenuhi kebutuhan rumah tangga kita. Aku juga tidak masalah walau usia Mas Arya sudah kepala empat. Aku akan berusaha mencintai Mas Arya dengan tulus. Aku tak perduli walau Mas Arya hanyalah pelayan di rumah makan ini," pinta Liyana tanpa basa-basi. Ia menatap Arya penuh harap. Hanya satu hal yang ia khawatirkan dalam masalahnya saat ini adalah, nama baik orang tuanya.

Namun, Arya merespon penuturan Liyana dengan tawa geli. Ia segera menempelkan punggung tangannya di dahi gadis berusia 24 tahun itu.

"Tidak panas kok, tapi kenapa ucapan kamu ngawur begini, Liyana?" Arya menganggap ucapan gadis itu hanya gurauan.

"Aku serius, Mas. Aku mohon, menikahlah denganku." Liyana menautkan kedua telapak tangannya. Melemparkan tatapan iba yang bola matanya bahkan tampak berkaca-kaca.

Arya masih bergeming. Ia masih merasa ucapan Liyana cukup aneh siang ini. "Kapan?" Akhirnya dia coba menantang.

"Minggu depan," jawab Liyana antusias.

"Apa!" Bola mata Arya membulat sempurna. "Secepat itu? Apa kamu sudah hamil?"

"Tidak, Mas. Aku bukanlah Siti Maryam yang bisa berbadan dua tanpa berhubungan intim. Aku masih 100% perawan ting-ting, mana mungkin aku hamil," bantah Liyana dengan segera.

"Bagaimana, maukah kamu menikah denganku, Mas? Aku janji, semua penawaranku akan kupenuhi." Liyana kembali menyodorkan penawaran.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status