Share

Bab 2 Mencari Mahar

Tatapan Liyana tak berpaling ke arah mana pun. Kedua tangannya masih menaut memohon jawaban dari Arya Bagaskara.

"Oke, aku mau," jawab Arya tanpa pikir panjang. Lagi pula pria dewasa itu memang sudah menyukai Liyana sejak pertemuan pertama di rumah makan sebagai pengunjung. Arya bahkan rela berpura-pura menjadi pelayan demi bisa dekat dengan Liyana. Namun, perasaannya sempat kecewa saat mendengar kabar rencana pernikahan gadis berlesung pipit di hadapannya.

Tapi, keadaan berbalik. Kini Liyana menawarkan sebuah pernikahan. Entah apa penyebabnya, Arya tak memperdulikan itu. Tuhan tengah berpihak padanya dan ia tak akan menyianyiakan kesempatan.

"Mas, Arya. Kamu serius kan?" Liyana menyeringai dan memastikan sekali lagi.

"Tentu saja aku serius," jawab pria dewasa itu dengan yakin.

Liyana menggenggam erat kedua tangan Arya yang menumpuk di atas meja.

"Terima kasih, Mas. Aku akan berusaha membuat kamu bahagia. Lagi pula, aku sudah naik jabatan menjadi manager di rumah makan ini. Jadi, kamu tak usah jadi pelayan lagi." Liyana merasa tertolong oleh pria dewasa yang telah dikenalnya beberapa bulan terakhir.

"Baiklah, apa yang harus aku lakukan?" Arya mengukir senyum manis. Dia begitu tulus menerima penawaran Liyana.

"Hanya perlu menjadi pengantin pria saja, Mas. Minggu depan pernikahan akan berlangsung. Hari ini kita harus pergi ke toko perhiasan untuk mencari mahar. Mas tak usah khawatir, aku sudah memiliki uang untuk membeli mahar." Liyana menjelaskan dengan antusias. Ia pikir, pelayan seperti Arya pasti tak punya uang banyak.

"Bolehkah aku tahu, apa yang telah terjadi dengan rencana pernikahanmu bersama Arsenio?" Arya memastikan terlebih dahulu.

Liyana menurunkan tatapan. Gadis berambut sebahu itu tak mampu menjelaskan alasannya. Ia rasa mantan kekasihnya telah berselingkuh, dan itu hanyalah aib yang membuat hatinya terasa sakit.

"Lupakan tentang, Arsenio. Pria itu tidak pantas menjadi suamiku," jawab Liyana dengan pasang manik yang kembali mengembun.

Melihat raut wajah Liyana siang ini membuat Arya merasa yakin kalau gadis di hadapannya sedang dalam masalah besar.

"Oke," balasnya.

"Kita ke toko perhiasan sekarang ya. Kamu boleh pilih mahar yang kamu suka untuk pernikahan kita." Liyana meraih tangan Arya dengan yakin. Dia merasa percaya diri, mengingat saldo rekening masih bernilai sepuluh juta. Dia rasa cukup untuk membeli beberapa gram perhiasan emas. Sementara semua biaya sewa gedung, wedding organizer dan catering memang sudah dibayar dimuka.

"Biar aku yang bawa motor kamu." Arya meraih setang motor milik Liyana.

"Oke." Liyana tersenyum hambar. Ada luka yang menggaris dalam senyumannya. Ia terpaksa melakukan ini demi orang tua.

Kendaraan roda dua itu melaju membelah jalan raya hingga menepi di depan toko perhiasan yang nampak elit. Liyana menelan saliva resah. Pandangannya terarah pada gedung toko perhiasan yang terkenal sangat elit di Jakarta Kota. Ia jadi resah dengan sisa uang pada saldo rekening yang hanya bernilai sepuluh juta saja.

"Mas, kok ke toko yang ini?" Liyana bertanya.

Mendengar pertanyaan Liyana, pria berhidung mancung itu hanya tersenyum santai. "Ini adalah toko perhiasan impian saya. Saya hanya ingin membeli perhiasan di toko ini untuk pernikahan. Bagaimana, apakah boleh?" tanya Arya.

Walau nampak berat, Liyana mengangguk seraya mengulum senyum getir. Mereka berdua masuk ke toko perhiasan. Sesekali Liyana menghela napas yang terasa sesak. Ia resah kalau-kalau uangnya sampai tak cukup.

Di dalam toko, para pelayan menyambut kedatangan Arya dan Liyana dengan ramah dan sopan. Bak Raja dan Ratu, mereka berdua dilayani dengan baik. Padahal, pakaian Arya nampak biasa saja, apalagi Liyana. Atau mungkin saja toko itu memang selalu mendewakan pembeli.

"Tolong keluarkan perhiasan terbaik untuk pernikahan saya," pinta Arya terdengar tegas yang langsung dilaksanakan oleh pelayan toko.

Liyana bahkan seperti tak mampu mengedipkan kelopak mata, memandang ketegasan Arya yang berprilaku tak biasanya, bagai orang kaya saja.

"Mas, sepertinya itu terlalu mahal. Kalungnya yang biasa saja, aku lebih suka yang biasa. Bisakah kita pindah ke toko lain," bisik Liyana setelah mendekatkan bibirnya ke telinga Arya.

Lagi-lagi pria itu mengulum senyum dengan santainya. "Tapi, aku ingin kalung berlian paling istimewa untuk istriku," katanya.

Liyana kian gusar. Ia mengusap wajah dengan kasar. Bukannya lepas dari masalah, isi dadanya kian resah saja.

"Mba, saya ingin kalung yang itu. Tolong pasangkan pada leher calon istri saya," pinta Arya pada pelayan toko.

"Baik, Tuan."

Dengan cekatan dan keramahan yang istimewa, pelayan toko memasangkan kalung berlian indah di leher Liyana. Kilauan cahaya yang terpancar dari kerlipan berlian terlihat sangat cantik di leher Liyana, walau wajah gadis itu nampak tak nyaman.

"Bagus, saya suka. Saya pilih itu saja. Tolong dikemas," pinta Arya lagi. Senyumannya nampak mengembang melihat betapa cantiknya saat kalung yang ia pilih terlihat cocok di leher Liyana.

Lagi, Liyana menarik tangan Arya untuk berdiskusi terlebih dahulu. Dua langkah mundur dari etalase perhiasan.

"M-mas, ja-jadi gini—"

"Sudahlah, Liyana. Bukankah sudah kamu katakan, kalau aku bebas memilih perhiasan yang aku mau untuk mahar nanti. Kalung berlian tadi sangat cocok di leher kamu, semakin terlihat cantik," potong Arya seperti mampu menebak ucapan yang hendak keluar dari mulut gadis impiannya, padahal Liyana belum selesai dengan ucapannya.

Liyana menggaruk kepala yang tak gatal. Wajahnya kian resah, dan Arya bisa menerkanya.

"Sudah, Liyana. Tenang saja." Arya meraih telapak tangan Liyana yang terasa dingin seperti baru keluar dari freezer.

"Hey, Li. Tangan kamu dingin sekali, bergetar pula." Arya mendekatkan tangan Liyana pada dada bidangnya. Bagaimana bisa tangan gadis itu terasa sedingin salju.

"Mas, jujur saja. Aku rasa saldo rekeningku tak akan cukup untuk membayar kalung berlian itu," ungkap Liyana jadi merasa berdosa pada Arya.

"Jika itu yang kamu khawatirkan, aku akan berbuat apa pun untuk mendapatkan kalung itu, karena aku menyukainya saat terpasang di lehermu," kata Arya berusaha menenangkan Liyana.

Namun meski pun begitu, Liyana tetap saja tak mampu menghilangkan keresahannya. Ia dan Arya kembali duduk di depan etalase. Sementara pelayan toko perhiasan telah mengemas kalung berlian itu dengan rapi dan cantik pada kotaknya yang indah. Satu pelayan lagi nampak menuliskan surat tanda terima pembayaran.

Lalu mengejutkan. Keringat dingin bahkan nampak mengkilat di kening Liyana saat ini.

"Ini kalungnya, Tuan. Harganya senilai seratus juta rupiah dan kami memberikannya secara cuma-cuma sebagai kado pernikahan Tuan Arya dengan calon istri," ucap pelayan toko yang membuat bola mata Liyana membulat sempurna seperti hendak meloncat dari sarangnya.

"Apa!" Gadis berlesung pipit itu kembali tak mampu mengedipkan mata. "Bagaimana bisa?"

"Terima kasih, Mba. Kerja yang baik ya. Semoga toko ini makin ramai." Arya berkata pada pelayan toko seraya meraih kalung berlian pilihannya.

"Ayo kita pulang," ajak Arya meraih tangan Liyana.

"Tunggu, Mas. Ini apa maksudnya?" Liyana masih dalam keterkejutan. Degup jantungnya terasa memompa lebih cepat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status